"Kenapa Mas Hendra harus mengundangnya datang ke sini?"
Hana membatin seraya menahan gejolak yang mulai bergemuruh."Untuk apa juga dia datang ke dapur dan menemuiku? Apa maunya?"Lagi, Hana terus menerka dalam hati. Dia bukan takut kepadanya, hanya tak ingin sering bertatap muka, yang ujungnya akan menelan kekesalan sendiri di dada."Selamat siang, Hana."Sapaan itu terdengar bersamaan dengan langkah kaki Nadhira mendekati. Tidak ada respons ekstrem, Hana hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Lalu, dia menyibukkan diri, melanjutkan kegiatannya yang tertunda tadi. Tak menghiraukan apa yang akan dia lakukan, Hana memutuskan kontak."Nad, kau di sini ternyata."Suara lain tertangkap lagi di telinga Hana. Perhatian dan pandangannya pun teralih ke arah pusat suara. Begitu pula, Nadhira yang menghentikan langkah, pun menoleh dan menemukan wanita berambut pendek yang cantik dengan dress biru muda membalut tubuh 160 cm itu"Kau?"Mata melotot lantaran tersulut geram, Nadhira menaikkan tangan kanan hendak dilayangkan ke wajah Hana."Nadhira! Jangan!" perintah Clarisa.Tangan yang masih melayang itu pun dikepalkan. Guratan biru tampak di leher dengan rahang yang mengerat. Napasnya pendek dan berulang, menahan kemelut yang sudah sampai di ubun-ubun. Sebentar lagi, mungkin akan meletup keluar."Jangan mengotori tanganmu dengan melakukan hal yang tak terkendali."Clarisa berjalan cepat dan berdiri di antara Hana dan Nadhira. Hitungan detik kemudian, tangan mulus itu turun dengan mulut yang mengerucut. Dia hampir saja melakukan tindakan yang akan menjatuhkan nilai kepercayaan Mahendra sebagai klien.Melihat hal itu, Hana merasa jalur napasnya sempat tersendat. Dia tak tahu apa yang terjadi kalau Nadhira benar main tangan dan melukainya. Gerakan bayi dalam perutnya kembali dirasakan. Makhluk kecil itu peka dengan apa yang dirasakan si ibu. Merasa harus me
"Mas, aku ini istrimu. Kenapa kesannya kamu membela dia dan menyalahkan aku?"Hana tercengang dan bertanya-tanya jalan pikiran sang suami. Mahendra bersikap dingin sejak kejadian tadi. Tak ingin mendengarkan penjelasan, dia malah membantu Nadhira berdiri dan meminta Pak Dadang mengantarnya pulang."Aku netral. Tidak berpihak siapapun. Dari CCTV ketahuan apa yang kalian lakukan. Semuanya.""Dia Jambak aku duluan, Mas."Hari sudah sore acara telah usai dan para tamu sudah pulang. Di kamar, Hana membela diri dan berharap Mahendra mau membuka lebar matanya. Tak sepantasnya tadi si suami tidak menjaga muka Hana di depan Clarisa dan Nadhira. Seolah-olah pria itu lebih memihak wanita lain ketimbang istrinya sendiri. Apalagi tadi, Hana sempat kepergok Nadhira memberi seringai licik penuh kemenangan."Iya, aku sudah lihat. Tapi tidak seharusnya kamu balas dengan kekerasan juga, kan, Hana?"Nama itu dipanggil dengan nada penekanan. Mahendr
"Nadhira itu temanku dan aku iba dengan kehidupannya yang penuh dengan trauma. Tidak ada perasaan apa pun selain itu, Hana. Percayalah."Mana mungkin Hana akan percaya begitu saja setelah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana raut khawatir yang terpampang di wajah tampan suaminya. Malahan di sana, Hana merasa terabaikan."Ada apa, Han? Kamu cerita dong."Lagi, bayang-bayang peristiwa kemarin ditarik paksa ke masa sekarang setelah suara Laina terdengar. Hana berusaha menampilkan senyuman tipis, pun belum sanggup menceritakan apa yang terjadi. Dia merasa malu kepada dua sahabatnya jika tahu bagaimana sikap plin-plan Mahendra sebagai suami. Pria pengecut di masa lalu kini malah menjelma menjadi pria lembek dan berpihak pada wanita lain."Berulang kali aku bilang sama kamu, Han. Jangan menyimpan apa pun sendirian, kami selalu ada buat kamu. Kamu bisa cerita apa saja kepada kami." Laina melanjutkan."Enggak, aku hanya butuh me time dan
"Pantas saja kamu betah tinggal di sana dan masih keukeh tidur bersama istrimu itu. Padahal yang kulihat, dia nggak ada apa-apanya. Cantik, pasti aku lebih cantik. Seksi, jelas aku lebih seksi. Bahkan aku pintar membuatmu ketagihan dan minta berulang padaku.""Hei, bukankah memang aku selalu akan kembali kepadamu?" jawab si pria dengan nada menggoda."Iya, hanya saat istrimu pergi lalu kamu baru akan mencariku. Nginap dan bermain denganku. Kamu tahu, aku benci sikapmu itu. Aku selalu dijadikan nomor dua olehmu.""Jangan bilang gitu dong, Honey. Semuanya kulakukan demi hartanya. Aku belum tahu nomor sandi mbanking dan e-banking miliknya. Aku baru berhasil menguasai uang perusahaan. Kamu tahu, masih banyak harta yang dia miliki. Nanti jika semuanya sudah ada di tanganku, aku akan segera menceraikannya dan hidup bersamamu. Percaya padaku. Beri aku sedikit waktu lagi."Kecupan penuh hasrat pun diberikan kepada si perempuan yang selalu meminta dijadika
