Tiga hari kemudian.
Berkat doa dan usaha dokter yang maksimal, Kaindra akhirnya sadar. Bocah itu pun dipindahkan ke ruang inap VVIP yang sengaja diambil Mahendra dengan tujuan agar Kai lebih nyaman. Bocah tanpa rambut itu sudah terlihat membaik walau terkadang masih mengeluh sakit di bagian kepala, bekas jahitan.Semua alat bantu selang sudah dilepas, dari alat bantu pernafasan, selang buang air kecil dan selang makan yang menghubungkan hidung ke lambung, kecuali selang infus yang masih menacap di punggung tangannya."Kamu ingin minum, Kai?"Sang ibu mendekati putranya ketika ia membuka mata dan berusaha bangun untuk mengambil posisi duduk. Tawaran Hana mendapatkan anggukan Kai dengan mata menatap intens ke arah pria yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Pria itu duduk di sofa sudut ruangan, sedang mengecek beberapa email penting yang dikirim sekretarisnya.Tadi pagi sekali saat ia bangun, matanya belum melihat pria berkemeja navy ters"Tidak, Han. Kamu jangan salah paham denganku. Namamu akan aku ikutsertakan ke dalamnya. Kalian berdua akan ada dalam daftar kartu keluargaku. Orangku bisa mengaturnya dengan syarat status istri untukmu."Pria itu pun ikut berdiri. Ia tak mau wanitanya selalu bersikap ekstrem kala membahas tentang masalah mereka. Hana hanya salah paham dan ia ingin meluruskannya.Disini Hana merasa ada yang aneh. Meski ia sudah menyetujui keputusan dari pengacara tempo lalu, tetapi hatinya menampik, belum seutuhnya ikhlas jika Mahendra mengambil alih tanggung jawab terhadap Kai. Padahal sebenarnya, yang dilakukan Mahendra hanya ingin meringankan bebannya.Namun kali ini, Hana sedang memperjuangkan harga dirinya. Ia tak mau Mahendra seenak jidat mengambil apa yang sudah dipertahankan hingga membuatnya frustasi dan depresi, waktu itu.Dulu, dia merasa tubuh dan jiwa sakit sesakit-sakitnya. Tidak ada tempatnya mengadu. Hanya pada Tuhan, dia bersujud dan bersimpuh unt
Geram masih bergelayut di dada kalau Mahendra membahas hal itu. Bara api kemarahan muncul lagi di hati. Dia terlalu khawatir pria itu akan merebut Kai darinya. Ia tak bodoh. Ok, kalau niat awalnya Mahendra hanya memasukkan nama Kai ke kartu keluarganya. Terus, apa yang akan terjadi selanjutnya? Kai akan jadi miliknya seuntuhnya di mata negara, bukan? Nalar, dong. "Hei, kamu kenapa? Ayolah, Hana. Kenyataannya seperti itu, dia anakku, darah dagingku. Sekuat apapun kamu tidak menganggap aku, hasil DNA sudah membuktikan kalau Kai anakku." Dia menahan tubuh, belum mau keluar dari ruang inap. Sementara Hana tidak mau Kai mendengar semua pembicaraan orang dewasa tersebut. Mereka terhenti di depan pintu, tetapi masih di dalam ruangan."Sekarang kamu berani bilang seperti itu? Bagaimana perasaanmu saat dulu kamu menyuruhku membuangnya?" Menggeleng lalu suara dibuat sepelan mungkin, ia belum siap bocah itu mendengarnya. Ia khawatir Kai kena mental nanti
