"Pantas saja kamu betah tinggal di sana dan masih keukeh tidur bersama istrimu itu. Padahal yang kulihat, dia nggak ada apa-apanya. Cantik, pasti aku lebih cantik. Seksi, jelas aku lebih seksi. Bahkan aku pintar membuatmu ketagihan dan minta berulang padaku."
"Hei, bukankah memang aku selalu akan kembali kepadamu?" jawab si pria dengan nada menggoda."Iya, hanya saat istrimu pergi lalu kamu baru akan mencariku. Nginap dan bermain denganku. Kamu tahu, aku benci sikapmu itu. Aku selalu dijadikan nomor dua olehmu.""Jangan bilang gitu dong, Honey. Semuanya kulakukan demi hartanya. Aku belum tahu nomor sandi mbanking dan e-banking miliknya. Aku baru berhasil menguasai uang perusahaan. Kamu tahu, masih banyak harta yang dia miliki. Nanti jika semuanya sudah ada di tanganku, aku akan segera menceraikannya dan hidup bersamamu. Percaya padaku. Beri aku sedikit waktu lagi."Kecupan penuh hasrat pun diberikan kepada si perempuan yang selalu meminta dijadikaSejoli insan yang dia kenal, baru masuk ke tempat penginapan bintang empat tersebut. Lantaran penasaran, Hana berniat menyamperi mereka. Kaki itu dibawa menyebrangi jalan yang lengang. Mata terus memindai dan berdoa dalam hati, semoga tak kehilangan jejak mereka.Berjalan dengan cepat membuat perutnya terasa nyeri. Hana lupa kalau dia sedang membawa bayi yang masih berumur 19 minggu dalam perutnya. Menggebunya niat untuk menyelidiki, ada hubungan apa di antara mereka. Mengapa mereka terlihat sangat akrab dan intim? Saling melingkari pinggang dan satunya merangkul bahu. Lalu, untuk apa mereka masuk ke hotel di siang bolong?Terlalu fokus dengan pergerakan mereka, Hana lengah. Dia tak menoleh ke kiri saat melangkah cepat. Tiba-tiba suara klakson terdengar memekakkan telinga. Spontan juga Hana berhenti dengan debaran jantung yang berpacu kencang."Woi, kalau nyebrang, hati-hati. Pake mata!"Makian pengendara motor yang sempat mengerem kala Hana hampi
Pertanyaan sang dokter membuat Hana menunduk. Saran dari dokter itu telah diabaikan. Dulu, iya dia rutin melakukan latihan olah pikiran yang akan membuat hatinya tenang dan nyaman.Dari cara Hana menanggapi, Arsenio tak perlu jawaban dari bibirnya. Dia sudah tahu dan dapat membaca artinya.Wajah Hana terlihat kacau tetapi Arsenio yakin hatinya jauh lebih kacau. Namun apa masalah, si dokter belum bisa bertanya. Sepertinya, dia butuh seseorang untuk menyelidikinya. Hati itu tak tenang melihat kondisi Hana sekarang."Mari aku antar, kamu mau ke mana? Toko atau pulang ke rumah? Hmm, atau jemput Kai?"Pria berkacamata itu mengangkat tangan dan melihat jam di pergelangan tangan."Oh, tidak usah, Kak. Tadi aku sudah pesan taksi online."Astaga, Hana baru ingat dengan pesanannya. Dia merogoh tas dan mengambil ponsel kemudian mengecek aplikasi hijau tersebut. Seketika cahaya di wajahnya meredup kala melihat puluhan panggilan dan pesan yan
