"Hana?"
Seseorang memanggilnya setelah pintu kaca terbuka. Pemilik nama itu menoleh dan mendapati wajah pria yang ditemui kemarin."Kak Arsen?"Dokter itu masuk dengan ragu lantaran melihat ketegangan di wajah para karyawan dan Hana. Mereka semua berkumpul untuk menyaksikan rekaman ulang CCTV demi mencari kebenaran yang sesungguhnya. Termasuk tiga orang pelanggan yang tak sengaja masuk dan kepo dengan peristiwa yang terjadi."Ada apa ini? Kenapa rame-rame?" bisiknya setelah berdiri tepat di samping Hana.Lalu, Hana menarik tangan Arsen dan menjauhi diri dari kelompok orang yang sedang mengamati rekaman tersebut. Di sana, Hana menceritakan sekilas kejadian dan Arsen bisa langsung mengerti permasalahannya.Layar itu terus berputar dan sudah sampai di mana ada seorang ibu masuk ke dalam toko. Dia mengelilingi etalase seperti ingin memilih kue yang akan dibeli. Luna menghampiri dan mengambil kue yang ditunjuk ibu tadi. Sampailah kak"Jika tidak mau diperiksa, aku tidak akan segan-segan melaporkan Anda ke polisi dengan kasus mencemarkan nama baik toko kami. Luna, tolong kamu ambil foto dan video peristiwa ini.""Ja-jangan la-lakukan itu. A-aku ngaku salah. Tapi ini murni bukan keinginanku. A-aku hanya iseng."Tanpa aba-aba, Sinta menarik paksa tas yang ada di tubuhnya. Tak permisi, tangan itu membuka resleting dan menemukan sesuatu yang membuat Hana menggelengkan kepala. Kini, dia bisa bernapas lega dan berharap malam ini bisa tidur dengan nyenyak."Apa-apaan iki?""Aya aya wae.""Wah, dasar orang toksin banget.""Bawa ke polisi aja karena mencemarkan nama baik toko ini.""Iya, kita sudah langganan di sini, belum pernah kecewa dengan kualitas dan rasanya.""Bawa aja, Pak. Bu Hana, jangan biarkan orang ini berkeliaran, nanti makin menjadi-jadi."Timpalan demi timpalan pun saling bersahutan. Luna merekam semua kejadian termasuk bebera
"Baru ditinggal tiga minggu, wajah kamu pucat dan tubuhmu sedikit kurus, ya? Apa kamu tidak makan, Nak?"Ibu baru diantar Pak Dadang ke toko kue. Perjalanan jauh dari Bandung ke Jakarta membutuhkan empat jam, membuat tubuh ibu sedikit lelah. Meski begitu, beliau tetap dapat mengamati perubahan si anak."Aku nggak apa-apa, Bu. Apa Ibu sudah makan? Kalau belum, aku pesan makanan online, ya. Tadi pagi aku hanya sempat masak untuk pagi dan siang. Sore ini aku be....""Nggak usah. Ibu belum lapar. Nanti malam saja baru pesan."Jam sudah menunjukkan angka lima saat ibu sampai ke toko. Ada banyak oleh-oleh dari kota Bandung dan sebagian dibagikan kepada karyawan toko. Selama Hana menikah, Ibu menolak untuk tinggal satu rumah dengan besan dan menantunya. Beliau memilih tinggal di lantai dua ruko tersebut. Alasannya simpel, yaitu bisa mengerjakan pekerjaan dapur di pagi hari sebelum toko dibuka. Apalagi jika ada PO kue yang membludak, ibu tidak p
"Siang tadi Kai dijemput Tante Nadhira dan dia kasih ini."Ucapan Kai berhasil mengerutkan dahi Hana. Lantaran penasaran, si mama pun mulai mengintrogasinya. Dia tak terima karena orang yang menjemput putranya adalah wanita itu."Kok bisa Tante itu yang jemput? Papa bilang supir oma yang akan jemput Kai di sekolah. Lagi pula kamu tidak boleh sembarangan ikut orang lain yang tidak kamu kenal baik."Bocah ganteng itu menaikkan kedua bahunya dan menjawab dengan polos. Kedua tangan Kai memegang sebuah kotak berbentuk kubus bergambar Lego model mobil."Tadi tante itu telepon Papa saat Kai tolak. Bahkan Bu Yuli juga sempat bicara dengan Papa pakai hape tante itu. Papa bilang Kai ikut Tante Nadhira ke mobil dan akan diantar pulang. Ternyata ya, Ma, anaknya yang bernama Sammy itu juga sekolah di sana."Penuturan panjang lebar Kai mendapatkan helaan panjang Hana. Mahendra tidak mengabari hal itu kepadanya. Dia menggeleng tak percaya dengan perubah
Shit, Hana tak butuh harta kekayaan yang terlalu berlimpah. Meski dia paham pepatah 'uang memang memegang peranan penting dalam hidup.' Namun, bukan begini jalannya. Hana bisa hidup sederhana dan berhemat. Kehidupan Mahendra bisa dikatakan lebih dari cukup. Jadi, tak perlu mati-matian mencari lebih dari itu. Tidak semua kebahagiaan dibayar dengan uang. Mempunyai uang banyak, tetapi belum tentu bahagia. Hana hanya butuh perhatian dan cinta tulus."Sedang apa kamu sendirian di sini?"Suara itu menghancurkan lamunan Hana. Spontan kepala itu bergerak mencari pemilik suara tersebut.Radit.Pria itu melangkah masuk ke dalam dapur ketika Hana menoleh ke arahnya. Dengan senyuman terbaik, Radit menarik salah satu kursi dan duduk. "Aku sedang menunggu Mas Hendra."Tak ingin berlama-lama menatap wajah Radit, Hana menyimpan kembali kotak jus ke dalam kulkas. Dia pun tak ingin berada di satu ruang yang sama dengannya karena merasa
