Siang itu, Amel baru saja selesai bersiap-siap untuk keluar dari kamar hotel. Ia mengenakan pakaian sederhana, tapi modis, mini dress berwarna putih, dibalut kardigan merah muda dan sandal flatbed berwarna senada dengan mini dress-nya. Amel mengikat rambutnya kuncir kuda dan memperlihatkan leher jenjangnya.
Harusnya hari ini Amel dan Maya pergi jalan-jalan, mengunjungi Pura Tanah Lot, dan mencoba makanan-makanan enak khas Bali. Sayangnya, Maya tiba-tiba sakit perut dan Amel terpaksa pergi sendiri. Ia harusnya juga sudah keluar sejak pagi, tapi karena tidak tega melihat wajah Maya yang lemas dan berwajah pucat Amel memutuskan menemani temannya dulu. Biar bagaimana pun, liburan ini adalah rencana Maya, rasanya tidak enak jika ia pergi bersenang-senang sendiri, sementara Maya terbaring sakit di kamar hotel.
Setelah memastikan keadaan Maya membaik, barulah ia bisa keluar jalan-jalan dengan tenang. Amel berjalan keluar dari hotel sambil merapatkan kardigan yang ia pakai. Dia menghela napas, lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempangnya. Amel mencoba mengetik sesuatu di peramban pada ponselnya. Amel sedang mencari cara, bagaimana ia bisa menikmati hari ini sendirian dengan nyaman, tenang dan aman tanpa kehadiran Maya.
“Amel!!!”
Amel mendongak, lalu mengalihkan pandangannya dari layar ponsel ke sumber suara. Dahinya lantas berkerut ketika mendapati Alex berdiri di seberang jalan sambil melambaikan tangan. Laki-laki itu tersenyum lebar, seolah melihat teman lama.
“Alex?” gumam Amel heran karena melihat Alex yang tiba-tiba muncul di depannya.
Alex tampak berlari kecil menyeberangi jalan dan menghampiri Amel. Senyum di wajah tampannya terus mengembang hingga laki-laki itu sampai di depan Amel.
“Kamu menginap di sini?” Alex menunjuk bangunan hotel di belakang Amel.
Amel menganggukkan kepala, masih terdiam karena tidak menyangka akan bertemu lagi degan Alex.
“Temanmu, Maya, dia ke mana?”
“Di kamarnya, Maya lagi sakit perut,” jawab Amel lalu kembali menatap layar ponselnya. Jarinya sibuk bergerak di atas layar, mencari di peramban rute untuk menuju Tanah Lot. Sesuai rencana ia akan pergi ke Tanah Lot dan menikmati pemandangan matahari terbenam di sana.
“Jadi, kamu jalan-jalan sendiri?” tanya Alex.
Amel kembali mengangguk pelan tanpa menatap Alex, matanya masih fokus pada ponselnya.
“Gimana kalau kita jalan-jalan berdua?”
Sambil menyipitkan mata, Amel mengalihkan pandangannya dari ponsel pada Alex. Laki-laki itu tampak menanti jawabannya sambil tersenyum ramah. Amel pikir mereka tidak cukup dekat untuk pergi jalan-jalan bersama. Faktanya mereka adalah dua orang asing yang baru bertemu kemarin dan berkenalan.
“Nggak, terima kasih,” tolak Amel sopan. Ada satu sisi dalam dirinya yang mencegah Amel mendekat pada Alex.
“Kenapa? Jalan bersamaku terdengar lebih baik dari pada kamu jalan sendirian. Aku bisa menunjukkan jalan, merekomendasikan restoran-restoran enak, membantumu mengambil foto, dan yang paling penting aku bisa jadi teman bicara. Bagaimana?”
“Tapi, kita nggak saling kenal,” ucap Amel kembali menolak ajakan Alex.
“Kita bisa saling mengenal dalam perjalanan nanti,” ucap Alex gigih ingin tetap mengajak Amel jalan-jalan bersama. Alex lantas menatap Amel dengan tatapan yang lembut dan tulus, ia berusaha meyakinkan perempuan itu bahwa ia tulus dengan ajakannya.
Amel menarik napas, ia tampak memikirkan kata-kata Alex. Jalan-jalan sendirian mungkin agak berisiko, tapi pergi berdua dengan Alex, dia juga tidak yakin.
Amel, jika ada seseorang yang mencoba mendekatimu, biarkan saja dia. Bersama orang asing mungkin lebih baik dari pada kamu merenung sendirian dan kembali terluka.
Amel teringat ucapan Maya padanya semalam setelah mereka berkenalan dengan Alex di pantai. Setelah berpikir dan menimbang segala kemungkinan, Amel akhirnya setuju untuk pergi bersama Alex.
Perkataan Maya semalam mungkin benar. Bersama orang asing lebih baik dari pada termenung sendirian dan kembali terluka.
***
Sejujurnya, dalam pikiran Alex tidak pernah terlintas bahwa dia akan mengajak seorang perempuan yang baru dia kenal kurang dari sehari untuk pergi jalan-jalan bersama, tapi melihat Amel membuat segala pemikirannya berubah. Begitu melihat perempuan itu hal yang ada di pikiran Alex hanya ingin menjadi dekat dengan Amel. Karena itu, tanpa berpikir panjang Alex mengajak Amel jalan-jalan berdua saat ada kesempatan. Di kesempatan ini Alex ingin mengenal Amel lebih dekat.
“Jadi, berapa lama kamu liburan di Bali?” tanya Alex memecah keheningan.
Amel memang setuju untuk pergi bersamanya, tapi perempuan itu lebih banyak diam dari pada bicara dengannya. Bahkan saat Alex menawarinya makan sebelum melanjutkan perjalanan mereka, Amel hanya menganggukkan kepala.
Di sinilah mereka sekarang, duduk berhadapan di dalam sebuah restoran yang menyajikan makanan khas Bali. Amel dan Alex sempat bicara sebentar saat menentukan makanan apa yang ingin mereka pesan, setelah itu Amel kembali diam dan hanya fokus pada ponselnya.
“Seminggu, mungkin,” jawab Amel singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. Ia sibuk mengirim pesan pada Maya. Memastikan temannya itu makan dan minum obat, serta memberitahu Maya agar tidak perlu mengkhawatirkannya.
“Kamu asli Surabaya?”
Amel menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Kamu juga?”
Amel teringat pertemuan mereka di Bandara Juanda kemarin.
“Iya,” jawab Alex. “Hari ini mau pergi ke mana? Ada tempat yang mau kamu kunjungi? Atau kamu butuh rekomendasi tempat yang bagus?”
“Tanah Lot.”
Alex mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pilihan yang bagus, kalau datang ke Bali paling tidak kamu harus pergi Tanah Lot sekali, di sana pemandangannya bagus banget.”
Setelah perbincangan singkat tentang tujuan mereka hari ini, pelayan datang membawa makanan pesanan mereka. Lalu setelahnya tidak ada pembicaraan lagi, hanya ada keheningan yang berbaur dengan suara sendok dan garpu yang beradu. Alex sesekali melirik Amel yang sibuk menyantap makanan yang tersaji di atas meja. Perempuan itu sangat pendiam, jika bukan dia yang memulai pembicaraan Amel tidak akan bicara padanya.
Alex pikir setelah Amel setuju untuk pergi bersama, ia dan perempuan itu bisa mengobrol santai, membicarakan diri mereka, dan saling mengenal, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Amel bahkan sama sekali tidak tertarik untuk bicara dengannya. Jika terus seperti ini, rencananya untuk mendekati Amel tidak akan berjalan dengan mudah.
“Amel,” panggil Alex pelan. Dia tidak bisa terus seperti ini, jika Amel tidak tertarik untuk mengobrol, maka ia yang akan memulai percakapan. Jika tidak berusaha ia tidak mungkin bisa mendekati Amel.
“Ya?” sahut Amel melirik Alex yang saat ini sedang menatapnya. “Ada yang mau kamu katakan?”
“Kamu punya pacar?”
Amel yang hendak menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya itu berhenti lalu diam sejenak. Ia menatap Alex yang juga sedang menatapnya dengan penasaran. Jawabannya jelas, Amel baru saja putus dari pacar 7 tahunnya. Jadi, dia tidak punya pacar sekarang, tapi Amel sepertinya tidak mau menjawab pertanyaan Alex itu.
“Aku nggak harus menjawabnya, kan?”
“Begini, jika ternyata kamu sudah punya pacar, aku akan merasa nggak enak pergi berdua dengan pacar orang lain. Kamu tahu maksudku, kan?”
Amel jelas tahu betul maksud Alex, hanya saja ia enggan menjawab pertanyaan laki-laki itu. Sejujurnya, jauh dalam lubuk hatinya Amel masih menyangkal bahwa hubungannya dan Evan sudah berakhir. Rasanya tidak masuk akal bahwa hubungan tujuh tahun mereka berakhir dalam semalam.
“Maaf jika pertanyaanku membuatmu nggak nyaman,” ucap Alex saat menyadari raut wajah Amel yang berubah murung.
Alex kemudian buru-buru menghabiskan makanannya ketika Amel meletakkan sendok dan garpunya ke atas piring lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Suasana hati perempuan itu sepertinya berubah akibat pertanyaannya tadi. Tidak mau membuat suasana hati Amel semakin buruk, Alex dengan sigap menghabiskan makanannya agar mereka bisa segera melanjutkan perjalanan.
Dari restoran tempat mereka makan tadi, memerlukan waktu satu jam untuk menuju Tanah Lot menggunakan taksi. Selama perjalanan Amel lebih banyak diam dan menatap keluar jendela. Tatapannya terlihat sendu, membuat Alex ingin tahu apa yang perempuan itu pikirkan.
Amel dan Alex bergantian keluar dari dalam taksi setelah sampai di tempat tujuan mereka, Tanah Lot. Amel menatap ke sekitarnya, suasana pintu masuk Tanah Lot hari cukup ramai. Ada banyak wisatawan yang datang untuk menikmati keindahan tempat itu.
“Masih lama sebelum sunset, mau jalan-jalan di sekitar sini sebelum masuk ke sana?” tanya Aelx sembari melirik jam tangannya.
Amel tampak berpikir sambil melihat ke sekitar. Ada banyak toko suvenir di sepanjang jalan menuju pintu masuk. Sepertinya ide Alex cukup bagus. “Boleh, aku mau belikan Maya sesuatu untuk menghiburnya.”
“Ah, Maya pasti sedih nggak bisa ikut jalan-jalan dengan kita.”
Benar, Maya pasti sedih. Walaupun temannya itu bilang tidak apa-apa, tapi Amel yakin Maya pasti merasa sedih dan kesepian karena harus tinggal di hotel sendirian.
Alex dan Amel kemudian memutuskan masuk ke dalam salah satu toko suvenir di dekat sana. Amel tampak sibuk memilih apa yang ingin dia belikan untuk Maya, dan Alex sibuk memperhatikannya. Laki-laki itu tersenyum tipis melihat Amel yang fokus memilih aksesoris untuk Maya. Menurutnya Amel tampak manis saat itu. Beberapa kali Amel juga bertanya padanya apakah aksesoris yang dia pilih akan disukai oleh Maya atau tidak. Alex membantu Amel memilih Aksesoris untuk Maya. Pilihan mereka jatuh pada sebuah kalung. Kalung manik-manik putih dan emas dengan hiasan kerang dan bintang laut.
“Maya pasti menyukainya, kan?” tanya Amel sambil menatap kalung yang dia pilih untuk Maya.
“Kamu nggak membeli sesuatu untukmu sendiri?” Alex balik bertanya. Sejak tadi Amel hanya sibuk memilih sesuatu untuk Maya.
“Aku pikir nggak ada yang cocok denganku di sini,” jawab Amel masih fokus pada kalung yang dipegangnya. Ia tidak terlalu menyukai aksesoris, berbeda dengan Maya. Temannya itu sangat tergila-gila dengan aksesoris.
“Hmm... kalau gitu...” Alex melihat aksesoris yang dipajang di depannya, ia memilih sesuatu yang sekiranya akan cocok untuk Amel. “Sepertinya ini cocok untuk kamu.”
Alex mengambil sebuah gelang dan menunjukkannya pada Amel. Itu gelang mutiara dengan hiasan bintang di tengahnya. Amel menatap gelang yang ditunjukkan oleh Alex dengan ragu, tapi kemudian ia dibuat terkejut saat tiba-tiba Alex meraih tangannya dan memasangkan gelang itu di sana.
“Lihat, ini sangat cantik saat kamu memakainya,” puji Alex menunjuk gelang yang melingkar di pergelangan tangan Amel.
Amel terdiam, menatap Alex yang sekarang tersenyum manis padanya setelah mengucapkan pujian itu. Rasanya aneh mendengar pujian dari laki-laki selain Evan. Amel masih terpaku di tempatnya, bahkan ketika Alex mengambil kalung dari tangannya, ia hanya diam saja. Harusnya Amel yang membayar kalung itu, bukan Alex. Namun, karena terlalu terkejut ia hanya diam saja.
Bodoh.
Amel kembali menatap gelang pemberian Alex yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia merasa aneh, jantungnya berdegup kencang. Amel beralih menatap Alex yang berdiri di depan meja kasir, ia menyentuh dadanya, jantungnya berdegup semakin kencang, dan saat Alex menoleh lalu menatapnya, Amel segera menggelengkan kepalanya. Ia memastikan bahwa dirinya hanya terkejut karena tindakan Alex, tidak lebih dari itu.
“Sampai jumpa besok,” ucap Alex sembari melambaikan tangan saat Amel keluar dari taksi.Amel memutar bola matanya lalu menarik kedua sudut bibirnya terpaksa. “Ya, terima kasih untuk hari ini.”Setelah taksi yang ditumpangi Alex melaju menjauh, barulah Amel melangkah masuk ke dalam area hotel tempatnya dan Maya menginap. Hari ini ia dan Alex menghabiskan waktu cukup lama di Tanah Lot, menikmati pemandangan matahari terbenam di sana, mereka juga makan malam di restoran sekitar sana sebelum memutuskan untuk pulang. Walau awalnya ia ragu untuk pergi berdua dengan Alex, tapi ternyata hari ini cukup menyenangkan.Amel melirik jam kulit cokelat di pergelangan tangan kirinya, waktu menunjukkan pukul 9 malam. Ia penasaran apakah Maya sudah tidur atau belum. Amel memang menikmati perjalanannya hari ini, tapi ia tetap khawatir pada keadaan Maya. Temannya itu terbaring lemah saat ia pergi siang tadi, jadi Amel memutuskan untuk melihat keadaan Maya lebih dulu.“Amel!”Amel yang hendak mengetuk pin
“Amel bilang kamu membelikan kalung ini untukku, terima kasih ya,” ujar Maya sambil memamerkan kalung mutiara yang melingkar di leher jenjangnya. “Kalung itu Amel yang memilihnya, aku hanya bantu membayar. Kalung itu terlihat cocok kamu pakai,” sahut Alex memuji Maya. Perempuan itu tersenyum senang mendengar pujian dari Alex. Amel memutar bola mata malas mendengar percakapan dua orang di depannya. Ia kemudian meneguk segelas es kelapa muda yang ia pesan tadi, rasanya lebih baik setelah ia meminumnya. Amel tadi nyaris muntah melihat Maya tersenyum genit karena pujian Alex. Setelah aksi gila Maya tadi pagi, mengiyakan ajakan Alex untuk makan siang bersama, mereka akhirnya ada di Warung Made, sebuah restoran yang terletak di jalan utama di pusat Kota Kuta, Bali. Restoran ini terkenal karena kelezatan masakan Bali autentiknya dan suasana tradisional restoran ini. “Aku nggak nyangka lho kalau kamu mau menerima ajakan makan siangku,” ujar Alex sembari tersenyum menatap Amel.Perempuan it
“Kamu yakin nggak mau makan yang lain?” tanya Alex menatap Amel yang sedang menyantap mie cup di depannya. “Kita makan di tempat lain saja. Di dekat sini ada restoran yang enak.”“Nggak perlu,” jawab Amel. “Ini sudah cukup.”“Kamu yakin?”Amel mengangguk. “Aku sudah sangat bersyukur kamu membayar mie dan minuman ini, jadi aku nggak perlu repot-repot balik ke hotel untuk mengambil dompet. Oh ya, kirimkan nomor rekeningmu, uangmu akan aku ganti setelah kembali ke hotel nanti.”“Kamu nggak perlu menggantinya, Mel.”Amel meletakkan cup mie instannya ke atas meja setelah memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Ia lantas menyipitkan mata menatap Alex. “Aku nggak suka berhutang sama orang lain.”“Uangnya nggak seberapa, kamu nggak perlu menggantinya,” tegas Alex. “Lagi pula aku senang bisa membantu kamu.”“Tapi, aku nggak senang menerima bantuanmu dengan percuma.”“Kenapa? Bukankah teman biasa melakukan hal seperti ini?”“Kamu salah,” cetus Amel lalu meneguk minumannya . “Aku dan kamu
Tidak pernah ter bayangkan oleh Amel akan berteman dengan Alex, laki-laki asing yang baru ia kenal selama empat hari. Ini semua karena Alex dan kesepakatan konyolnya semalam. Harusnya Amel menolak kesepakatan itu mentah-mentah. Tapi, Amel justru dengan percaya dirinya menerima kesepakatan itu hanya karena ia percaya tidak akan bertemu dengan Alex hari ini.“Kamu bilang pengen makan pizza, tapi apa ini? Kamu bahkan nggak memakannya, Mel.”Amel mendelik menatap Maya. Selain salah Alex, ini juga salah Maya. Temannya itu sudah mengacaukan rencana sempurnanya. Jika Maya tidak menyeretnya keluar dengan iming-iming Roosterfish Beach Club, Amel pasti masih berbaring di kasur hotel yang nyaman dan tidak akan bertemu Alex hari ini.“Jangan-jangan kamu lagi mikirin si brengsek itu?” tuduh Maya.Amel mendesah pelan. Sebelah tangannya kemudian terulur mengambil sepotong pizza di piring. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Evan, bahkan nama laki-laki itu tidak muncul di pikiran Amel hari i
“Hai, Mel!”Amel menarik napas panjang melihat Alex yang sudah ada di depan hotelnya. Sejenak Amel berpikir belum terlambat untuknya jika ingin kabur sekarang. Amel bisa saja bilang pada Alex kalau tiba-tiba perutnya sakit, dengan begitu mereka tidak akan pergi ke mana pun hari ini. Tapi, mengingat harga dirinya, Amel tentu tidak akan melakukannya. Amel tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak bisa menepati janji.“Kita mau ke mana?” tanya Amel. Dia melihat sepeda motor di belakang Alex. Tidak terpikirkan oleh Amel, Alex akan menjemputnya dengan sepeda motor. Ia pikir mereka akan pergi naik taksi seperti yang terakhir kali. “Jadi ini alasan kamu menyuruhku untuk pakai celana?”“Bukankah ini kendaraan terbaik kalau kita mau jalan-jalan di Bali? Kita bisa menerobos kemacetan dengan mudah?”Alex benar, tapi Amel tidak suka dengan ide itu. Membayangkannya saja sudah membuat Amel merasa tidak nyaman. “Kamu pikir aku mau dibonceng sama kamu?”“Kenapa nggak? Atau jangan-jangan kamu takut
Bagaimana caranya meminta maaf pada Alex?Amel nyaris tidak tidur semalaman gara-gara memikirkan jawaban atas pertanyaan itu. Ia sempat berpikir untuk mengabaikan masalah ini. Amel tidak keberatan jika dirinya tidak bertemu lagi dengan Alex. Lagi pula setelah dia pulang ke Surabaya mereka tidak akan bertemu lagi. Namun Amel tidak bisa menyingkirkan rasa bersalahnya. Ia merasa terlalu ketus dan kasar saat bicara dengan Alex, padahal laki-laki itu bersikap sangat baik padanya. Lalu mata cokelat Alex yang tiba-tiba berubah dingin saat menatapnya, itu juga sangat mengganggu Amel.“Jadi aku harus gimana?” gumam Amel pelan sambil meremas rambutnya. Memikirkan cara untuk meminta maaf pada Alex membuat kepalanya sakit.“Jadi, kenapa kamu bergumam nggak jelas begitu?” tanya Maya yang berbaring di samping Amel. Setelah sarapan tadi, Maya memutuskan ikut masuk ke kamar Amel dengan alasan bosan. “Kamu kesambet atau apa?”“Menurutmu, apa aku ini orang yang kasar?” Amel balik bertanya. “Kemarin sep
Sebelumnya pusat dari dunia Amel adalah Evan dan setelah laki-laki memutuskan hubungan tujuh tahun mereka, Amel kehilangan pusat dunianya. Amel merasa seperti bumi yang kehilangan orbitnya. Pusat dunianya tiba-tiba menghilang, meninggalkan kekosongan yang tak terbayangkan. Dia merasa seperti pecahan kaca yang tersebar di lantai, tak tahu bagaimana harus menyusun diri kembali.Namun, secara ajaib kekosongan yang selama ini Amel rasakan menghilang. Kekosongan itu terisi. Terisi penuh begitu saja. Dan semua itu karena Alex. Kehadiran laki-laki itu telah mengisi kekosongan yang selama ini Amel rasakan. Perasaan hangat yang sepertinya sudah lama tidak ia rasakan, mulai menjalar masuk ke dalam hatinya yang dingin. Dan untuk pertama kalinya setelah kisah cintanya berakhir dengan tragis, Amel tidak memikirkan Evan. Seolah-olah nama laki-laki itu menghilang dari pikirannya.“Hah...” Amel menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur sambil menarik napas panjang.Hari ini sangat menyenangkan. Mungkin ini
Malam itu, setelah menyelesaikan semua pekerjaan di toko roti miliknya, Amel bergegas mengunci pintu untuk segera pulang. Amel sudah membayangkan mandi air hangat saat sampai di apartemennya nanti. Hari ini sungguh melelahkan karena toko rotinya kedatangan banyak pembeli. Setelah mengunci pintu, Amel yang hendak pulang menghentikan langkahnya ketika suara notifikasi dari ponselnya berbunyi. Tangannya merogoh ke dalam tas untuk mengambil ponsel, dilihatnya nama kontak Evan tertera di layar. Setelah satu minggu pacarnya itu tidak ada kabar, akhirnya Evan mengiriminya pesan. Amel tertegun menatap layar ponselnya, tidak percaya pada kata-kata yang baru saja dia baca. Pesan singkat dari Evan yang memenuhi layar dengan kata-kata yang mengguncang. Maaf, aku harus mengatakan ini. Amel, ini bukan tentangmu lagi. Kita harus berhenti di sini. Amel berusaha mencerna setiap kata, mencari petunjuk atau tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pesan itu hanya lelucon, tetapi tidak ada. Hanya dinginnya
Sebelumnya pusat dari dunia Amel adalah Evan dan setelah laki-laki memutuskan hubungan tujuh tahun mereka, Amel kehilangan pusat dunianya. Amel merasa seperti bumi yang kehilangan orbitnya. Pusat dunianya tiba-tiba menghilang, meninggalkan kekosongan yang tak terbayangkan. Dia merasa seperti pecahan kaca yang tersebar di lantai, tak tahu bagaimana harus menyusun diri kembali.Namun, secara ajaib kekosongan yang selama ini Amel rasakan menghilang. Kekosongan itu terisi. Terisi penuh begitu saja. Dan semua itu karena Alex. Kehadiran laki-laki itu telah mengisi kekosongan yang selama ini Amel rasakan. Perasaan hangat yang sepertinya sudah lama tidak ia rasakan, mulai menjalar masuk ke dalam hatinya yang dingin. Dan untuk pertama kalinya setelah kisah cintanya berakhir dengan tragis, Amel tidak memikirkan Evan. Seolah-olah nama laki-laki itu menghilang dari pikirannya.“Hah...” Amel menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur sambil menarik napas panjang.Hari ini sangat menyenangkan. Mungkin ini
Bagaimana caranya meminta maaf pada Alex?Amel nyaris tidak tidur semalaman gara-gara memikirkan jawaban atas pertanyaan itu. Ia sempat berpikir untuk mengabaikan masalah ini. Amel tidak keberatan jika dirinya tidak bertemu lagi dengan Alex. Lagi pula setelah dia pulang ke Surabaya mereka tidak akan bertemu lagi. Namun Amel tidak bisa menyingkirkan rasa bersalahnya. Ia merasa terlalu ketus dan kasar saat bicara dengan Alex, padahal laki-laki itu bersikap sangat baik padanya. Lalu mata cokelat Alex yang tiba-tiba berubah dingin saat menatapnya, itu juga sangat mengganggu Amel.“Jadi aku harus gimana?” gumam Amel pelan sambil meremas rambutnya. Memikirkan cara untuk meminta maaf pada Alex membuat kepalanya sakit.“Jadi, kenapa kamu bergumam nggak jelas begitu?” tanya Maya yang berbaring di samping Amel. Setelah sarapan tadi, Maya memutuskan ikut masuk ke kamar Amel dengan alasan bosan. “Kamu kesambet atau apa?”“Menurutmu, apa aku ini orang yang kasar?” Amel balik bertanya. “Kemarin sep
“Hai, Mel!”Amel menarik napas panjang melihat Alex yang sudah ada di depan hotelnya. Sejenak Amel berpikir belum terlambat untuknya jika ingin kabur sekarang. Amel bisa saja bilang pada Alex kalau tiba-tiba perutnya sakit, dengan begitu mereka tidak akan pergi ke mana pun hari ini. Tapi, mengingat harga dirinya, Amel tentu tidak akan melakukannya. Amel tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak bisa menepati janji.“Kita mau ke mana?” tanya Amel. Dia melihat sepeda motor di belakang Alex. Tidak terpikirkan oleh Amel, Alex akan menjemputnya dengan sepeda motor. Ia pikir mereka akan pergi naik taksi seperti yang terakhir kali. “Jadi ini alasan kamu menyuruhku untuk pakai celana?”“Bukankah ini kendaraan terbaik kalau kita mau jalan-jalan di Bali? Kita bisa menerobos kemacetan dengan mudah?”Alex benar, tapi Amel tidak suka dengan ide itu. Membayangkannya saja sudah membuat Amel merasa tidak nyaman. “Kamu pikir aku mau dibonceng sama kamu?”“Kenapa nggak? Atau jangan-jangan kamu takut
Tidak pernah ter bayangkan oleh Amel akan berteman dengan Alex, laki-laki asing yang baru ia kenal selama empat hari. Ini semua karena Alex dan kesepakatan konyolnya semalam. Harusnya Amel menolak kesepakatan itu mentah-mentah. Tapi, Amel justru dengan percaya dirinya menerima kesepakatan itu hanya karena ia percaya tidak akan bertemu dengan Alex hari ini.“Kamu bilang pengen makan pizza, tapi apa ini? Kamu bahkan nggak memakannya, Mel.”Amel mendelik menatap Maya. Selain salah Alex, ini juga salah Maya. Temannya itu sudah mengacaukan rencana sempurnanya. Jika Maya tidak menyeretnya keluar dengan iming-iming Roosterfish Beach Club, Amel pasti masih berbaring di kasur hotel yang nyaman dan tidak akan bertemu Alex hari ini.“Jangan-jangan kamu lagi mikirin si brengsek itu?” tuduh Maya.Amel mendesah pelan. Sebelah tangannya kemudian terulur mengambil sepotong pizza di piring. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Evan, bahkan nama laki-laki itu tidak muncul di pikiran Amel hari i
“Kamu yakin nggak mau makan yang lain?” tanya Alex menatap Amel yang sedang menyantap mie cup di depannya. “Kita makan di tempat lain saja. Di dekat sini ada restoran yang enak.”“Nggak perlu,” jawab Amel. “Ini sudah cukup.”“Kamu yakin?”Amel mengangguk. “Aku sudah sangat bersyukur kamu membayar mie dan minuman ini, jadi aku nggak perlu repot-repot balik ke hotel untuk mengambil dompet. Oh ya, kirimkan nomor rekeningmu, uangmu akan aku ganti setelah kembali ke hotel nanti.”“Kamu nggak perlu menggantinya, Mel.”Amel meletakkan cup mie instannya ke atas meja setelah memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Ia lantas menyipitkan mata menatap Alex. “Aku nggak suka berhutang sama orang lain.”“Uangnya nggak seberapa, kamu nggak perlu menggantinya,” tegas Alex. “Lagi pula aku senang bisa membantu kamu.”“Tapi, aku nggak senang menerima bantuanmu dengan percuma.”“Kenapa? Bukankah teman biasa melakukan hal seperti ini?”“Kamu salah,” cetus Amel lalu meneguk minumannya . “Aku dan kamu
“Amel bilang kamu membelikan kalung ini untukku, terima kasih ya,” ujar Maya sambil memamerkan kalung mutiara yang melingkar di leher jenjangnya. “Kalung itu Amel yang memilihnya, aku hanya bantu membayar. Kalung itu terlihat cocok kamu pakai,” sahut Alex memuji Maya. Perempuan itu tersenyum senang mendengar pujian dari Alex. Amel memutar bola mata malas mendengar percakapan dua orang di depannya. Ia kemudian meneguk segelas es kelapa muda yang ia pesan tadi, rasanya lebih baik setelah ia meminumnya. Amel tadi nyaris muntah melihat Maya tersenyum genit karena pujian Alex. Setelah aksi gila Maya tadi pagi, mengiyakan ajakan Alex untuk makan siang bersama, mereka akhirnya ada di Warung Made, sebuah restoran yang terletak di jalan utama di pusat Kota Kuta, Bali. Restoran ini terkenal karena kelezatan masakan Bali autentiknya dan suasana tradisional restoran ini. “Aku nggak nyangka lho kalau kamu mau menerima ajakan makan siangku,” ujar Alex sembari tersenyum menatap Amel.Perempuan it
“Sampai jumpa besok,” ucap Alex sembari melambaikan tangan saat Amel keluar dari taksi.Amel memutar bola matanya lalu menarik kedua sudut bibirnya terpaksa. “Ya, terima kasih untuk hari ini.”Setelah taksi yang ditumpangi Alex melaju menjauh, barulah Amel melangkah masuk ke dalam area hotel tempatnya dan Maya menginap. Hari ini ia dan Alex menghabiskan waktu cukup lama di Tanah Lot, menikmati pemandangan matahari terbenam di sana, mereka juga makan malam di restoran sekitar sana sebelum memutuskan untuk pulang. Walau awalnya ia ragu untuk pergi berdua dengan Alex, tapi ternyata hari ini cukup menyenangkan.Amel melirik jam kulit cokelat di pergelangan tangan kirinya, waktu menunjukkan pukul 9 malam. Ia penasaran apakah Maya sudah tidur atau belum. Amel memang menikmati perjalanannya hari ini, tapi ia tetap khawatir pada keadaan Maya. Temannya itu terbaring lemah saat ia pergi siang tadi, jadi Amel memutuskan untuk melihat keadaan Maya lebih dulu.“Amel!”Amel yang hendak mengetuk pin
Siang itu, Amel baru saja selesai bersiap-siap untuk keluar dari kamar hotel. Ia mengenakan pakaian sederhana, tapi modis, mini dress berwarna putih, dibalut kardigan merah muda dan sandal flatbed berwarna senada dengan mini dress-nya. Amel mengikat rambutnya kuncir kuda dan memperlihatkan leher jenjangnya.Harusnya hari ini Amel dan Maya pergi jalan-jalan, mengunjungi Pura Tanah Lot, dan mencoba makanan-makanan enak khas Bali. Sayangnya, Maya tiba-tiba sakit perut dan Amel terpaksa pergi sendiri. Ia harusnya juga sudah keluar sejak pagi, tapi karena tidak tega melihat wajah Maya yang lemas dan berwajah pucat Amel memutuskan menemani temannya dulu. Biar bagaimana pun, liburan ini adalah rencana Maya, rasanya tidak enak jika ia pergi bersenang-senang sendiri, sementara Maya terbaring sakit di kamar hotel.Setelah memastikan keadaan Maya membaik, barulah ia bisa keluar jalan-jalan dengan tenang. Amel berjalan keluar dari hotel sambil merapatkan kardigan yang ia pakai. Dia menghela napas
Sambil menggerutu Amel mengepak kopernya. Ini semua karena Maya dan rencananya yang serba mendadak. Amel harus mengepak kopernya di tengah malam. Meski sedikit kesal karena rencana Maya, tapi dalam hatinya Amel bersyukur karena Maya peduli padanya. Amel tahu Maya melakukan hal ini agar dirinya tidak berlarut-larut dalam kesedihan setelah putus dari Evan. Amel tahu jika Maya sangat peduli padanya, temannya itu rela menemaninya setiap malam setelah pulang bekerja, memastikan dirinya tidak merenung sendirian dan memikirkan Evan. Maya bilang, dia memilih Bali karena Pulau Dewata itu adalah tempat indah dan eksotis. Maya pikir Bali adalah tempat yang tepat untuk menyegarkan hati dan pikiran Amel, tempat yang bisa membuat Amel lupa akan Evan dan semua kesedihannya. Keesokan harinya, Amel dan Maya tiba di Bandara Juanda jam 7 pagi. Mereka mengenakan pakaian santai dan nyaman—hanya Amel, Maya lebih mirip seorang model yang akan berjalan di peragaan busana. Masing-masing dari mereka membawa