Sendok di tangan Alice gemetar, bibir mungilnya terbuka menerima sedikit es krim yang dia ambil. Lidah Alice sedikit menegang, merasakan dingin dan sesuatu yang meleleh di dalam mulutnya tanpa menyisakan apapun, selebihnya semuanya terasa hambar sama seperti bubur yang dia makan sebelumnya.Andai Alice tahu rasa es krim yang sebenarnya seperti apa.“Kau suka?” tanya Damian penuh harap.Alice mengangguk dan kembali menyuapkan secuil es krim lagi. Tidak ada yang membuat Alice berkesan, indra perasanya sudah tidak dapat berfungsi dengan benar, semua yang masuk ke dalam mulut Alice terasa hambar, Alice menyukai es krim yang dia makan karena dia merasakan ada sensasi lelehan di dalam mulutnya.“Alice, apa tidak makanan lain yang ingin kau cicipi selain bubur? Ayah khawatir dengan kondisi kesehatanmu jika kau hanya memakan bubur, itupun dalam jumlah yang sedikit,” kata Damian.Hayes tidak pernah berpikir sejauh Damian, dan ketika dia mencoba memperhatikan tangan Alice, pada saat itu juga H
“Apa sekarang kau senang tinggal di sini?”Samar kening Alice mengerut bingung, bertanya-tanya apakah Ivana akan menyindirnya jika dia menjawab?“Kenapa kau diam saja? Kau tidak suka karena benci melihat wajahku?” desak Ivana dengan tuduhan yang tidak masuk akal. “Ti-tidak seperti itu,” sangkal Alice terbata, “saya senang tinggal di sini, berkat kemurahan hati Anda dan tuan Damian, saya bisa nyaman tinggal di sini.”Ivana kembali mendekat satu langkah, mengikis jaraknya dengan Alice. “Apa kau dan Giselle saling menghubungi? Atau jaungan-jangan saat kau pergi keluar, kau menemuinya.”“Ti-tidak Nyonya,” jawab Alice.“Kau pasti berbohong,” sangkal Ivana menolak percaya dengan jawaban Alice. “Jika ibumu menghubungimu, katakan kepadanya, dia sudah sangat berhasil mengirim sebuah neraka untuk menyiksaku di rumah ini, berkat kau ada di rumah ini, setiap malam aku harus minum obat penenang lagi agar tidak mimpi buruk,” ucap Ivana begitu tidak menyenangkan.Tangan Alice terkepal kuat menahan
Suara pintu yang terbuka langsung membangunkan Hayes, pria itu kembali membuka matanya dan melihat kepergian Alice yang terlihat sempoyongan.“Mau kemana dia?” bisik Hayes bertanya.Tidak lebih dari tiga menit Alice pergi, gadis itu sudah kembali dengan membawa segelas air panas dan menutup pintu dengan hati-hati agar tidak mengganggu.Alice sama sekali tidak menyadari jika sejak dia pergi keluar kamar, Hayes sudah memperhatikannya.Di antara remang cahaya, Hayes melihat gelagat aneh Alice yang kini duduk meringkuk di sofa dan terdengar menggeram menahan suaranya, gadis itu sama sekali tidak memutuskan tidur.Dengan kesal Hayes langsung duduk.“Kenapa kau tidak bisa diam? Kau sudah mengganggu tidurku!” protes Hayes.“Maaf, aku harus mengambil air hangat,” jawab Alice dengan suara yang terdengar serak.“Sekali kau menganggu tidurku, tidurlah diluar!” ancam Hayes.“Aku mengerti,” jawab Alice samar terdengar.Kening Hayes mengerut samar, pria itu menyadari ada sesuatu yang telah terjadi.
