Ibu mengusap punggung tangannya dengan mimik heran. Insting seorang ibu tak pernah salah. Dia yakin Hana tengah menyimpan lukanya sendiri, bisa dibaca dari sorot matanya yang sendu.
"Nggak. Aku nggak apa-apa. Hanya butuh istirahat sebentar."Wanita itu berdiri dan berjalan menuju sofa. Tempat biasa dia merebahkan tubuh kala siang. Kepalanya pusing ketika peristiwa demi peristiwa menjajahi benaknya. Mungkin, dia harus rutin meditasi lagi, sesuai pesan Arsenio.Setelah melihat putrinya rileks, Ibu mengangkat suaranya sambil mengelus pelipis sampai ke kepala Hana."Saran Ibu, coba kurangi intensitas pertemuan dengan Nak Arsen. Sekarang kamu sudah jadi istri orang lain. Harus jaga perasaan suami kamu juga."Ucapan itu berhasil membuat Hana bangkit dari tidur dan duduk bersandar. Dahinya terlipat dan tak setuju dengan pernyataan ibu."Tapi Kak Arsen sudah aku anggap saudara, kakak sendiri. Ibu, kan, tahu sendiri bagaimana jasa Kak Ar"Pak Dadang nggak jemput Mas Hendra?"Hana dijemput Pak Dadang dari toko, selesai suara azan magrib berkumandang. Dia kira si supir akan menjemput Mahendra dari bandara dan mereka akan berada satu mobil, tetapi nyatanya tidak. "Bapak bilang akan dijemput Pak Aldo. Jadi, tugas saya hanya mengantar Ibu pulang."Hana mengangguk setelah mendengar penjelasan si supir. Lalu, dia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi suaminya. Harusnya jam empat lewat tiga puluh dia sudah sampai jika pesawatnya tidak delay. Sementara ini sudah lebih dari jam enam."Sudah sampai di mana, Mas? Langsung pulang atau singgah dulu?"Pesan itu hanya centang dua abu-abu. Singgah? Hana pun tak tahu kenapa dia bertanya hal itu. Memangnya Mahendra akan singgah ke mana lagi? Entah, yang jelas, hatinya dijajahi rasa kekhawatiran. Namun heran, dia tak tahu apa maksud kegelisahannya. Apa hormon ibu hamil yang akan menjadi alasan rasa itu?Lantaran tak ada balasan
"Mas Hendra sudah sampai tadi bareng aku. Tapi dia pergi lagi setelah menerima telepon dari siapa, aku tak tahu. Buru-buru."Clarisa menjawab setelah dirinya merasa sedikit rileks. Hana tak sempat bertanya mengapa dia meminta maaf. Otaknya disibukkan dengan bayangan wajah Mahendra. Dia belum bisa menerima kenyataan jika sesuatu yang buruk menimpa suaminya."Perginya dengan siapa, kamu tahu?"Dengan debaran yang tak berirama, Hana bertanya lagi. Namun, sebuah gelengan melemaskan otot lututnya. Hampir saja, Hana terhuyung kalau Clarisa tak cepat memegang lengannya.Wanita itu mengedar pandangan ke seisi rumah dan tak menemukan kedua mertuanya. Clarisa bilang mereka sedang pergi ke acara teman mereka. Lalu, Hana membawa langkah ke arah teras dan mencari mobil Mahendra. Tidak ada, berarti pria itu membawa mobil sendiri. Ke mana, tapi?Ketika dia kembali masuk, Clarisa yang dari tadi mengikutinya pun ikut masuk. Hana mengambil ponsel dan menco
"Tenang, Hana. Kamu yang tenang. Ingat kamu nggak boleh terlalu stress, akan mempengaruhi perkembangan janin yang ada di perut. Oke, aku antar kamu ke sana. Sekarang. Kamu yang rileks dulu. Nih, minum dulu."Pria itu memberi botol minuman mineral sebelum menginjak pegal gas dan melajukan kendaraannya. Dalam perjalanan, Arsen tidak bertanya apa pun. Dia ingin Hana menikmati musik instrumen yang sengaja diputar untuk menenangkannya. Sesekali dia menoleh untuk memastikan kondisinya.Di dalam keheningan, Hana mulai berpikir logis. Air minum yang mengaliri tenggorokan, melegakan dahaga. Rasa panik dan gugup mulai terurai. Jantungnya pun mulai berirama. Sesekali calon bayi di perut memberi stimulasi pelan. Tampaknya dia mengikuti suasana hati si ibu."Kenapa si dokter selalu ada saat dibutuhkan? Apa dia kebetulan melewati perumahan kami atau bagaimana?"Hana curiga dengan sikap tenang Arsen, pun menoleh. Wanita cantik itu harus bertanya untuk membunuh r
