Sejoli insan yang dia kenal, baru masuk ke tempat penginapan bintang empat tersebut. Lantaran penasaran, Hana berniat menyamperi mereka. Kaki itu dibawa menyebrangi jalan yang lengang. Mata terus memindai dan berdoa dalam hati, semoga tak kehilangan jejak mereka.
Berjalan dengan cepat membuat perutnya terasa nyeri. Hana lupa kalau dia sedang membawa bayi yang masih berumur 19 minggu dalam perutnya. Menggebunya niat untuk menyelidiki, ada hubungan apa di antara mereka. Mengapa mereka terlihat sangat akrab dan intim? Saling melingkari pinggang dan satunya merangkul bahu. Lalu, untuk apa mereka masuk ke hotel di siang bolong?Terlalu fokus dengan pergerakan mereka, Hana lengah. Dia tak menoleh ke kiri saat melangkah cepat. Tiba-tiba suara klakson terdengar memekakkan telinga. Spontan juga Hana berhenti dengan debaran jantung yang berpacu kencang."Woi, kalau nyebrang, hati-hati. Pake mata!"Makian pengendara motor yang sempat mengerem kala Hana hampiPertanyaan sang dokter membuat Hana menunduk. Saran dari dokter itu telah diabaikan. Dulu, iya dia rutin melakukan latihan olah pikiran yang akan membuat hatinya tenang dan nyaman.Dari cara Hana menanggapi, Arsenio tak perlu jawaban dari bibirnya. Dia sudah tahu dan dapat membaca artinya.Wajah Hana terlihat kacau tetapi Arsenio yakin hatinya jauh lebih kacau. Namun apa masalah, si dokter belum bisa bertanya. Sepertinya, dia butuh seseorang untuk menyelidikinya. Hati itu tak tenang melihat kondisi Hana sekarang."Mari aku antar, kamu mau ke mana? Toko atau pulang ke rumah? Hmm, atau jemput Kai?"Pria berkacamata itu mengangkat tangan dan melihat jam di pergelangan tangan."Oh, tidak usah, Kak. Tadi aku sudah pesan taksi online."Astaga, Hana baru ingat dengan pesanannya. Dia merogoh tas dan mengambil ponsel kemudian mengecek aplikasi hijau tersebut. Seketika cahaya di wajahnya meredup kala melihat puluhan panggilan dan pesan yan
"Pesawat boarding jam tiga sore hari ini. I miss you."Pesan masuk Mahendra di ponsel Hana, tak sanggup membuatnya tersenyum. Dua hari kepergian sang suami ke Surabaya, yang konon katanya urusan pekerjaan. Apakah Nadhira ikut serta? Ah, mungkin tidak. Soalnya Hana pernah melihat keberadaan wanita itu di salah satu hotel bintang empat bersama Radit. Namun, apakah itu benar-benar mereka? Atau hanya halusinasinya saja?Wanita hamil itu mengelus lembut perutnya lagi. Semakin hari, intensitas pergerakan bayi lebih sering. Terkadang Hana merasa perutnya kram tetapi menganggapnya bukan hal serius sehingga dia tak memeriksakannya ke dokter.Ada sesuatu yang mengganjal hati, tetapi dia tak paham apa itu. Semestinya Hana senang mendapat kabar kepulangan sang suami. Seharusnya dia rindu dan ingin cepat-cepar bersembunyi dalam dekapan suaminya. Tidak, kali ini dia tidak merasakan hal itu. "Han, apelnya dimakan dulu. Dari pagi kamu belum makan apa-a
Ibu mengusap punggung tangannya dengan mimik heran. Insting seorang ibu tak pernah salah. Dia yakin Hana tengah menyimpan lukanya sendiri, bisa dibaca dari sorot matanya yang sendu."Nggak. Aku nggak apa-apa. Hanya butuh istirahat sebentar."Wanita itu berdiri dan berjalan menuju sofa. Tempat biasa dia merebahkan tubuh kala siang. Kepalanya pusing ketika peristiwa demi peristiwa menjajahi benaknya. Mungkin, dia harus rutin meditasi lagi, sesuai pesan Arsenio. Setelah melihat putrinya rileks, Ibu mengangkat suaranya sambil mengelus pelipis sampai ke kepala Hana."Saran Ibu, coba kurangi intensitas pertemuan dengan Nak Arsen. Sekarang kamu sudah jadi istri orang lain. Harus jaga perasaan suami kamu juga."Ucapan itu berhasil membuat Hana bangkit dari tidur dan duduk bersandar. Dahinya terlipat dan tak setuju dengan pernyataan ibu."Tapi Kak Arsen sudah aku anggap saudara, kakak sendiri. Ibu, kan, tahu sendiri bagaimana jasa Kak Ar
"Pak Dadang nggak jemput Mas Hendra?"Hana dijemput Pak Dadang dari toko, selesai suara azan magrib berkumandang. Dia kira si supir akan menjemput Mahendra dari bandara dan mereka akan berada satu mobil, tetapi nyatanya tidak. "Bapak bilang akan dijemput Pak Aldo. Jadi, tugas saya hanya mengantar Ibu pulang."Hana mengangguk setelah mendengar penjelasan si supir. Lalu, dia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi suaminya. Harusnya jam empat lewat tiga puluh dia sudah sampai jika pesawatnya tidak delay. Sementara ini sudah lebih dari jam enam."Sudah sampai di mana, Mas? Langsung pulang atau singgah dulu?"Pesan itu hanya centang dua abu-abu. Singgah? Hana pun tak tahu kenapa dia bertanya hal itu. Memangnya Mahendra akan singgah ke mana lagi? Entah, yang jelas, hatinya dijajahi rasa kekhawatiran. Namun heran, dia tak tahu apa maksud kegelisahannya. Apa hormon ibu hamil yang akan menjadi alasan rasa itu?Lantaran tak ada balasan
