Theodor menarik kursi agar bisa duduk di sisi ranjang, sementara Hayes yang mendengarkan suara keberadaan Theodor berpura-pura melihat melihat apa yang Theodor lakukan meski apa yang dilihatnya saat ini hanyalah pergerakan sebuah bayangan.“Bagaiamana keadaanmu?” tanya Theodor terdengar tenang dan tangan bersedekap angkuh. Dia tahu kini Hayes tengah berpura-pura bisa melihat keberadaannya dengan jelas, Theodor-pun akhirnya berpura-pura tidak tahu jika sebenarnya Hayes kesulitan melihat.Akan sangat mudah untuk Theodor menghancurkan Hayes dan mengambil kembali Alice dengan cara menyerang kelemahan Hayes Borsman. Tetapi, Theodor bukanlah orang yang seperti itu.“Seperti yang sekarang kau lihat, aku cukup terluka setelah dihajar seorang bajingan,” jawab Hayes penuh penekanan.“Mala mini, aku juga sempat kerepotan setelah menghajar seorang bajingan,” jawab Theodor balas ucapan Hayes dengan makin.“Aku ingin membunuhmu Theodor,” ungkap Hayes.“Aku juga sangat ingin mencekikmu malam,” jawab
Deru suara napas kasar saling bersahutan, ciuman yang terjalin berakhir dalam kebisuan, berakhir saling memandang dalam waktu lama, menyelami perasaan satu sama lainnya.Pelukan Theodor perlahan mengendur, dia menurunkan tubuh Alice dan mengusap wajahnya yang basah oleh air mata.Theodor membungkuk, kembali mengecup bibir Alice dan kedua pipinya, merasakan sisa-sisa air mata yang tertinggal. Theodor menarik tubuh gadis itu ke dalam dekapannya untuk dipeluk.Masih tidak ada kata-kata yang terucap seakan mereka sudah bisa memahami perasaan satu sama lainnya tanpa perlu dengan penjelasan.Pakaian Theodor yang basah, tubuhnya yang kedinginan menemukan sedikit menghangat saat Alice berada dalam pelukannya.Semua perasaan yang kacau mereda perlahan. Pelukan Theodor mengerat, dia ingin menikmati waktunya sedikit lebih lama lagi, karena Theodor tidak tahu misteri apa yang akan terjadi diantara dirinya dengan Alice di hari esok.Theodor memejamkan matanya menyembunyikan kehancuran yang terluk
Hujan sudah mulai reda, malam semakin gelap. Ketegangan berakhir dalam kebisuan, suara musik tidak terdengar lagi, mesin pencuci berhenti beroperasi.Waktu sudah menunjukan pukul dua malam..Gorden kamar bergerak diterpa angin yang masuk melalui celah pentilasi udara.Theodor terbaring, membawa Alice ke dalam pelukannya setelah gadis itu berhenti menangis dan mendapatkan sedikit ketenangannya lagi.Tubuh dan jiwa mereka sedang lelah, tidak ada kata yang bisa ucapkan lagi karena semuanya yang sudah terjadi sulit untuk dikembalikan.Alice merasakan irama detak jantung Theodor di pipinya, gadis itu mengusap lembut buku-buku jari Theodor yang terluka.Malam semakin larut..Tidak ada yang tidur..Keduanya terjebak dalam sebuah pertanyaan sederhana yang sulit diungkapkan melalui kata-kata. Apakah besok, hubungan mereka sudah selesai? Semuanya berakhir begitu saja?Apa itu artinya, mereka akan kembali ke jalan masing-masing, sebagai teman yang hanya saling mendukung bersama jarak yang memisa
Gelapnya malam sudah mulai berubah, samar-samar ada cahaya yang terlihat di upuk timur menandakan jika pagi akan segera tiba. Alice bergerak hati-hati, dia menarik selimut yang sempat terjatuh turun.Pikiran Alice melayang, mengingat apa yang telah terjadi sepanjang malam diantara dirinya dengan Theodor. Endorfin yang diciptakan berhasil menyingkirkan banyak beban yang bergelayut di dalam pikiran.Kini Theodor sudah beranjak meninggalkan ranjang, pria itu mengambil pakaiannya yang sudah dibersihkan dan mengenakannya lagi, dia harus bersiap-siapa pergi.Malam yang singkat telah berakhir.Mereka harus kembali pada kenyataan baru yang harus dihadapi.Theodor yang kembali ke dalam kamar dengan pakaian lengkap, pria itu duduk di sisi ranjang.Tangan Alice terulur di depan Theodor, dia tertunduk tidak berani menunjukan wajahnya ketika meninggalkan cincin di telapak tangan Theodor. Sebuah cincin yang pernah Theodor sematkan di jari manisnya sebagai lamaran.“Aku mengembalikannya,” ucap Alic
