Alice duduk terjebak dalam kesunyian, memandangi langit yang mulai gelap kehilangan sinarnya. Pikirannya berkecamuk terbelah dua, Alice tidak bisa berhenti memikirkan keadaan Theodor yang telah dipukuli oleh Hayes, disisi lain dia masih memikirkan ucapan Hayes beberapa jam yang lalu.Cinta?Sebuah kata yang tidak pernah Alice kenal sepanjang hidupnya.Alice masih asing dengan sebuah kasih sayang, terkadang dia masih malu setiap kali mendapatkan kebaikan dari orang lain. Cinta terlalu tinggi untuk dirinya, sesuatu yang mustahil dia dia dapat.Lebih mustahilnya lagi, dia mendengarkan sebuah pengakuan cinta dari pria yang membenci dirinya dan selalu menghinanya dengan kata-kata yang tajam.Dengan berat Alice beranjak dari duduknya, gadis itu memutuskan pergi keluar untuk mencari udaa segar. Baru satu langkah Alice melangkahkan kakinya keluar kamar, langkah itu terhenti begitu berpapasan dengan Hayes.Refleks Hayes dan Alice saling membuang muka dan bergeser menjaga jarak.Hayes berdeham
Gemuruh suara musik orchestra terdengar memenuhi ruangan, sekelompok mahasiswa dari seni musik tengah melakukan pertunjukan musik klasik.Theodor duduk di kursi paling belakang, pria itu menghindari pertemuan dengan beberapa petinggi sekolah seni karena sedang tidak mood untuk berbicara.Memar di wajah Theodor sudah tidak terlihat lagi, pria itu tampak baik-baik saja seperti biasanya.Setelah beberapa menit duduk dan melihat acara pembukaan, Theodor memutuskan beranjak pergi dari ruangan besar itu. Theodor membutuhkan waktu untuk menjauh dari keramaian agar bisa berpikir jernih.Setiap langkah yang dia ambil mengantarkan dirinya pada basement tempat dimana mobilnya berada. Suara helaan napas kasar berat terdengar begitu dia duduk di kursi kemudi, Theodor menyandarkan bahunya, memandangi layar handponenya di kegelapan.Sejak di hari itu, dia tidak lagi bertemu Alice dan tidak mengetahui kabarnya sampai sekarang, begitupula dengan Hayes yang sama sekali tidak menemuinya meski mereka se
“Hay,” suara yang dalam dipenuhi kerinduan terdengar menyapa. “Bagaimana keadaanmu Theodor? Apa kau sudah sembuh?” tanya Alice pelan.“Keadaanku sangat baik, aku sembuh dengan cepat.”“Maafkan aku,” suara Alice tertahan, dengan terbata dia kembali berkata, “aku sudah membuatmu terluka dan membuat hubunganmu bersama Hayes kacau. Aku sungguh menyesal, maafkan aku.”“Tidak ada yang harus meminta maaf. Hubunganku dengan Hayes baik-baik saja,” jawab Theodor menenangkan. “Aku harap itu benar,” jawab Alice.“Alice, kenapa kau tidak pernah lagi terlihat?”Alice tertunduk tidak mampu menjawab, sesungguhnya dia sangat malu bila menunjukan diri di hadapan Theodor, setiap kali mereka bertemu, Theodor terus menerus memberikan banyak kebaikan untuknya.Alice tidak pernah ingin membebani siapapun, apalagi membebani Thedodor. Tidak mungkin baginya membuat kekacauan dalam kehidupan orang yang selama ini selalu membantunya.Hanya saja, segala kesulitan selalu saja datang tanpa henti, derita dalam hid
Kilauan bandul merpati menghalangi sinar lampu kamar. Theodor terbaring memandangi gantungan merpati pemberian Alice yang ada di tangannya.Percakapan yang menggantung, suara Alice yang bergetar dan napas tersendat-sendat terngiang di kepalanya. Ada sesuatu yang aneh, dan ini bukan hal yang baik hingga tidak bisa diabaikan dengan diam.Apa yang sebenarnya terjadi?Theodor mengambil handponenya, perlahan dia duduk dan memutuskan untuk menghubungi Samuel.“Ada keajaiban dari mana Anda bisa menghubungi saya? Saya kira Anda tidak menyimpan nomer telepon saya,” sambut Samuel begitu dia menerima panggilan Theodor. “Samuel, minta tim IT melacak nomer handope, aku ingin mengetahui pergerakannya untuk beberapa hari kedepan,” jawab Theodor tidak menanggapi basa-basi Samuel.“Nomer handpone siapa?”“Aku akan mengirimnya, kerjakan saja permintaanku, ini penting,” jawab Theodor sebelum memutuskan sambungan teleponnya dan segera mengirim nomer telepon Alice.Perasaan Theodor tidak begitu baik, dia
