Rafa menarik salah satu kursi plastik, lalu memberi aba-aba agar Tasya duduk di kursi tersebut. “Abang gak duduk?”
“Kursinya penuh, lo tunggu sini gue pesan dulu ya.”
Tasya mengangguk, “Oke! Pesan yang pedas ya, Bang.” Rafa mengeluarkan satu jempolnya kemudian menghampiri gerobak gado-gado yang ada di depannya
“Gado-gadonya satu ya, cabainya dikit aja.” ucap Rafa memesan gado-gado yang tidak sesuai dengan pesanan Tasya
Penjual gado-gado tersebut mengangguk, “Dibungkus atau makan disini, Mas?”
“Makan disini,”
“Nunggu sekitar sepuluh menit gak apa-apa, Mas? Soalnya masih buatin pesanan yang lain,”
Rafa menoleh ke belakang, melihat beberapa orang yang duduk sambil menunggu pesanannya. “Gak apa-apa, Pak. Saya disana ya, sama perempuan yang pakai seragam sekolah.” Jari telunjuk Rafa menunjuk posisi duduk Tasya
“Baik, Mas.”
“Saya pesan satu, makan disini.” Rafa sontak menoleh ke suara ada di sampingnya
“Baik, Mas. Nunggu dulu gak apa-apa?”
“Gak apa-apa.”
Rafa menatap seseorang yang di depannya seolah tidak nyata. Satu tangan yang baru saja menyentuh di bahunya membuat Rafa yakin bahwa sunggu nyata.
“Woi, ngapain natap gue gitu?”
“Lo gak salah tujuan?” tanya Rafa balik
“Semua orang bebas makan disini, ‘kan?”
Rafa diam. Benar, siapapun berhak makan apa dan dimana. “Ya, terserah lo.” jawab Rafa kemudian melenggang pergi menghampiri Tasya
Dua orang yang baru saja datang dan menyaksikan dari atas motor makin dibuat heran dengan temannya. Merasa ada yang janggal, keduanya akhirnya memarkirkan motor di belakang mobil milik temannya, kemudian turun dari motor masing-masing.
“Gilang!”
Gilang menoleh ke belakang, “Kalian kok ada disini?”
“Lo makan disini?” Bukannya menjawab, Arga malah bertanya balik dan diangguki oleh Gilang. Tidak bertanya apapun lagi, Arga dan Rama malah tertarik dengan gaya penjual gado-gado yang sangat cepat dalam menyajikan banyak pesanan.
Gilang menggeleng-geleng melihat kelakuan kedua temannya, “Jangan disitu, ngalangin yang mau beli.” Arga dan Rama akhirnya menurut dan mencari-cari kursi yang masih kosong. Bukan kursi yang mereka temui, tapi temannya.
“Rafa, lo beli gado-gado?” tanya Rama
Rafa menatapnya datar, “Menurut lo?”
“Gado-gado,” jawab Rama polos
Arga merasa malu dengan temannya, ia langsung mengalihkan pembicaraan. “Eh ada Tasya, lo sama Rafa keliatan romantis banget, padahal kalian baru jadian.” ucap Arga diakhiri senyumannya saat melihat tangan Rafa yang menggenggam tangan Tasya
Tasya menaikan satu alisnya, “Romantis gimana, Kak? Kita itu saudara kandung.”
Kali ini Arga merasa malu karena ucapannya sendiri, bisa-bisanya ia kira Tasya dan Rafa berpacaran. “Sorry, anu.. gue gak tau.” ucapnya sambil menggaruk pelipisnya yang tidak gatal
Tasya tersenyum, “Gak apa-apa kok,”
Rama melangkah maju lebih dekat, matanya melihat Tasya dan Rafa bergantian. “Lo berdua kakak beradik?” Tasya dan Rafa mengangguk bersamaan
Rama tiba-tiba mengeluarkan deretan giginya, “Berarti bisa dong kalau gue dan lo..” Rama menunjuk dirinya dan Tasya bergantian
“Gak bisa!” ketus Rafa sebelum Rama melanjutkan ucapannya
Rama menekuk wajahnya, “Abangnya galak banget,”
“Bodo, awas aja lo!”
Gilang menarik tangan Rama agar sedikit mundur, “Jangan berulah,” bisiknya pelan kepada Rama
Rama menghembuskan nafasnya pelan, “Belum nyatain udah ditolak.”
…..