"Lama aku curiga dan kini aku tahu mengapa gelagat kalian sangat aneh saat itu."Ingatan pada pertemuan tak sengaja antara Elena dan Hana di salah satu mall pun mencuat kembali. Waktu itu memang Elena maupun Arsernio sempat disengat kecurigaan lantaran Mahendra ngotot ingin mengantar Hana dan Kai pulang tetapi mendapat penolakan.Awal sang dokter gigi menganggap ketidaknyamanan Hana karena tidak saling mengenal hingga timbul rasa sungkan Hana terhadap niat baik Mahendra. Namun, setelah tak sengaja mendengar percakapan lima menit yang lalu, ia baru tahu semuanya."Tapi hubungan kita sudah lama berakhir."Hana memberanikan diri untuk mengatakan hal itu meski ada sesuatu yang sakit di dada. Entahlah, ia sendiri tak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaannya. Satu sisi, ia muak melihat kehadiran pria itu. Sisi lain, ia ingin Kai menuntaskan keinginannya bertemu dengan sang ayah. Anak itu sangat antusias dan hati Hana terharu melihat pemandangan langka
Harusnya Hana lega karena ia bisa terlepas dari jeratan Mahendra dengan perjodohan kedua orangtua mereka. Bukankah itu yang diharapkan? Melupakan segala masa lalu dan pria itu harus pergi dari hidupnya. Namun, mengapa deretan kalimat Elena saat di pintu, mendesak membuatnya seolah ia harus mempertahankan cinta lamanya.Apa dia masih sisa rasa cinta untuk pria masa lalunya? Bukankah rasa sakit sudah mengajarnya untuk membenci pria itu? Mengapa kini ia meragu lagi? Apa ini yang namanya cinta itu buta? Cinta itu bodoh? Cinta itu menyesatkan? Argh, Hana menyandarkan punggung ke sofa. Ia butuh dinding untuk dijadikan sandaran hidupnya. Ia butuh seseorang yang bisa memapah berjalan bersama mengarungi dunianya. Namun siapa? Dia belum memilih."Han, kamu sudah makan?"Suara itu mengangetkannya. Dengan cepat, ia membuka mata dan menoleh suara familiar yang menyejukkan hati."Ibu." Dia membenarkan posisi duduk dan bergeser kala ibu mendekati dan h
Sama halnya dengan Jonathan, pria itu terlihat masa bodoh dan tidak menanggapi atau menyapa teman kecilnya. Bahkan untuk membalas senyuman Hana pun, ia enggan, hanya memandang sekilas dengan tatapan yang tak punya arti apa-apa. Menurutnya, peristiwa dua puluh tahun sudah terlalu lama, siapa juga yang mampu mengingatnya?Setelahnya, para wanita senja terlibat percakapan hal yang biasa, sedangkan Hana memilih menjauhi dan duduk di samping Kai yang masih tertidur. Efek obat yang membuat bocah kurus itu mengantuk. Mungkin memang sengaja, agar dia bisa istirahat penuh.Dari kejauhan, Hana lebih leluasa memindai mereka yang duduk di seberang sana. Pria itu duduk dengan menopang kaki kiri ke kaki kanan, kembali fokus dengan benda pipih. Sesekali menyahuti jika Bu Delia meminta pendapatnya. Wajah dan sikapnya diselimuti es kutub utara. Dingin.Sementara beberapa kali Hana kepergok wanita yang disebut Jeng Mer itu menyapu seisi ruang inap. Mungkin terbesit di pikir
"Jadi ini cucumu, Jeng?"Pertanyaan yang sudah diketahui jawaban meski ibu tidak menyahut. Beliau hanya tersenyum menanggapinya."Dari hari kapan itu, Nenek tidak melihat kamu di sekolah. Kata pihak sekolah, kamu sakit, Sayang. Maaf, Nenek tidak menjengukmu karena pihak sekolah tidak tahu kamu dirawat di mana. Aneh sekali sekolah itu."Ada wajah kejengkelan terbit di wajah mulus Bu Merry, hanya sedikit keriput walau umurnya sudah memasuki kepala lima."Maaf, Bu. Saya yang belum memberitahukan pihak sekolah di mana Kai dirawat. Bukan salah sekolahnya."Hana memberi senyum canggung. Rasa tak enak hati ketika mengetahui ada orang mengecap buruk sekolah karena kesalahannya sendiri."Ma, ini nenek baik yang sering Kai ceritakan." Kai menunjuk wanita berambut pendek berkalung mutiara. Hana memberi senyuman hormat dengan sedikit menunduk untuk kesekian kali. Ia terkesima sesaat dan merasa beruntung bisa ketemu langsung dengan