"Silakan masuk, Hana."Aldo membuka pintu lebar-lebar agar istri dari sahabatnya bisa masuk dengan leluasa. Meski ragu, kaki Hana tetap melangkah maju. Ada apa ini? Mengapa yang ada di kamar ini adalah Aldo, bukan suaminya? Ke mana pria itu?Hana menyapu pandangan ke segala arah ruang setelah menjejaki enam langkah. Seorang perempuan yang diduga Nadhira sedang tertidur di ranjang. Hana yakin itu adalah dia sebab pakaiannya sama persis dengan yang ada di foto. Di sudut ruang dekat jendela ditemukan Radit dengan wajah memar di beberapa titik, duduk dan diikat tangannya ke belakang. Ada dua pria berjas hitam seperti bodyguard khas film mafia. Sepertinya mereka berdua bertugas untuk mengawasi Radit agar tidak memberontak atau melakukan perlawanan. Satu orang lagi yang membuat Hana menelan ludahnya dengan susah payah.Dinar? Gadis itu duduk di sofa, dijaga oleh satu pria berjas hitam lainnya. Kenapa dia juga ada di sini juga? Ada hubungan apa dia dengan Nadhira
Otaknya buntu, tak bisa berpikir waras. Mendadak sekujur tubuhnya lemas, otot dan tulangnya ngilu. Dada bergetar hebat hingga terasa sakit. Pandangannya pun kabur seketika dan dunianya menjadi gelap."Sayang!""Hana!"***Sudah dua hari, Hana menginap di rumah sakit. Kondisi fisiknya sudah stabil dengan jarum infus tertancap di punggung tangan kiri. Selama dua hari itu, Hana tidak boleh dikunjungi siapapun kecuali suaminya sendiri. "Usahakan tidak menambah beban pikiran Ibu Hana beberapa hari sampai kondisinya stabil. Stres pada ibu hamil bisa memengaruhi kesehatan ibu dan janin di dalam kandungan."Saran dari dokter spesialis kandungan dipatuhi Mahendra. Sudah dua hari pula, dia cuti dari kantor demi mengikuti perkembangan kesehatan si istri. Dia belum keluar sedetik pun dari kamar. Saat Hana tertidur, dia menyempatkan diri untuk mandi dan menghubungi Aldo. Semua urusan kantor diserahkan kepadanya. Sang General manager itu bena
"Cemburu atau marah."Hana melengos ke arah lain setelahnya. Sedikit kesal dengan lelucon Aldo yang unfaedah, menurutnya."Hei, kamu marah?"Hana menggeleng."Cemburu?"Satu kata itu sukses membuat Hana melempar pandangan ke arah Mahendra. Tatapan yang diberikan entah, pria itu tak paham. "Sorry, sorry, Sayang. Dari awal aku nolak ide Aldo, tapi dia .... Ah. Aku sudah janji kepadamu. Tidak akan ada nama wanita lain di hati ini, selain kamu. Aku tulus mencintaimu. Coba kamu pikir, untuk apa dari awal aku memperjuangkan cintamu, kalau ujung-ujungnya berniat merusak hubungan kita. Kamu harus percaya, Han."Dia mencondongkan badan dan menghadiahkan kecupan di kening penuh cinta. Dia ingin Hana yakin dan tak meragukannya. "Jangan bilang kalau Mas waktu itu nggak jadi ke Bali juga.""Kalau itu, jadi. Foto itu diambil oleh Irma. Aldo yang nyuruh. Jadi, aku dan Irma ke Bali bersama wanita itu. Harusnya dari k
"Mas tahu tentang liontin mutiara hati yang kamu hadiahkan, itu sama persis dengan yang dipakai Nadhira saat menghadiri acara Anniversary kita."Hana melempar pernyataan yang sudah lama ingin diucapkan. Setelah menelan ludah untuk membersihkan yang lengket, Mahendra menjawab. Sel saraf dalam otaknya pun diajak bertemu ke mall Bali tempo lalu."Aku memang beli kalung itu di Bali, malam setelah selesai kami meeting. Lalu, kita berpencar dan aku memilih ke Mall untuk mencari toko perhiasan. Aku ingat Anniversary kita tinggal hitungan hari dan aku yakin kamu sudah melupakannya, kan?"Hana tak menanggapi. Matanya tetap memindai wajah Mahendra demi mencari celah, barang kali pria itu tengah mengada-ngada cerita, merangkai diksi untuk mengibulinya."Aku tak tahu pasti. Apakah hanya sebuah kebetulan, dia juga punya kalung itu atau dia mengekor aku dan masuk ke toko lalu membeli sama persis dengan yang aku belikan untukmu. Itu bukan masalah besar bagiku. B
Hana terpaksa mengangguk setuju sekarang karena alasan yang sudah diberitahukan. Kalau dulu, dia sangat keki bahkan tak ingin melihat wajah suaminya. Kekesalan sudah menjalar ke seluruh aliran pembuluh darah dalam tubuhnya."Awalnya Clarisa tak masalah dengan pernikahan kita. Kamu ingat, kan, dia hadir di resepsi. Dia masa bodoh dan tak ingin mengurusi kehidupan rumah tangga kita. Hanya saja, entah sejak kapan dia terhasut omongan Nadhira. Mommy Daddy sangat menyayangimu bukan kepadanya. Itulah yang dikatakannya kepada Clarisa. Dari situ awalnya, timbullah rasa iri dan dengki hati. Kebencian yang tak ada alasannya.""Aku lupa-lupa ingat dengan kehadirannya. Aku ....""Sibuk dengan kebahagiaan kita."Mahendra memotong kalimatnya dengan cepat lalu mereka tertawa bersamaan. Wajah Hana semakin berseri dan tubuhnya terasa bugar. Hormon kebahagiaan telah menyembuhkan semua luka dan sakit yang menjalar di seluruh pembuluh darah. Dia menjadi sehat seketik