Otaknya buntu, tak bisa berpikir waras. Mendadak sekujur tubuhnya lemas, otot dan tulangnya ngilu. Dada bergetar hebat hingga terasa sakit. Pandangannya pun kabur seketika dan dunianya menjadi gelap.
"Sayang!""Hana!"***Sudah dua hari, Hana menginap di rumah sakit. Kondisi fisiknya sudah stabil dengan jarum infus tertancap di punggung tangan kiri. Selama dua hari itu, Hana tidak boleh dikunjungi siapapun kecuali suaminya sendiri."Usahakan tidak menambah beban pikiran Ibu Hana beberapa hari sampai kondisinya stabil. Stres pada ibu hamil bisa memengaruhi kesehatan ibu dan janin di dalam kandungan."Saran dari dokter spesialis kandungan dipatuhi Mahendra. Sudah dua hari pula, dia cuti dari kantor demi mengikuti perkembangan kesehatan si istri. Dia belum keluar sedetik pun dari kamar. Saat Hana tertidur, dia menyempatkan diri untuk mandi dan menghubungi Aldo. Semua urusan kantor diserahkan kepadanya. Sang General manager itu bena"Cemburu atau marah."Hana melengos ke arah lain setelahnya. Sedikit kesal dengan lelucon Aldo yang unfaedah, menurutnya."Hei, kamu marah?"Hana menggeleng."Cemburu?"Satu kata itu sukses membuat Hana melempar pandangan ke arah Mahendra. Tatapan yang diberikan entah, pria itu tak paham. "Sorry, sorry, Sayang. Dari awal aku nolak ide Aldo, tapi dia .... Ah. Aku sudah janji kepadamu. Tidak akan ada nama wanita lain di hati ini, selain kamu. Aku tulus mencintaimu. Coba kamu pikir, untuk apa dari awal aku memperjuangkan cintamu, kalau ujung-ujungnya berniat merusak hubungan kita. Kamu harus percaya, Han."Dia mencondongkan badan dan menghadiahkan kecupan di kening penuh cinta. Dia ingin Hana yakin dan tak meragukannya. "Jangan bilang kalau Mas waktu itu nggak jadi ke Bali juga.""Kalau itu, jadi. Foto itu diambil oleh Irma. Aldo yang nyuruh. Jadi, aku dan Irma ke Bali bersama wanita itu. Harusnya dari k
"Mas tahu tentang liontin mutiara hati yang kamu hadiahkan, itu sama persis dengan yang dipakai Nadhira saat menghadiri acara Anniversary kita."Hana melempar pernyataan yang sudah lama ingin diucapkan. Setelah menelan ludah untuk membersihkan yang lengket, Mahendra menjawab. Sel saraf dalam otaknya pun diajak bertemu ke mall Bali tempo lalu."Aku memang beli kalung itu di Bali, malam setelah selesai kami meeting. Lalu, kita berpencar dan aku memilih ke Mall untuk mencari toko perhiasan. Aku ingat Anniversary kita tinggal hitungan hari dan aku yakin kamu sudah melupakannya, kan?"Hana tak menanggapi. Matanya tetap memindai wajah Mahendra demi mencari celah, barang kali pria itu tengah mengada-ngada cerita, merangkai diksi untuk mengibulinya."Aku tak tahu pasti. Apakah hanya sebuah kebetulan, dia juga punya kalung itu atau dia mengekor aku dan masuk ke toko lalu membeli sama persis dengan yang aku belikan untukmu. Itu bukan masalah besar bagiku. B
Hana terpaksa mengangguk setuju sekarang karena alasan yang sudah diberitahukan. Kalau dulu, dia sangat keki bahkan tak ingin melihat wajah suaminya. Kekesalan sudah menjalar ke seluruh aliran pembuluh darah dalam tubuhnya."Awalnya Clarisa tak masalah dengan pernikahan kita. Kamu ingat, kan, dia hadir di resepsi. Dia masa bodoh dan tak ingin mengurusi kehidupan rumah tangga kita. Hanya saja, entah sejak kapan dia terhasut omongan Nadhira. Mommy Daddy sangat menyayangimu bukan kepadanya. Itulah yang dikatakannya kepada Clarisa. Dari situ awalnya, timbullah rasa iri dan dengki hati. Kebencian yang tak ada alasannya.""Aku lupa-lupa ingat dengan kehadirannya. Aku ....""Sibuk dengan kebahagiaan kita."Mahendra memotong kalimatnya dengan cepat lalu mereka tertawa bersamaan. Wajah Hana semakin berseri dan tubuhnya terasa bugar. Hormon kebahagiaan telah menyembuhkan semua luka dan sakit yang menjalar di seluruh pembuluh darah. Dia menjadi sehat seketik
