Emosi Hana meluap ketika deretan aksara istri Togar berenang dalam ingatannya. Sebal tadi dia mendengar semua ocehannya di teras. Hanya saja tadi tubuh Hana sudah lelah karena perjalanan macet memakan waktu satu jam lebih hingga tenaganya sudah terkuras hampir habis.
"Sudahlah, Nak. Hidup memang begitu. Yang berkuasa akan merasa sombong dan menghimpit kita yang lemah. Kita perlu ingat, suatu saat jika kita yang ada di atas, jangan mencontoh seperti yang dilakukan mereka. Tetap rendah hati dan saling membantu."Sang ibu yang selalu lemah lembut memberi petuah. Wanita tangguh tersebut selalu mengisi semangat Hana yang hampir kosong. Orangtua yang selalu ada saat Hana membutuhkan. Single parent yang ikut banting tulang untuk memenuhi hidup Kai dan Hana.Tidak menyahutinya lagi, Hana memeluk ibu dengan hangat. Dekapan yang sangat diperlukan saat hatinya diserang kegundahan, kesedihan, kejengkelan dan kekecewaan."Oh, ya, kamu tahu besok Kai ada studiPagi itu, setelah menyiapkan bekal untuk Kai seperti biasa, Hana bersiap-siap di depan cermin dengan blouse terbaiknya. Atasan cokelat dan celana kulot hitam. Dia hanya punya outfit itu, yang terbaik, menurutnya. Wanita itu memang jarang belanja online atau offline untuk kebutuhan fashion. Toh, biasanya ia hanya mengenakan kaos oblong dan celana jeans panjang. Baginya, itulah outfit yang paling nyaman.Namun sekarang bekerja di perusahaan berkelas, tak mungkin rasanya ia mengenakan pakaian santai tersebut. Selesai merapikan diri, Hana pun pamit kepada ibu yang sedang mencuci perkakas perangnya dalam membuat kue pesanan."Bu, kotak kuenya aku bawa, ya!" Nada sedikit teriak dari pintu, Hana membawa kue dengan hati-hati. Lumayan, ada pesanan kue basah sebanyak dua ratus buah dari langganan ibu. Sebelum ke kantor, Hana harus bertolak ke sekolah Kai dan mengantar kue tersebut. Mendingan diantar sendiri daripada harus keluarkan biaya tambahan untuk ongkos kirim
"Oh, my God. Apakah yang dikatakan Irma semuanya adalah benar? Bagaimana mungkin ada pintu canggih di dunia ini?" Hana membatin. Tiba-tiba ia merasa seperti tahanan yang harus menjaga image-nya di depan polisi agar ia bisa dicap baik olehnya."Jadi sebisa mungkin bersikap sewajarnya jika kita sudah berada di luar. Kegiatan kita bisa dipantau dari dalam. Kamu paham, Hana?"Lagi, Irma mengingatkan agar ia bisa menekan kesalahan selama bekerja di perusahaan. Tidak ada kata yang keluar dari mulut, Hana kembali mengangguk pertanda paham."Kamu sudah siap?" Irma bertanya dan mendapat anggukan dari Hana.Irma mengetuk pintu ketika Hana sudah siap mengendalikan hati untuk bertemu atasan barunya. Butuh beberapa detik kemudian muncul lampu kecil berwarna hijau pertanda pintu sudah bisa didorong dan mendapat persetujuan sang direktur untuk masuk ke dalam ruangannya. Irma dan Hana saling menautkan pandangan lalu Irma mengangguk, memberi kode bahwa m
"Tolong mengerti posisi saya. Saya yang meresponbilitas semua kesejahteraan pekerja. Di sini bukan hanya ada direktur, saya harus menghadap komisaris, pemegang saham dan direksi lainnya. Bagaimana saya berbicara hal ini kepada mereka, jika Bu Hana mengundurkan diri sebelum masa kontrak kerja habis?"Pak Bambang menahan Hana yang ingin keluar dari gedung. Dengan segenap hati, pria gendut itu meminta Hana masuk ke ruangannya untuk membahas kembali rencana Hana.Tadi Hana terus memaksa Mahendra membukakan pintu otomatis tersebut. Ia tak mau berlama-lama di dalam sana berdua dengannya. Ia mau pulang, katanya.Mahendra, atasan yang dikenal disiplin nan tegas itu pun tunduk keinginannya untuk keluar dari ruang kerjanya. Lantaran tak bisa meng-handle-nya, ia memerintahkan Pak Bambang mencoba menarik Hana kembali. Entah bagaimana caranya, sang atasan tidak mau tahu. Pokoknya, si HR itu harus bisa membujuk Hana mengurungkan niatnya dari pengunduran diri."
