Duduk bersandar di sofa, Hana pun menselonjorkan kedua kaki. Betisnya sering baal karena durasi berdiri yang lama, mengharuskan dirinya meluruskan kedua alat gerak itu. Matanya terpejam dan berusaha mengolah napas untuk melakukan meditasi sejenak.
Mencari ketenangan karena tiba-tiba di benak Hana mengingat kembali pertemuan tak terduga tadi sore dengan wanita 27 tahun yang bernama Nadhira itu. Cara wanita itu menatap suaminya cukup mengusik perasaan Hana. Prasangka buruk mulai menghantui, ditambah lagi dengan ucapan Nadhira tentang penasaran dirinya terhadap Hana.Akankah kehadiran Nadhira mengancam rumah tangga mereka? Mengapa Mahendra terlihat peduli dengan anak laki-laki yang bernama Sammy itu? Apakah mereka ada hubungan darah atau?Astaga.Hana buru-buru beristigfar karena mulai ngelantur dengan kehaluannya. Inilah akibat dia yang terlalu sering membaca novel online genre rumah tangga. Tidak-tidak, bacaan itu tidak boleh meracuni pikirannya."Hana?"Seseorang memanggilnya setelah pintu kaca terbuka. Pemilik nama itu menoleh dan mendapati wajah pria yang ditemui kemarin."Kak Arsen?"Dokter itu masuk dengan ragu lantaran melihat ketegangan di wajah para karyawan dan Hana. Mereka semua berkumpul untuk menyaksikan rekaman ulang CCTV demi mencari kebenaran yang sesungguhnya. Termasuk tiga orang pelanggan yang tak sengaja masuk dan kepo dengan peristiwa yang terjadi."Ada apa ini? Kenapa rame-rame?" bisiknya setelah berdiri tepat di samping Hana.Lalu, Hana menarik tangan Arsen dan menjauhi diri dari kelompok orang yang sedang mengamati rekaman tersebut. Di sana, Hana menceritakan sekilas kejadian dan Arsen bisa langsung mengerti permasalahannya. Layar itu terus berputar dan sudah sampai di mana ada seorang ibu masuk ke dalam toko. Dia mengelilingi etalase seperti ingin memilih kue yang akan dibeli. Luna menghampiri dan mengambil kue yang ditunjuk ibu tadi. Sampailah kak
"Jika tidak mau diperiksa, aku tidak akan segan-segan melaporkan Anda ke polisi dengan kasus mencemarkan nama baik toko kami. Luna, tolong kamu ambil foto dan video peristiwa ini.""Ja-jangan la-lakukan itu. A-aku ngaku salah. Tapi ini murni bukan keinginanku. A-aku hanya iseng."Tanpa aba-aba, Sinta menarik paksa tas yang ada di tubuhnya. Tak permisi, tangan itu membuka resleting dan menemukan sesuatu yang membuat Hana menggelengkan kepala. Kini, dia bisa bernapas lega dan berharap malam ini bisa tidur dengan nyenyak."Apa-apaan iki?""Aya aya wae.""Wah, dasar orang toksin banget.""Bawa ke polisi aja karena mencemarkan nama baik toko ini.""Iya, kita sudah langganan di sini, belum pernah kecewa dengan kualitas dan rasanya.""Bawa aja, Pak. Bu Hana, jangan biarkan orang ini berkeliaran, nanti makin menjadi-jadi."Timpalan demi timpalan pun saling bersahutan. Luna merekam semua kejadian termasuk bebera
