"Oh, my God. Apakah yang dikatakan Irma semuanya adalah benar? Bagaimana mungkin ada pintu canggih di dunia ini?" Hana membatin. Tiba-tiba ia merasa seperti tahanan yang harus menjaga image-nya di depan polisi agar ia bisa dicap baik olehnya.
"Jadi sebisa mungkin bersikap sewajarnya jika kita sudah berada di luar. Kegiatan kita bisa dipantau dari dalam. Kamu paham, Hana?"Lagi, Irma mengingatkan agar ia bisa menekan kesalahan selama bekerja di perusahaan. Tidak ada kata yang keluar dari mulut, Hana kembali mengangguk pertanda paham."Kamu sudah siap?" Irma bertanya dan mendapat anggukan dari Hana.Irma mengetuk pintu ketika Hana sudah siap mengendalikan hati untuk bertemu atasan barunya. Butuh beberapa detik kemudian muncul lampu kecil berwarna hijau pertanda pintu sudah bisa didorong dan mendapat persetujuan sang direktur untuk masuk ke dalam ruangannya.Irma dan Hana saling menautkan pandangan lalu Irma mengangguk, memberi kode bahwa m"Tolong mengerti posisi saya. Saya yang meresponbilitas semua kesejahteraan pekerja. Di sini bukan hanya ada direktur, saya harus menghadap komisaris, pemegang saham dan direksi lainnya. Bagaimana saya berbicara hal ini kepada mereka, jika Bu Hana mengundurkan diri sebelum masa kontrak kerja habis?"Pak Bambang menahan Hana yang ingin keluar dari gedung. Dengan segenap hati, pria gendut itu meminta Hana masuk ke ruangannya untuk membahas kembali rencana Hana.Tadi Hana terus memaksa Mahendra membukakan pintu otomatis tersebut. Ia tak mau berlama-lama di dalam sana berdua dengannya. Ia mau pulang, katanya.Mahendra, atasan yang dikenal disiplin nan tegas itu pun tunduk keinginannya untuk keluar dari ruang kerjanya. Lantaran tak bisa meng-handle-nya, ia memerintahkan Pak Bambang mencoba menarik Hana kembali. Entah bagaimana caranya, sang atasan tidak mau tahu. Pokoknya, si HR itu harus bisa membujuk Hana mengurungkan niatnya dari pengunduran diri."
Kai kesusahan menjelaskan apa yang baru terjadi di Plant farm, tempat di mana ia dan temannya melakukan studi tur tadi pagi. Lantaran tidak mendapat respon dari Kai, Hana mengambil ponsel dan langsung menghubungi wali kelas untuk mendapat jawaban."Maaf, Ibu Hana. Saya belum sempat memberi info kepada Ibu. Dari pagi sampai siang, saya masih sibuk mengurus sekolah.""Iya, tak apa-apa, Bu. Maaf merepotkan Bu Siska."Rasa sungkan pun bergelayut di dada, Hana merasa tak enak hati karena takut mengganggu jam istirahat malam sang guru. Namun, jika tidak menelepon malam ini juga, ia khawatir tak bisa tidur karena terlalu memikirkannya."Saat anak-anak sedang memperhatikan tanaman yang diperagakan pekerja di sana, sang pemilik farm itu telah menyelipkan 5 lembar uang yang tersebar di daerah sana. Katanya sih untuk menguji kejujuran siswa SD Karya Pusaka. Dan, di antara 5 anak yang menemukan uang itu, hanya ada satu anak yang mengembalikan uang itu. Yaitu
"Apa Kai itu putraku?"Tanpa basa-basi, Mahendra langsung menodong pertanyaan saat Hana melangkah menuju ke mejanya."Bukan."Sudah pasti Hana akan mengelak hal yang sudah ia sembunyikan selama ini. Ia tak ingin pria itu mengakui status anak dari bocah yang sudah dia perjuangkan tujuh tahun yang lalu.Menanggapi jawaban singkat nan ketus, Mahendra tertawa sumbang sambil menelan ludah pahit. Dia sudah melakukan suatu hal untuk membuktikan kalau Kaindra adalah putranya. Hanya saja, hasilnya belum dalam proses dan dia masih menunggu."Oh, apakah selama kehamilan, kamu terlalu membenciku sehingga ada kemiripan wajahku di wajah Kai?"Bergeming, Hana tak berniat menanggapinya. Namun, dalam diam ia mencoba menelaah maksudnya. Satu hal lagi, ia pun membenarkan kemiripan antara mereka. Akan tetapi, di depan pria itu, ia tak mungkin akan mengakuinya. "Kamu tak mungkin sudah menikah dengan pria lain lalu menyatakan kalau Kai adala
"Kamu sedang labil, Han. Makanya kamu tega mengatakan hal yang menyakitkan untukku. Tapi aku yakin hatimu berkata lain."Masih berusaha melepaskan tangan Mahendra yang mengikat tubuhnya, bibir Hana terus membeberkan kalimat pahit yang membuat Mahendra belum putus asa.Andaikan Mahendra tahu kalau masa itu, ia runtuh hingga terjatuh dan hancur. Kesepian, ia menyendiri, tidak ada teman yang bisa diajak untuk berbicara tentang aib dan anak diharamkan calon ayahnya sendiri.Satu-satunya orang yang dianggap ada hanyalah ibu yang sudah renta. Namun, apakah dia sanggup untuk menahan omongan orang tentang perbuatan zina yang sudah dia lakukan? Tidak, ia memilih mengasingkan diri.Jiwa wanita sederhana itu hampa, dan kini Mahendra hadir seolah sedang menyiram cuka di luka yang menganga. Perih dan berdenyut nyeri, hatinya seolah semakin hancur berkeping-keping."Kamu jangan terlalu percaya diri, Dra.""Kamu harus mendengarkan dari sisiku,
