“Sampai jumpa besok,” ucap Alex sembari melambaikan tangan saat Amel keluar dari taksi.
Amel memutar bola matanya lalu menarik kedua sudut bibirnya terpaksa. “Ya, terima kasih untuk hari ini.”
Setelah taksi yang ditumpangi Alex melaju menjauh, barulah Amel melangkah masuk ke dalam area hotel tempatnya dan Maya menginap. Hari ini ia dan Alex menghabiskan waktu cukup lama di Tanah Lot, menikmati pemandangan matahari terbenam di sana, mereka juga makan malam di restoran sekitar sana sebelum memutuskan untuk pulang. Walau awalnya ia ragu untuk pergi berdua dengan Alex, tapi ternyata hari ini cukup menyenangkan.
Amel melirik jam kulit cokelat di pergelangan tangan kirinya, waktu menunjukkan pukul 9 malam. Ia penasaran apakah Maya sudah tidur atau belum. Amel memang menikmati perjalanannya hari ini, tapi ia tetap khawatir pada keadaan Maya. Temannya itu terbaring lemah saat ia pergi siang tadi, jadi Amel memutuskan untuk melihat keadaan Maya lebih dulu.
“Amel!”
Amel yang hendak mengetuk pintu kamar Maya berbalik saat mendengar suara temannya itu dari belakang. Matanya menyipit menatap Maya yang baru datang, temannya itu memakai mini dress berwarna biru muda bermotif floral. Matanya berkedip beberapa kali memastikan apakah perempuan yang sekarang berdiri depannya benar-benar Maya, temannya. Seingat Amel, temannya itu terbaring lemah saat ia pergi siang tadi, tapi apa dia lihat sekarang? Maya tampak sangat sehat dan tersenyum lebar menatapnya.
“Kamu dari mana?” tanya Amel penasaran melihat penampilan Maya.
“Bar,” jawab Maya lalu tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi.
Amel mendengkus sebal. Rasanya sia-sia dirinya mengkhawatirkan Maya seharian ini, ternyata temannya itu tidak terbaring lemah seperti yang ia bayangkan. Maya pergi bersenang-senang.
“Hei, tadi kamu diantar siapa?” Maya memeluk lengan Amel sambil menatapnya curiga. “Aku melihatmu keluar dari taksi dan tersenyum pada seseorang. Siapa dia?”
“Alex,” jawab Amel sembari menjauhkan tangan Maya dari lengannya. Dia lantas berbalik menuju kamarnya, Maya baik-baik saja, jadi dia bisa kembali ke kamar dan istirahat sekarang.
Mata Maya tampak berbinar ketika Amel menyebutkan nama Alex. Sebelum pintu kamar Amel tertutup Maya bergegas menyusul masuk.
“Alex? Laki-laki yang kamu tabrak di bandara dan kita temui di pantai kemarin? Dia mengantarmu pulang? Ada sesuatu yang tidak aku tahu?” Pertanyaan bertubi-tubi keluar dari mulut Maya tanpa dapat ditahannya.
Amel mengabaikan Maya dan pertanyaan yang keluar dari mulut temannya itu. Setelah melepas kardigan dan melemparnya asal ke atas kasur, Amel beralih mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas. Mendengar Maya mengoceh tentang Alex membuatnya kerongkongannya kering.
“Hei!” Maya menjentikkan jarinya di depan wajah Amel. “Kamu mengabaikanku? Katakan padaku bagaimana Alex bisa mengantarmu! Kalian pergi bersama?”
Amel menghela napas, Maya dan rasa penasarannya sangat mengganggu. “Iya, kami nggak sengaja bertemu di depan hotel,” jawab Amel kemudian.
“Kamu dan Alex pergi bersama?” Maya menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya melotot menatap Amel tidak percaya.
“Dia yang mengajak, katanya lebih baik dari pada jalan-jalan sendirian.”