Setelah beberapa menit menunggu antrian, akhirnya gado-gado pesanan Rafa sudah ia terima. “Nih, makan.” ucap Rafa sambil memberikan sepiring gado-gado ke Tasya
“Kok cuma satu, Bang?”
“Iya, gue masih kenyang tadi makan bekal.” jawab Rafa
Tasya tidak berbicara lagi, ia mulai mengaduk gado-gado miliknya hingga tercampur rata dengan bumbunya.
Tidak lama dari itu, pesanan Gilang juga sudah siap. Melihat Tasya mengaduk gado-gadonya, Gilang mengikuti hal yang dilakukan Tasya. Hingga Tasya berhenti mengaduk, Gilang melakukan hal yang sama lagi.
Tasya menyadari Gilang memperhatikan sekaligus mengikuti pergerakannya, ia langsung menoleh ke Gilang. Gilang yang mengetahui bahwa Tasya sudah sadar jika diikuti, dengan buru-buru ia langsung menyuapkan sesendok gado-gado ke dalam mulutnya.
“Gila, enak banget!”
Arga dan Rama yang sedang sibuk bermain game langsung menoleh serentak, “Lo bilang apa tadi?” tanya Arga
“Enak banget,” jawab Gilang disela-sela kunyahannya
Tanpa ijin, Rama menyendok gado-gado milik Gilang, lalu menyicipnya. Kedua matanya terbuka lebar, lalu menyuapkan kembali ke dalam mulutnya.
“Enak aja asal makan, punya gue ini!” Kesal Gilang
Arga melangkah mendekati gerobak gado-gado, “Bang, saya pesan satu.”
“Saya juga!” sahut Rama
…..
Rafa memperhatikan Tasya yang sejak tadi masih mengaduk gado-gado, sedangkan Gilang sudah hampir selesai makan.
“Sya, kenapa gak dimakan? Lo gak suka?” Tasya menoleh sebentar, lalu kembali mangaduk makanannya.
“Abang?”
“Iya?”
“Kita makan berdua, ya?”
Rafa menatap Tasya heran, “Jangan, Sya.”
“Abang serius udah kenyang?” tanya Tasya merasa tidak tega
Rafa tertawa pelan, lalu mengusap pelan rambut Tasya. “Lo habiskan, gue beneran udah kenyang.”
Tasya mengangguk dan tersenyum. Ia mulai menyendok gado-gado, namun belum sempat ia memasukan ke dalam mulutnya, ia melihat seseorang yang sedang mengayuh sepeda di pinggir jalan.
“Bang, itu ada Bapak.” ucap Tasya mengagetkan Rafa
Tasya berdiri, lalu melambaikan satu tangannya, “Bapak!”
Doni menoleh ke arah suara saat merasa dirinya terpanggil. Ia tersenyum, lalu menghampiri Tasya dan Rafa.
“Wah, pada makan ya?” tanya Doni saat sampai di hadapan Tasya dan Rafa
“Tasya aja yang makan, Abang gak mau.” jawab Tasya sedikit kesal
“Kenapa?”
Rafa terkekeh, “Masih kenyang, Pak. Bapak tunggu dulu, biar Rafa pesan gado-gado untuk Bapak. Nanti kita pulang sama-sama.”
Doni menggeleng, “Jangan, Bapak makan dirumah aja sama Ibu.”
“Yaudah kalau gitu, ini gado-gadonya kita bungkus aja. Biar kita bisa makan sama-sama, belum aku makan sedikitpun kok. Abang ambil motor di bengkel sana, Bapak tunggu disini sebentar ya,” Tasya melenggang pergi menghampiri penjual gado-gado untuk membungkuskan makanannya
Kejadian itu tidak luput dari pandangan Gilang. Gilang menepuk bahu Arga dan Rama bergantian, “Buruan makannya,” Setelah mengucap itu Gilang beralih untuk membayar makanannya
“Punya saya sama teman saya jadi berapa, Pak?” tanya Gilang sambil mengeluarkan dompetnya
“Tiga puluh ribu, Mas.”
Gilang menyodorkan selembar uang berwarna merah, “Punya dia sekalian sama saya aja ya,” ucap Gilang sambil menoleh ke Tasya yang ada di sampingnya
Tasya sontak menoleh, “Gak usah, ini uangnya.” Bukan Tasya yang mengucap, tapi Rafa yang baru saja datang
“Udah selesai bungkusnya, Bang?” tanya Rafa sambil menaruh selembar uang berwarna ungu didekat penjual tersebut
“Udah, Mas. Terima kasih ya,” jawabnya sambil menyodorkan plastik berisi gado-gado ke Rafa
Rafa mengangguk, “Terima kasih juga,” Rafa memegang pergelangan tangan Tasya, “Ayo, Sya!”
