Pertanyaan tersebut bersamaan dengan Hana berdiri memberi senyuman simpul.
"Benar. Kalian?""Saya Clara, asisten Pak Ronald dan ini dr.Lismiati, rekanan kami."Kedua wanita itu memperkenalkan seraya mengangguk."Apa Anda Bu Hana?"Tangan terjulur dan mengambang di udara, menunggu sambutan. Hana dapat merasakan aura persahabatan dari mereka, pun terhipnotis berjabat tangan. Hangat dan lembut tatapannya.Mengangguk cukup menanggapi pertanyaannya. Rasa ingin tahu siapa mereka dan apa maksud kedatangannya pun segera terjawab ketika mereka mengangkat suara."Bisa bicara di luar? Ada hal yang ingin kami bahas mengenai masalah Bu Hana dan Pak Hendra. Sebelumnya saya minta maaf karena Pak Ronald berhalangan hadir, jadi saya yang mewakili beliau. Apa Bu Hana keberatan?"Dengan tatapan penuh akrab, Clara menuturkan kalimat dengan sopan. Wanita berpakaian rapi dengan blouse merah maroon itu cukup pintar berkata-kata. Ia mEntah jawaban apa yang akan diberikan kepada beliau. Ingin jujur, tetapi Hana belum sanggup. Mau berbohong pun ia tak punya alibi yang cocok untuk itu."Aku capek, Bu. Maaf, aku istirahat dulu ya. Oh, ya, barang ini jangan dipindah-pindahkan. Biarkan saja seperti itu. Nanti kalau pemiliknya datang, biar bisa langsung diambil."Menghindari ibu itulah satunya jalan ninja bagi Hana. Mau berbohong takut dosa. M toau jujur, ia juga belum siap."Oh, ya, Bu. Lusa ada orderan kue basah 200 buah untuk Bu Delia. Dia order via DM tadi siang. Hampir saja aku lupa kasih tahu Ibu."Nyaris lupa karena masalah yang menghadangnya tadi siang, padahal Hana sudah menerima uang muka dari Bu Delia. Selain kue basah, wanita kaya itu juga memesan kue kukus sebanyak 5 loyang. Lumayan memang. Bu Delia memang pelanggan lama, senang memesan kue ibu lantaran mereka adalah teman lama.***"Apa Mama sakit?"Pertanyaan Kai terdengar ketika Hana menginj
"Kamu sudah makan, Hendra?"Tanpa dipersilakan wanita yang masih cantik di usia senja melangkah masuk, disusul wanita muda yang tadi berada di sampingnya. Elena datang karena memenuhi ajakan wanita tua tersebut. "Mas." Wanita cantik itu menyapa dan menyimpulkan senyuman sebelum masuk ke dalam unit.Tidak ada respons yang berlebihan, Mahendra hanya membala dengan senyum tipis. Lalu, ia menutup kembali pintu dan mengekori sang ibu."Baru mau makan. Ada apa, Mom? Tumben datang malam-malam?""Kenapa? Apa Mommy tidak boleh tahu kabar anak kesayangan?"Tangan yang dipenuhi dengan tas belanjaan diletakkan di meja makan. Satu tas berisi sayuran segar yang dipetik sendiri dari lahan hidroponik yang dia kelola. Iya, sejak Mommy dan Daddy pensiun, mereka lebih banyak menghabiskan waktu dalam kegiatan menanam tumbuhan yang bisa dijadikan ladang uang kecil-kecilan. "Astaga, Hendra. Kamu makan apa? Jangan sering makan makanan kateri
"Ayo, sini. Kamu temani Mommy ngobrol, biarkan Elena selesaikan dulu pekerjaannya."Mommy mengamit lengan dan membawa Mahendra ke ruang tengah lalu duduk."Dengar, ya. Kamu jangan sia-siakan kesempatan ini. Dia jarang-jarang mau masuk ke dapur. Ini semua demi kamu. Kalian harus sering bersama agar nanti kalau nikah, kalian sudah terbiasa dengan kebersamaan kalian. Tidak canggung lagi. Supaya apa, coba? Biar kalian bisa cepat punya anak. Ah, Mommy sudah tak tahan pengen gendong cucu sendiri, bukan cucu orang lain."Deretan kalimat sang ibu membuat kepala Mahendra semakin pusing. Entah karena efek perutnya lapar atau memang aksara yang tak masuk di akal menyerbu telinganya."Siapa yang mau menikah dengannya, Mom? Aku tidak mau. Aku sudah punya calonnya."Terpaksa rahasia kecil yang sudah ia sembunyi selama ini dikeluarkan malam itu. Tujuannya agar Mommy berhenti menjodohkan dirinya dengan wanita yang tidak disukainya. Ia ingin membentengi d
"Kita bisa telat, Bu Hana. Kenapa tadi tidak ikut masuk?"Ternyata Irma tidak ikut masuk juga setelah tangan Hana terlepas dari tarikannya. Padahal, seharusnya ia sudah harus berada di lantai empat sebelum sang direktur masuk ke ruang kerjanya."Rame banget tadi, Bu. Nggak bakalan muat kalau tambah kita berdua."Alasan yang masuk akal, menurutnya. Lift yang kecil, hanya muat delapan sampai sepuluh orang saja."Kita kecil-kecil. Nyempil dikit, masih muat tadi, Bu. Bisa diomelin kalau nanti Pak Hendra duluan yang sampai di atas. Terus lihat kita belum ada di sana."Irma, tipe sekretaris yang disiplin, cukup lama bekerja di sana. Tentu saja, ia tahu sifat dan kebiasaan atasannya. Dulu, ia mantan sekretaris papa Mahendra. Sejak beliau pensiun, ia beralih menjadi sekretaris Mahendra.Apa pun yang akan Mahendra lakukan nanti, tentu saja Hana tak peduli dan masa bodoh. Malah ia melangitkan harap, kalau bisa si atasan segera pecat diriny
