"Kita bisa telat, Bu Hana. Kenapa tadi tidak ikut masuk?"
Ternyata Irma tidak ikut masuk juga setelah tangan Hana terlepas dari tarikannya. Padahal, seharusnya ia sudah harus berada di lantai empat sebelum sang direktur masuk ke ruang kerjanya."Rame banget tadi, Bu. Nggak bakalan muat kalau tambah kita berdua."Alasan yang masuk akal, menurutnya. Lift yang kecil, hanya muat delapan sampai sepuluh orang saja."Kita kecil-kecil. Nyempil dikit, masih muat tadi, Bu. Bisa diomelin kalau nanti Pak Hendra duluan yang sampai di atas. Terus lihat kita belum ada di sana."Irma, tipe sekretaris yang disiplin, cukup lama bekerja di sana. Tentu saja, ia tahu sifat dan kebiasaan atasannya. Dulu, ia mantan sekretaris papa Mahendra. Sejak beliau pensiun, ia beralih menjadi sekretaris Mahendra.Apa pun yang akan Mahendra lakukan nanti, tentu saja Hana tak peduli dan masa bodoh. Malah ia melangitkan harap, kalau bisa si atasan segera pecat diriny"Hai." Wajah Hana sedikit menegang dengan jantung yang tiba-tiba menghentak dada. Ia tak menyangka akan bertemu dirinya di sini."Kamu sedang apa di sini?"Sekilas melihat berkas ada di tangan Hana, Elena pun sudah dapat menyimpulkan sesuatu tanpa harus menunggu jawaban."Oh, Kamu kerja di sini? Sejak kapan? Kok nggak cerita ke aku?"Senyum manis pun terbit di wajah si dokter. Cantik sekali. Itulah yang ada di benak Hana. Blazer mahal yang menutupi tubuh ramping, memukau siapapun pria yang memandangnya. Rambut panjang nan lurus menjuntai ke bawah menambah keindahan. Kecantikan yang dimiliki Elena cukup elegan dan mewah.Berbeda dengan dirinya, hanya dibalut blouse terbaik yang sudah dipakai tiga kali dalam seminggu. Bukan karena apa-apa, lantaran hanya ada dua atau tiga pakaian bagus dan layak yang bisa dipakai di perusahaan tersebut. Koleksi kaos dan celana sobek tidak memungkinkan untuk menemaninya di sana."A-aku juga baru seminggu, Len."Kur
Masih belum menyerah, Elena berdiri tepat di samping kursi pria itu duduk sambil menepuk lengan. Nada bicara dibuat manja dan seakrab mungkin. Walau sudah tahu pria itu tidak mencintainya, ia akan terus berusaha bersikap baik dan lembut. Pun berharap suatu saat ada keajaiban dan pria itu membuka hati untuknya."Iya, Elen. Maaf, aku sibuk. Bentar lagi aku ada meeting di luar. Kamu ngapain datang siang-siang begini? Kamu tidak praktek, apa?"Sorot mata tertuju pada proposal dan mulai mengeceknya. Ia tidak mau ada sedikit kesalahan saat bertemu dengan klien yang sebentar lagi akan ia temui. Kehadiran Elena saat itu sangatlah mengganggu waktu kerja, menurutnya.Sementara Hana yang mendengar penuturan Mahendra tiba-tiba merasa kehilangan sosok Mahendra yang dulu. Pria yang tidak pernah berucap kasar dan ketus seperti itu kepadanya dulu. Yang ia tahu, mantan kekasih itu penuh kelembutan dan sungguh romantis. Ah, mungkin umur bisa merubah semua sikap dan gaya bicara seseor