“Ini kembaliannya ya, Mas.” ucap penjual tersebut sambil menyodorkan selembar uang berwarna biru, dan selembar uang berwarna hijau
“Gak usah, Bang. Ambil aja,”
“Serius, Mas?” Gilang mengangguk
“Terima kasih banyak, Mas.” Gilang mengangguk lagi lalu melenggang pergi
“Rafa!” teriak Gilang sambil berjalan dengan cepat
“Kenapa?”
“Gue boleh mampir ke rumah lo gak?” tanya Gilang to the point
“Ngapain?”
“Kebetulan nyokap gue lagi ikut bokap gue keluar kota, jadi gak ada yang masak. Gue boleh ikut makan malam di rumah lo gak?”
“Kita ikut!” sahut Arga dan Rama yang baru saja selesai makan
Gilang membulatkan kedua matanya, seolah memberi kode agar Arga dan Rama tidak ikut. “Mata lo kenapa, Lang?” tanya Rama membuat Gilang menepuk dahinya
“Tempat makan banyak, gak perlu ke rumah gue.” ketus Rafa
Tasya mencubit tangan Rafa, “Ih, gak boleh gitu, Bang!”
“Yaudah, gak apa-apa kok. Sorry ya kalau ngerepotin,” Pasrah Gilang kemudian membalikan tubuhnya ingin pergi
Doni turun dari sepedanya lalu berjalan mendekati Tasya dan Rafa sambil memanggil Gilang, “Nak, tunggu!”
Gilang membalikan tubuhnya lagi hingga menghadap ke suara yang memanggilnya, “Iya, Om?”
Doni tertawa kecil, “Panggil aja Bapak,”
Gilang tersenyum, “Iya, Pak. Ada apa ya?”
“Kamu boleh makan malam bersama kami, masakan istri saya enak sekali, pasti kamu suka.”
Gilang menatap tidak percaya, “Pasti, terima kasih banyak, Pak.”
Doni mengangguk, “Kalian berdua juga ikut ya,” Arga dan Rama tersenyum senang
“Kalau gitu, Bapak bareng saya aja naik mobil, nanti sepedanya dimasukin ke dalam bagasi.” Saran Gilang membuat Doni menggeleng, “Jangan, Nak. Sepeda saya kotor,”
Gilang tersenyum, “Gak jadi masalah kok, Pak.” ucapnya lalu membuka bagasi mobilnya dan memasukan sepeda Doni dibantu Arga dan Rama
Setelah beres, Gilang kembali menghampiri Tasya, Rafa dan Doni. “Mari masuk, Pak.”
Seusai mendapat persetujuan dari Tasya dan Rafa, akhirnya Doni masuk ke dalam mobil di bantu Rafa yang membukakan pintu mobil. Gilang menatap Tasya yang sedang tersenyum, entah apa yang membuatnya seperti ini, Gilang mengakui bahwa senyuman Tasya seperti memberi bahagia untuk dirinya.
Tasya menoleh, lalu memegang pergelangan tangan kiri Gilang, “Kak Gilang, makasih ya udah buat Bapak bisa ngerasain naik mobil.”