Masih didekap rasa penasaran, Irma ingin tahu apa yang terjadi. Ada jejak sembab di mata Hana yang tidak bisa disembunyikan. Aneh, ia merasa ada yang berbeda dengan hari ini. Sudah biasa memang karyawan yang keluar masuk ruangan pak direktur akan mengalami tekanan batin karena laporannya diminta revisi ulang. Sang direktur memang disiplin dan perfeksionis, tidak mau ada sedikit kesalahan dalam memberi laporan. Namun, biasa mereka akan menampakkan wajah murung bukan marah seperti Hana, apalagi mata memerah seperti selesai menangis."Aku ke toilet dulu."Tidak ingin ditanya atau menjawab, Hana pun berdiri dan langsung meninggalkan Irma yang cukup perhatian padanya. Sebenarnya bukan kepo, Irma hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Jika Hana membutuhkan uluran tangan, ia dengan tangan terbuka akan menyambutnya.Membasuh untuk menghilangkan jejak kesedihan sekaligus kemarahan yang tercetak di wajahnya, tiba-tiba ingatan Hana kembali ke peris
"Ma, hari ini nenek dan kakek datang ke sekolah dan mengunjungi Kai. Mereka menemani Kai pas jam istirahat dan kami berbicara."Ah, bocah itu memang terlihat lebih dewasa dari anak seusianya. Dari gaya bicaranya, sudah tampak berbeda. Ini efek dari dirinya suka membaca hingga kosakata yang ia punya cukup beragam. Rasanya tak sia-sia Hana membekali banyak majalah dan buku anak-anak. Anak itu pun tidak menghabiskan waktu luang di depan ponsel. Bukannya Kai tidak suka, Hana-lah yang tak sanggup membeli benda canggih nan menagihkan tersebut untuknya."Oh, ya?"Jujur, Hana senang mendapati ada orang yang sayang dan memperhatikan putranya. Ia tahu Kai tidak kekurangan kasih sayang, tetapi dalam hati kecil Hana pernah timbul sedikit prihatin lantaran Kai tidak pernah merasakan kehadiran sosok ayah. Apalagi saat berulang kali, bocah tersebut mengeluh ingin mengetahui keberadaan ayah. Ia ingin merasakan kasih sayang seorang ayah seperti yang diceritakan teman-teman
"Iya, aku butuh bantuan kamu untuk meyakinkannya, Han."Nada Mahendra dibuat setenang mungkin. Meski ia sudah terbiasa menghadapi hal yang menegangkan, terus terang ia merasakan sedikit gugup kalau menyangkut Hana.Menggeleng, "jangan harap aku akan melakukannya untukmu. Tidak akan pernah ada dalam benakku, dia mengakui kamu ayahnya. Yang dia tahu, kalau ayahnya sudah lama mati. Kamu dengar itu!"Nada melengking semakin memekakkan telinga, Mahendra pun tak gentar. Kaki melangkah mendekati dan berbisik ketika sudah berada lima puluh centimeter dari wanita yang telah memberinya tatapan sinis."Kalau begitu, maaf aku harus melakukan cara lain untuk memaksa agar kamu mau membantu aku meyakinkan anakku sendiri."Beriring dengan kalimatnya, seorang pria berjas hitam dengan kacamata bertengger di hidung pun masuk ruangan bersama Aldo.Hana yang tidak mengenali sosok pria berpakaian rapi tersebut, pun mengalihkan pandangan. Ucapan Mahend
"Bu Hana, saya mohon tenang. Apa yang akan dilakukan Pak Hendra itu untuk kebaikan Anda dan anak kalian."Sang pengacara berusaha menenangkan amukan dan serangan dadakan dari Hana. Dia sudah terbiasa dengan reaksi yang ditunjukkan wanita itu. Dia sering menjumpai klien melakukan hal yang serupa. Hal itu bukanlah masalah baru baginya."Tidak ada yang salah dengan perjanjian ini, coba Ibu Hana menyimak kembali isi naskah tersebut. Bu Hana hanya mengizinkan Pak Hendra untuk mengakui Kaindra sebagai anak kandung dan membiarkan anak itu diasuh dan dirawat bersama. Jika Ibu setuju, masalah ini selesai dan tidak perlu diperpanjang sampai ke meja hakim.""Apa katanya? Diasuh dan dirawat bersama? Apa artinya? Dia? Apa dia mau merebut Kai dariku? Perpanjang? Apa dia sedang menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk mengacamku?"Lagi, deretan pertanyaan yang berenang dalam dada pun membuat hati kecil Hana semakin meradang. Ada ribuan kedongkolan tercetak di wajah imut yang mulai memerah. Dinginny