"Siang tadi Kai dijemput Tante Nadhira dan dia kasih ini."
Ucapan Kai berhasil mengerutkan dahi Hana. Lantaran penasaran, si mama pun mulai mengintrogasinya. Dia tak terima karena orang yang menjemput putranya adalah wanita itu."Kok bisa Tante itu yang jemput? Papa bilang supir oma yang akan jemput Kai di sekolah. Lagi pula kamu tidak boleh sembarangan ikut orang lain yang tidak kamu kenal baik."Bocah ganteng itu menaikkan kedua bahunya dan menjawab dengan polos. Kedua tangan Kai memegang sebuah kotak berbentuk kubus bergambar Lego model mobil."Tadi tante itu telepon Papa saat Kai tolak. Bahkan Bu Yuli juga sempat bicara dengan Papa pakai hape tante itu. Papa bilang Kai ikut Tante Nadhira ke mobil dan akan diantar pulang. Ternyata ya, Ma, anaknya yang bernama Sammy itu juga sekolah di sana."Penuturan panjang lebar Kai mendapatkan helaan panjang Hana. Mahendra tidak mengabari hal itu kepadanya. Dia menggeleng tak percaya dengan perubahShit, Hana tak butuh harta kekayaan yang terlalu berlimpah. Meski dia paham pepatah 'uang memang memegang peranan penting dalam hidup.' Namun, bukan begini jalannya. Hana bisa hidup sederhana dan berhemat. Kehidupan Mahendra bisa dikatakan lebih dari cukup. Jadi, tak perlu mati-matian mencari lebih dari itu. Tidak semua kebahagiaan dibayar dengan uang. Mempunyai uang banyak, tetapi belum tentu bahagia. Hana hanya butuh perhatian dan cinta tulus."Sedang apa kamu sendirian di sini?"Suara itu menghancurkan lamunan Hana. Spontan kepala itu bergerak mencari pemilik suara tersebut.Radit.Pria itu melangkah masuk ke dalam dapur ketika Hana menoleh ke arahnya. Dengan senyuman terbaik, Radit menarik salah satu kursi dan duduk. "Aku sedang menunggu Mas Hendra."Tak ingin berlama-lama menatap wajah Radit, Hana menyimpan kembali kotak jus ke dalam kulkas. Dia pun tak ingin berada di satu ruang yang sama dengannya karena merasa
Entah kapan Mahendra pulang dan menginjakkan kaki di rumah. Saat itu, dia mendengar suara berisik dari arah dapur kala kakinya hendak menaiki anak tangga. Lantaran penasaran, dia mengurungkan niat ke tujuan semula lalu menyeret langkah ke dapur dan mendengar sebagian kalimat hinaan Radit yang ditujukan pada istrinya.Bungkam, jantung Radit bergetar hebat. Ketakutan mulai menjajaki pikirannya. Kentara sekali, wajah itu berubah menjadi pucat dan arah matanya lebih sering dijatuhkan ke lantai. Tubuh 170 cm tersebut pun mundur dan sedikit bersembunyi di belakang istrinya. "Bang, aku hanya tak habis pikir dengan kamu. Begitu banyak wanita yang menunggu dan menawarkan diri untuk dijadikan istri. Bahkan aku dengar wanita itu cantik, pendidikan tinggi dan karir yang baik. Kenapa Abang malah memilih wanita ini? Lihat aja tingkahnya, wajahnya. Tidak ada bagus-bagusnya sedikit pun.""Stop, Risa! Kamu juga tak berhak mengatakan itu di depan Hana. Kamu tahu, dia adala
"Orang lain?"Bibir itu mengulang dua kata seraya mengurai pelukan. Kepalanya menunduk untuk mengamati rona paras wanita hamil yang masih dicintainya."Maksud kamu siapa orang lain?"Mahendra bertanya lagi setelah sekian detik belum mendapatkan respons apa pun dari Hana yang masih tidak berniat menatapnya. Wanita itu lelah dengan sikap Mahendra yang seolah-olah tidak mengerti maksudnya. Entahlah, sejak kehamilan kedua, perasaan Hana benar-benar sensitif. Hatinya mudah tersentil apalagi semua yang ada tentang Mahendra. Dia merasa pria itu berubah atau semuanya hanya karena perasaan ibu hamil yang sedang rawan."Mas tahu, kan, sekarang lagi maraknya penculikan anak. Mereka pura-pura baik, menyodorkan diri menjemput anak kita. Lalu, dia bersama komplotannya membunuh dan mutilasi, mengambil organ dalam lalu menjualnya. Lagi viral di kalangan sekolah dan media sosial. Aku hanya wanti-wanti aja."Tiba-tiba emosi Hana meledak. Dia yang