“Amel!” Maya berseru lalu menghambur memeluk Amel. “Kamu melakukannya dengan baik, sayang!”
Amel mendorong tubuh Maya menjauh lalu menatapnya aneh. “Kamu ini kenapa sih?”
“Alex tampaknya laki-laki yang baik dan kalian kelihatan serasi saat bersama. Jadi...”
Sebelum Maya semakin melantur bicara, Amel bergegas mendorong temannya itu untuk keluar dari kamarnya. Alex laki-laki yang baik dan mereka tampak serasi bersama? Itu terdengar konyol dan tidak masuk akal di telinga Amel.
“Aku lelah dan ingin istirahat.”
“Tapi Mel, dengarkan aku, sepertinya Alex meyukai...”
Suara Maya menghilang begitu pintu tertutup. Amel menghela napas, agak menyesal ia memberitahu Maya siapa yang mengantarnya pulang. Harusnya dia diam saja agar temannya itu tidak bicara melantur.
***
Malam itu, setelah membersihkan diri Amel duduk bersila di atas kasur, matanya menatap layar ponsel yang digenggamnya. Wajahnya tampak sayu, Amel tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia memang merasa bahagia menghabiskan waktu liburan di Pulau Dewata ini, perjalanannya dengan Alex hari ini juga menyenangkan. Namun, hatinya merindukan Evan, laki-laki yang beberapa minggu lalu mencampakkannya dan membatalkan rencana pertunangan mereka.
Bagaimana ia bisa melupakan Evan? Laki-laki itu telah ada dalam hidupnya selama tujuh tahun. Selama tujuh tahun itu Amel tidak pernah mencintai laki-laki lain selain Evan, laki-laki itu adalah cinta pertamanya dan sampai detik ini hanya ada Evan di dalam hatinya.
Amel menelusuri kembali kenangan-kenangannya bersama Evan di ponselnya. Tangannya bergerak menelusuri foto dan videonya bersama Evan. Dalam foto-foto itu mereka terlihat bahagia bersama. Mereka tertawa bersama, melakukan hal-hal menyenangkan bersama. Amel tersenyum getir mengingat kembali momen-momen bahagia mereka, saat dirinya dan Evan masih saling mencintai. Bagaimana bisa momen indah itu berubah menjadi kelam dalam semalam? Bagaimana bisa perasaan Evan padanya berubah?
Amel memeluk kedua lututnya sambil menggenggam erat ponselnya. Air matanya mulai jatuh membasahi wajah. Tujuan Amel ke Bali adalah untuk melupakan Evan, tapi kenyataan ia semakin merindukan laki-laki itu.
Amel menggenggam erat ponselnya, sekuat mungkin ia menahan diri. Amel takut lepas kontrol dan menghubungi Evan. Hubungan mereka sudah berakhir, dan Amel harus menerima kenyataan itu.
“Hubungan kalian sudah berakhir, Mel. Kamu harus menerimanya.”
***
Hari ketiga Amel dan Maya di Bali, baru tiga hari Amel menghabiskan waktu liburan di Pulau Dewata, tapi ia sudah merasa sangat lelah dan tidak punya tenaga. Pagi ini, ia bahkan enggan untuk membuka matanya meski Maya berkali-kali mengetuk pintu kamarnya. Menangis semalaman hingga tertidur ternyata menguras tenaganya. Rasanya Amel ingin tidur seharian dan tidak pergi ke mana pun.
Namun sayangnya, rencana itu gagal karena tindakan konyol Maya. Temannya itu mengira terjadi sesuatu pada Amel, karena ia tak kunjung membuka pintu kamarnya meskipun Maya mengetuknya berkali-kali, jadilah Maya minta bantuan staf hotel untuk membuka paksa kamar Amel.
“Kamu gila ya, May!” ujar Amel kesal. Harusnya dia bisa tidur dengan tenang, tapi karena ulah Maya, ia harus terbangun.