Kai kesusahan menjelaskan apa yang baru terjadi di Plant farm, tempat di mana ia dan temannya melakukan studi tur tadi pagi. Lantaran tidak mendapat respon dari Kai, Hana mengambil ponsel dan langsung menghubungi wali kelas untuk mendapat jawaban."Maaf, Ibu Hana. Saya belum sempat memberi info kepada Ibu. Dari pagi sampai siang, saya masih sibuk mengurus sekolah.""Iya, tak apa-apa, Bu. Maaf merepotkan Bu Siska."Rasa sungkan pun bergelayut di dada, Hana merasa tak enak hati karena takut mengganggu jam istirahat malam sang guru. Namun, jika tidak menelepon malam ini juga, ia khawatir tak bisa tidur karena terlalu memikirkannya."Saat anak-anak sedang memperhatikan tanaman yang diperagakan pekerja di sana, sang pemilik farm itu telah menyelipkan 5 lembar uang yang tersebar di daerah sana. Katanya sih untuk menguji kejujuran siswa SD Karya Pusaka. Dan, di antara 5 anak yang menemukan uang itu, hanya ada satu anak yang mengembalikan uang itu. Yaitu
"Apa Kai itu putraku?"Tanpa basa-basi, Mahendra langsung menodong pertanyaan saat Hana melangkah menuju ke mejanya."Bukan."Sudah pasti Hana akan mengelak hal yang sudah ia sembunyikan selama ini. Ia tak ingin pria itu mengakui status anak dari bocah yang sudah dia perjuangkan tujuh tahun yang lalu.Menanggapi jawaban singkat nan ketus, Mahendra tertawa sumbang sambil menelan ludah pahit. Dia sudah melakukan suatu hal untuk membuktikan kalau Kaindra adalah putranya. Hanya saja, hasilnya belum dalam proses dan dia masih menunggu."Oh, apakah selama kehamilan, kamu terlalu membenciku sehingga ada kemiripan wajahku di wajah Kai?"Bergeming, Hana tak berniat menanggapinya. Namun, dalam diam ia mencoba menelaah maksudnya. Satu hal lagi, ia pun membenarkan kemiripan antara mereka. Akan tetapi, di depan pria itu, ia tak mungkin akan mengakuinya. "Kamu tak mungkin sudah menikah dengan pria lain lalu menyatakan kalau Kai adala
"Kamu sedang labil, Han. Makanya kamu tega mengatakan hal yang menyakitkan untukku. Tapi aku yakin hatimu berkata lain."Masih berusaha melepaskan tangan Mahendra yang mengikat tubuhnya, bibir Hana terus membeberkan kalimat pahit yang membuat Mahendra belum putus asa.Andaikan Mahendra tahu kalau masa itu, ia runtuh hingga terjatuh dan hancur. Kesepian, ia menyendiri, tidak ada teman yang bisa diajak untuk berbicara tentang aib dan anak diharamkan calon ayahnya sendiri.Satu-satunya orang yang dianggap ada hanyalah ibu yang sudah renta. Namun, apakah dia sanggup untuk menahan omongan orang tentang perbuatan zina yang sudah dia lakukan? Tidak, ia memilih mengasingkan diri.Jiwa wanita sederhana itu hampa, dan kini Mahendra hadir seolah sedang menyiram cuka di luka yang menganga. Perih dan berdenyut nyeri, hatinya seolah semakin hancur berkeping-keping."Kamu jangan terlalu percaya diri, Dra.""Kamu harus mendengarkan dari sisiku,