"Hai." Wajah Hana sedikit menegang dengan jantung yang tiba-tiba menghentak dada. Ia tak menyangka akan bertemu dirinya di sini."Kamu sedang apa di sini?"Sekilas melihat berkas ada di tangan Hana, Elena pun sudah dapat menyimpulkan sesuatu tanpa harus menunggu jawaban."Oh, Kamu kerja di sini? Sejak kapan? Kok nggak cerita ke aku?"Senyum manis pun terbit di wajah si dokter. Cantik sekali. Itulah yang ada di benak Hana. Blazer mahal yang menutupi tubuh ramping, memukau siapapun pria yang memandangnya. Rambut panjang nan lurus menjuntai ke bawah menambah keindahan. Kecantikan yang dimiliki Elena cukup elegan dan mewah.Berbeda dengan dirinya, hanya dibalut blouse terbaik yang sudah dipakai tiga kali dalam seminggu. Bukan karena apa-apa, lantaran hanya ada dua atau tiga pakaian bagus dan layak yang bisa dipakai di perusahaan tersebut. Koleksi kaos dan celana sobek tidak memungkinkan untuk menemaninya di sana."A-aku juga baru seminggu, Len."Kur
Masih belum menyerah, Elena berdiri tepat di samping kursi pria itu duduk sambil menepuk lengan. Nada bicara dibuat manja dan seakrab mungkin. Walau sudah tahu pria itu tidak mencintainya, ia akan terus berusaha bersikap baik dan lembut. Pun berharap suatu saat ada keajaiban dan pria itu membuka hati untuknya."Iya, Elen. Maaf, aku sibuk. Bentar lagi aku ada meeting di luar. Kamu ngapain datang siang-siang begini? Kamu tidak praktek, apa?"Sorot mata tertuju pada proposal dan mulai mengeceknya. Ia tidak mau ada sedikit kesalahan saat bertemu dengan klien yang sebentar lagi akan ia temui. Kehadiran Elena saat itu sangatlah mengganggu waktu kerja, menurutnya.Sementara Hana yang mendengar penuturan Mahendra tiba-tiba merasa kehilangan sosok Mahendra yang dulu. Pria yang tidak pernah berucap kasar dan ketus seperti itu kepadanya dulu. Yang ia tahu, mantan kekasih itu penuh kelembutan dan sungguh romantis. Ah, mungkin umur bisa merubah semua sikap dan gaya bicara seseor
Hana tak tahu harus berbuat apa. Cuma, ia pun tak merasa nyaman dengan situasi seperti itu. Namun, ia memilih diam lantaran tidak ingin ikut mencampuri perkara mereka. Mesin pendingin di ruangan yang semestinya menyejukkan malah terasa panas seperti disengat kobaran api menerobos ke pembuluh darah. Mendadak kepala Hana pening. Entah karena daya tahan tubuh yang melemah atau panasnya darah yang dihantar sampai ke otak.Elena terpaksa menghentikan kalimat ketika Mahendra mengangkat kepala dan sorot mata yang diberikan mengandung arti berbeda. Ia menggigit bibir, menahan gejolak di hati yang tiba-tiba menderanya. Ia tak suka penolakan dari pria itu. Selama ini, ia sudah berusaha sekuat tenaga mencoba mencuri perhatian Mahendra, tetapi pria itu seolah menghempaskan usahanya."Kalau gitu, aku pamit. Jangan lupa kue dan kopinya dimakan dan diminum."Melangkah keluar selepas melambaikan tangan kepada Hana, Elena pulang membawa kekalahan. Kalah menahan gerimis yang terpaksa
Terpaksa Hana turun dan mengikuti langkah Mahendra dari belakang lantaran tak ingin mendapati tatapan tanya atau prasangka aneh-aneh dari Pak Dadang. Khawatir si supir berkumis membocorkan apa yang tengah terjadi, ia tak mau rekan kantor tahu masa lalunya dengan sang atasan. "Soto ayam dua dan cokelat panas dua."Tanpa bertanya Hana mau makan apa, Mahendra langsung memesan makanan setelah pramusaji menyodorkan menu. Pria itu bahkan belum membuka buku tersebut."Aku tidak mau makan di sini. Aku bawa bekal dari rumah. Tahu kamu mau makan dulu, mendingan aku bawa bekalku tadi. Kan, jadi mubajir kalau akhirnya bekal yang kubawa nggak aku makan."Melipat tangan dan diletakkan di atas meja, Hana tak ingin membalas sorot mata pria yang menghangat hatinya. Mata bulat itu menyapu ke sekeliling ruangan, mencuci mata. Dia sudah lama tak refreshing. Hidupnya hanya mencari uang untuk menghidupkan dua orang yang ia sayangi. Ibu dan Kaindra."Bekalmu nanti aku makan untuk