"Halah, ngapain juga repot-repot beli hadiah mahal seperti itu, Mommy. Hanya ulang tahun pernikahan jagung juga. Entah kita nggak tahu ke depannya, apakah hubungan mereka masih berstatus pasangan suami istri. Sepertinya Mommy dan Daddy terlalu menghamburkan uang membeli kado untuk ...."
Decakan keras Mommy menghentikan kalimat yang belum sempat dituntaskan Clarisa. Semua mata di meja utama beralih padanya dengan tatapan berbeda. Mommy, Daddy dan Mahendra penuh mengintimidasi. Hana memberi tatapan datar bercampur kasihan. Kai dan pengasuhnya terlihat masa bodoh."Stop, Risa. Jika kamu masih ngedumel, silakan tinggalkan tempat ini.""Jadi, Mommy mengusir aku?""Bukan mengusir, hanya tidak ingin satu meja dengan orang yang akan merusak hari bahagia keluarga. Ucapanmu bisa bikin malu kamu sendiri, tahu?"Nada pelan tetapi penuh penekanan itu mampu membungkam Clarisa yang memasang wajah kesal. Dia melempar tatapan sinis sebelum melanjutkan keg"Mas, hari ini jadwal aku kontrol, kamu bisa, kan, temani aku?"Dari tadi malam, Hana mencoba menahan kesal. Pertanyaan yang tersimpan di dalam benak masih dalam keadaan rapi. Bagaimana bisa kalung yang diberikan Mahendra sama dengan benda yang bergantung di leher Nadhira? Hana belum sempat membicarakannya lantaran tadi malam Mahendra tampak sibuk menjamu para tamu yang hadir. Bahkan, nasi dan lauk yang disiapkan Hana untuknya hanya termakan sedikit. Sementara saat sampai di rumah, Hana ketiduran ketika menunggu Mahendra yang mandi.Kini, dia mencari waktu yang tepat untuk membahas hal itu. Namun menurutnya, pagi ini rasanya kurang pas melakukanya karena dia melihat Mahendra tergesa-gesa karena bangun kesiangan. "Coba nanti aku cek jadwalku, ya. Irma belum memberitahu aku. Setelah sampai ke kantor, aku segera menghubungi kamu, gimana?"Setelah selesai memakai kemeja, Mahendra menuju ke meja rias. Tangan itu cekatan mengambil gel dan mengoleskan k
Jawaban suaminya seketika membuat lutut Hana lemas dan tanpa sadar bertanya sangat pelan, "kenapa?"Mungkin, pemilik tubuh 175 centimeter itu tak mendengarkan suara itu. Ekspresi kecewa jelas terbaca dari raut wajah Hana. Mengapa harus diundur jadwalnya? Bukankah ini sudah telat, seharusnya dia kontrol dua hari yang lalu?"Tapi vitaminnya sudah habis, Mas." Terpaksa bibir itu jujur apa adanya. Hening lagi, hanya terdengar suara desahan berat dari seberang. Hana tahu suaminya sedang berpikir dan dia membiarkan otak Mahendra menimbang beberapa saat."Gini, Sayang. Nanti aku usahakan jam 12 temani klienku dulu sebentar, lalu aku tinggalin kalau sudah ada Aldo yang menemaninya. Tapi kamu berangkat dulu sama Pak Dadang ke rumah sakit, nanti aku nyusul kamu. Lagipula di sana juga harus antri, tidak langsung dapat giliran kamu, kan?"Hana kembali berusaha percaya semua perkataan sang suami dan membujuk diri sendiri. Lagipula baru kali ini sang
"Kak Arsen?"Pria itu semakin mendekat dengan senyuman tak kalah menawan dengan senyuman suaminya."Kamu sama siapa? Lagi kontrol dengan dokter Rissa atau?""Iya, sama dokter Rissa. Ini baru keluar dan lagi tunggu obat. Antriannya masih sepuluh nomor lagi sedangkan Kai lagi nungguin jemputan. Mobil Pak Dadang mogok. Nih, baru dikabari beliau."Panjang lebar keluh kesah tak sadar Hana curahkan. Wanita itu memang merasa nyaman jika harus mengeluarkan uneg-unegnya kepada sang dokter. Pria itu memang selalu menjadi tempat curhat sejak dulu saat dia terpuruk sembilan tahun yang lalu."Gini, coba aku cek dulu ke bagian Farmasi. Sini, aku pinjam kertas transaksinya. Sudah bayar, kan?"Hana mengangguk dan menyerahkan kertas putih. Lalu, sang dokter mendekati counter farmasi dan sedang bernegosiasi apa, Hana tak tahu. Dia memilih menunggunya sambil duduk di ruang tunggu. Tak lama, Arsenio menyeret langkah dan duduk di samping Hana.
