"Apa Kai itu putraku?"
Tanpa basa-basi, Mahendra langsung menodong pertanyaan saat Hana melangkah menuju ke mejanya."Bukan."Sudah pasti Hana akan mengelak hal yang sudah ia sembunyikan selama ini. Ia tak ingin pria itu mengakui status anak dari bocah yang sudah dia perjuangkan tujuh tahun yang lalu.Menanggapi jawaban singkat nan ketus, Mahendra tertawa sumbang sambil menelan ludah pahit. Dia sudah melakukan suatu hal untuk membuktikan kalau Kaindra adalah putranya. Hanya saja, hasilnya belum dalam proses dan dia masih menunggu."Oh, apakah selama kehamilan, kamu terlalu membenciku sehingga ada kemiripan wajahku di wajah Kai?"Bergeming, Hana tak berniat menanggapinya. Namun, dalam diam ia mencoba menelaah maksudnya. Satu hal lagi, ia pun membenarkan kemiripan antara mereka. Akan tetapi, di depan pria itu, ia tak mungkin akan mengakuinya."Kamu tak mungkin sudah menikah dengan pria lain lalu menyatakan kalau Kai adala"Kamu sedang labil, Han. Makanya kamu tega mengatakan hal yang menyakitkan untukku. Tapi aku yakin hatimu berkata lain."Masih berusaha melepaskan tangan Mahendra yang mengikat tubuhnya, bibir Hana terus membeberkan kalimat pahit yang membuat Mahendra belum putus asa.Andaikan Mahendra tahu kalau masa itu, ia runtuh hingga terjatuh dan hancur. Kesepian, ia menyendiri, tidak ada teman yang bisa diajak untuk berbicara tentang aib dan anak diharamkan calon ayahnya sendiri.Satu-satunya orang yang dianggap ada hanyalah ibu yang sudah renta. Namun, apakah dia sanggup untuk menahan omongan orang tentang perbuatan zina yang sudah dia lakukan? Tidak, ia memilih mengasingkan diri.Jiwa wanita sederhana itu hampa, dan kini Mahendra hadir seolah sedang menyiram cuka di luka yang menganga. Perih dan berdenyut nyeri, hatinya seolah semakin hancur berkeping-keping."Kamu jangan terlalu percaya diri, Dra.""Kamu harus mendengarkan dari sisiku,
Masih didekap rasa penasaran, Irma ingin tahu apa yang terjadi. Ada jejak sembab di mata Hana yang tidak bisa disembunyikan. Aneh, ia merasa ada yang berbeda dengan hari ini. Sudah biasa memang karyawan yang keluar masuk ruangan pak direktur akan mengalami tekanan batin karena laporannya diminta revisi ulang. Sang direktur memang disiplin dan perfeksionis, tidak mau ada sedikit kesalahan dalam memberi laporan. Namun, biasa mereka akan menampakkan wajah murung bukan marah seperti Hana, apalagi mata memerah seperti selesai menangis."Aku ke toilet dulu."Tidak ingin ditanya atau menjawab, Hana pun berdiri dan langsung meninggalkan Irma yang cukup perhatian padanya. Sebenarnya bukan kepo, Irma hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Jika Hana membutuhkan uluran tangan, ia dengan tangan terbuka akan menyambutnya.Membasuh untuk menghilangkan jejak kesedihan sekaligus kemarahan yang tercetak di wajahnya, tiba-tiba ingatan Hana kembali ke peris
"Ma, hari ini nenek dan kakek datang ke sekolah dan mengunjungi Kai. Mereka menemani Kai pas jam istirahat dan kami berbicara."Ah, bocah itu memang terlihat lebih dewasa dari anak seusianya. Dari gaya bicaranya, sudah tampak berbeda. Ini efek dari dirinya suka membaca hingga kosakata yang ia punya cukup beragam. Rasanya tak sia-sia Hana membekali banyak majalah dan buku anak-anak. Anak itu pun tidak menghabiskan waktu luang di depan ponsel. Bukannya Kai tidak suka, Hana-lah yang tak sanggup membeli benda canggih nan menagihkan tersebut untuknya."Oh, ya?"Jujur, Hana senang mendapati ada orang yang sayang dan memperhatikan putranya. Ia tahu Kai tidak kekurangan kasih sayang, tetapi dalam hati kecil Hana pernah timbul sedikit prihatin lantaran Kai tidak pernah merasakan kehadiran sosok ayah. Apalagi saat berulang kali, bocah tersebut mengeluh ingin mengetahui keberadaan ayah. Ia ingin merasakan kasih sayang seorang ayah seperti yang diceritakan teman-teman
"Iya, aku butuh bantuan kamu untuk meyakinkannya, Han."Nada Mahendra dibuat setenang mungkin. Meski ia sudah terbiasa menghadapi hal yang menegangkan, terus terang ia merasakan sedikit gugup kalau menyangkut Hana.Menggeleng, "jangan harap aku akan melakukannya untukmu. Tidak akan pernah ada dalam benakku, dia mengakui kamu ayahnya. Yang dia tahu, kalau ayahnya sudah lama mati. Kamu dengar itu!"Nada melengking semakin memekakkan telinga, Mahendra pun tak gentar. Kaki melangkah mendekati dan berbisik ketika sudah berada lima puluh centimeter dari wanita yang telah memberinya tatapan sinis."Kalau begitu, maaf aku harus melakukan cara lain untuk memaksa agar kamu mau membantu aku meyakinkan anakku sendiri."Beriring dengan kalimatnya, seorang pria berjas hitam dengan kacamata bertengger di hidung pun masuk ruangan bersama Aldo.Hana yang tidak mengenali sosok pria berpakaian rapi tersebut, pun mengalihkan pandangan. Ucapan Mahend