"Mas Hendra sudah sampai tadi bareng aku. Tapi dia pergi lagi setelah menerima telepon dari siapa, aku tak tahu. Buru-buru."Clarisa menjawab setelah dirinya merasa sedikit rileks. Hana tak sempat bertanya mengapa dia meminta maaf. Otaknya disibukkan dengan bayangan wajah Mahendra. Dia belum bisa menerima kenyataan jika sesuatu yang buruk menimpa suaminya."Perginya dengan siapa, kamu tahu?"Dengan debaran yang tak berirama, Hana bertanya lagi. Namun, sebuah gelengan melemaskan otot lututnya. Hampir saja, Hana terhuyung kalau Clarisa tak cepat memegang lengannya.Wanita itu mengedar pandangan ke seisi rumah dan tak menemukan kedua mertuanya. Clarisa bilang mereka sedang pergi ke acara teman mereka. Lalu, Hana membawa langkah ke arah teras dan mencari mobil Mahendra. Tidak ada, berarti pria itu membawa mobil sendiri. Ke mana, tapi?Ketika dia kembali masuk, Clarisa yang dari tadi mengikutinya pun ikut masuk. Hana mengambil ponsel dan menco
"Tenang, Hana. Kamu yang tenang. Ingat kamu nggak boleh terlalu stress, akan mempengaruhi perkembangan janin yang ada di perut. Oke, aku antar kamu ke sana. Sekarang. Kamu yang rileks dulu. Nih, minum dulu."Pria itu memberi botol minuman mineral sebelum menginjak pegal gas dan melajukan kendaraannya. Dalam perjalanan, Arsen tidak bertanya apa pun. Dia ingin Hana menikmati musik instrumen yang sengaja diputar untuk menenangkannya. Sesekali dia menoleh untuk memastikan kondisinya.Di dalam keheningan, Hana mulai berpikir logis. Air minum yang mengaliri tenggorokan, melegakan dahaga. Rasa panik dan gugup mulai terurai. Jantungnya pun mulai berirama. Sesekali calon bayi di perut memberi stimulasi pelan. Tampaknya dia mengikuti suasana hati si ibu."Kenapa si dokter selalu ada saat dibutuhkan? Apa dia kebetulan melewati perumahan kami atau bagaimana?"Hana curiga dengan sikap tenang Arsen, pun menoleh. Wanita cantik itu harus bertanya untuk membunuh r
"Silakan masuk, Hana."Aldo membuka pintu lebar-lebar agar istri dari sahabatnya bisa masuk dengan leluasa. Meski ragu, kaki Hana tetap melangkah maju. Ada apa ini? Mengapa yang ada di kamar ini adalah Aldo, bukan suaminya? Ke mana pria itu?Hana menyapu pandangan ke segala arah ruang setelah menjejaki enam langkah. Seorang perempuan yang diduga Nadhira sedang tertidur di ranjang. Hana yakin itu adalah dia sebab pakaiannya sama persis dengan yang ada di foto. Di sudut ruang dekat jendela ditemukan Radit dengan wajah memar di beberapa titik, duduk dan diikat tangannya ke belakang. Ada dua pria berjas hitam seperti bodyguard khas film mafia. Sepertinya mereka berdua bertugas untuk mengawasi Radit agar tidak memberontak atau melakukan perlawanan. Satu orang lagi yang membuat Hana menelan ludahnya dengan susah payah.Dinar? Gadis itu duduk di sofa, dijaga oleh satu pria berjas hitam lainnya. Kenapa dia juga ada di sini juga? Ada hubungan apa dia dengan Nadhira
Otaknya buntu, tak bisa berpikir waras. Mendadak sekujur tubuhnya lemas, otot dan tulangnya ngilu. Dada bergetar hebat hingga terasa sakit. Pandangannya pun kabur seketika dan dunianya menjadi gelap."Sayang!""Hana!"***Sudah dua hari, Hana menginap di rumah sakit. Kondisi fisiknya sudah stabil dengan jarum infus tertancap di punggung tangan kiri. Selama dua hari itu, Hana tidak boleh dikunjungi siapapun kecuali suaminya sendiri. "Usahakan tidak menambah beban pikiran Ibu Hana beberapa hari sampai kondisinya stabil. Stres pada ibu hamil bisa memengaruhi kesehatan ibu dan janin di dalam kandungan."Saran dari dokter spesialis kandungan dipatuhi Mahendra. Sudah dua hari pula, dia cuti dari kantor demi mengikuti perkembangan kesehatan si istri. Dia belum keluar sedetik pun dari kamar. Saat Hana tertidur, dia menyempatkan diri untuk mandi dan menghubungi Aldo. Semua urusan kantor diserahkan kepadanya. Sang General manager itu bena