Hana tak tahu harus berbuat apa. Cuma, ia pun tak merasa nyaman dengan situasi seperti itu. Namun, ia memilih diam lantaran tidak ingin ikut mencampuri perkara mereka. Mesin pendingin di ruangan yang semestinya menyejukkan malah terasa panas seperti disengat kobaran api menerobos ke pembuluh darah. Mendadak kepala Hana pening. Entah karena daya tahan tubuh yang melemah atau panasnya darah yang dihantar sampai ke otak.Elena terpaksa menghentikan kalimat ketika Mahendra mengangkat kepala dan sorot mata yang diberikan mengandung arti berbeda. Ia menggigit bibir, menahan gejolak di hati yang tiba-tiba menderanya. Ia tak suka penolakan dari pria itu. Selama ini, ia sudah berusaha sekuat tenaga mencoba mencuri perhatian Mahendra, tetapi pria itu seolah menghempaskan usahanya."Kalau gitu, aku pamit. Jangan lupa kue dan kopinya dimakan dan diminum."Melangkah keluar selepas melambaikan tangan kepada Hana, Elena pulang membawa kekalahan. Kalah menahan gerimis yang terpaksa
Terpaksa Hana turun dan mengikuti langkah Mahendra dari belakang lantaran tak ingin mendapati tatapan tanya atau prasangka aneh-aneh dari Pak Dadang. Khawatir si supir berkumis membocorkan apa yang tengah terjadi, ia tak mau rekan kantor tahu masa lalunya dengan sang atasan. "Soto ayam dua dan cokelat panas dua."Tanpa bertanya Hana mau makan apa, Mahendra langsung memesan makanan setelah pramusaji menyodorkan menu. Pria itu bahkan belum membuka buku tersebut."Aku tidak mau makan di sini. Aku bawa bekal dari rumah. Tahu kamu mau makan dulu, mendingan aku bawa bekalku tadi. Kan, jadi mubajir kalau akhirnya bekal yang kubawa nggak aku makan."Melipat tangan dan diletakkan di atas meja, Hana tak ingin membalas sorot mata pria yang menghangat hatinya. Mata bulat itu menyapu ke sekeliling ruangan, mencuci mata. Dia sudah lama tak refreshing. Hidupnya hanya mencari uang untuk menghidupkan dua orang yang ia sayangi. Ibu dan Kaindra."Bekalmu nanti aku makan untuk
Hana menegaskan kembali dan mengulang pertanyaan yang sama. Sebenarnya ia geregetan dengan sikap Mahendra yang tidak menghargai jerih payah seseorang yang rela menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengunjunginya. "Bisakah kamu tidak membahas hal itu denganku, Sayang?"Sapaan sayang yang terucap mendapat decakan keras nan kesal. Namun, di sisi hati yang terdalam sapaan itu menentramkan relung sanibarinya. Suka? Iya, ia hampir terjerumus lagi dengan gombalan sang mantan kekasih. Bahkan tatapan pria itu nyaris membius diri dan melempar ingatan Hana ke masa lalu saat mereka sedang bersama. Tanpa segan, Mahendra menyentuh dan menggenggam jemari Hana hingga membangkitkan desiran halus di dada Hana. Ini pertama kalinya dia tidak kuasa menolaknya."Beri aku kesempatan lagi untuk memperbaiki hubungan kita. Iya?"Kalimat penuh keseriusan dan ketulusan akhirnya bisa dikeluarkan kembali Mahendra setelah melihat emosi Hana sudah melunak. Wajah yang tidak menunjukkan pen
"Kamu kenapa, Han? Kok, jadi pendiam setelah habis dari toilet? Elen bilang apa sama kamu?"Sebuah tangan kokoh tak segan menyentuh jemari Hana saat mereka duduk bersisian di dalam mobil. Mahendra dapat membaca ekspresi wajahnya yang berubah redup dan coba menduga penyebabnya adalah Elena.Wajah dingin Hana tidak menyahuti tetapi dengan cepat ia menjauh jemarinya dan melipat tangan diletakkan ke dada. Pandangan dibuang ke luar jendela. Seketika membayangkan kejadian tadi di luar restoran tatkala dia sudah berada di dalam mobil sebelum kendaraan itu melaju. Seorang wanita berambut pendek yang baru keluar dari mobil putih, sedang disambut Elena. Lalu, mereka saling melempar senyuman hangat seraya berpelukan yang setelahnya saling mencium pipi. Pemandangan yang membuat hati Hana tersentil. Walau tidak melihat wajah yang tubuhnya membelakangi Hana, tetapi ia tahu wanita yang bersama Elena itu adalah mama Mahendra. Kedekatan mereka membuat Hana meras
