"Kenapa, Han? Apa yang terjadi? Kenapa kamu nangis? Ada apa?"
Bertubi-tubi pertanyaan yang dilayangkan pria tersebut sambil mengguncang lengan wanitanya. Ia tak mau melihat wanita itu menggendong kesedihannya sendiri. Ia sudah berjanji dalam diri, akan membahagiakan wanita tersebut di sisa hidupnya.Desakan pertanyaan tersebut berhasil meluluhkan air mata yang sudah tertumpuk di pelupuk mata, Hana merasa dunianya menjadi gelap. Baru saja dia mendapat kabar buruk dari ibu tentang orang yang selama ini paling berharga dalam hidupnya. Kaindra."Kai ....""Kenapa dengan anak kita?"Jantung pria itu berdebar ketika Hana menyebut nama anak tersebut dengan linangan air mata yang tak mau berhenti."Bicara, Han!"Nadanya terdengar semakin mendesak dan menghentak. Dia tahu ada berita buruk dan tak sabar ingin segera mengetahuinya."Kai kecelakaan dan sekarang dia tak sadarkan diri. Ada pendarahan di otaknya. Tapi ...."<Namun, itu semua hanya keinginan belaka. Nyatanya, golongan darah Hana adalah B, berbeda dengan Kai. Tidak memungkinkan hal itu terjadi. "Aku mau masuk melihat Kai." Mahendra berjalan maju, hendak mendekati pintu ruang tempat Kai ditidurkan. Ia ingin melihat langsung keadaannya setelah mendengar semua penjelasan sang dokter anak."Maaf, Anda tidak diperbolehkan masuk karena Ananda Kaindra sedang dirawat intens."Kedua tangan Arsenio menahan tubuh Mahendra yang ingin menerobos ke dalam. Kedua mata mereka bertemu, menunjukkan rasa tak suka."Aku hanya ingin memastikan keadaannya dan mau mendonorkan darah kepadanya.""Maaf, donor darah tidak seperti donor uang. Harus diperiksa terlebih dahulu kecocokan darah itu. Anda tidak bisa sembarang."Sekilas terlihat dokter muda itu mengangkat sedikit kedua sudut bibir. Sinis, itulah artinya senyuman tersebut. Ia merasa pria kaya itu tidak bisa berbuat sesuka hatinya. Ada aturan da
Bukan karena permintaan Hana yang akhirnya pertengkaran Mahendra dan Arsenio terhenti. Beberapa petugas dengan cepat mendatangi, memaksa melerai dan menahan tubuh mereka agar terpisah setelah mendapat laporan dari suster yang berjaga.Seharusnya kedua pria dewasa itu malu dengan sikap kekanak-kanakan yang mereka perbuat tadi. Adu kekuatan di depan ruang yang semestinya membutuhkan ketenangan. Apalagi ditambah dengan status mereka sekarang. Arsenio, dokter anak muda nan terkenal yang bertugas sebagai advokat di bidang kesehatan, pendamping dan memberi edukasi kepada pasien. Sementara Mahendra, pengusaha eksekutif dan sukses yang harusnya menjaga sikap kekharisma dan image di depan umum. Mereka tidak seharusnya membuat gaduh di tempat umum."Aku akan mengurus administrasinya. Kamu tunggu di sini."Masih menatap sinis dan setajam belati yang siap melukai Arsenio, Mahendra mendekati tubuh Hana yang bergetar. Sisa tangisan dan kesedihan masih tercetak
Mahendra dimintai perawat untuk beristirahat setelah diambil beberapa kantong darah segar dari tubuhnya. Namun, pria tersebut menolak demi menemani Hana yang masih dicekam rasa kegundahan yang belum usai. Dokter yang berada di ruang operasi belum keluar sejak tiga jam yang lalu. Ada kabar apa di dalam sana, Hana masih menunggu dengan hati yang kacau.Sementara ibu diantar Pak Dadang pulang lantaran Hana khawatir beliau jatuh sakit. Sang ibu harus istirahat di rumah, jika ada kabar terkini mengenai Kaindra, Hana janji akan mengabarinya segera."Kamu mau makan sesuatu, Han? Aku belikan sesuatu untukmu."Pria yang ada di sampingnya menawarkan, tak mau Hana menjadi drop karena terlalu bersedih hati dan membiarkan perutnya kosong yang akan memicu naiknya asam lambung.Gelengan pelan sebagai jawaban Hana dengan tatapan kosong ke arah dinding putih yang ada di hadapannya. Baru saja, dia duduk bersandar setelah Mahendra yang memintanya. Tadi, dia mondar-m
Tiga hari kemudian.Berkat doa dan usaha dokter yang maksimal, Kaindra akhirnya sadar. Bocah itu pun dipindahkan ke ruang inap VVIP yang sengaja diambil Mahendra dengan tujuan agar Kai lebih nyaman. Bocah tanpa rambut itu sudah terlihat membaik walau terkadang masih mengeluh sakit di bagian kepala, bekas jahitan.Semua alat bantu selang sudah dilepas, dari alat bantu pernafasan, selang buang air kecil dan selang makan yang menghubungkan hidung ke lambung, kecuali selang infus yang masih menacap di punggung tangannya."Kamu ingin minum, Kai?"Sang ibu mendekati putranya ketika ia membuka mata dan berusaha bangun untuk mengambil posisi duduk. Tawaran Hana mendapatkan anggukan Kai dengan mata menatap intens ke arah pria yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Pria itu duduk di sofa sudut ruangan, sedang mengecek beberapa email penting yang dikirim sekretarisnya.Tadi pagi sekali saat ia bangun, matanya belum melihat pria berkemeja navy ters