Sial!Hari ini Rafa kesiangan, padahal hari ini adalah hari pertama adiknya masuk sekolah menjadi siswi menengah atas. Rafa membuka matanya lebar saat melihat jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul 06.00.Dengan cepat Rafa langsung keluar kamar menuju kamar Tasya, adiknya. Rafa mendengus kesal saat mengetahui pintu kamar Tasya terkunci, apakah adiknya ini melupakan hari pertama sekolahnya?Tok... tok... tok...Rafa mengetuk pintu kamar Tasya sebanyak tiga kali, tidak ada jawaban.Tok... tok... tok...Sekali lagi Rafa mengetuk pintu kamar Tasya, tetap tidak ada jawaban.“ADEK, BANGUN!” teriak Rafa dari luar kamar TasyaSang pemilik kamar akhirnya membuka pintu, menampilkan wajah bangun tidurnya disertai dengan rambut panjangnya yang tidak beraturan, alias acak-acakan.“Gak usah teriak, bisa gak?” Tasya menatap Rafa dengan kesalTangan kekar Rafa merapihkan rambut
Tasya menghentikan langkahnya saat sampai dipinggir lapangan, membuat langkah Rafa ikut terhenti. Rafa menoleh ke samping, menatap wajah adiknya yang sangat ketakutan.“Gak usah takut, Sya.”“Ramai banget, Bang.” ucap Tasya pelanRafa memegang kedua bahu Tasya, lalu menatap lekat mata Tasya, “Ini sekolah favorit, tentu saja peminatnya banyak.”“Tasya gak perlu takut, disini ada Abang. Lo cuma perlu beradaptasi dengan lingkungan baru, gue yakin sebentar lagi lo dapat teman. Sekarang gue antar lo sampai lapangan, gue gak bisa terlalu lama. Gue juga harus lihat mading, gue masuk ke kelas mana.” Tasya mengangguk pasrahRafa mengambil nametag yang terbuat dari kardus dari dalam tas Tasya, kemudian mengalungkan di leher Tasya, lalu kembali menggenggam tangan Tasya dan membawa Tasya hingga tengah lapangan.Sesampainya di tengah lapangan, Rafa melepaskan tangannya dari Tasya yang sedari tadi m
Tasya melepaskan tangannya dari cekalan tangan pria yang ada di depannya. Pria itu menghentikan langkahnya, “Kenapa?”“Kak Gilang yang kenapa?”Ya, dia Gilang. Pria yang tiba-tiba memberikan handphone kepada Tasya dan membawa Tasya pergi dari lapangan.Bukannya menjawab, Gilang malah menyodorkan kembali handphone yang sempat ia berikan kepada Tasya, tapi tidak Tasya terima. Tasya melirik handphone berlogo apel, tidak berniat untuk menerimanya.Tidak mendapat respon dari Tasya, Gilang menarik tangan kanan Tasya, kemudian menaruh handphone tersebut di telapak tangan Tasya. “Ini, dari Rafa.”“Apa yang dari gue?”Suara itu sontak membuat Tasya dan Gilang menoleh serentak. Rafa datang bersama motor maticnya, kemudian melepas helm, turun dari motornya, lalu berjalan mendekati Tasya.“Ini dari lo, Bang?” Rafa melihat Handphone yang Tasya
Angin semilir tengah menemani perjalanan pulang sekolah Tasya dan Rafa. Keduanya sama-sama diam selama diperjalanan sambil menikmati udara, hingga akhirnya tangan Tasya yang tiba-tiba melingkar di pinggang Rafa membuat Rafa sedikit terkejut.“Kenapa?” tanya Rafa sambil melihat ke spion motornyaTasya melebarkan senyumannya, “Abang kalau mau kasih apa-apa gak usah lewat orang lain lagi, ya?”Rafa meneguk salivanya, “I-ya, Sya.” jawabnya sedikit terbataMendengar jawaban itu membuat Tasya mempererat pelukannya, dan menyandarkan kepalanya ke bahu Rafa. “Gue sayang lo, Bang.”Rafa tersenyum, “Lo sesenang itu?”“Senang banget, Bang. Tapi lo dapat uang dari mana?”“Gue pintar nabung, gak kayak lo!”Tasya langsung melepaskan pelukannya, kemudian mengetuk keras helm yang digunakan Rafa, “Enak aja lo!”Rafa merintih kesakitan, “S
Rafa menarik salah satu kursi plastik, lalu memberi aba-aba agar Tasya duduk di kursi tersebut. “Abang gak duduk?”“Kursinya penuh, lo tunggu sini gue pesan dulu ya.”Tasya mengangguk, “Oke! Pesan yang pedas ya, Bang.” Rafa mengeluarkan satu jempolnya kemudian menghampiri gerobak gado-gado yang ada di depannya“Gado-gadonya satu ya, cabainya dikit aja.” ucap Rafa memesan gado-gado yang tidak sesuai dengan pesanan TasyaPenjual gado-gado tersebut mengangguk, “Dibungkus atau makan disini, Mas?”“Makan disini,”“Nunggu sekitar sepuluh menit gak apa-apa, Mas? Soalnya masih buatin pesanan yang lain,”Rafa menoleh ke belakang, melihat beberapa orang yang duduk sambil menunggu pesanannya. “Gak apa-apa, Pak. Saya disana ya, sama perempuan yang pakai seragam sekolah.” Jari telunjuk Rafa menunjuk posisi duduk Tasya“Baik, Mas.”