“Berhenti mengharapkan Hayes, dia sudah menjadi suami perempuan lain,” nasihat Stefany.Bella mendengus kesal, Stefany sama sekali tidak mendukungnya meski dia sebelumnya sangat mengharapkan Hayes akan menjadi menantunya. Tetapi semenjak Stefany menikah, keinginan itu seakan lenyap dengan mudah.“Mengapa sekarang Ibu tidak mendukungku?” tanya Bella tidak terima.“Apa kau bodoh? Hayes sudah memiliki isteri!”“Aku mencintai Hayes, mengapa Ibu tidak memahami perasanku? Lagi pula, Hayes tidak mencintai isterinya, lambat laun mereka akan bercerai,” jawab Bella dengan percaya diri.“Kau hanya boleh mendekati Hayes lagi setelah mereka benar-benar bercerai Bella.”“Aku tidak mau!” jawab Bella dengan tegas, Bella tidak ingin menunggu Hayes bercerai lebih dulu. Jika Bella membiarkan pernikahan Hayes dan Alice tenang begitu saja, bagaimana jika nanti Hayes justru menaruh hati pada gadis kampungan itu.Stefany bersedekap. “Apa kau tahu Bella, musuh terbesar wanita adalah wanita juga, wanita yang
Kepulan asap terlihat di udara, Giselle menghisap rokoknya beberapa kali, matanya hanya tertuju dengan fokus pada selembar photo yang tergeletak di atas meja.Dengan kuat Giselle kembali menghisap rokoknya, kakinya bergerak gelisah dibawah pengaruh kecemasan yang berlebihan.Semenjak Alice pergi, dia tidak memiliki sesuatu yang bisa menjadi pelampiasan segala kegelisahan di dalam pikirannya, dan kini Giselle melampiaskan kegelisan dan amarahanya pada sebuah photo.Giselle kedapatan mengayunkan pisau dan menusukannya pada photo di atas meja.Photo itu adalah sebuah potret di masa lalunya ketika dia masih berteman dengan Ivana dan sama-sama sekolah dia sekolah desain dengan cita-cita yang sama, yaitu menjadi seorang desainer terkenal.Ivana memiliki orang tua yang kaya raya yang bisa memenuhi segala apayang Ivana mau, sementara Giselle bisa sekolah karena beasiswa dan kedua orang tuanya adalah buruh.Pertemanan mereka cukup indah, namun berakhir semenjak Giselle mengenal Damian, teman
“Pakai baju itu saat nanti ke pesta,” titah Hayes meletakan tas paper bag yang telah dibawanya di depan Alice. Hayes sudah menyempatkan diri memilih pakaian yang harus Alice kenakan, dia tidak ingin kedatangan Alice nanti ke pesta akan mempermalukannya sama halnya seperti apa yang terjadi saat waktu di pesta pernikahan.Kali ini Hayes berbaik hati akan membawa Alice semata-mata karena rasa bersalah atas dua kesalahan yang dia buat. Hayes memberi jalan untuk Alice jika dia ingin naik kelas social, di pesta nanti akan ada banyak orang penting, jika Alice cukup cerdas dia bisa memanfaatkan moment itu.Alice membuka tas yang dibawa Hayes dan memeriksa pakaiannya. Respon pertama Alice adalah terkejut, Hayes memberikan gaun yang cantik, namun terbuka sedikit terbuka.Alice tidak bisa mengenakan pakaian seperti itu. Bagaimana cara Alice menjelaskannya agar tidak menimbulkan kesalah pahaman?“Kenapa? Kau tidak suka?” tanya Hayes menebak melalui ekspresi Alice yang terlihat tertekan.“Maafkan
Damian berdiri di depan jendela, memandangi jalanan yang ada bawahanya. Sepanjang hari ini dia tidak bisa bekerja dengan baik, Damian terus terus teringat percakapan singkatnya bersama Alice.Mendengarkan sebuah pengakuan yang tidak pernah Damian pikirkan akan terucap dari mulut gadis itu.Damian bertanya-tanya, apakah selama ini kehidupan Alice jauh lebih buruk dari sekadar sebuah cerita yang pernah Damian dengar?Bagaimana bisa Giselle yang dulu dia kenal sangat lembut dan penyayang bisa berubah sekejam ini kepada darah dagingnya sendiri?Rasa bersalah memenuhi dada, memikirkan jika Damian memiliki andil dalam penyebab derita yang Alice alami dan perubahan sikap Giselle.Andai saja dulu Damian memiliki keberanian yang lebih besar untuk meninggalkan Ivana dan memilih Giselle, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Suara helaan napas panjang terdengar dari mulut Damian, pria itu kembali duduk di meja kerjanya. Damian kembali memikirkan apa yang kini harus dia lakukam agar bisa membantu
Dalam langkah yang bimbang Alice pergi keluar menemui Hayes yang sudah menunggu. Di depan pintu, keduanya saling bertemu dan saling berpandangan.Tidak ada yang berbicara..Napas Hayes tertahan di dada, pandangannya bergerak dengan teliti memperhatikan penampilan Alice yang mengenakan sweater over dress dibawah lutut.Ada yang menarik ketika Hayes menaikan pandangannya, melihat wajah Alice yang tersapu oleh riasan tipis yang membuat wajahnya terlihat segar bersama rambut yang sedikit bergelombang. Hayes tidak bisa berbohong jika kini Alice seperti seperti salju pertama yang turun di malam hari. Dia terlihat polos namun tidak mudah ditangkap ke dalam genggaman.Hayes langsung membuang muka dengan cepat begitu tersadar bahwa dia sudah terlalu lama memandangi Alice.“Aku hanya bisa berpakaian seperti ini, jika ini akan mempermalukanmu, kau bisa pergi tanpaku,” kata Alice.“Mau bagaimana lagi, aku tidak memiliki pilihan lain selain membawamu. Cepatlah,” titah Hayes dengan gerakan di dag