"Baru ditinggal tiga minggu, wajah kamu pucat dan tubuhmu sedikit kurus, ya? Apa kamu tidak makan, Nak?"Ibu baru diantar Pak Dadang ke toko kue. Perjalanan jauh dari Bandung ke Jakarta membutuhkan empat jam, membuat tubuh ibu sedikit lelah. Meski begitu, beliau tetap dapat mengamati perubahan si anak."Aku nggak apa-apa, Bu. Apa Ibu sudah makan? Kalau belum, aku pesan makanan online, ya. Tadi pagi aku hanya sempat masak untuk pagi dan siang. Sore ini aku be....""Nggak usah. Ibu belum lapar. Nanti malam saja baru pesan."Jam sudah menunjukkan angka lima saat ibu sampai ke toko. Ada banyak oleh-oleh dari kota Bandung dan sebagian dibagikan kepada karyawan toko. Selama Hana menikah, Ibu menolak untuk tinggal satu rumah dengan besan dan menantunya. Beliau memilih tinggal di lantai dua ruko tersebut. Alasannya simpel, yaitu bisa mengerjakan pekerjaan dapur di pagi hari sebelum toko dibuka. Apalagi jika ada PO kue yang membludak, ibu tidak p
"Siang tadi Kai dijemput Tante Nadhira dan dia kasih ini."Ucapan Kai berhasil mengerutkan dahi Hana. Lantaran penasaran, si mama pun mulai mengintrogasinya. Dia tak terima karena orang yang menjemput putranya adalah wanita itu."Kok bisa Tante itu yang jemput? Papa bilang supir oma yang akan jemput Kai di sekolah. Lagi pula kamu tidak boleh sembarangan ikut orang lain yang tidak kamu kenal baik."Bocah ganteng itu menaikkan kedua bahunya dan menjawab dengan polos. Kedua tangan Kai memegang sebuah kotak berbentuk kubus bergambar Lego model mobil."Tadi tante itu telepon Papa saat Kai tolak. Bahkan Bu Yuli juga sempat bicara dengan Papa pakai hape tante itu. Papa bilang Kai ikut Tante Nadhira ke mobil dan akan diantar pulang. Ternyata ya, Ma, anaknya yang bernama Sammy itu juga sekolah di sana."Penuturan panjang lebar Kai mendapatkan helaan panjang Hana. Mahendra tidak mengabari hal itu kepadanya. Dia menggeleng tak percaya dengan perubah
Shit, Hana tak butuh harta kekayaan yang terlalu berlimpah. Meski dia paham pepatah 'uang memang memegang peranan penting dalam hidup.' Namun, bukan begini jalannya. Hana bisa hidup sederhana dan berhemat. Kehidupan Mahendra bisa dikatakan lebih dari cukup. Jadi, tak perlu mati-matian mencari lebih dari itu. Tidak semua kebahagiaan dibayar dengan uang. Mempunyai uang banyak, tetapi belum tentu bahagia. Hana hanya butuh perhatian dan cinta tulus."Sedang apa kamu sendirian di sini?"Suara itu menghancurkan lamunan Hana. Spontan kepala itu bergerak mencari pemilik suara tersebut.Radit.Pria itu melangkah masuk ke dalam dapur ketika Hana menoleh ke arahnya. Dengan senyuman terbaik, Radit menarik salah satu kursi dan duduk. "Aku sedang menunggu Mas Hendra."Tak ingin berlama-lama menatap wajah Radit, Hana menyimpan kembali kotak jus ke dalam kulkas. Dia pun tak ingin berada di satu ruang yang sama dengannya karena merasa
Entah kapan Mahendra pulang dan menginjakkan kaki di rumah. Saat itu, dia mendengar suara berisik dari arah dapur kala kakinya hendak menaiki anak tangga. Lantaran penasaran, dia mengurungkan niat ke tujuan semula lalu menyeret langkah ke dapur dan mendengar sebagian kalimat hinaan Radit yang ditujukan pada istrinya.Bungkam, jantung Radit bergetar hebat. Ketakutan mulai menjajaki pikirannya. Kentara sekali, wajah itu berubah menjadi pucat dan arah matanya lebih sering dijatuhkan ke lantai. Tubuh 170 cm tersebut pun mundur dan sedikit bersembunyi di belakang istrinya. "Bang, aku hanya tak habis pikir dengan kamu. Begitu banyak wanita yang menunggu dan menawarkan diri untuk dijadikan istri. Bahkan aku dengar wanita itu cantik, pendidikan tinggi dan karir yang baik. Kenapa Abang malah memilih wanita ini? Lihat aja tingkahnya, wajahnya. Tidak ada bagus-bagusnya sedikit pun.""Stop, Risa! Kamu juga tak berhak mengatakan itu di depan Hana. Kamu tahu, dia adala