Entah kapan Mahendra pulang dan menginjakkan kaki di rumah. Saat itu, dia mendengar suara berisik dari arah dapur kala kakinya hendak menaiki anak tangga. Lantaran penasaran, dia mengurungkan niat ke tujuan semula lalu menyeret langkah ke dapur dan mendengar sebagian kalimat hinaan Radit yang ditujukan pada istrinya.Bungkam, jantung Radit bergetar hebat. Ketakutan mulai menjajaki pikirannya. Kentara sekali, wajah itu berubah menjadi pucat dan arah matanya lebih sering dijatuhkan ke lantai. Tubuh 170 cm tersebut pun mundur dan sedikit bersembunyi di belakang istrinya. "Bang, aku hanya tak habis pikir dengan kamu. Begitu banyak wanita yang menunggu dan menawarkan diri untuk dijadikan istri. Bahkan aku dengar wanita itu cantik, pendidikan tinggi dan karir yang baik. Kenapa Abang malah memilih wanita ini? Lihat aja tingkahnya, wajahnya. Tidak ada bagus-bagusnya sedikit pun.""Stop, Risa! Kamu juga tak berhak mengatakan itu di depan Hana. Kamu tahu, dia adala
"Orang lain?"Bibir itu mengulang dua kata seraya mengurai pelukan. Kepalanya menunduk untuk mengamati rona paras wanita hamil yang masih dicintainya."Maksud kamu siapa orang lain?"Mahendra bertanya lagi setelah sekian detik belum mendapatkan respons apa pun dari Hana yang masih tidak berniat menatapnya. Wanita itu lelah dengan sikap Mahendra yang seolah-olah tidak mengerti maksudnya. Entahlah, sejak kehamilan kedua, perasaan Hana benar-benar sensitif. Hatinya mudah tersentil apalagi semua yang ada tentang Mahendra. Dia merasa pria itu berubah atau semuanya hanya karena perasaan ibu hamil yang sedang rawan."Mas tahu, kan, sekarang lagi maraknya penculikan anak. Mereka pura-pura baik, menyodorkan diri menjemput anak kita. Lalu, dia bersama komplotannya membunuh dan mutilasi, mengambil organ dalam lalu menjualnya. Lagi viral di kalangan sekolah dan media sosial. Aku hanya wanti-wanti aja."Tiba-tiba emosi Hana meledak. Dia yang
"Kamu salah paham, Sayang. Tadi kami memang bertemu tapi itu hanya sebentar. Dia lupa tanda tangan kontrak perjanjian kerja sama dan dia mendatangi kantor. Lalu, dia tak sengaja mendengar pembicaraan aku dan Mommy kalau supir Mommy tadi lagi nggak masuk gara-gara anaknya sakit. Akhirnya dia menawarkan diri untuk menjemput Kai dari sekolah karena dia juga mau jemput anaknya di sekolah yang sama."Masih belum bisa terima penjelasan, Hana berdiri dan hendak berjalan menuju pintu. Buru-buru Mahendra berlari dan berhasil mencegah dan mencengkal tangannya."Kamu mau ke mana, Sayang?"Dari raut wajah Hana, pria itu tahu Hana ingin sekali menumpahkan air mata yang sudah tergenang di pelupuk matanya. Jika itu terjadi, pria itu siap menampung kesedihannya. Sayangnya, dia masih belum tahu apa akar dari kepedihan wanita itu. Jika hanya gara-gara Nadhira menjemput Kai tadi siang, sepertinya Hana salah menempati rasa sedihnya. Sedih yang tak beralasan."Aku mau
"Kamu bisa tidur di sini tanpa harus pindah ke kamar Kai.""Aku ...."Hampir habis stok kesabaran, Mahendra menarik tubuh berbadan dua itu dan memeluknya lagi. Dia tak suka dengan sikap Hana yang pergi jika ada masalah terjadi. Akhirnya Hana pasrah lantaran tenaga Mahendra berkali lipat dibanding dirinya. Di saat itu pula, dia merasakan tendangan hebat yang berulang kali di perutnya. Entah apa yang isyarat yang akan diberikan bayi itu kepadanya. Apakah dia sedang menyuruh mamanya patuh kepada sang papa? Atau bisa jadi, dia sedang mentransfer semangat untuk mamanya.Saat menempelkan dada Mahendra dan mendengarkan dentuman aneh, Hana menumpahkan air kesedihan yang sudah dipendam beberapa minggu yang lalu. Penuh dan terasa sesak di dada. Dulu, berada dalam dekapan sang suami adalah tempat ternyaman bagi Hana. Menyandarkan kepala ke dada bidang suaminya dan mendapatkan hujanan kecupan di hampir seluruh wajah, terutama di bibir adalah kebiasaan favori