Sinar matahari yang menerobos jendela dan menyilaukan membangunkan Athur dari tidur lelapnya, pemuda itu terduduk mengumpulkan kesadarannya. Pandangan langsung tertuju pada ranjang kecil tempat biasa Giselle tertidur, di tempat itu, Giselle sudah tidak ada.Athur mulai beranjak pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya dan menggosok gigi, Athur harus membeli sarapan pagi untuk Giselle seperti biasa.Suasana sepi dan tidak terlihatnya Giselle sejak beberapa menit mulai menyadarkan Ahtur.“Kemana ibu?”Dalam langkah yang tergesa Athur langsung berlari melihat satu persatu ruangan. Giselle tidak ada di manapun.Athur mulai panik, pemuda itu berlari pergi ke garasi butik dan melihat pintu garasi sudah terbuka, serta salah satu mobil sudah tidak ada di tempatnya.Athur mengusap wajahnya dengan kasar, kebingungan harus mencari ibunya kemana. Athur benar-benar sudah lengah, padahal sepanjang malam dia tidak tidur karena menjaga Giselle hingga menjelang pagi.Siapa sangka jika Giselle jug
“Aku sudah menunggumu dari tadi,” sapa Bella dengan senyuman palsunya yang terus bertahan. “silahkan masuk.”Bella mengantar Alice masuk ke dalam butik, wanita itu berjalan di belakang Alice dan menyembunyikan setumpuk kemarahan pada gadis itu. Bella tidak bisa melakukan apapun lagi jika Alice sudah berada di dalam butik karena semua hal yang bersangkutan dengan butik, sementara waktu di ambil alih oleh Stefany.Jika terjadi suatu keributan di dalam butik, maka Stefany yang akan bertanggung jawab.Sesaat Bella melihat keluar, memastikan jika tidak akan ada Giselle yang datang, akan menjadi sangat kacau jika Giselle membuat masalah dan membuka mulut jika Bella dan dia memiliki hubungan baik hingga beberapa kali bertemu.Pandangan Alice mengedar, gadis itu terperangah takjub melihat suasana tenang dan penuh dengan kemewahan. Ini untuk pertama kalinya Alice menginjakan kakinya ke sebuah toko pakaian, deretan tas, aksesoris, sepatu hingga pakaian sudah langsung terlihat di beberapa tempat
Suara pecahan piring dan gelas terdengar tajam hingga membuat gendang telinga Alice sakit seperti sudah tertusuk. Seluruh permukaan kulit Alice merespon menimbulkan rasa perih, dengan gemetar Alice mengusap tenggorokannya kesulitan bernapas seakan seluruh oksigen di sekitarnya menghilang.Bayang-bayangan buruk kembali datang menyerang pikiran, menarik Alice dari ambang kesadarannya. Alice diserang panik dan ketakutan yang berlebihan, sekuat tenaga dia berusaha untuk mempertahankan kesadarannya agar tidak jatuh pingsan di tempat.Alice ingin pergi menenangkan diri, namun kedua kakinya kehilangan tenaga hingga tidak memiliki kekuatan untuk berdiri.“Astaga Lilya!” panggil Bella berpura-pura panik.“Aku minta maaf, aku tidak sengaja,” tangis Lilya merintih kesakitan karena permukaan tangannya menekan salah satu pecahan piring di lantai.“Kenapa denganmu, harusnya kau berhati-hati,” tegur Bella berpura-pura peduli dan tidak mempedulikan delikan tajam di mata Lilya yang tidak terima deng
Layar handpone menyala tertera nama Alice, Sans hanya bisa melihatnya dan mengabaikannya sampai satu panggilan terlewatkan. Tidak berapa lama, handpone Hayes kembali menyala dan Alice melakukan panggilan kedua kalianya.Sans tidak memiliki keberanian untuk bersikap lancang dengan menerima panggilan dari Alice, disisi lain dia tidak bisa mengabaikannya karena panggilan masuk dari Alice tampaknya sangat penting.Pengawal itu bergeser sedikit mendekati keramaian dan memperhatikan Hayes yang tengah berpidato usai statusnya sebagai pewaris dan peminpin baru di umumkan. “Duma,” panggil Sans pada assistant assistant Hayes.Duma langsung datang. “Ada apa?”“Bisakah kau menerima panggilan dari isteri tuan muda Hayes?”Duma mengulurkan mengambil alih handpone Hayes dan melihat sudah ada enam panggilan yang terlewatkan. Beberapa menit setelah Duma mengambil alih handpone, panggilan masuk kembali muncul dari Alice. ***“Kau mau kemana?” tanya Bella memperhatikan kepergian Chelsie yang membawa pa