"Orang lain?"Bibir itu mengulang dua kata seraya mengurai pelukan. Kepalanya menunduk untuk mengamati rona paras wanita hamil yang masih dicintainya."Maksud kamu siapa orang lain?"Mahendra bertanya lagi setelah sekian detik belum mendapatkan respons apa pun dari Hana yang masih tidak berniat menatapnya. Wanita itu lelah dengan sikap Mahendra yang seolah-olah tidak mengerti maksudnya. Entahlah, sejak kehamilan kedua, perasaan Hana benar-benar sensitif. Hatinya mudah tersentil apalagi semua yang ada tentang Mahendra. Dia merasa pria itu berubah atau semuanya hanya karena perasaan ibu hamil yang sedang rawan."Mas tahu, kan, sekarang lagi maraknya penculikan anak. Mereka pura-pura baik, menyodorkan diri menjemput anak kita. Lalu, dia bersama komplotannya membunuh dan mutilasi, mengambil organ dalam lalu menjualnya. Lagi viral di kalangan sekolah dan media sosial. Aku hanya wanti-wanti aja."Tiba-tiba emosi Hana meledak. Dia yang
"Kamu salah paham, Sayang. Tadi kami memang bertemu tapi itu hanya sebentar. Dia lupa tanda tangan kontrak perjanjian kerja sama dan dia mendatangi kantor. Lalu, dia tak sengaja mendengar pembicaraan aku dan Mommy kalau supir Mommy tadi lagi nggak masuk gara-gara anaknya sakit. Akhirnya dia menawarkan diri untuk menjemput Kai dari sekolah karena dia juga mau jemput anaknya di sekolah yang sama."Masih belum bisa terima penjelasan, Hana berdiri dan hendak berjalan menuju pintu. Buru-buru Mahendra berlari dan berhasil mencegah dan mencengkal tangannya."Kamu mau ke mana, Sayang?"Dari raut wajah Hana, pria itu tahu Hana ingin sekali menumpahkan air mata yang sudah tergenang di pelupuk matanya. Jika itu terjadi, pria itu siap menampung kesedihannya. Sayangnya, dia masih belum tahu apa akar dari kepedihan wanita itu. Jika hanya gara-gara Nadhira menjemput Kai tadi siang, sepertinya Hana salah menempati rasa sedihnya. Sedih yang tak beralasan."Aku mau
"Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Mahendra berucap setelah cangkir putih sedikit menjauhi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia meneguk lagi hingga minuman itu kandas."Kamu bisa andalkan aku tanpa menyewa mereka. Aku selalu siap ada untuk mereka. Kamu tak lupa, kan, tujuh tahun aku pernah menjadi —""Ya, ya. Jangan kamu lanjutkan, aku tak suka. Tapi saranku jangan menyalahgunakan niat baikmu yang dulu-dulu. Mereka ada aku sekarang. Aku tidak akan segan bertarung kepadamu jika —""Jika kamu tak ingin aku merebut Hana, maka perjuangkanlah. Jika sedikit saja kamu lengah, siapkan diri untuk merasakan kehilangannya."Entah bagaimana mereka ini. Padahal, Arsenio sudah sepakat untuk mengundurkan diri dan berhenti berjuang mengambil hati Hana. Namun, di sesi lain, dia akan kembali merebut jika Mahendra lengah dan gagal membuat Hana bahagia.Hal itu membuat Mahendra harus tetap waspada. Meski iya, sekarang seutuhnya raga Hana telah digenggam, tetapi tidak menutup kemungkinan wan
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."