“Aku sudah menunggumu dari tadi,” sapa Bella dengan senyuman palsunya yang terus bertahan. “silahkan masuk.”Bella mengantar Alice masuk ke dalam butik, wanita itu berjalan di belakang Alice dan menyembunyikan setumpuk kemarahan pada gadis itu. Bella tidak bisa melakukan apapun lagi jika Alice sudah berada di dalam butik karena semua hal yang bersangkutan dengan butik, sementara waktu di ambil alih oleh Stefany.Jika terjadi suatu keributan di dalam butik, maka Stefany yang akan bertanggung jawab.Sesaat Bella melihat keluar, memastikan jika tidak akan ada Giselle yang datang, akan menjadi sangat kacau jika Giselle membuat masalah dan membuka mulut jika Bella dan dia memiliki hubungan baik hingga beberapa kali bertemu.Pandangan Alice mengedar, gadis itu terperangah takjub melihat suasana tenang dan penuh dengan kemewahan. Ini untuk pertama kalinya Alice menginjakan kakinya ke sebuah toko pakaian, deretan tas, aksesoris, sepatu hingga pakaian sudah langsung terlihat di beberapa tempat
Suara pecahan piring dan gelas terdengar tajam hingga membuat gendang telinga Alice sakit seperti sudah tertusuk. Seluruh permukaan kulit Alice merespon menimbulkan rasa perih, dengan gemetar Alice mengusap tenggorokannya kesulitan bernapas seakan seluruh oksigen di sekitarnya menghilang.Bayang-bayangan buruk kembali datang menyerang pikiran, menarik Alice dari ambang kesadarannya. Alice diserang panik dan ketakutan yang berlebihan, sekuat tenaga dia berusaha untuk mempertahankan kesadarannya agar tidak jatuh pingsan di tempat.Alice ingin pergi menenangkan diri, namun kedua kakinya kehilangan tenaga hingga tidak memiliki kekuatan untuk berdiri.“Astaga Lilya!” panggil Bella berpura-pura panik.“Aku minta maaf, aku tidak sengaja,” tangis Lilya merintih kesakitan karena permukaan tangannya menekan salah satu pecahan piring di lantai.“Kenapa denganmu, harusnya kau berhati-hati,” tegur Bella berpura-pura peduli dan tidak mempedulikan delikan tajam di mata Lilya yang tidak terima deng
Layar handpone menyala tertera nama Alice, Sans hanya bisa melihatnya dan mengabaikannya sampai satu panggilan terlewatkan. Tidak berapa lama, handpone Hayes kembali menyala dan Alice melakukan panggilan kedua kalianya.Sans tidak memiliki keberanian untuk bersikap lancang dengan menerima panggilan dari Alice, disisi lain dia tidak bisa mengabaikannya karena panggilan masuk dari Alice tampaknya sangat penting.Pengawal itu bergeser sedikit mendekati keramaian dan memperhatikan Hayes yang tengah berpidato usai statusnya sebagai pewaris dan peminpin baru di umumkan. “Duma,” panggil Sans pada assistant assistant Hayes.Duma langsung datang. “Ada apa?”“Bisakah kau menerima panggilan dari isteri tuan muda Hayes?”Duma mengulurkan mengambil alih handpone Hayes dan melihat sudah ada enam panggilan yang terlewatkan. Beberapa menit setelah Duma mengambil alih handpone, panggilan masuk kembali muncul dari Alice. ***“Kau mau kemana?” tanya Bella memperhatikan kepergian Chelsie yang membawa pa
“Aku akan keluar!” jerit Alice frustasi, terpojokan oleh situasi yang sangat begitu menyulitkan dirinya.Alice sangat marah dan muak dengan tekanan orang-orang di sekitarnya seakan tidak mau memberinya kesempatan sejenak saja menikmati ketenangan.Mata Alice berkaca-kaca memandangi bayangan dirinya sendiri yang di cermin. Setiap kali Alice melihatnya, dia malu dan marah, lantas bagaimana dengan orang lain bila melihatnya, apakah kini mereka masih akan mencelanya juga?“Nona Alice, saya mohon,” panggil Charlie kembali memanggil.Alice menarik napasnya dalam-dalam dengan tangan yang terkepal kuat, gadis itu mengambil handponeya di lantai dan berjalan ke arah pintu.Seluruh rasa sakit menusuk tubuh dan hatinya memandangi, Alice memutar kunci dan membuka pintu, berhadapan dengan beberapa orang yang berdiri menunggu dirinya dengan penuh kekhawtiran.Suara napas Alice yang kasar dan tersendat-sendat terdengar keheningan yang datang begitu cepat, Alice membalas pandangan semua orang yang men
