Baru saja Hana membuka helm, suara istri Bang Togar melengking dengan menengadahkan tangan. Wajahnya tidak bersahabat menatap Hana dengan sengit. Bibir merona mencolok pun terlihat komat-kamit tak jelas. Belum lagi alis tebal yang melengkung begitu menantang. Entah apa yang menarik dari wajah itu, tetapi Bang Togar sangat takut dan manut kepadanya.
Tidak menyahuti, Hana merogoh tas dan mengeluarkan amplop yang berisi uang merah, hasil pinjaman dari kantor. Dia sudah tahu maksud kedatangan kedua orang yang tak diundang itu. Amplop cokelat langsung direbut kasar wanita tersebut dengan wajah berbinar.Dengan cepat, ia membuka isi amplop dan bibir menor itu membentuk bulan sabit lalu memamerkan gigi kuning dengan lebar. Mulut mulai menghitung jumlah lembaran merah yang ada di genggamannya. Sementara Hana dan Bang Togar masih berdiri di dekatnya.Sesekali tampak Bang Togar melirik, serasa bersalah kepada Hana. Dia memberi tempo tiga hari, tetapi baru sehari isEmosi Hana meluap ketika deretan aksara istri Togar berenang dalam ingatannya. Sebal tadi dia mendengar semua ocehannya di teras. Hanya saja tadi tubuh Hana sudah lelah karena perjalanan macet memakan waktu satu jam lebih hingga tenaganya sudah terkuras hampir habis."Sudahlah, Nak. Hidup memang begitu. Yang berkuasa akan merasa sombong dan menghimpit kita yang lemah. Kita perlu ingat, suatu saat jika kita yang ada di atas, jangan mencontoh seperti yang dilakukan mereka. Tetap rendah hati dan saling membantu."Sang ibu yang selalu lemah lembut memberi petuah. Wanita tangguh tersebut selalu mengisi semangat Hana yang hampir kosong. Orangtua yang selalu ada saat Hana membutuhkan. Single parent yang ikut banting tulang untuk memenuhi hidup Kai dan Hana.Tidak menyahutinya lagi, Hana memeluk ibu dengan hangat. Dekapan yang sangat diperlukan saat hatinya diserang kegundahan, kesedihan, kejengkelan dan kekecewaan."Oh, ya, kamu tahu besok Kai ada studi
Pagi itu, setelah menyiapkan bekal untuk Kai seperti biasa, Hana bersiap-siap di depan cermin dengan blouse terbaiknya. Atasan cokelat dan celana kulot hitam. Dia hanya punya outfit itu, yang terbaik, menurutnya. Wanita itu memang jarang belanja online atau offline untuk kebutuhan fashion. Toh, biasanya ia hanya mengenakan kaos oblong dan celana jeans panjang. Baginya, itulah outfit yang paling nyaman.Namun sekarang bekerja di perusahaan berkelas, tak mungkin rasanya ia mengenakan pakaian santai tersebut. Selesai merapikan diri, Hana pun pamit kepada ibu yang sedang mencuci perkakas perangnya dalam membuat kue pesanan."Bu, kotak kuenya aku bawa, ya!" Nada sedikit teriak dari pintu, Hana membawa kue dengan hati-hati. Lumayan, ada pesanan kue basah sebanyak dua ratus buah dari langganan ibu. Sebelum ke kantor, Hana harus bertolak ke sekolah Kai dan mengantar kue tersebut. Mendingan diantar sendiri daripada harus keluarkan biaya tambahan untuk ongkos kirim
"Oh, my God. Apakah yang dikatakan Irma semuanya adalah benar? Bagaimana mungkin ada pintu canggih di dunia ini?" Hana membatin. Tiba-tiba ia merasa seperti tahanan yang harus menjaga image-nya di depan polisi agar ia bisa dicap baik olehnya."Jadi sebisa mungkin bersikap sewajarnya jika kita sudah berada di luar. Kegiatan kita bisa dipantau dari dalam. Kamu paham, Hana?"Lagi, Irma mengingatkan agar ia bisa menekan kesalahan selama bekerja di perusahaan. Tidak ada kata yang keluar dari mulut, Hana kembali mengangguk pertanda paham."Kamu sudah siap?" Irma bertanya dan mendapat anggukan dari Hana.Irma mengetuk pintu ketika Hana sudah siap mengendalikan hati untuk bertemu atasan barunya. Butuh beberapa detik kemudian muncul lampu kecil berwarna hijau pertanda pintu sudah bisa didorong dan mendapat persetujuan sang direktur untuk masuk ke dalam ruangannya. Irma dan Hana saling menautkan pandangan lalu Irma mengangguk, memberi kode bahwa m
"Tolong mengerti posisi saya. Saya yang meresponbilitas semua kesejahteraan pekerja. Di sini bukan hanya ada direktur, saya harus menghadap komisaris, pemegang saham dan direksi lainnya. Bagaimana saya berbicara hal ini kepada mereka, jika Bu Hana mengundurkan diri sebelum masa kontrak kerja habis?"Pak Bambang menahan Hana yang ingin keluar dari gedung. Dengan segenap hati, pria gendut itu meminta Hana masuk ke ruangannya untuk membahas kembali rencana Hana.Tadi Hana terus memaksa Mahendra membukakan pintu otomatis tersebut. Ia tak mau berlama-lama di dalam sana berdua dengannya. Ia mau pulang, katanya.Mahendra, atasan yang dikenal disiplin nan tegas itu pun tunduk keinginannya untuk keluar dari ruang kerjanya. Lantaran tak bisa meng-handle-nya, ia memerintahkan Pak Bambang mencoba menarik Hana kembali. Entah bagaimana caranya, sang atasan tidak mau tahu. Pokoknya, si HR itu harus bisa membujuk Hana mengurungkan niatnya dari pengunduran diri."