"Iya, dia kebanyakan minum dan akhirnya tak sadarkan diri. Waktu pesawat turun, bertubi-tubi pesan dan panggilan masuk dari dia. Aku tak tahu pasti apa keinginannya. Dia mengajak bertemu, katanya rindu."Hana terbatuk di akhir kalimat Mahendra. Pria itu berhenti ucap dan tersenyum meringis. Sambil tangan tetap mengelus pelipis dan kepalanya, si pemilik nama Mahendra Adnan Prastowo meneruskan lisannya. "Maaf, Sayang. Aku harus berkata jujur. Tak ada yang ingin aku tutup-tutupi darimu termasuk isi pesannya. Mending aku kasih tahu semuanya ketimbang kamu yang mengetahui dari orang lain atau sendiri."Di beberapa detik itu, mereka saling mengunci pandangan. Semakin dalam Hana menelusuri netra cokelat suaminya, rasa penyesalan kian meningkat. Mengapa dari awal dia tak mengajak suaminya berbicara dengan kepala dingin? Mengapa dia selalu beralasan perubahan sikap dan mood karena pengaruh hormon ibu hamil?Padahal, Hana yang dulu adalah wanita yang berlo
"Jujur terlepas dari apa pun, kehidupan Nadhira sungguh menyedihkan. Dia menjadi janda karena ulahnya sendiri."Mahendra memberi pernyataan kala sedang menyetir, hendak ke kantor polisi. Satu minggu setelah keluar dari rumah sakit, Hana bersikukuh ingin bertemu dengan Nadhira. Meski tadinya Mahendra sudah melarangnya."Ulahnya sendiri?" Bibir Hana membeo."Aku dengar dari Nathan. Suaminya meninggal karena dibunuh.""Dibunuh?"Dada Hana bergetar mendengar sikap keji yang tak pernah terpikirkan olehnya. Mengapa wanita itu tega menghabiskan nyawa suaminya sendiri? Demi apa? "Tapi bagaimana kronologisnya, aku tak tahu. Dan biarkan para penyelidik yang mengurusi, bukan urusan kita. Itulah sebabnya dia dijerat kasus berlapis."Tak ada satu kata yang mampu diucapkan, Hana menatap kosong ke arah jalan di balik jendela mobil. Dia juga tak ingin memaksa untuk mencari tahu setelah beberapa kali suaminya mengingatkan kembali saran
"Ayo, Mas. Nanti jam besuknya habis."Seakan tak peduli dengan tutur kata tadi, Hana membuka sabuk pengaman dan menarik tuas pintu lalu keluar mobil. Sementara si suami menghela napas panjang sebelum ikut keluar mobil dan mengunci mobil dengan menekan tombol dari benda hitam kecil otomatis. Langkah diperlebar ketika mendapati tubuh Hana yang berjalan di depan."Jika ingin berubah pikiran, kita bisa langsung ke toko, Sayang."Hana menggeleng bersamaan kaki yang terus melangkah pasti, menuju pintu utama kantor polisi.***"Untuk apa kau datang?"Pertanyaan pertama sungguh tak mengenakan di telinga. Nada itu meninggi dan terdengar tak bersahabat. Hana maupun Mahendra yang sudah duduk bersisian sedang menunggu, mengangkat kepala ke arah sumber suara.Seorang wanita berpakaian khas tersangka berwarna jingga menampilkan raut sinis. Wajahnya yang dulu sangat glowing, kini terlihat kusam. Bibir yang merona sekarang pucat dan tam
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan