Malam itu, setelah menyelesaikan semua pekerjaan di toko roti miliknya, Amel bergegas mengunci pintu untuk segera pulang. Amel sudah membayangkan mandi air hangat saat sampai di apartemennya nanti. Hari ini sungguh melelahkan karena toko rotinya kedatangan banyak pembeli.
Setelah mengunci pintu, Amel yang hendak pulang menghentikan langkahnya ketika suara notifikasi dari ponselnya berbunyi. Tangannya merogoh ke dalam tas untuk mengambil ponsel, dilihatnya nama kontak Evan tertera di layar. Setelah satu minggu pacarnya itu tidak ada kabar, akhirnya Evan mengiriminya pesan.Amel tertegun menatap layar ponselnya, tidak percaya pada kata-kata yang baru saja dia baca. Pesan singkat dari Evan yang memenuhi layar dengan kata-kata yang mengguncang.Maaf, aku harus mengatakan ini. Amel, ini bukan tentangmu lagi. Kita harus berhenti di sini.Amel berusaha mencerna setiap kata, mencari petunjuk atau tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pesan itu hanya lelucon, tetapi tidak ada. Hanya dinginnya kalimat dari pesan Evan yang menembus hatinya.Amel berusaha menahan air mata yang sudah mengancam untuk tumpah. Begitu banyak kenangan, rencana masa depan dan impian yang terkubur dalam sekejap. Tujuh tahun hubungan yang ia bangun bersama Evan hancur dalam sekejap. Air mata pun mengalir tanpa bisa ia hentikan. Ini terlalu menyakitkan untuk Amel.Amel menghapus air matanya dengan kasar, dia menelusuri kenangan-kenangan yang terpatri dengan jelas dalam ingatannya. Potongan-potongan gambar tentang canda tawa, malam-malam yang menyenangkan, dan rencana pernikahan yang hampir di depan mata terus berputar dalam benaknya.“Nggak mungkin ini terjadi,” desis Amel pada dirinya sendiri. Kenyataan yang tak terbantahkan adalah bahwa pesan itu ada, dan Evan telah memutuskan hubungan mereka. Amel mencoba mengingat momen-momen ketika semuanya mulai retak, tetapi tidak ada yang tampak di depan matanya.Pesan dari Evan sudah menjelaskan semuanya, hubungan mereka sudah berakhir dan Evan yang mengakhirinya. Amel ingin menyangkal semuanya. Setidaknya ia harus bertemu dengan Evan. Ia harus mendengarnya langsung dari mulut Evan, bahwa laki-laki itu memang ingin mengakhiri hubungan mereka, bahwa Evan sudah tidak mencintainya.***Malam itu, Amel masih duduk di depan toko rotinya, tangannya memeluk lutut sembari menatap kosong ke arah lantai di bawahnya. Pesan dari Evan sepuluh menit lalu terus berputar di kepalanya. Rasanya sungguh tidak nyata. Hubungan mereka berakhir seperti ini. Lalu, apa gunanya tujuh tahun yang mereka lalui bersama?Sepuluh menit yang lalu, Amel memutuskan menghubungi Evan, meminta laki-laki itu bertemu dan menjelaskan semuanya. Evan setuju bertemu di depan toko roti milik Amel, dan di sinilah dia menunggu Evan dengan banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya.Saat suara langkah kaki yang dikenalnya mendekat, Amel bergegas mendongak. Dengan mata sembab ia menatap laki-laki yang sekarang sudah berdiri di depannya, itu Evan. Amel tersenyum menatap Evan, perempuan itu lantas memeluk Evan erat, seolah menegaskan bahwa apa yang terjadi malam itu hanya mimpi. Lalu, semua kembali terasa nyata ketika Evan mendorong tubuhnya menjauh.Evan masih berdiri di depannya, tatapannya terlihat canggung dan penuh penyesalan. Amel ingin meluapkan semua emosinya pada Evan, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya.“Hubungan kita benar-benar berakhir? Apa aku melakukan kesalahan?” tanya Amel dengan suara tercekat.“Kamu nggak melakukan kesalahan apa pun, Mel,” jawab Evan.“Lalu kenapa? Kenapa hubungan kita berakhir?”“Maaf, tapi kita nggak bisa bersama lagi. Aku nggak bisa melihatmu lagi,” ucap Evan dengan suara rendah, berbalik dan pergi tanpa meninggalkan ruang untuk penjelasan.Amel terduduk di depan toko rotinya, membiarkan kehancuran merasuk ke dalam dirinya. Masa depan yang begitu pasti, kini terasa begitu samar. Dalam detik itu, segalanya menjadi hitam.***Dalam keheningan senja, Amel berdiri di balkon apartemennya. Ia menatap langit yang mendung dengan mata berkaca-kaca. Amel merenung pada kehidupannya yang kini seperti kisah yang tidak pernah ia bayangkan. Laki-laki yang pernah menjadi segalanya, kini telah menjadi bayangan yang menjauh.Berakhirnya hubungan Amel dan Evan sungguh mengguncang kehidupan perempuan itu. Rencana pertunangan yang harusnya dilaksanakan minggu depan harus dibatalkan dan mengundang amarah kedua orang tua Amel. Mereka menyalahkan Amel atas berakhirnya hubungannya bersama Evan.Setelah malam itu, bahkan Amel tidak memiliki gairah untuk menjalani kehidupannya. Rasanya begitu berat setiap kali ia membuka mata, bayangan kenangannya bersama Evan terus muncul. Ditambah dengan orang tuanya yang sekarang mendesak Amel untuk mencari pengganti Evan dan segera menikah. Amel merasa lelah dengan kehidupannya sekarang.Amel seperti terjebak dalam terowongan gelap yang tak berujung. Hari-hari bahagia yang dulu ia impikan, kini telah sirna tergantikan oleh tekanan dan kekecewaan yang merayap setiap harinya. Setiap hari langkahnya terasa berat, ditarik kehampaan yang mendalam.Dalam keputusasaan, pikiran untuk mengakhiri segalanya muncul. Namun, di sisi lain Amel merasa apa yang terjadi padanya tidak adil. Bagaimana semuanya berubah secepat ini?Amel masih punya mimpi-mimpi yang ingin dia wujudkan. Dia masih punya Maya, teman yang menyayanginya. Dia masih punya dirinya sendiri yang harus dia cintai.“Kamu ngggak berpikir akan lompat dari sana, kan?”Amel menoleh kaget, Maya sudah berdiri di belakangnya sambil berkacak pinggang. “Sejak kapan kamu ada di sana?”“Lupakan, itu tidak penting. Kemasi barangmu, kita ke Bali besok,” ucap Maya yang membuat Amel lebih kaget.“Bali? Untuk apa?” tanya Amel tidak mengerti. Maya tiba-tiba mengatakan mereka akan ke Pulau Dewata besok, dan Amel tidak tahu tentang rencana itu.“Untuk melupakan si brengsek Evan, aku yakin kamu akan mendapatkan pria bule di sana yang seribu kali lebih baik dari si brengsek itu,” kata Maya menggebu-gebu.Amel mengerutkan dahinya. Pergi ke Bali, semua terlalu tiba-tiba. Amel memang ingin sejenak kabur dari permasalahannya setelah putus dari Evan, tapi pergi ke Pulau Dewata besok itu terlalu tiba-tiba. Bagaimana dengan toko rotinya? Ia tidak bisa menutupnya begitu saja.“Maya, ini terlalu mendadak,” ucap Amel sembari menyentuh kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Rencana Maya yang tidak terduga itu membuatnya pusing.Maya menggelengkan kepalanya. “No, Amel ini nggak mendadak. Apa yang kamu khawatirkan? Toko rotimu? Aku sudah mengurusnya, tenang saja.”Amel kembali mengerutkan dahinya, ia menatap Maya penuh curiga. Temannya itu sudah mengurusnya? Ini sangat mencurigakan. Beberapa detik kemudian ponsel di saku celana Amel berbunyi. Amel mengambil ponselnya, ada pesan masuk dari pegawai-pegawai toko rotinya.Mbak Amel, maaf saya izin cuti beberapa hari. Saya ada keperluan di desa.Mbak, maaf saya mau izin cuti...Mbak Amel, maaf...Amel menghela napas setelah membaca pesan-pesan dari pegawai toko rotinya. Sekarang ia mengerti apa yang dimaksud Maya dengan sudah mengurus semua. Temannya itu memang tidak bisa di tebak.“Sekarang kamu nggak punya alasan lagi untuk menolak ajakanku. Besok kita ke Bali, oke? Aku sudah memesan tiket pesawatnya. Yang perlu kamu lakukan hanya mengemas barang-barangmu.”Amel kembali menghela napas. Menolak ajakan Maya juga percuma, jika rencana kali ini gagal, Amel yakin Maya punya banyak rencana cadangan. Jadi, dari pada membuang tenaga, Amel akhirnya mengiyakan ajakan Maya.“Oke, Maya. Kamu menang.”Sambil menggerutu Amel mengepak kopernya. Ini semua karena Maya dan rencananya yang serba mendadak. Amel harus mengepak kopernya di tengah malam. Meski sedikit kesal karena rencana Maya, tapi dalam hatinya Amel bersyukur karena Maya peduli padanya. Amel tahu Maya melakukan hal ini agar dirinya tidak berlarut-larut dalam kesedihan setelah putus dari Evan. Amel tahu jika Maya sangat peduli padanya, temannya itu rela menemaninya setiap malam setelah pulang bekerja, memastikan dirinya tidak merenung sendirian dan memikirkan Evan. Maya bilang, dia memilih Bali karena Pulau Dewata itu adalah tempat indah dan eksotis. Maya pikir Bali adalah tempat yang tepat untuk menyegarkan hati dan pikiran Amel, tempat yang bisa membuat Amel lupa akan Evan dan semua kesedihannya. Keesokan harinya, Amel dan Maya tiba di Bandara Juanda jam 7 pagi. Mereka mengenakan pakaian santai dan nyaman—hanya Amel, Maya lebih mirip seorang model yang akan berjalan di peragaan busana. Masing-masing dari mereka membawa
Siang itu, Amel baru saja selesai bersiap-siap untuk keluar dari kamar hotel. Ia mengenakan pakaian sederhana, tapi modis, mini dress berwarna putih, dibalut kardigan merah muda dan sandal flatbed berwarna senada dengan mini dress-nya. Amel mengikat rambutnya kuncir kuda dan memperlihatkan leher jenjangnya.Harusnya hari ini Amel dan Maya pergi jalan-jalan, mengunjungi Pura Tanah Lot, dan mencoba makanan-makanan enak khas Bali. Sayangnya, Maya tiba-tiba sakit perut dan Amel terpaksa pergi sendiri. Ia harusnya juga sudah keluar sejak pagi, tapi karena tidak tega melihat wajah Maya yang lemas dan berwajah pucat Amel memutuskan menemani temannya dulu. Biar bagaimana pun, liburan ini adalah rencana Maya, rasanya tidak enak jika ia pergi bersenang-senang sendiri, sementara Maya terbaring sakit di kamar hotel.Setelah memastikan keadaan Maya membaik, barulah ia bisa keluar jalan-jalan dengan tenang. Amel berjalan keluar dari hotel sambil merapatkan kardigan yang ia pakai. Dia menghela napas
“Sampai jumpa besok,” ucap Alex sembari melambaikan tangan saat Amel keluar dari taksi.Amel memutar bola matanya lalu menarik kedua sudut bibirnya terpaksa. “Ya, terima kasih untuk hari ini.”Setelah taksi yang ditumpangi Alex melaju menjauh, barulah Amel melangkah masuk ke dalam area hotel tempatnya dan Maya menginap. Hari ini ia dan Alex menghabiskan waktu cukup lama di Tanah Lot, menikmati pemandangan matahari terbenam di sana, mereka juga makan malam di restoran sekitar sana sebelum memutuskan untuk pulang. Walau awalnya ia ragu untuk pergi berdua dengan Alex, tapi ternyata hari ini cukup menyenangkan.Amel melirik jam kulit cokelat di pergelangan tangan kirinya, waktu menunjukkan pukul 9 malam. Ia penasaran apakah Maya sudah tidur atau belum. Amel memang menikmati perjalanannya hari ini, tapi ia tetap khawatir pada keadaan Maya. Temannya itu terbaring lemah saat ia pergi siang tadi, jadi Amel memutuskan untuk melihat keadaan Maya lebih dulu.“Amel!”Amel yang hendak mengetuk pin
“Amel bilang kamu membelikan kalung ini untukku, terima kasih ya,” ujar Maya sambil memamerkan kalung mutiara yang melingkar di leher jenjangnya. “Kalung itu Amel yang memilihnya, aku hanya bantu membayar. Kalung itu terlihat cocok kamu pakai,” sahut Alex memuji Maya. Perempuan itu tersenyum senang mendengar pujian dari Alex. Amel memutar bola mata malas mendengar percakapan dua orang di depannya. Ia kemudian meneguk segelas es kelapa muda yang ia pesan tadi, rasanya lebih baik setelah ia meminumnya. Amel tadi nyaris muntah melihat Maya tersenyum genit karena pujian Alex. Setelah aksi gila Maya tadi pagi, mengiyakan ajakan Alex untuk makan siang bersama, mereka akhirnya ada di Warung Made, sebuah restoran yang terletak di jalan utama di pusat Kota Kuta, Bali. Restoran ini terkenal karena kelezatan masakan Bali autentiknya dan suasana tradisional restoran ini. “Aku nggak nyangka lho kalau kamu mau menerima ajakan makan siangku,” ujar Alex sembari tersenyum menatap Amel.Perempuan it
“Kamu yakin nggak mau makan yang lain?” tanya Alex menatap Amel yang sedang menyantap mie cup di depannya. “Kita makan di tempat lain saja. Di dekat sini ada restoran yang enak.”“Nggak perlu,” jawab Amel. “Ini sudah cukup.”“Kamu yakin?”Amel mengangguk. “Aku sudah sangat bersyukur kamu membayar mie dan minuman ini, jadi aku nggak perlu repot-repot balik ke hotel untuk mengambil dompet. Oh ya, kirimkan nomor rekeningmu, uangmu akan aku ganti setelah kembali ke hotel nanti.”“Kamu nggak perlu menggantinya, Mel.”Amel meletakkan cup mie instannya ke atas meja setelah memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Ia lantas menyipitkan mata menatap Alex. “Aku nggak suka berhutang sama orang lain.”“Uangnya nggak seberapa, kamu nggak perlu menggantinya,” tegas Alex. “Lagi pula aku senang bisa membantu kamu.”“Tapi, aku nggak senang menerima bantuanmu dengan percuma.”“Kenapa? Bukankah teman biasa melakukan hal seperti ini?”“Kamu salah,” cetus Amel lalu meneguk minumannya . “Aku dan kamu
Tidak pernah ter bayangkan oleh Amel akan berteman dengan Alex, laki-laki asing yang baru ia kenal selama empat hari. Ini semua karena Alex dan kesepakatan konyolnya semalam. Harusnya Amel menolak kesepakatan itu mentah-mentah. Tapi, Amel justru dengan percaya dirinya menerima kesepakatan itu hanya karena ia percaya tidak akan bertemu dengan Alex hari ini.“Kamu bilang pengen makan pizza, tapi apa ini? Kamu bahkan nggak memakannya, Mel.”Amel mendelik menatap Maya. Selain salah Alex, ini juga salah Maya. Temannya itu sudah mengacaukan rencana sempurnanya. Jika Maya tidak menyeretnya keluar dengan iming-iming Roosterfish Beach Club, Amel pasti masih berbaring di kasur hotel yang nyaman dan tidak akan bertemu Alex hari ini.“Jangan-jangan kamu lagi mikirin si brengsek itu?” tuduh Maya.Amel mendesah pelan. Sebelah tangannya kemudian terulur mengambil sepotong pizza di piring. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Evan, bahkan nama laki-laki itu tidak muncul di pikiran Amel hari i
“Hai, Mel!”Amel menarik napas panjang melihat Alex yang sudah ada di depan hotelnya. Sejenak Amel berpikir belum terlambat untuknya jika ingin kabur sekarang. Amel bisa saja bilang pada Alex kalau tiba-tiba perutnya sakit, dengan begitu mereka tidak akan pergi ke mana pun hari ini. Tapi, mengingat harga dirinya, Amel tentu tidak akan melakukannya. Amel tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak bisa menepati janji.“Kita mau ke mana?” tanya Amel. Dia melihat sepeda motor di belakang Alex. Tidak terpikirkan oleh Amel, Alex akan menjemputnya dengan sepeda motor. Ia pikir mereka akan pergi naik taksi seperti yang terakhir kali. “Jadi ini alasan kamu menyuruhku untuk pakai celana?”“Bukankah ini kendaraan terbaik kalau kita mau jalan-jalan di Bali? Kita bisa menerobos kemacetan dengan mudah?”Alex benar, tapi Amel tidak suka dengan ide itu. Membayangkannya saja sudah membuat Amel merasa tidak nyaman. “Kamu pikir aku mau dibonceng sama kamu?”“Kenapa nggak? Atau jangan-jangan kamu takut
Bagaimana caranya meminta maaf pada Alex?Amel nyaris tidak tidur semalaman gara-gara memikirkan jawaban atas pertanyaan itu. Ia sempat berpikir untuk mengabaikan masalah ini. Amel tidak keberatan jika dirinya tidak bertemu lagi dengan Alex. Lagi pula setelah dia pulang ke Surabaya mereka tidak akan bertemu lagi. Namun Amel tidak bisa menyingkirkan rasa bersalahnya. Ia merasa terlalu ketus dan kasar saat bicara dengan Alex, padahal laki-laki itu bersikap sangat baik padanya. Lalu mata cokelat Alex yang tiba-tiba berubah dingin saat menatapnya, itu juga sangat mengganggu Amel.“Jadi aku harus gimana?” gumam Amel pelan sambil meremas rambutnya. Memikirkan cara untuk meminta maaf pada Alex membuat kepalanya sakit.“Jadi, kenapa kamu bergumam nggak jelas begitu?” tanya Maya yang berbaring di samping Amel. Setelah sarapan tadi, Maya memutuskan ikut masuk ke kamar Amel dengan alasan bosan. “Kamu kesambet atau apa?”“Menurutmu, apa aku ini orang yang kasar?” Amel balik bertanya. “Kemarin sep
Sebelumnya pusat dari dunia Amel adalah Evan dan setelah laki-laki memutuskan hubungan tujuh tahun mereka, Amel kehilangan pusat dunianya. Amel merasa seperti bumi yang kehilangan orbitnya. Pusat dunianya tiba-tiba menghilang, meninggalkan kekosongan yang tak terbayangkan. Dia merasa seperti pecahan kaca yang tersebar di lantai, tak tahu bagaimana harus menyusun diri kembali.Namun, secara ajaib kekosongan yang selama ini Amel rasakan menghilang. Kekosongan itu terisi. Terisi penuh begitu saja. Dan semua itu karena Alex. Kehadiran laki-laki itu telah mengisi kekosongan yang selama ini Amel rasakan. Perasaan hangat yang sepertinya sudah lama tidak ia rasakan, mulai menjalar masuk ke dalam hatinya yang dingin. Dan untuk pertama kalinya setelah kisah cintanya berakhir dengan tragis, Amel tidak memikirkan Evan. Seolah-olah nama laki-laki itu menghilang dari pikirannya.“Hah...” Amel menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur sambil menarik napas panjang.Hari ini sangat menyenangkan. Mungkin ini
Bagaimana caranya meminta maaf pada Alex?Amel nyaris tidak tidur semalaman gara-gara memikirkan jawaban atas pertanyaan itu. Ia sempat berpikir untuk mengabaikan masalah ini. Amel tidak keberatan jika dirinya tidak bertemu lagi dengan Alex. Lagi pula setelah dia pulang ke Surabaya mereka tidak akan bertemu lagi. Namun Amel tidak bisa menyingkirkan rasa bersalahnya. Ia merasa terlalu ketus dan kasar saat bicara dengan Alex, padahal laki-laki itu bersikap sangat baik padanya. Lalu mata cokelat Alex yang tiba-tiba berubah dingin saat menatapnya, itu juga sangat mengganggu Amel.“Jadi aku harus gimana?” gumam Amel pelan sambil meremas rambutnya. Memikirkan cara untuk meminta maaf pada Alex membuat kepalanya sakit.“Jadi, kenapa kamu bergumam nggak jelas begitu?” tanya Maya yang berbaring di samping Amel. Setelah sarapan tadi, Maya memutuskan ikut masuk ke kamar Amel dengan alasan bosan. “Kamu kesambet atau apa?”“Menurutmu, apa aku ini orang yang kasar?” Amel balik bertanya. “Kemarin sep
“Hai, Mel!”Amel menarik napas panjang melihat Alex yang sudah ada di depan hotelnya. Sejenak Amel berpikir belum terlambat untuknya jika ingin kabur sekarang. Amel bisa saja bilang pada Alex kalau tiba-tiba perutnya sakit, dengan begitu mereka tidak akan pergi ke mana pun hari ini. Tapi, mengingat harga dirinya, Amel tentu tidak akan melakukannya. Amel tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak bisa menepati janji.“Kita mau ke mana?” tanya Amel. Dia melihat sepeda motor di belakang Alex. Tidak terpikirkan oleh Amel, Alex akan menjemputnya dengan sepeda motor. Ia pikir mereka akan pergi naik taksi seperti yang terakhir kali. “Jadi ini alasan kamu menyuruhku untuk pakai celana?”“Bukankah ini kendaraan terbaik kalau kita mau jalan-jalan di Bali? Kita bisa menerobos kemacetan dengan mudah?”Alex benar, tapi Amel tidak suka dengan ide itu. Membayangkannya saja sudah membuat Amel merasa tidak nyaman. “Kamu pikir aku mau dibonceng sama kamu?”“Kenapa nggak? Atau jangan-jangan kamu takut
Tidak pernah ter bayangkan oleh Amel akan berteman dengan Alex, laki-laki asing yang baru ia kenal selama empat hari. Ini semua karena Alex dan kesepakatan konyolnya semalam. Harusnya Amel menolak kesepakatan itu mentah-mentah. Tapi, Amel justru dengan percaya dirinya menerima kesepakatan itu hanya karena ia percaya tidak akan bertemu dengan Alex hari ini.“Kamu bilang pengen makan pizza, tapi apa ini? Kamu bahkan nggak memakannya, Mel.”Amel mendelik menatap Maya. Selain salah Alex, ini juga salah Maya. Temannya itu sudah mengacaukan rencana sempurnanya. Jika Maya tidak menyeretnya keluar dengan iming-iming Roosterfish Beach Club, Amel pasti masih berbaring di kasur hotel yang nyaman dan tidak akan bertemu Alex hari ini.“Jangan-jangan kamu lagi mikirin si brengsek itu?” tuduh Maya.Amel mendesah pelan. Sebelah tangannya kemudian terulur mengambil sepotong pizza di piring. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Evan, bahkan nama laki-laki itu tidak muncul di pikiran Amel hari i
“Kamu yakin nggak mau makan yang lain?” tanya Alex menatap Amel yang sedang menyantap mie cup di depannya. “Kita makan di tempat lain saja. Di dekat sini ada restoran yang enak.”“Nggak perlu,” jawab Amel. “Ini sudah cukup.”“Kamu yakin?”Amel mengangguk. “Aku sudah sangat bersyukur kamu membayar mie dan minuman ini, jadi aku nggak perlu repot-repot balik ke hotel untuk mengambil dompet. Oh ya, kirimkan nomor rekeningmu, uangmu akan aku ganti setelah kembali ke hotel nanti.”“Kamu nggak perlu menggantinya, Mel.”Amel meletakkan cup mie instannya ke atas meja setelah memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Ia lantas menyipitkan mata menatap Alex. “Aku nggak suka berhutang sama orang lain.”“Uangnya nggak seberapa, kamu nggak perlu menggantinya,” tegas Alex. “Lagi pula aku senang bisa membantu kamu.”“Tapi, aku nggak senang menerima bantuanmu dengan percuma.”“Kenapa? Bukankah teman biasa melakukan hal seperti ini?”“Kamu salah,” cetus Amel lalu meneguk minumannya . “Aku dan kamu
“Amel bilang kamu membelikan kalung ini untukku, terima kasih ya,” ujar Maya sambil memamerkan kalung mutiara yang melingkar di leher jenjangnya. “Kalung itu Amel yang memilihnya, aku hanya bantu membayar. Kalung itu terlihat cocok kamu pakai,” sahut Alex memuji Maya. Perempuan itu tersenyum senang mendengar pujian dari Alex. Amel memutar bola mata malas mendengar percakapan dua orang di depannya. Ia kemudian meneguk segelas es kelapa muda yang ia pesan tadi, rasanya lebih baik setelah ia meminumnya. Amel tadi nyaris muntah melihat Maya tersenyum genit karena pujian Alex. Setelah aksi gila Maya tadi pagi, mengiyakan ajakan Alex untuk makan siang bersama, mereka akhirnya ada di Warung Made, sebuah restoran yang terletak di jalan utama di pusat Kota Kuta, Bali. Restoran ini terkenal karena kelezatan masakan Bali autentiknya dan suasana tradisional restoran ini. “Aku nggak nyangka lho kalau kamu mau menerima ajakan makan siangku,” ujar Alex sembari tersenyum menatap Amel.Perempuan it
“Sampai jumpa besok,” ucap Alex sembari melambaikan tangan saat Amel keluar dari taksi.Amel memutar bola matanya lalu menarik kedua sudut bibirnya terpaksa. “Ya, terima kasih untuk hari ini.”Setelah taksi yang ditumpangi Alex melaju menjauh, barulah Amel melangkah masuk ke dalam area hotel tempatnya dan Maya menginap. Hari ini ia dan Alex menghabiskan waktu cukup lama di Tanah Lot, menikmati pemandangan matahari terbenam di sana, mereka juga makan malam di restoran sekitar sana sebelum memutuskan untuk pulang. Walau awalnya ia ragu untuk pergi berdua dengan Alex, tapi ternyata hari ini cukup menyenangkan.Amel melirik jam kulit cokelat di pergelangan tangan kirinya, waktu menunjukkan pukul 9 malam. Ia penasaran apakah Maya sudah tidur atau belum. Amel memang menikmati perjalanannya hari ini, tapi ia tetap khawatir pada keadaan Maya. Temannya itu terbaring lemah saat ia pergi siang tadi, jadi Amel memutuskan untuk melihat keadaan Maya lebih dulu.“Amel!”Amel yang hendak mengetuk pin
Siang itu, Amel baru saja selesai bersiap-siap untuk keluar dari kamar hotel. Ia mengenakan pakaian sederhana, tapi modis, mini dress berwarna putih, dibalut kardigan merah muda dan sandal flatbed berwarna senada dengan mini dress-nya. Amel mengikat rambutnya kuncir kuda dan memperlihatkan leher jenjangnya.Harusnya hari ini Amel dan Maya pergi jalan-jalan, mengunjungi Pura Tanah Lot, dan mencoba makanan-makanan enak khas Bali. Sayangnya, Maya tiba-tiba sakit perut dan Amel terpaksa pergi sendiri. Ia harusnya juga sudah keluar sejak pagi, tapi karena tidak tega melihat wajah Maya yang lemas dan berwajah pucat Amel memutuskan menemani temannya dulu. Biar bagaimana pun, liburan ini adalah rencana Maya, rasanya tidak enak jika ia pergi bersenang-senang sendiri, sementara Maya terbaring sakit di kamar hotel.Setelah memastikan keadaan Maya membaik, barulah ia bisa keluar jalan-jalan dengan tenang. Amel berjalan keluar dari hotel sambil merapatkan kardigan yang ia pakai. Dia menghela napas
Sambil menggerutu Amel mengepak kopernya. Ini semua karena Maya dan rencananya yang serba mendadak. Amel harus mengepak kopernya di tengah malam. Meski sedikit kesal karena rencana Maya, tapi dalam hatinya Amel bersyukur karena Maya peduli padanya. Amel tahu Maya melakukan hal ini agar dirinya tidak berlarut-larut dalam kesedihan setelah putus dari Evan. Amel tahu jika Maya sangat peduli padanya, temannya itu rela menemaninya setiap malam setelah pulang bekerja, memastikan dirinya tidak merenung sendirian dan memikirkan Evan. Maya bilang, dia memilih Bali karena Pulau Dewata itu adalah tempat indah dan eksotis. Maya pikir Bali adalah tempat yang tepat untuk menyegarkan hati dan pikiran Amel, tempat yang bisa membuat Amel lupa akan Evan dan semua kesedihannya. Keesokan harinya, Amel dan Maya tiba di Bandara Juanda jam 7 pagi. Mereka mengenakan pakaian santai dan nyaman—hanya Amel, Maya lebih mirip seorang model yang akan berjalan di peragaan busana. Masing-masing dari mereka membawa