Hayes memacu kendaraannya lebih cepat, pria itu melihat ke sekitar mencari-cari keberaaan mobil yang ditumpangi oleh Alice. Hayes tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, namun jika dilihat dari reaksi orang-orang di depan butik, Hayes bisa merasakan jika telah terjadi sesuatu yang penting.Pupil mata Hayes menyipit melihat sebuah mobil sport yang melaju di depannya. Hayes melewati beberapa kendaraan di depannya untuk menyusul lebih dekat mobil sport itu. Hayes melihat ke sisi, karena atap yang terbuka, Hayes dapat melihat jika Theodor yang berada di mobil sport itu.Jendela di sisi Hayes menurun. “Apa yang kau lakukan di sini?” teriak Hayes bertanya.“Ikuti aku!” Theodor balas berteriak dan mempercepat laju kendaraannya diikuti oleh Hayes.Theodor tidak dapat memberikan penjelasan apapun karena kini situasinya sedang sangat gawat.Hayes langsung mengikuti kemana arah Theodor berkendara, pria itu tidak dapat berpikir apapun sekarang, dia hanya ingin mengetahui seperti apa keadaa
Hayes dan Theodor duduk bersebelahan di sebuah kursi panjang, menunggu Calla keluar dari ruangan dimana dia tengah menangani Alice sejak dua puluh menit yang lalu.Beruntung saja, pengawal yang menjadi sopir Alice bisa diselamatkan dan luka yang di alaminya tidak begitu parah. Beruntung juga rekaman dari dashboard mobil Hayes merekam kejadian saat Giselle celaka sehingga Alice terlepas dari masalah.Sejak kejadian di rel, Hayes dan Theodor tidak terlibat percakapan apapun, bahkan saat polisi datang untuk mengurus mayat Giselle.Kedua pria itu terjebak dalam kecanggungan satu sama lainnya. Hayes yang sebagai suami harus menyetir, sementara Theodor menangani Alice.Tangan Hayes mengepal, disetiap tarikan napasnya dia merasakan perih di dalam hati. Hayes mengingat jelas, sepanjang jalan menuju klinik, Alice merintih memukuli kepala sendiri karena terguncang trauma dan ketakutan.Tidak pernah sekalipun Hayes melihat sisi menyedihkan dan kerapuhan Alice yang seperti ini. Dan, saat Hayes me
Suara air yang jatuh ke ember terdengar saat sebuah tangan kecil memeras kain pelan. Alice membawa pelan itu dan membersihkan setiap sudut ruangan yang ada, hingga mengelap setiap perabotan dengan teliti.Alice bergerak ke sana-kemari sendirian di tengah ruangan yang besar, membersihkan segalanya dengan teliti agar tidak mendapatkan teguran berupa omelan.Peluh keringat membasahi wajah mungilnya yang memerah, sesekali Alice mengatur napasnya dan berdiri untuk meredakan rasa lelahnya, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.Usia Alice baru enam tahun, dan baru seminggu ini dia diperbolehkan keluar untuk pertama kalinya dari ruang bawah tanah.Alice sangat senang, dia bisa berbicara dengan lebih banyak orang dan bisa berkeliaran bebas meski itu harus di malam hari.Suara klakson yang terdengar di depan rumah membuat Alice berhenti dari pekerjaannya, gadis kecil itu mengintip dari jendela. Begitu tahu siapa yang telah datang, dengan terburu-buru Alice membawa pelan dan menyeret dua ember
“Apa yang sebenarnya ingin kau ketahui?” tanya Damian terdengar begitu berat.“Semuanya,” jawab Hayes dengan tegas, “aku akan menerima apapun yang sebenarnya telah terjadi, karena itu, tolong beritahu aku.”Damian kembali diam dalam waktu yang lama, sangat berat untuk dirinya mengenang kembali apa yang sebenarnya telah terjadi di masa lalu. Setiap kali Damian mengingatnya, dia hanya merasakan kepedihan yang begitu dalam.Sepasang mata zambrud Damian menatap kosong langit sore yang menyilaukan, cukup lama dia terdiam, pria paruh baya itu tenggelam dalam kenangan masa lalunya yang selalu berusaha untuk dia kubur dalam-dalam.“Aku dan Ivana tumbuh besar bersama, kami berteman baik, dia sudah seperti adikku sendiri. Suatu hari Ivana memperkenalkan Giselle padaku.”Suara Damian menghilang di udara, sementara Hayes tetap diam menunggu semua hal yang ingin Damian sampaikan kepadanya.“Aku jatuh cinta pada pandangan pertama Giselle. Giselle gadis yang manis, dia begitu lugu dan cerdas, hatiny