“Aku nggak gila!” balas Maya tak kalah kesal. “Salah kamu kenapa nggak bukain pintu. Kamu tahu berapa kali kamu mengetuk pintu kamarmu? Kamu diam saja, ya aku pikir sesuatu terjadi sama kamu.”
“Aku hanya lelah, May!”
“Kamu bohong!” Maya menunjuk Amel dengan tatapan tajam. “Kamu menangis semalaman, kan? Aku tahu itu dari mata bengkakmu. Kamu menangisi si brengsek itu? Ayolah, Mel, kita di Bali untuk bersenang-senang! Berhenti memikirkan Evan!”
Amel terdiam, semua yang dikatakan Maya benar. Ia memang menangisi Evan semalam.
“Jika kamu terus seperti ini usahaku membawamu ke sini sia-sia, Amel. Kamu terus memikirkan si brengsek itu.”
“Gimana aku nggak memikirkannya? Kami mengunjungi tempat ini berkali-kali, Maya. Ada banyak kenangan kami di sini. Jika kamu ingin membuatku melupakan Evan, harusnya kamu bawa aku ke Antartika, tempat yang belum pernah aku kunjungi dengannya.” Nada suara Amel meninggi. Ia sungguh sangat lelah, tapi Maya tiba-tiba mengajaknya berdebat.
Amel dan Maya saling menatap. “Maaf,” ujar keduanya bersamaan.
“Harusnya kamu buka pintu sebentar dan bilang kalau lelah,” ucap Maya kemudian, ia merasa tidak enak pada Amel.
“Aku bahkan nggak punya tenaga untuk bangun,” sahut Amel.
“Lalu kamu mau ngapain hari ini?”
“Nggak tahu, aku cuma mau istirahat dan tidur.”
Drrt...
Ponsel di atas kasur Amel bergetar, dengan cepat Amel meraihnya. Matanya menyipit menatap nama kontak yang tertera pada notifikasi pesan.
“Siapa?” tanya Maya penasaran.
“Alex,” jawab Amel.
“Alex?” dengan cepat Maya menyambar ponsel milik Amel dan dengan mata berbinar ia membaca pesan dari Alex. “Kalian tukeran nomor? Dia ngajak kita makan siang bareng, lho.”
Maya terlihat antusias membaca pesan yang dikirim Alex. “Aku jawab iya, bagaimana?”
“Dia orang asing, May,” ucap Amel tidak setuju dengan ide Maya. Cukup sekali ia pergi bersama laki-laki itu, perasaan Amel mengatakan jika ia harus menjauh dari Alex.
“Dan orang asing itu menemanimu jalan-jalan kemarin,” bantah Maya. “Ayolah, Mel. Jika kamu nggak tertarik padanya, berikan dia padaku. Dilihat-lihat dia cukup tampan.”
“Kamu gila, May.”
“Dan perempuan gila ini temanmu.”
“Amel bilang kamu membelikan kalung ini untukku, terima kasih ya,” ujar Maya sambil memamerkan kalung mutiara yang melingkar di leher jenjangnya. “Kalung itu Amel yang memilihnya, aku hanya bantu membayar. Kalung itu terlihat cocok kamu pakai,” sahut Alex memuji Maya. Perempuan itu tersenyum senang mendengar pujian dari Alex. Amel memutar bola mata malas mendengar percakapan dua orang di depannya. Ia kemudian meneguk segelas es kelapa muda yang ia pesan tadi, rasanya lebih baik setelah ia meminumnya. Amel tadi nyaris muntah melihat Maya tersenyum genit karena pujian Alex. Setelah aksi gila Maya tadi pagi, mengiyakan ajakan Alex untuk makan siang bersama, mereka akhirnya ada di Warung Made, sebuah restoran yang terletak di jalan utama di pusat Kota Kuta, Bali. Restoran ini terkenal karena kelezatan masakan Bali autentiknya dan suasana tradisional restoran ini. “Aku nggak nyangka lho kalau kamu mau menerima ajakan makan siangku,” ujar Alex sembari tersenyum menatap Amel.Perempuan it
“Kamu yakin nggak mau makan yang lain?” tanya Alex menatap Amel yang sedang menyantap mie cup di depannya. “Kita makan di tempat lain saja. Di dekat sini ada restoran yang enak.”“Nggak perlu,” jawab Amel. “Ini sudah cukup.”“Kamu yakin?”Amel mengangguk. “Aku sudah sangat bersyukur kamu membayar mie dan minuman ini, jadi aku nggak perlu repot-repot balik ke hotel untuk mengambil dompet. Oh ya, kirimkan nomor rekeningmu, uangmu akan aku ganti setelah kembali ke hotel nanti.”“Kamu nggak perlu menggantinya, Mel.”Amel meletakkan cup mie instannya ke atas meja setelah memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Ia lantas menyipitkan mata menatap Alex. “Aku nggak suka berhutang sama orang lain.”“Uangnya nggak seberapa, kamu nggak perlu menggantinya,” tegas Alex. “Lagi pula aku senang bisa membantu kamu.”“Tapi, aku nggak senang menerima bantuanmu dengan percuma.”“Kenapa? Bukankah teman biasa melakukan hal seperti ini?”“Kamu salah,” cetus Amel lalu meneguk minumannya . “Aku dan kamu
Tidak pernah ter bayangkan oleh Amel akan berteman dengan Alex, laki-laki asing yang baru ia kenal selama empat hari. Ini semua karena Alex dan kesepakatan konyolnya semalam. Harusnya Amel menolak kesepakatan itu mentah-mentah. Tapi, Amel justru dengan percaya dirinya menerima kesepakatan itu hanya karena ia percaya tidak akan bertemu dengan Alex hari ini.“Kamu bilang pengen makan pizza, tapi apa ini? Kamu bahkan nggak memakannya, Mel.”Amel mendelik menatap Maya. Selain salah Alex, ini juga salah Maya. Temannya itu sudah mengacaukan rencana sempurnanya. Jika Maya tidak menyeretnya keluar dengan iming-iming Roosterfish Beach Club, Amel pasti masih berbaring di kasur hotel yang nyaman dan tidak akan bertemu Alex hari ini.“Jangan-jangan kamu lagi mikirin si brengsek itu?” tuduh Maya.Amel mendesah pelan. Sebelah tangannya kemudian terulur mengambil sepotong pizza di piring. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Evan, bahkan nama laki-laki itu tidak muncul di pikiran Amel hari i
“Hai, Mel!”Amel menarik napas panjang melihat Alex yang sudah ada di depan hotelnya. Sejenak Amel berpikir belum terlambat untuknya jika ingin kabur sekarang. Amel bisa saja bilang pada Alex kalau tiba-tiba perutnya sakit, dengan begitu mereka tidak akan pergi ke mana pun hari ini. Tapi, mengingat harga dirinya, Amel tentu tidak akan melakukannya. Amel tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak bisa menepati janji.“Kita mau ke mana?” tanya Amel. Dia melihat sepeda motor di belakang Alex. Tidak terpikirkan oleh Amel, Alex akan menjemputnya dengan sepeda motor. Ia pikir mereka akan pergi naik taksi seperti yang terakhir kali. “Jadi ini alasan kamu menyuruhku untuk pakai celana?”“Bukankah ini kendaraan terbaik kalau kita mau jalan-jalan di Bali? Kita bisa menerobos kemacetan dengan mudah?”Alex benar, tapi Amel tidak suka dengan ide itu. Membayangkannya saja sudah membuat Amel merasa tidak nyaman. “Kamu pikir aku mau dibonceng sama kamu?”“Kenapa nggak? Atau jangan-jangan kamu takut
Bagaimana caranya meminta maaf pada Alex?Amel nyaris tidak tidur semalaman gara-gara memikirkan jawaban atas pertanyaan itu. Ia sempat berpikir untuk mengabaikan masalah ini. Amel tidak keberatan jika dirinya tidak bertemu lagi dengan Alex. Lagi pula setelah dia pulang ke Surabaya mereka tidak akan bertemu lagi. Namun Amel tidak bisa menyingkirkan rasa bersalahnya. Ia merasa terlalu ketus dan kasar saat bicara dengan Alex, padahal laki-laki itu bersikap sangat baik padanya. Lalu mata cokelat Alex yang tiba-tiba berubah dingin saat menatapnya, itu juga sangat mengganggu Amel.“Jadi aku harus gimana?” gumam Amel pelan sambil meremas rambutnya. Memikirkan cara untuk meminta maaf pada Alex membuat kepalanya sakit.“Jadi, kenapa kamu bergumam nggak jelas begitu?” tanya Maya yang berbaring di samping Amel. Setelah sarapan tadi, Maya memutuskan ikut masuk ke kamar Amel dengan alasan bosan. “Kamu kesambet atau apa?”“Menurutmu, apa aku ini orang yang kasar?” Amel balik bertanya. “Kemarin sep
Sebelumnya pusat dari dunia Amel adalah Evan dan setelah laki-laki memutuskan hubungan tujuh tahun mereka, Amel kehilangan pusat dunianya. Amel merasa seperti bumi yang kehilangan orbitnya. Pusat dunianya tiba-tiba menghilang, meninggalkan kekosongan yang tak terbayangkan. Dia merasa seperti pecahan kaca yang tersebar di lantai, tak tahu bagaimana harus menyusun diri kembali.Namun, secara ajaib kekosongan yang selama ini Amel rasakan menghilang. Kekosongan itu terisi. Terisi penuh begitu saja. Dan semua itu karena Alex. Kehadiran laki-laki itu telah mengisi kekosongan yang selama ini Amel rasakan. Perasaan hangat yang sepertinya sudah lama tidak ia rasakan, mulai menjalar masuk ke dalam hatinya yang dingin. Dan untuk pertama kalinya setelah kisah cintanya berakhir dengan tragis, Amel tidak memikirkan Evan. Seolah-olah nama laki-laki itu menghilang dari pikirannya.“Hah...” Amel menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur sambil menarik napas panjang.Hari ini sangat menyenangkan. Mungkin ini
Malam itu, setelah menyelesaikan semua pekerjaan di toko roti miliknya, Amel bergegas mengunci pintu untuk segera pulang. Amel sudah membayangkan mandi air hangat saat sampai di apartemennya nanti. Hari ini sungguh melelahkan karena toko rotinya kedatangan banyak pembeli. Setelah mengunci pintu, Amel yang hendak pulang menghentikan langkahnya ketika suara notifikasi dari ponselnya berbunyi. Tangannya merogoh ke dalam tas untuk mengambil ponsel, dilihatnya nama kontak Evan tertera di layar. Setelah satu minggu pacarnya itu tidak ada kabar, akhirnya Evan mengiriminya pesan. Amel tertegun menatap layar ponselnya, tidak percaya pada kata-kata yang baru saja dia baca. Pesan singkat dari Evan yang memenuhi layar dengan kata-kata yang mengguncang. Maaf, aku harus mengatakan ini. Amel, ini bukan tentangmu lagi. Kita harus berhenti di sini. Amel berusaha mencerna setiap kata, mencari petunjuk atau tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pesan itu hanya lelucon, tetapi tidak ada. Hanya dinginnya
Sambil menggerutu Amel mengepak kopernya. Ini semua karena Maya dan rencananya yang serba mendadak. Amel harus mengepak kopernya di tengah malam. Meski sedikit kesal karena rencana Maya, tapi dalam hatinya Amel bersyukur karena Maya peduli padanya. Amel tahu Maya melakukan hal ini agar dirinya tidak berlarut-larut dalam kesedihan setelah putus dari Evan. Amel tahu jika Maya sangat peduli padanya, temannya itu rela menemaninya setiap malam setelah pulang bekerja, memastikan dirinya tidak merenung sendirian dan memikirkan Evan. Maya bilang, dia memilih Bali karena Pulau Dewata itu adalah tempat indah dan eksotis. Maya pikir Bali adalah tempat yang tepat untuk menyegarkan hati dan pikiran Amel, tempat yang bisa membuat Amel lupa akan Evan dan semua kesedihannya. Keesokan harinya, Amel dan Maya tiba di Bandara Juanda jam 7 pagi. Mereka mengenakan pakaian santai dan nyaman—hanya Amel, Maya lebih mirip seorang model yang akan berjalan di peragaan busana. Masing-masing dari mereka membawa
Sebelumnya pusat dari dunia Amel adalah Evan dan setelah laki-laki memutuskan hubungan tujuh tahun mereka, Amel kehilangan pusat dunianya. Amel merasa seperti bumi yang kehilangan orbitnya. Pusat dunianya tiba-tiba menghilang, meninggalkan kekosongan yang tak terbayangkan. Dia merasa seperti pecahan kaca yang tersebar di lantai, tak tahu bagaimana harus menyusun diri kembali.Namun, secara ajaib kekosongan yang selama ini Amel rasakan menghilang. Kekosongan itu terisi. Terisi penuh begitu saja. Dan semua itu karena Alex. Kehadiran laki-laki itu telah mengisi kekosongan yang selama ini Amel rasakan. Perasaan hangat yang sepertinya sudah lama tidak ia rasakan, mulai menjalar masuk ke dalam hatinya yang dingin. Dan untuk pertama kalinya setelah kisah cintanya berakhir dengan tragis, Amel tidak memikirkan Evan. Seolah-olah nama laki-laki itu menghilang dari pikirannya.“Hah...” Amel menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur sambil menarik napas panjang.Hari ini sangat menyenangkan. Mungkin ini
Bagaimana caranya meminta maaf pada Alex?Amel nyaris tidak tidur semalaman gara-gara memikirkan jawaban atas pertanyaan itu. Ia sempat berpikir untuk mengabaikan masalah ini. Amel tidak keberatan jika dirinya tidak bertemu lagi dengan Alex. Lagi pula setelah dia pulang ke Surabaya mereka tidak akan bertemu lagi. Namun Amel tidak bisa menyingkirkan rasa bersalahnya. Ia merasa terlalu ketus dan kasar saat bicara dengan Alex, padahal laki-laki itu bersikap sangat baik padanya. Lalu mata cokelat Alex yang tiba-tiba berubah dingin saat menatapnya, itu juga sangat mengganggu Amel.“Jadi aku harus gimana?” gumam Amel pelan sambil meremas rambutnya. Memikirkan cara untuk meminta maaf pada Alex membuat kepalanya sakit.“Jadi, kenapa kamu bergumam nggak jelas begitu?” tanya Maya yang berbaring di samping Amel. Setelah sarapan tadi, Maya memutuskan ikut masuk ke kamar Amel dengan alasan bosan. “Kamu kesambet atau apa?”“Menurutmu, apa aku ini orang yang kasar?” Amel balik bertanya. “Kemarin sep
“Hai, Mel!”Amel menarik napas panjang melihat Alex yang sudah ada di depan hotelnya. Sejenak Amel berpikir belum terlambat untuknya jika ingin kabur sekarang. Amel bisa saja bilang pada Alex kalau tiba-tiba perutnya sakit, dengan begitu mereka tidak akan pergi ke mana pun hari ini. Tapi, mengingat harga dirinya, Amel tentu tidak akan melakukannya. Amel tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak bisa menepati janji.“Kita mau ke mana?” tanya Amel. Dia melihat sepeda motor di belakang Alex. Tidak terpikirkan oleh Amel, Alex akan menjemputnya dengan sepeda motor. Ia pikir mereka akan pergi naik taksi seperti yang terakhir kali. “Jadi ini alasan kamu menyuruhku untuk pakai celana?”“Bukankah ini kendaraan terbaik kalau kita mau jalan-jalan di Bali? Kita bisa menerobos kemacetan dengan mudah?”Alex benar, tapi Amel tidak suka dengan ide itu. Membayangkannya saja sudah membuat Amel merasa tidak nyaman. “Kamu pikir aku mau dibonceng sama kamu?”“Kenapa nggak? Atau jangan-jangan kamu takut
Tidak pernah ter bayangkan oleh Amel akan berteman dengan Alex, laki-laki asing yang baru ia kenal selama empat hari. Ini semua karena Alex dan kesepakatan konyolnya semalam. Harusnya Amel menolak kesepakatan itu mentah-mentah. Tapi, Amel justru dengan percaya dirinya menerima kesepakatan itu hanya karena ia percaya tidak akan bertemu dengan Alex hari ini.“Kamu bilang pengen makan pizza, tapi apa ini? Kamu bahkan nggak memakannya, Mel.”Amel mendelik menatap Maya. Selain salah Alex, ini juga salah Maya. Temannya itu sudah mengacaukan rencana sempurnanya. Jika Maya tidak menyeretnya keluar dengan iming-iming Roosterfish Beach Club, Amel pasti masih berbaring di kasur hotel yang nyaman dan tidak akan bertemu Alex hari ini.“Jangan-jangan kamu lagi mikirin si brengsek itu?” tuduh Maya.Amel mendesah pelan. Sebelah tangannya kemudian terulur mengambil sepotong pizza di piring. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Evan, bahkan nama laki-laki itu tidak muncul di pikiran Amel hari i
“Kamu yakin nggak mau makan yang lain?” tanya Alex menatap Amel yang sedang menyantap mie cup di depannya. “Kita makan di tempat lain saja. Di dekat sini ada restoran yang enak.”“Nggak perlu,” jawab Amel. “Ini sudah cukup.”“Kamu yakin?”Amel mengangguk. “Aku sudah sangat bersyukur kamu membayar mie dan minuman ini, jadi aku nggak perlu repot-repot balik ke hotel untuk mengambil dompet. Oh ya, kirimkan nomor rekeningmu, uangmu akan aku ganti setelah kembali ke hotel nanti.”“Kamu nggak perlu menggantinya, Mel.”Amel meletakkan cup mie instannya ke atas meja setelah memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Ia lantas menyipitkan mata menatap Alex. “Aku nggak suka berhutang sama orang lain.”“Uangnya nggak seberapa, kamu nggak perlu menggantinya,” tegas Alex. “Lagi pula aku senang bisa membantu kamu.”“Tapi, aku nggak senang menerima bantuanmu dengan percuma.”“Kenapa? Bukankah teman biasa melakukan hal seperti ini?”“Kamu salah,” cetus Amel lalu meneguk minumannya . “Aku dan kamu
“Amel bilang kamu membelikan kalung ini untukku, terima kasih ya,” ujar Maya sambil memamerkan kalung mutiara yang melingkar di leher jenjangnya. “Kalung itu Amel yang memilihnya, aku hanya bantu membayar. Kalung itu terlihat cocok kamu pakai,” sahut Alex memuji Maya. Perempuan itu tersenyum senang mendengar pujian dari Alex. Amel memutar bola mata malas mendengar percakapan dua orang di depannya. Ia kemudian meneguk segelas es kelapa muda yang ia pesan tadi, rasanya lebih baik setelah ia meminumnya. Amel tadi nyaris muntah melihat Maya tersenyum genit karena pujian Alex. Setelah aksi gila Maya tadi pagi, mengiyakan ajakan Alex untuk makan siang bersama, mereka akhirnya ada di Warung Made, sebuah restoran yang terletak di jalan utama di pusat Kota Kuta, Bali. Restoran ini terkenal karena kelezatan masakan Bali autentiknya dan suasana tradisional restoran ini. “Aku nggak nyangka lho kalau kamu mau menerima ajakan makan siangku,” ujar Alex sembari tersenyum menatap Amel.Perempuan it
“Sampai jumpa besok,” ucap Alex sembari melambaikan tangan saat Amel keluar dari taksi.Amel memutar bola matanya lalu menarik kedua sudut bibirnya terpaksa. “Ya, terima kasih untuk hari ini.”Setelah taksi yang ditumpangi Alex melaju menjauh, barulah Amel melangkah masuk ke dalam area hotel tempatnya dan Maya menginap. Hari ini ia dan Alex menghabiskan waktu cukup lama di Tanah Lot, menikmati pemandangan matahari terbenam di sana, mereka juga makan malam di restoran sekitar sana sebelum memutuskan untuk pulang. Walau awalnya ia ragu untuk pergi berdua dengan Alex, tapi ternyata hari ini cukup menyenangkan.Amel melirik jam kulit cokelat di pergelangan tangan kirinya, waktu menunjukkan pukul 9 malam. Ia penasaran apakah Maya sudah tidur atau belum. Amel memang menikmati perjalanannya hari ini, tapi ia tetap khawatir pada keadaan Maya. Temannya itu terbaring lemah saat ia pergi siang tadi, jadi Amel memutuskan untuk melihat keadaan Maya lebih dulu.“Amel!”Amel yang hendak mengetuk pin
Siang itu, Amel baru saja selesai bersiap-siap untuk keluar dari kamar hotel. Ia mengenakan pakaian sederhana, tapi modis, mini dress berwarna putih, dibalut kardigan merah muda dan sandal flatbed berwarna senada dengan mini dress-nya. Amel mengikat rambutnya kuncir kuda dan memperlihatkan leher jenjangnya.Harusnya hari ini Amel dan Maya pergi jalan-jalan, mengunjungi Pura Tanah Lot, dan mencoba makanan-makanan enak khas Bali. Sayangnya, Maya tiba-tiba sakit perut dan Amel terpaksa pergi sendiri. Ia harusnya juga sudah keluar sejak pagi, tapi karena tidak tega melihat wajah Maya yang lemas dan berwajah pucat Amel memutuskan menemani temannya dulu. Biar bagaimana pun, liburan ini adalah rencana Maya, rasanya tidak enak jika ia pergi bersenang-senang sendiri, sementara Maya terbaring sakit di kamar hotel.Setelah memastikan keadaan Maya membaik, barulah ia bisa keluar jalan-jalan dengan tenang. Amel berjalan keluar dari hotel sambil merapatkan kardigan yang ia pakai. Dia menghela napas
Sambil menggerutu Amel mengepak kopernya. Ini semua karena Maya dan rencananya yang serba mendadak. Amel harus mengepak kopernya di tengah malam. Meski sedikit kesal karena rencana Maya, tapi dalam hatinya Amel bersyukur karena Maya peduli padanya. Amel tahu Maya melakukan hal ini agar dirinya tidak berlarut-larut dalam kesedihan setelah putus dari Evan. Amel tahu jika Maya sangat peduli padanya, temannya itu rela menemaninya setiap malam setelah pulang bekerja, memastikan dirinya tidak merenung sendirian dan memikirkan Evan. Maya bilang, dia memilih Bali karena Pulau Dewata itu adalah tempat indah dan eksotis. Maya pikir Bali adalah tempat yang tepat untuk menyegarkan hati dan pikiran Amel, tempat yang bisa membuat Amel lupa akan Evan dan semua kesedihannya. Keesokan harinya, Amel dan Maya tiba di Bandara Juanda jam 7 pagi. Mereka mengenakan pakaian santai dan nyaman—hanya Amel, Maya lebih mirip seorang model yang akan berjalan di peragaan busana. Masing-masing dari mereka membawa