Merasa diinterogasi, Hana pun akhirnya menoleh. Ia tak suka ada yang bertanya soal dengan siapa dia berteman. Apalagi orang itu Mahendra. Ada urusan apa dia ingin mengetahui semua temannya? Suami bukan, saudara bukan, pacar juga bukan, dia hanya mantan sekarang. Terlebih sekarang, pria itu adalah orang yang paling menyebalkan di matanya."Bukan urusan kamu, Dra."Dia pun melanjutkan langkah ketika pintu lift di depannya terbuka. Di sore itu, pengunjung rumah sakit termasuk sepi, jadi yang antri di depan lift hanya Hanami dan Mahendra saja. Melihat Hana masuk, Mahendra pun mengikutinya."Hei, kamu itu ibu dari putraku. Tentu saja, semua tentangmu adalah urusanku. Jadi aku berhak tahu dengan siapa kamu ....""Stop, Dra. Harus berapa kali aku bilang, jangan mengusik hidupku. Aku mau hidup tenang. Dan lagian hubungan kita sudah lama usai. Jadi kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kamu jangan memaksa aku untuk bersikap atau berucap kasar kepadamu. Kesabaranku ada ba
"Sepertinya kemarin aku nggak lihat barang ini ada di sini. Baru tadi pagi dan aku belum sempat memperhatikan karena Pak Hendra sudah panggil aku masuk ke ruangannya."Jawaban Irma tidak membuat Hana bernapas lega. Sebenarnya di dalam benak, ia sudah bisa menebak siapa pengirim bunga tersebut. Lantaran hanya ada satu orang yang mengetahui bunga kesukaannya dan dulu ia sering mendapatkan kejutan ini dari orang tersebut.Sementara Mahendra dari dalam ruangan, senyum sendiri melihat semua tingkah dan mimik wajah Hana yang gemas. Dari menoleh ke kanan ke kiri, mencari pengirim hadiah sampai caranya mencium bunga tersebut. Tak lama, terdengar deringan telepon di meja Hana dari extension ruang direktur."Temui aku di ruanganku sekarang!" Sebuah perintah tanpa sapaan pun terdengar ketika Hana menempel ganggang telepon di telinga. Wanita itu menarik napas panjang setelah meletakkan kembali ganggang telepon tersebut."Pak Hendra, ya?" tanya Irma diangguki Hana.
"Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Mahendra berucap setelah cangkir putih sedikit menjauhi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia meneguk lagi hingga minuman itu kandas."Kamu bisa andalkan aku tanpa menyewa mereka. Aku selalu siap ada untuk mereka. Kamu tak lupa, kan, tujuh tahun aku pernah menjadi —""Ya, ya. Jangan kamu lanjutkan, aku tak suka. Tapi saranku jangan menyalahgunakan niat baikmu yang dulu-dulu. Mereka ada aku sekarang. Aku tidak akan segan bertarung kepadamu jika —""Jika kamu tak ingin aku merebut Hana, maka perjuangkanlah. Jika sedikit saja kamu lengah, siapkan diri untuk merasakan kehilangannya."Entah bagaimana mereka ini. Padahal, Arsenio sudah sepakat untuk mengundurkan diri dan berhenti berjuang mengambil hati Hana. Namun, di sesi lain, dia akan kembali merebut jika Mahendra lengah dan gagal membuat Hana bahagia.Hal itu membuat Mahendra harus tetap waspada. Meski iya, sekarang seutuhnya raga Hana telah digenggam, tetapi tidak menutup kemungkinan wan
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."