"Jangan anggap aku orang lain lalu kamu merasa sungkan denganku. Kita kenal bukan baru kemarin, Hana. Kamu masih ingat awal pertama pertemuan kita? Selama tujuh tahun berteman saat itu dan kini sudah sembilan tahun kita saling kenal. Meski akhirnya kamu memilih pria lain, kita masih bisa jadi sahabat, kan? Lalu, mana mungkin aku tak tega membiarkan kamu berpergian sendiri? Lagipula ada aku yang lagi free time, kenapa kamu harus nolak?""Om Dokter!"Mata itu teralih kala melihat Arsenio keluar dari mobil dan mendekati mereka yang sedang berpelukan. Mama dan anak pun mengurai dekapan dan Kai memperlihatkan gigi seri yang terpampang rapi di depan."Hai, anak ganteng. Gimana keadaanmu? Hal hebat apa yang sudah kamu lakukan hari ini?"Arsenio berjongkok, mensejajarkan wajah sembari memberi kepalan tangan dan menunggu sambutan. Hanya dalam dua detik, bocah delapan tahun itu menghentakkan tinjuan di kepalan tersebut lantas Arsenio mengusap asal kepalanya
Kini, giliran Kai membuka mulut. Seketika Hana menunggu jawaban sambil melirik kaca spion tengah. Jam segini, bagaimana mungkin sang dokter belum makan? Bukankah mereka yang selalu mengingatkan para pasiennya untuk tidak boleh melalaikan jadwal makan. Namun, mengapa mereka malah mengacuhkan amanat yang mereka bikin sendiri?"Hari ini Om Dokter kedatangan banyak tamu anak-anak kecil. Sampai-sampai Om lupa kalau ternyata lambung Om butuh makanan enak dan bergizi juga.""Jadi benar Om belum makan?" Kai bertanya ulang untuk memastikan kembali. Dia tak mengerti bahasa kiasan yang digunakan pria yang memegang kendali setir mobil.Wajah pria itu memelas sembari mengangguk dan menoleh sekilas ke arah Kai. Ekor mata Arsenio menengok ke kaca spion dan kedua pandangan mereka bertubrukan. Dengan cepat, Hana mengalihkan bola mata keluar jendela lantaran merasa jantungnya melompat-lompat. Entah mengapa, biasa si wanita berbadan dua jarang merasakan rasa aneh tersebut. A
"Sayang, kamu kenapa?"Sedikit heran dengan sikap elakan Hana, Mahendra bertanya dengan nada cemas. Dia tak tahu apa sebab sang istri melakukan penolakan. Wanita yang selalu ingin dimanja kini bersikap dingin."Jadi ini pertemuan pentingnya, hingga Mas nggak punya waktu untuk temani aku kontrol ke Dokter Rissa?"Bingo! Ternyata itu alasannya dan Mahendra berusaha memakluminya. Ibu hamil memang susah ditebak suasana hatinya. "Bukan begitu. Tadi sebenarnya aku sudah mau jalan, tapi Aldo mendadak nggak bisa datang. Jadi aku ....""Berdua dengan dia, itu namanya rapat dengan klien atau sedang berkencan?"Suara terdengar biasa tapi nadanya penuh penekanan. Hana mengamati gerakan bola mata lawan dan mencari kejujuran di dalam sana. Dia tak suka kepura-puraan dan butuh kejelasan. Napas wanita itu sedikit tak beraturan, pun masih bisa mengendalikan gejolak yang belum begitu menghentak."Hei, kamu ngomong apa, sih? Siapa yang be
Elena yang cantik elegan, punya karir dan pendidikan yang cermelang. Latar belakang keluarga yang tak diragukan lagi. Apa yang kurang? Itu pun Mahendra tak bisa tertarik dengannya. Lalu, kenapa sekarang dia tak risih satu meja dengan wanita yang belum Hana tahu latar belakangnya."Sorry, Hana. Kamu kenapa, sih, jadi sensitif gini? Oke, aku paham perubahan hormon dalam diri, tapi jangan gini juga. Aku akui aku salah karena tak tahu kabar kalian. Aku terlalu sibuk ....""Stop, Mas. Di sini tempat umum, aku tak mau jadi sorotan publik. Maaf, aku balik ke meja dulu. Kai udah nggak sabar mau makan kentang gorengnya."Tak ingin ada tangan jahil merekam perdebatan yang berujung viral di sosmed, Hana berharap Mahendra bisa diajak kerjasama. Sudah, jika ingin melanjutkannya, lakukan di rumah.Hana mengulurkan tangan dan Kai menyambutnya. Tangan kecil itu sudah bebas kuman. Tadi, Hana membiarkan Kai mencuci tangan sendiri di washtafel dan menunggunya sambil
"Besok Papa nggak bisa temani kamu, Nak. Tapi Papa janji akan jemput kamu setelah selesai lomba, gimana?"Itu jawaban Mahendra tatkala Kai main ke kamar orangtuanya dan meminta si papa hadir dalam perlombaan besok. Tak langsung mengiyakan, wajah itu tampak seperti berpikir untuk menimbang."Latihannya sudah mantap, belum? Kalau besok pulang bawa piala paling gede, kita ke mall beli mainan baru, mau?"Penawaran itu langsung menghadirkan jejeran gigi putih di wajah Kai. Kepala si anak pintar mengangguk. Sumringah pastinya ketika mendengar hadiah yang akan diberikan sang papa. Meski sudah mengantongi segudang mainan, anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka suka dengan hal yang baru. Mainan dan pengalaman baru adalah sensasi baru baginya."Sebaiknya Mas jangan berjanji apa-apa pada Kai daripada nanti berusaha mencari alasan atas janji yang tidak bisa dipenuhi."Hana memberi lirikan sekilas dari pantulan cermin di akhir kalimatnya. Lisan itu dib