"Bu Hana, saya mohon tenang. Apa yang akan dilakukan Pak Hendra itu untuk kebaikan Anda dan anak kalian."Sang pengacara berusaha menenangkan amukan dan serangan dadakan dari Hana. Dia sudah terbiasa dengan reaksi yang ditunjukkan wanita itu. Dia sering menjumpai klien melakukan hal yang serupa. Hal itu bukanlah masalah baru baginya."Tidak ada yang salah dengan perjanjian ini, coba Ibu Hana menyimak kembali isi naskah tersebut. Bu Hana hanya mengizinkan Pak Hendra untuk mengakui Kaindra sebagai anak kandung dan membiarkan anak itu diasuh dan dirawat bersama. Jika Ibu setuju, masalah ini selesai dan tidak perlu diperpanjang sampai ke meja hakim.""Apa katanya? Diasuh dan dirawat bersama? Apa artinya? Dia? Apa dia mau merebut Kai dariku? Perpanjang? Apa dia sedang menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk mengacamku?"Lagi, deretan pertanyaan yang berenang dalam dada pun membuat hati kecil Hana semakin meradang. Ada ribuan kedongkolan tercetak di wajah imut yang mulai memerah. Dinginny
Rasanya sesak sekali ketika Hana harus mengingat masa lalu yang merupakan masa tersulitnya waktu itu. Rasa kecewa kembali menggumpal di dada jika mengungkit masa itu. Air mata yang sudah penuh di pelupuk pun tak terelakan ketika Hana memejamkan mata. Mengalir terus tanpa bisa ditahan."Hari ini dan mulai detik ini, aku datang akan menebus semua yang tak pernah aku lakukan untuknya. Aku janji akan membahagiakan kalian di sisa hidupku. Aku ...."Tiba-tiba Hana mengamuk kembali. Hatinya menolak dan terluka hingga dorongan kuat mengurai dekapannya. Mata kebengisan pun diberikan kepada ayah biologis Kai. "Terlambat, Dra. Dia tak butuh peran ayah sekarang. Dia sudah mendapatkan semua asupan tanpa ayah. Kami sudah terbiasa bertahan dan tak akan cengeng dengan kejamnya kehidupan yang pahit. Kami sudah diajarkan bagaimana harus hidup tegar saat tidak ada kamu di sisi. Jadi, kami tidak butuh kamu. Jangan pernah hadir dalam kehidupan kami!""Bagaimanapun di
"Bawa semua barangmu keluar dari rumah ini. Kami tak butuh!"Sebuah pesan dari Hana terkirim dalam satu menit mendapatkan centang dua biru. Penerima pun langsung membalas dengan tanda emoticon tersenyum. Iya, hanya itu balasan dari seberang sana, membuat Hana tak tenang. Emosi tadi belum mereda sepenuhnya, pun kini naik kembali sampai ke ubun-ubun ketika mendapati barang mewah di rumahnya. Namun, ia tidak mau menerima. Lantaran belum puas dengan jawaban lawannya, ia pun mengirimkan pesan yang sedikit menohok."Jika dalam satu jam tidak ada yang membawa barang itu, jangan salahkan aku membuangnya ke jalanan. Aku serius !!!!!"Sengaja ia memberi banyak tanda seru di akhir kalimatnya. Hanya ingin meyakinkan bahwa ia tidak main-main dengan kalimatnya. Ia tidak sedang bercanda. Meski tahu barang itu berkualitas baik dan mahal harganya, tetapi ia tak segan menyingkirkan benda itu dari rumah kontrakan sederhana. Ia belum bisa menerima apa pun dari pria
Pertanyaan tersebut bersamaan dengan Hana berdiri memberi senyuman simpul. "Benar. Kalian?""Saya Clara, asisten Pak Ronald dan ini dr.Lismiati, rekanan kami."Kedua wanita itu memperkenalkan seraya mengangguk."Apa Anda Bu Hana?"Tangan terjulur dan mengambang di udara, menunggu sambutan. Hana dapat merasakan aura persahabatan dari mereka, pun terhipnotis berjabat tangan. Hangat dan lembut tatapannya.Mengangguk cukup menanggapi pertanyaannya. Rasa ingin tahu siapa mereka dan apa maksud kedatangannya pun segera terjawab ketika mereka mengangkat suara."Bisa bicara di luar? Ada hal yang ingin kami bahas mengenai masalah Bu Hana dan Pak Hendra. Sebelumnya saya minta maaf karena Pak Ronald berhalangan hadir, jadi saya yang mewakili beliau. Apa Bu Hana keberatan?"Dengan tatapan penuh akrab, Clara menuturkan kalimat dengan sopan. Wanita berpakaian rapi dengan blouse merah maroon itu cukup pintar berkata-kata. Ia m