"Kenapa, Han? Apa yang terjadi? Kenapa kamu nangis? Ada apa?"Bertubi-tubi pertanyaan yang dilayangkan pria tersebut sambil mengguncang lengan wanitanya. Ia tak mau melihat wanita itu menggendong kesedihannya sendiri. Ia sudah berjanji dalam diri, akan membahagiakan wanita tersebut di sisa hidupnya. Desakan pertanyaan tersebut berhasil meluluhkan air mata yang sudah tertumpuk di pelupuk mata, Hana merasa dunianya menjadi gelap. Baru saja dia mendapat kabar buruk dari ibu tentang orang yang selama ini paling berharga dalam hidupnya. Kaindra."Kai ....""Kenapa dengan anak kita?"Jantung pria itu berdebar ketika Hana menyebut nama anak tersebut dengan linangan air mata yang tak mau berhenti."Bicara, Han!" Nadanya terdengar semakin mendesak dan menghentak. Dia tahu ada berita buruk dan tak sabar ingin segera mengetahuinya."Kai kecelakaan dan sekarang dia tak sadarkan diri. Ada pendarahan di otaknya. Tapi ...."
Namun, itu semua hanya keinginan belaka. Nyatanya, golongan darah Hana adalah B, berbeda dengan Kai. Tidak memungkinkan hal itu terjadi. "Aku mau masuk melihat Kai." Mahendra berjalan maju, hendak mendekati pintu ruang tempat Kai ditidurkan. Ia ingin melihat langsung keadaannya setelah mendengar semua penjelasan sang dokter anak."Maaf, Anda tidak diperbolehkan masuk karena Ananda Kaindra sedang dirawat intens."Kedua tangan Arsenio menahan tubuh Mahendra yang ingin menerobos ke dalam. Kedua mata mereka bertemu, menunjukkan rasa tak suka."Aku hanya ingin memastikan keadaannya dan mau mendonorkan darah kepadanya.""Maaf, donor darah tidak seperti donor uang. Harus diperiksa terlebih dahulu kecocokan darah itu. Anda tidak bisa sembarang."Sekilas terlihat dokter muda itu mengangkat sedikit kedua sudut bibir. Sinis, itulah artinya senyuman tersebut. Ia merasa pria kaya itu tidak bisa berbuat sesuka hatinya. Ada aturan da
"Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Mahendra berucap setelah cangkir putih sedikit menjauhi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia meneguk lagi hingga minuman itu kandas."Kamu bisa andalkan aku tanpa menyewa mereka. Aku selalu siap ada untuk mereka. Kamu tak lupa, kan, tujuh tahun aku pernah menjadi —""Ya, ya. Jangan kamu lanjutkan, aku tak suka. Tapi saranku jangan menyalahgunakan niat baikmu yang dulu-dulu. Mereka ada aku sekarang. Aku tidak akan segan bertarung kepadamu jika —""Jika kamu tak ingin aku merebut Hana, maka perjuangkanlah. Jika sedikit saja kamu lengah, siapkan diri untuk merasakan kehilangannya."Entah bagaimana mereka ini. Padahal, Arsenio sudah sepakat untuk mengundurkan diri dan berhenti berjuang mengambil hati Hana. Namun, di sesi lain, dia akan kembali merebut jika Mahendra lengah dan gagal membuat Hana bahagia.Hal itu membuat Mahendra harus tetap waspada. Meski iya, sekarang seutuhnya raga Hana telah digenggam, tetapi tidak menutup kemungkinan wan
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."