"Kamu salah paham, Sayang. Tadi kami memang bertemu tapi itu hanya sebentar. Dia lupa tanda tangan kontrak perjanjian kerja sama dan dia mendatangi kantor. Lalu, dia tak sengaja mendengar pembicaraan aku dan Mommy kalau supir Mommy tadi lagi nggak masuk gara-gara anaknya sakit. Akhirnya dia menawarkan diri untuk menjemput Kai dari sekolah karena dia juga mau jemput anaknya di sekolah yang sama."Masih belum bisa terima penjelasan, Hana berdiri dan hendak berjalan menuju pintu. Buru-buru Mahendra berlari dan berhasil mencegah dan mencengkal tangannya."Kamu mau ke mana, Sayang?"Dari raut wajah Hana, pria itu tahu Hana ingin sekali menumpahkan air mata yang sudah tergenang di pelupuk matanya. Jika itu terjadi, pria itu siap menampung kesedihannya. Sayangnya, dia masih belum tahu apa akar dari kepedihan wanita itu. Jika hanya gara-gara Nadhira menjemput Kai tadi siang, sepertinya Hana salah menempati rasa sedihnya. Sedih yang tak beralasan."Aku mau
"Kamu bisa tidur di sini tanpa harus pindah ke kamar Kai.""Aku ...."Hampir habis stok kesabaran, Mahendra menarik tubuh berbadan dua itu dan memeluknya lagi. Dia tak suka dengan sikap Hana yang pergi jika ada masalah terjadi. Akhirnya Hana pasrah lantaran tenaga Mahendra berkali lipat dibanding dirinya. Di saat itu pula, dia merasakan tendangan hebat yang berulang kali di perutnya. Entah apa yang isyarat yang akan diberikan bayi itu kepadanya. Apakah dia sedang menyuruh mamanya patuh kepada sang papa? Atau bisa jadi, dia sedang mentransfer semangat untuk mamanya.Saat menempelkan dada Mahendra dan mendengarkan dentuman aneh, Hana menumpahkan air kesedihan yang sudah dipendam beberapa minggu yang lalu. Penuh dan terasa sesak di dada. Dulu, berada dalam dekapan sang suami adalah tempat ternyaman bagi Hana. Menyandarkan kepala ke dada bidang suaminya dan mendapatkan hujanan kecupan di hampir seluruh wajah, terutama di bibir adalah kebiasaan favori
"Selamat ulang tahun, Jagoan."Sebuah kecupan di kening diberikan sang papa kepada Kai. Seminggu pasca malam itu, Mahendra lebih sering meluangkan waktu malam bersama keluarga kecil. Mungkin dengan cara itu, dia menunjukkan ketulusan untuk mengambil maaf dari istrinya.Selama seminggu, Hana memilih untuk lebih banyak diam. Hati yang pernah kecewa belum sepenuhnya sembuh. Dia butuh waktu dan menimbang kesungguhan diri si suami. "Apa kamu suka?"Sebuah Mini Segway 10 inch yang diinginkan Kai, diperlihatkan Mahendra."Ini buat Kai?"Bocah berkemeja merah dengan celana katun membelalakkan mata tak percaya. Kendaraan roda dua listrik yang diidamkan dua bulan yang lalu, sekarang ada di depan mata. Tangan itu ragu mengambil dan kepala terangkat melihat si mama yang juga berdiri dekat dengannya.Hanya senyuman lebar diberikan Mahendra untuk menjawab sedangkan Hana mengangguk, lalu menatap jauh ke halaman. Lahan yang muat 30 mob
"Kenapa Mas Hendra harus mengundangnya datang ke sini?" Hana membatin seraya menahan gejolak yang mulai bergemuruh. "Untuk apa juga dia datang ke dapur dan menemuiku? Apa maunya?"Lagi, Hana terus menerka dalam hati. Dia bukan takut kepadanya, hanya tak ingin sering bertatap muka, yang ujungnya akan menelan kekesalan sendiri di dada."Selamat siang, Hana."Sapaan itu terdengar bersamaan dengan langkah kaki Nadhira mendekati. Tidak ada respons ekstrem, Hana hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Lalu, dia menyibukkan diri, melanjutkan kegiatannya yang tertunda tadi. Tak menghiraukan apa yang akan dia lakukan, Hana memutuskan kontak."Nad, kau di sini ternyata."Suara lain tertangkap lagi di telinga Hana. Perhatian dan pandangannya pun teralih ke arah pusat suara. Begitu pula, Nadhira yang menghentikan langkah, pun menoleh dan menemukan wanita berambut pendek yang cantik dengan dress biru muda membalut tubuh 160 cm itu
"Kau?"Mata melotot lantaran tersulut geram, Nadhira menaikkan tangan kanan hendak dilayangkan ke wajah Hana."Nadhira! Jangan!" perintah Clarisa.Tangan yang masih melayang itu pun dikepalkan. Guratan biru tampak di leher dengan rahang yang mengerat. Napasnya pendek dan berulang, menahan kemelut yang sudah sampai di ubun-ubun. Sebentar lagi, mungkin akan meletup keluar."Jangan mengotori tanganmu dengan melakukan hal yang tak terkendali."Clarisa berjalan cepat dan berdiri di antara Hana dan Nadhira. Hitungan detik kemudian, tangan mulus itu turun dengan mulut yang mengerucut. Dia hampir saja melakukan tindakan yang akan menjatuhkan nilai kepercayaan Mahendra sebagai klien.Melihat hal itu, Hana merasa jalur napasnya sempat tersendat. Dia tak tahu apa yang terjadi kalau Nadhira benar main tangan dan melukainya. Gerakan bayi dalam perutnya kembali dirasakan. Makhluk kecil itu peka dengan apa yang dirasakan si ibu. Merasa harus me