Angin semilir tengah menemani perjalanan pulang sekolah Tasya dan Rafa. Keduanya sama-sama diam selama diperjalanan sambil menikmati udara, hingga akhirnya tangan Tasya yang tiba-tiba melingkar di pinggang Rafa membuat Rafa sedikit terkejut.“Kenapa?” tanya Rafa sambil melihat ke spion motornyaTasya melebarkan senyumannya, “Abang kalau mau kasih apa-apa gak usah lewat orang lain lagi, ya?”Rafa meneguk salivanya, “I-ya, Sya.” jawabnya sedikit terbataMendengar jawaban itu membuat Tasya mempererat pelukannya, dan menyandarkan kepalanya ke bahu Rafa. “Gue sayang lo, Bang.”Rafa tersenyum, “Lo sesenang itu?”“Senang banget, Bang. Tapi lo dapat uang dari mana?”“Gue pintar nabung, gak kayak lo!”Tasya langsung melepaskan pelukannya, kemudian mengetuk keras helm yang digunakan Rafa, “Enak aja lo!”Rafa merintih kesakitan, “S
Tasya melepaskan tangannya dari cekalan tangan pria yang ada di depannya. Pria itu menghentikan langkahnya, “Kenapa?”“Kak Gilang yang kenapa?”Ya, dia Gilang. Pria yang tiba-tiba memberikan handphone kepada Tasya dan membawa Tasya pergi dari lapangan.Bukannya menjawab, Gilang malah menyodorkan kembali handphone yang sempat ia berikan kepada Tasya, tapi tidak Tasya terima. Tasya melirik handphone berlogo apel, tidak berniat untuk menerimanya.Tidak mendapat respon dari Tasya, Gilang menarik tangan kanan Tasya, kemudian menaruh handphone tersebut di telapak tangan Tasya. “Ini, dari Rafa.”“Apa yang dari gue?”Suara itu sontak membuat Tasya dan Gilang menoleh serentak. Rafa datang bersama motor maticnya, kemudian melepas helm, turun dari motornya, lalu berjalan mendekati Tasya.“Ini dari lo, Bang?” Rafa melihat Handphone yang Tasya
Tasya menghentikan langkahnya saat sampai dipinggir lapangan, membuat langkah Rafa ikut terhenti. Rafa menoleh ke samping, menatap wajah adiknya yang sangat ketakutan.“Gak usah takut, Sya.”“Ramai banget, Bang.” ucap Tasya pelanRafa memegang kedua bahu Tasya, lalu menatap lekat mata Tasya, “Ini sekolah favorit, tentu saja peminatnya banyak.”“Tasya gak perlu takut, disini ada Abang. Lo cuma perlu beradaptasi dengan lingkungan baru, gue yakin sebentar lagi lo dapat teman. Sekarang gue antar lo sampai lapangan, gue gak bisa terlalu lama. Gue juga harus lihat mading, gue masuk ke kelas mana.” Tasya mengangguk pasrahRafa mengambil nametag yang terbuat dari kardus dari dalam tas Tasya, kemudian mengalungkan di leher Tasya, lalu kembali menggenggam tangan Tasya dan membawa Tasya hingga tengah lapangan.Sesampainya di tengah lapangan, Rafa melepaskan tangannya dari Tasya yang sedari tadi m
Sial!Hari ini Rafa kesiangan, padahal hari ini adalah hari pertama adiknya masuk sekolah menjadi siswi menengah atas. Rafa membuka matanya lebar saat melihat jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul 06.00.Dengan cepat Rafa langsung keluar kamar menuju kamar Tasya, adiknya. Rafa mendengus kesal saat mengetahui pintu kamar Tasya terkunci, apakah adiknya ini melupakan hari pertama sekolahnya?Tok... tok... tok...Rafa mengetuk pintu kamar Tasya sebanyak tiga kali, tidak ada jawaban.Tok... tok... tok...Sekali lagi Rafa mengetuk pintu kamar Tasya, tetap tidak ada jawaban.“ADEK, BANGUN!” teriak Rafa dari luar kamar TasyaSang pemilik kamar akhirnya membuka pintu, menampilkan wajah bangun tidurnya disertai dengan rambut panjangnya yang tidak beraturan, alias acak-acakan.“Gak usah teriak, bisa gak?” Tasya menatap Rafa dengan kesalTangan kekar Rafa merapihkan rambut