"Pesawat boarding jam tiga sore hari ini. I miss you."Pesan masuk Mahendra di ponsel Hana, tak sanggup membuatnya tersenyum. Dua hari kepergian sang suami ke Surabaya, yang konon katanya urusan pekerjaan. Apakah Nadhira ikut serta? Ah, mungkin tidak. Soalnya Hana pernah melihat keberadaan wanita itu di salah satu hotel bintang empat bersama Radit. Namun, apakah itu benar-benar mereka? Atau hanya halusinasinya saja?Wanita hamil itu mengelus lembut perutnya lagi. Semakin hari, intensitas pergerakan bayi lebih sering. Terkadang Hana merasa perutnya kram tetapi menganggapnya bukan hal serius sehingga dia tak memeriksakannya ke dokter.Ada sesuatu yang mengganjal hati, tetapi dia tak paham apa itu. Semestinya Hana senang mendapat kabar kepulangan sang suami. Seharusnya dia rindu dan ingin cepat-cepar bersembunyi dalam dekapan suaminya. Tidak, kali ini dia tidak merasakan hal itu. "Han, apelnya dimakan dulu. Dari pagi kamu belum makan apa-a
Ibu mengusap punggung tangannya dengan mimik heran. Insting seorang ibu tak pernah salah. Dia yakin Hana tengah menyimpan lukanya sendiri, bisa dibaca dari sorot matanya yang sendu."Nggak. Aku nggak apa-apa. Hanya butuh istirahat sebentar."Wanita itu berdiri dan berjalan menuju sofa. Tempat biasa dia merebahkan tubuh kala siang. Kepalanya pusing ketika peristiwa demi peristiwa menjajahi benaknya. Mungkin, dia harus rutin meditasi lagi, sesuai pesan Arsenio. Setelah melihat putrinya rileks, Ibu mengangkat suaranya sambil mengelus pelipis sampai ke kepala Hana."Saran Ibu, coba kurangi intensitas pertemuan dengan Nak Arsen. Sekarang kamu sudah jadi istri orang lain. Harus jaga perasaan suami kamu juga."Ucapan itu berhasil membuat Hana bangkit dari tidur dan duduk bersandar. Dahinya terlipat dan tak setuju dengan pernyataan ibu."Tapi Kak Arsen sudah aku anggap saudara, kakak sendiri. Ibu, kan, tahu sendiri bagaimana jasa Kak Ar
"Pak Dadang nggak jemput Mas Hendra?"Hana dijemput Pak Dadang dari toko, selesai suara azan magrib berkumandang. Dia kira si supir akan menjemput Mahendra dari bandara dan mereka akan berada satu mobil, tetapi nyatanya tidak. "Bapak bilang akan dijemput Pak Aldo. Jadi, tugas saya hanya mengantar Ibu pulang."Hana mengangguk setelah mendengar penjelasan si supir. Lalu, dia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi suaminya. Harusnya jam empat lewat tiga puluh dia sudah sampai jika pesawatnya tidak delay. Sementara ini sudah lebih dari jam enam."Sudah sampai di mana, Mas? Langsung pulang atau singgah dulu?"Pesan itu hanya centang dua abu-abu. Singgah? Hana pun tak tahu kenapa dia bertanya hal itu. Memangnya Mahendra akan singgah ke mana lagi? Entah, yang jelas, hatinya dijajahi rasa kekhawatiran. Namun heran, dia tak tahu apa maksud kegelisahannya. Apa hormon ibu hamil yang akan menjadi alasan rasa itu?Lantaran tak ada balasan
"Mas Hendra sudah sampai tadi bareng aku. Tapi dia pergi lagi setelah menerima telepon dari siapa, aku tak tahu. Buru-buru."Clarisa menjawab setelah dirinya merasa sedikit rileks. Hana tak sempat bertanya mengapa dia meminta maaf. Otaknya disibukkan dengan bayangan wajah Mahendra. Dia belum bisa menerima kenyataan jika sesuatu yang buruk menimpa suaminya."Perginya dengan siapa, kamu tahu?"Dengan debaran yang tak berirama, Hana bertanya lagi. Namun, sebuah gelengan melemaskan otot lututnya. Hampir saja, Hana terhuyung kalau Clarisa tak cepat memegang lengannya.Wanita itu mengedar pandangan ke seisi rumah dan tak menemukan kedua mertuanya. Clarisa bilang mereka sedang pergi ke acara teman mereka. Lalu, Hana membawa langkah ke arah teras dan mencari mobil Mahendra. Tidak ada, berarti pria itu membawa mobil sendiri. Ke mana, tapi?Ketika dia kembali masuk, Clarisa yang dari tadi mengikutinya pun ikut masuk. Hana mengambil ponsel dan menco