Sejoli insan yang dia kenal, baru masuk ke tempat penginapan bintang empat tersebut. Lantaran penasaran, Hana berniat menyamperi mereka. Kaki itu dibawa menyebrangi jalan yang lengang. Mata terus memindai dan berdoa dalam hati, semoga tak kehilangan jejak mereka.Berjalan dengan cepat membuat perutnya terasa nyeri. Hana lupa kalau dia sedang membawa bayi yang masih berumur 19 minggu dalam perutnya. Menggebunya niat untuk menyelidiki, ada hubungan apa di antara mereka. Mengapa mereka terlihat sangat akrab dan intim? Saling melingkari pinggang dan satunya merangkul bahu. Lalu, untuk apa mereka masuk ke hotel di siang bolong?Terlalu fokus dengan pergerakan mereka, Hana lengah. Dia tak menoleh ke kiri saat melangkah cepat. Tiba-tiba suara klakson terdengar memekakkan telinga. Spontan juga Hana berhenti dengan debaran jantung yang berpacu kencang."Woi, kalau nyebrang, hati-hati. Pake mata!"Makian pengendara motor yang sempat mengerem kala Hana hampi
Pertanyaan sang dokter membuat Hana menunduk. Saran dari dokter itu telah diabaikan. Dulu, iya dia rutin melakukan latihan olah pikiran yang akan membuat hatinya tenang dan nyaman.Dari cara Hana menanggapi, Arsenio tak perlu jawaban dari bibirnya. Dia sudah tahu dan dapat membaca artinya.Wajah Hana terlihat kacau tetapi Arsenio yakin hatinya jauh lebih kacau. Namun apa masalah, si dokter belum bisa bertanya. Sepertinya, dia butuh seseorang untuk menyelidikinya. Hati itu tak tenang melihat kondisi Hana sekarang."Mari aku antar, kamu mau ke mana? Toko atau pulang ke rumah? Hmm, atau jemput Kai?"Pria berkacamata itu mengangkat tangan dan melihat jam di pergelangan tangan."Oh, tidak usah, Kak. Tadi aku sudah pesan taksi online."Astaga, Hana baru ingat dengan pesanannya. Dia merogoh tas dan mengambil ponsel kemudian mengecek aplikasi hijau tersebut. Seketika cahaya di wajahnya meredup kala melihat puluhan panggilan dan pesan yan
"Pesawat boarding jam tiga sore hari ini. I miss you."Pesan masuk Mahendra di ponsel Hana, tak sanggup membuatnya tersenyum. Dua hari kepergian sang suami ke Surabaya, yang konon katanya urusan pekerjaan. Apakah Nadhira ikut serta? Ah, mungkin tidak. Soalnya Hana pernah melihat keberadaan wanita itu di salah satu hotel bintang empat bersama Radit. Namun, apakah itu benar-benar mereka? Atau hanya halusinasinya saja?Wanita hamil itu mengelus lembut perutnya lagi. Semakin hari, intensitas pergerakan bayi lebih sering. Terkadang Hana merasa perutnya kram tetapi menganggapnya bukan hal serius sehingga dia tak memeriksakannya ke dokter.Ada sesuatu yang mengganjal hati, tetapi dia tak paham apa itu. Semestinya Hana senang mendapat kabar kepulangan sang suami. Seharusnya dia rindu dan ingin cepat-cepar bersembunyi dalam dekapan suaminya. Tidak, kali ini dia tidak merasakan hal itu. "Han, apelnya dimakan dulu. Dari pagi kamu belum makan apa-a
Ibu mengusap punggung tangannya dengan mimik heran. Insting seorang ibu tak pernah salah. Dia yakin Hana tengah menyimpan lukanya sendiri, bisa dibaca dari sorot matanya yang sendu."Nggak. Aku nggak apa-apa. Hanya butuh istirahat sebentar."Wanita itu berdiri dan berjalan menuju sofa. Tempat biasa dia merebahkan tubuh kala siang. Kepalanya pusing ketika peristiwa demi peristiwa menjajahi benaknya. Mungkin, dia harus rutin meditasi lagi, sesuai pesan Arsenio. Setelah melihat putrinya rileks, Ibu mengangkat suaranya sambil mengelus pelipis sampai ke kepala Hana."Saran Ibu, coba kurangi intensitas pertemuan dengan Nak Arsen. Sekarang kamu sudah jadi istri orang lain. Harus jaga perasaan suami kamu juga."Ucapan itu berhasil membuat Hana bangkit dari tidur dan duduk bersandar. Dahinya terlipat dan tak setuju dengan pernyataan ibu."Tapi Kak Arsen sudah aku anggap saudara, kakak sendiri. Ibu, kan, tahu sendiri bagaimana jasa Kak Ar