Masih didekap rasa penasaran, Irma ingin tahu apa yang terjadi. Ada jejak sembab di mata Hana yang tidak bisa disembunyikan. Aneh, ia merasa ada yang berbeda dengan hari ini. Sudah biasa memang karyawan yang keluar masuk ruangan pak direktur akan mengalami tekanan batin karena laporannya diminta revisi ulang. Sang direktur memang disiplin dan perfeksionis, tidak mau ada sedikit kesalahan dalam memberi laporan. Namun, biasa mereka akan menampakkan wajah murung bukan marah seperti Hana, apalagi mata memerah seperti selesai menangis."Aku ke toilet dulu."Tidak ingin ditanya atau menjawab, Hana pun berdiri dan langsung meninggalkan Irma yang cukup perhatian padanya. Sebenarnya bukan kepo, Irma hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Jika Hana membutuhkan uluran tangan, ia dengan tangan terbuka akan menyambutnya.Membasuh untuk menghilangkan jejak kesedihan sekaligus kemarahan yang tercetak di wajahnya, tiba-tiba ingatan Hana kembali ke peris
"Ma, hari ini nenek dan kakek datang ke sekolah dan mengunjungi Kai. Mereka menemani Kai pas jam istirahat dan kami berbicara."Ah, bocah itu memang terlihat lebih dewasa dari anak seusianya. Dari gaya bicaranya, sudah tampak berbeda. Ini efek dari dirinya suka membaca hingga kosakata yang ia punya cukup beragam. Rasanya tak sia-sia Hana membekali banyak majalah dan buku anak-anak. Anak itu pun tidak menghabiskan waktu luang di depan ponsel. Bukannya Kai tidak suka, Hana-lah yang tak sanggup membeli benda canggih nan menagihkan tersebut untuknya."Oh, ya?"Jujur, Hana senang mendapati ada orang yang sayang dan memperhatikan putranya. Ia tahu Kai tidak kekurangan kasih sayang, tetapi dalam hati kecil Hana pernah timbul sedikit prihatin lantaran Kai tidak pernah merasakan kehadiran sosok ayah. Apalagi saat berulang kali, bocah tersebut mengeluh ingin mengetahui keberadaan ayah. Ia ingin merasakan kasih sayang seorang ayah seperti yang diceritakan teman-teman
"Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Mahendra berucap setelah cangkir putih sedikit menjauhi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia meneguk lagi hingga minuman itu kandas."Kamu bisa andalkan aku tanpa menyewa mereka. Aku selalu siap ada untuk mereka. Kamu tak lupa, kan, tujuh tahun aku pernah menjadi —""Ya, ya. Jangan kamu lanjutkan, aku tak suka. Tapi saranku jangan menyalahgunakan niat baikmu yang dulu-dulu. Mereka ada aku sekarang. Aku tidak akan segan bertarung kepadamu jika —""Jika kamu tak ingin aku merebut Hana, maka perjuangkanlah. Jika sedikit saja kamu lengah, siapkan diri untuk merasakan kehilangannya."Entah bagaimana mereka ini. Padahal, Arsenio sudah sepakat untuk mengundurkan diri dan berhenti berjuang mengambil hati Hana. Namun, di sesi lain, dia akan kembali merebut jika Mahendra lengah dan gagal membuat Hana bahagia.Hal itu membuat Mahendra harus tetap waspada. Meski iya, sekarang seutuhnya raga Hana telah digenggam, tetapi tidak menutup kemungkinan wan
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."