"Tenang, Hana. Kamu yang tenang. Ingat kamu nggak boleh terlalu stress, akan mempengaruhi perkembangan janin yang ada di perut. Oke, aku antar kamu ke sana. Sekarang. Kamu yang rileks dulu. Nih, minum dulu."Pria itu memberi botol minuman mineral sebelum menginjak pegal gas dan melajukan kendaraannya. Dalam perjalanan, Arsen tidak bertanya apa pun. Dia ingin Hana menikmati musik instrumen yang sengaja diputar untuk menenangkannya. Sesekali dia menoleh untuk memastikan kondisinya.Di dalam keheningan, Hana mulai berpikir logis. Air minum yang mengaliri tenggorokan, melegakan dahaga. Rasa panik dan gugup mulai terurai. Jantungnya pun mulai berirama. Sesekali calon bayi di perut memberi stimulasi pelan. Tampaknya dia mengikuti suasana hati si ibu."Kenapa si dokter selalu ada saat dibutuhkan? Apa dia kebetulan melewati perumahan kami atau bagaimana?"Hana curiga dengan sikap tenang Arsen, pun menoleh. Wanita cantik itu harus bertanya untuk membunuh r
"Silakan masuk, Hana."Aldo membuka pintu lebar-lebar agar istri dari sahabatnya bisa masuk dengan leluasa. Meski ragu, kaki Hana tetap melangkah maju. Ada apa ini? Mengapa yang ada di kamar ini adalah Aldo, bukan suaminya? Ke mana pria itu?Hana menyapu pandangan ke segala arah ruang setelah menjejaki enam langkah. Seorang perempuan yang diduga Nadhira sedang tertidur di ranjang. Hana yakin itu adalah dia sebab pakaiannya sama persis dengan yang ada di foto. Di sudut ruang dekat jendela ditemukan Radit dengan wajah memar di beberapa titik, duduk dan diikat tangannya ke belakang. Ada dua pria berjas hitam seperti bodyguard khas film mafia. Sepertinya mereka berdua bertugas untuk mengawasi Radit agar tidak memberontak atau melakukan perlawanan. Satu orang lagi yang membuat Hana menelan ludahnya dengan susah payah.Dinar? Gadis itu duduk di sofa, dijaga oleh satu pria berjas hitam lainnya. Kenapa dia juga ada di sini juga? Ada hubungan apa dia dengan Nadhira
"Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Mahendra berucap setelah cangkir putih sedikit menjauhi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia meneguk lagi hingga minuman itu kandas."Kamu bisa andalkan aku tanpa menyewa mereka. Aku selalu siap ada untuk mereka. Kamu tak lupa, kan, tujuh tahun aku pernah menjadi —""Ya, ya. Jangan kamu lanjutkan, aku tak suka. Tapi saranku jangan menyalahgunakan niat baikmu yang dulu-dulu. Mereka ada aku sekarang. Aku tidak akan segan bertarung kepadamu jika —""Jika kamu tak ingin aku merebut Hana, maka perjuangkanlah. Jika sedikit saja kamu lengah, siapkan diri untuk merasakan kehilangannya."Entah bagaimana mereka ini. Padahal, Arsenio sudah sepakat untuk mengundurkan diri dan berhenti berjuang mengambil hati Hana. Namun, di sesi lain, dia akan kembali merebut jika Mahendra lengah dan gagal membuat Hana bahagia.Hal itu membuat Mahendra harus tetap waspada. Meski iya, sekarang seutuhnya raga Hana telah digenggam, tetapi tidak menutup kemungkinan wan
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."