"Tidak, Han. Kamu jangan salah paham denganku. Namamu akan aku ikutsertakan ke dalamnya. Kalian berdua akan ada dalam daftar kartu keluargaku. Orangku bisa mengaturnya dengan syarat status istri untukmu."Pria itu pun ikut berdiri. Ia tak mau wanitanya selalu bersikap ekstrem kala membahas tentang masalah mereka. Hana hanya salah paham dan ia ingin meluruskannya.Disini Hana merasa ada yang aneh. Meski ia sudah menyetujui keputusan dari pengacara tempo lalu, tetapi hatinya menampik, belum seutuhnya ikhlas jika Mahendra mengambil alih tanggung jawab terhadap Kai. Padahal sebenarnya, yang dilakukan Mahendra hanya ingin meringankan bebannya.Namun kali ini, Hana sedang memperjuangkan harga dirinya. Ia tak mau Mahendra seenak jidat mengambil apa yang sudah dipertahankan hingga membuatnya frustasi dan depresi, waktu itu.Dulu, dia merasa tubuh dan jiwa sakit sesakit-sakitnya. Tidak ada tempatnya mengadu. Hanya pada Tuhan, dia bersujud dan bersimpuh unt
Geram masih bergelayut di dada kalau Mahendra membahas hal itu. Bara api kemarahan muncul lagi di hati. Dia terlalu khawatir pria itu akan merebut Kai darinya. Ia tak bodoh. Ok, kalau niat awalnya Mahendra hanya memasukkan nama Kai ke kartu keluarganya. Terus, apa yang akan terjadi selanjutnya? Kai akan jadi miliknya seuntuhnya di mata negara, bukan? Nalar, dong. "Hei, kamu kenapa? Ayolah, Hana. Kenyataannya seperti itu, dia anakku, darah dagingku. Sekuat apapun kamu tidak menganggap aku, hasil DNA sudah membuktikan kalau Kai anakku." Dia menahan tubuh, belum mau keluar dari ruang inap. Sementara Hana tidak mau Kai mendengar semua pembicaraan orang dewasa tersebut. Mereka terhenti di depan pintu, tetapi masih di dalam ruangan."Sekarang kamu berani bilang seperti itu? Bagaimana perasaanmu saat dulu kamu menyuruhku membuangnya?" Menggeleng lalu suara dibuat sepelan mungkin, ia belum siap bocah itu mendengarnya. Ia khawatir Kai kena mental nanti
"Lama aku curiga dan kini aku tahu mengapa gelagat kalian sangat aneh saat itu."Ingatan pada pertemuan tak sengaja antara Elena dan Hana di salah satu mall pun mencuat kembali. Waktu itu memang Elena maupun Arsernio sempat disengat kecurigaan lantaran Mahendra ngotot ingin mengantar Hana dan Kai pulang tetapi mendapat penolakan.Awal sang dokter gigi menganggap ketidaknyamanan Hana karena tidak saling mengenal hingga timbul rasa sungkan Hana terhadap niat baik Mahendra. Namun, setelah tak sengaja mendengar percakapan lima menit yang lalu, ia baru tahu semuanya."Tapi hubungan kita sudah lama berakhir."Hana memberanikan diri untuk mengatakan hal itu meski ada sesuatu yang sakit di dada. Entahlah, ia sendiri tak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaannya. Satu sisi, ia muak melihat kehadiran pria itu. Sisi lain, ia ingin Kai menuntaskan keinginannya bertemu dengan sang ayah. Anak itu sangat antusias dan hati Hana terharu melihat pemandangan langka
Harusnya Hana lega karena ia bisa terlepas dari jeratan Mahendra dengan perjodohan kedua orangtua mereka. Bukankah itu yang diharapkan? Melupakan segala masa lalu dan pria itu harus pergi dari hidupnya. Namun, mengapa deretan kalimat Elena saat di pintu, mendesak membuatnya seolah ia harus mempertahankan cinta lamanya.Apa dia masih sisa rasa cinta untuk pria masa lalunya? Bukankah rasa sakit sudah mengajarnya untuk membenci pria itu? Mengapa kini ia meragu lagi? Apa ini yang namanya cinta itu buta? Cinta itu bodoh? Cinta itu menyesatkan? Argh, Hana menyandarkan punggung ke sofa. Ia butuh dinding untuk dijadikan sandaran hidupnya. Ia butuh seseorang yang bisa memapah berjalan bersama mengarungi dunianya. Namun siapa? Dia belum memilih."Han, kamu sudah makan?"Suara itu mengangetkannya. Dengan cepat, ia membuka mata dan menoleh suara familiar yang menyejukkan hati."Ibu." Dia membenarkan posisi duduk dan bergeser kala ibu mendekati dan h