Ada banyak jenis makanan yang tersedia di meja, aromanya yang harum tercium di udara. Pagi-pagi sekali ada orang yang datang membersihkan paviliun dan menyiapkan segalanya sehingga Hayes bisa beristirahat selama menunggu Alice datang.Hayes menarik kursinya dan duduk dengan kelegaan yang disembunyikan, dilihatnya Alice yang kini terlihat lebih jelas berkat bantuan kacamata.Hayes sempat mendapatkan omelan dokter karena dia memutuskan untuk pulang belum pada waktunya, namun Damian yang berpihak pada Hayes dengan sabar membantunya keluar.Alice menegakan tubuhnya, melihat keluar jendela. Dari paviliun ini, dia bisa melihat luasnya lautan yang biru bersih, kapal-kapal pesiar terlihat berlayar.Sangat menyenangkan, membayangkan bisa berlayar mengelilingi pulau atau sekadar merasakan tekanan lautan yang lebih dalam. Alice akan menemui seorang pelayan yang dia kenal, mungkin dia dan Athur bisa ikut ke tengah lautan untuk merasakan bagaimana rasanya berlayar meski dengan perahu yang sederhan
Sebuah sepeda berwarna hitam dan berkeranjang besar didorong keluar dari mobil pick up oleh Philip. Sepeda itu terlihat jauh lebih besar dan bagus, dan mungkin lebih kuat dari sepeda Alice sebelumnya yang langsung penyok sampai rantainya putus ketika terbanting ke batu.“Ini benar-benar untuk saya?” tanya Alice tidak menyembunyikan keterkejutannya.Philip menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, pria paruh baya itu tersenyum malu. “Anda tidak suka? Saya yang memilihnya, kita bisa menukarnya jika Anda mau sepeda yang lain.”“Justru ini terlalu bagus untuk saya,” jawab Alice malu.“Tidak Nona, Anda pantas mendapatkan yang terbaik,” jawab Philip meyakinkan. “Anda bisa mencobanya selagi tuan muda masih di dalam.”Alice menggigit bibirnya tampak tidak yakin. “Apa ini benar-benar untuk saya?” tanya Alice sekali lagi.“Tentu saja Nona, cobalah.”Dengan ragu Alice mendorong sepedanya dan mencobanya dengan mengelilingi air mancur di depan paviliun. Sementara Philip yang tengah memperhatikan ses
Sinar matahari yang cerah terasa menyilaukan dan membuat kepala sakit. “Berhentilah di sini,” pinta Hayes.Alice berhenti di bawah pohon besar, gadis itu membuang napasnya dengan penuh kelegaan, dia turun dari sepedanya menyusul Hayes yang duduk di sebuah akar besar.“Kemana kau ingin pergi?” tanya Alice tidak menunjukan rasa lelahnya. Dia suka cuaca yang cerah dan memandangi rumput hijau, bunga bermekaran di hari pertama musim semi.“Aku hanya ingin tahu banyak hal tentangmu, bawa aku kemanapun tempat yang ingin kau tuju,” jawab Hayes dengan mata terpejam seraya melepaskan topinya.Alice membuang mukanya seketika, bibir mungilnya terkatup rapat tidak tahu harus berkata apa.“Aku tahu kau tidak nyaman denganku Alice, aku juga tahu jika setiap kali kau bersama denganku, kau tidak sebahagia saat dengan Theodor yang mampu membuatmu tersenyum. Aku tidak sesempurna Theodor, aku kalah dalam hal apapun jika disandingkan dengan Theodor. Satu-satunya yang bisa kau adu, perasaanku padamu benar-
Hayes menopang dagunya dalam kepalan tangan, mobil yang mengantarnya sudah memasuki area villa tempat dimana Damian menginap.Insting Hayes cukup buruk, dan dia sangat yakin memang kedatang Claud ke Emilia Island hanya memperkeruh keadaan yang sedang kacau.“Tuan.” Philip berdiri di sisi sudah membukakan pintu untuk Hayes karena kini mereka sudah sampai.Hayes melompat keluar dari mobilnya. “Jangan pergi, mungkin aku tidak akan lama di sini,” ucap Hayes berjaga-jaga.“Saya mengerti,” jawab Philip dengan anggukan samarnya.Hayes kembali mengenakan topinya, namun kali ini dia tidak mengenakan kacamata. Pria itu melangkah lebar, masuk ke dalam villa dan melewati kerumunan orang yang dia yakini pengawal Claud.Untuk apa sebenarnya Damian memanggilnya? Apakah akan terjadi pembicaraan memang penting atau hanya membicarakan omong kosong yang hanya akan menambah pertengkaran?Langkah Hayes melebar, pria itu melewati beberapa ruangan dan menaiki sebuah tangga besar yang memutar, mengarah pada