Kai kesusahan menjelaskan apa yang baru terjadi di Plant farm, tempat di mana ia dan temannya melakukan studi tur tadi pagi. Lantaran tidak mendapat respon dari Kai, Hana mengambil ponsel dan langsung menghubungi wali kelas untuk mendapat jawaban."Maaf, Ibu Hana. Saya belum sempat memberi info kepada Ibu. Dari pagi sampai siang, saya masih sibuk mengurus sekolah.""Iya, tak apa-apa, Bu. Maaf merepotkan Bu Siska."Rasa sungkan pun bergelayut di dada, Hana merasa tak enak hati karena takut mengganggu jam istirahat malam sang guru. Namun, jika tidak menelepon malam ini juga, ia khawatir tak bisa tidur karena terlalu memikirkannya."Saat anak-anak sedang memperhatikan tanaman yang diperagakan pekerja di sana, sang pemilik farm itu telah menyelipkan 5 lembar uang yang tersebar di daerah sana. Katanya sih untuk menguji kejujuran siswa SD Karya Pusaka. Dan, di antara 5 anak yang menemukan uang itu, hanya ada satu anak yang mengembalikan uang itu. Yaitu
"Apa Kai itu putraku?"Tanpa basa-basi, Mahendra langsung menodong pertanyaan saat Hana melangkah menuju ke mejanya."Bukan."Sudah pasti Hana akan mengelak hal yang sudah ia sembunyikan selama ini. Ia tak ingin pria itu mengakui status anak dari bocah yang sudah dia perjuangkan tujuh tahun yang lalu.Menanggapi jawaban singkat nan ketus, Mahendra tertawa sumbang sambil menelan ludah pahit. Dia sudah melakukan suatu hal untuk membuktikan kalau Kaindra adalah putranya. Hanya saja, hasilnya belum dalam proses dan dia masih menunggu."Oh, apakah selama kehamilan, kamu terlalu membenciku sehingga ada kemiripan wajahku di wajah Kai?"Bergeming, Hana tak berniat menanggapinya. Namun, dalam diam ia mencoba menelaah maksudnya. Satu hal lagi, ia pun membenarkan kemiripan antara mereka. Akan tetapi, di depan pria itu, ia tak mungkin akan mengakuinya. "Kamu tak mungkin sudah menikah dengan pria lain lalu menyatakan kalau Kai adala
"Kamu sedang labil, Han. Makanya kamu tega mengatakan hal yang menyakitkan untukku. Tapi aku yakin hatimu berkata lain."Masih berusaha melepaskan tangan Mahendra yang mengikat tubuhnya, bibir Hana terus membeberkan kalimat pahit yang membuat Mahendra belum putus asa.Andaikan Mahendra tahu kalau masa itu, ia runtuh hingga terjatuh dan hancur. Kesepian, ia menyendiri, tidak ada teman yang bisa diajak untuk berbicara tentang aib dan anak diharamkan calon ayahnya sendiri.Satu-satunya orang yang dianggap ada hanyalah ibu yang sudah renta. Namun, apakah dia sanggup untuk menahan omongan orang tentang perbuatan zina yang sudah dia lakukan? Tidak, ia memilih mengasingkan diri.Jiwa wanita sederhana itu hampa, dan kini Mahendra hadir seolah sedang menyiram cuka di luka yang menganga. Perih dan berdenyut nyeri, hatinya seolah semakin hancur berkeping-keping."Kamu jangan terlalu percaya diri, Dra.""Kamu harus mendengarkan dari sisiku,
Masih didekap rasa penasaran, Irma ingin tahu apa yang terjadi. Ada jejak sembab di mata Hana yang tidak bisa disembunyikan. Aneh, ia merasa ada yang berbeda dengan hari ini. Sudah biasa memang karyawan yang keluar masuk ruangan pak direktur akan mengalami tekanan batin karena laporannya diminta revisi ulang. Sang direktur memang disiplin dan perfeksionis, tidak mau ada sedikit kesalahan dalam memberi laporan. Namun, biasa mereka akan menampakkan wajah murung bukan marah seperti Hana, apalagi mata memerah seperti selesai menangis."Aku ke toilet dulu."Tidak ingin ditanya atau menjawab, Hana pun berdiri dan langsung meninggalkan Irma yang cukup perhatian padanya. Sebenarnya bukan kepo, Irma hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Jika Hana membutuhkan uluran tangan, ia dengan tangan terbuka akan menyambutnya.Membasuh untuk menghilangkan jejak kesedihan sekaligus kemarahan yang tercetak di wajahnya, tiba-tiba ingatan Hana kembali ke peris