Tasya melepaskan tangannya dari cekalan tangan pria yang ada di depannya. Pria itu menghentikan langkahnya, “Kenapa?”
“Kak Gilang yang kenapa?”
Ya, dia Gilang. Pria yang tiba-tiba memberikan handphone kepada Tasya dan membawa Tasya pergi dari lapangan.
Bukannya menjawab, Gilang malah menyodorkan kembali handphone yang sempat ia berikan kepada Tasya, tapi tidak Tasya terima. Tasya melirik handphone berlogo apel, tidak berniat untuk menerimanya.
Tidak mendapat respon dari Tasya, Gilang menarik tangan kanan Tasya, kemudian menaruh handphone tersebut di telapak tangan Tasya. “Ini, dari Rafa.”
“Apa yang dari gue?”
Suara itu sontak membuat Tasya dan Gilang menoleh serentak. Rafa datang bersama motor maticnya, kemudian melepas helm, turun dari motornya, lalu berjalan mendekati Tasya.
“Ini dari lo, Bang?” Rafa melihat Handphone yang Tasya genggam, matanya beralih melihat Gilang kemudian kembali terfokus pada Tasya
Rafa mengelus pucuk rambut Tasya, “Iya, Sya. Lo suka gak? Tapi maaf itu bekas,”
Tasya menatap tidak percaya, bibirnya melengkung sempurna ke atas, kemudian memeluk erat tubuh Rafa.
“Gue suka banget, Bang. Gak apa-apa bekas juga yang penting bisa dipakai, makasih banyak ya.”
Gilang berdehem, “Harus banget bucin depan gue?”
Tasya melepaskan pelukannya dengan Rafa, ia lupa kalau ada Gilang. “Maaf, Kak.”
“Ya,” ucap Gilang singkat
“Sya, lo tunggu di depan pos satpam sana.” Tasya mengangguk menuruti perkataan Rafa
“Kak, gue duluan ya.” Setelah berpamitan kepada Gilang, Tasya langsung melenggang pergi menuju pos satpam
Rafa menatap Gilang curiga, seperti ada yang aneh dengan Gilang. Gilang menaikan satu alisnya, “Ngapain lo liatin gue gitu?”
Rafa memperdekat jaraknya dengan Gilang, kemudian membisikan sesuatu, “Lo suka sama dia?”
Gilang mendorong pelan bahu Rafa hingga tubuhnya dengan tubuh Rafa menjauh, “Lo gila? Mana mungkin gue suka sama pacar lo? Lagian lo harus bayar handphone yang gue kasih ke cewek lo.”
Rafa terkekeh, “Iya-iya, gue akan bayar handphone yang lo kasih ke adik gue.” ucapnya kemudian berjalan mendekat motornya lalu memakai helmnya
Gilang bingung sendiri, dengan cepat Gilang langsung menahan tangan Rafa yang ingin menaiki motornya, “Tasya adik lo?”
Rafa terkekeh lagi membuat Gilang semakin bingung, “Serius, Raf. Tasya adik lo?”
Rafa mengangguk, “Buat apa gue bohong?”
Gilang membisu. Menatap Rafa dengan lekat seolah mencari kebohongan dimatanya, tapi tidak ada pertanda kebohongan.
“Ngapain sih?” tanya Rafa
“Lo pasti akan bayar hutang ke gue, ‘kan?”
“Iya, yaampun. Pasti gue bayar, tapi gue cicil ya. Oh iya, makasih udah bantuin gue.” ucapnya kemudian menaiki motor dan menyalakan mesin motornya
“Masih ada kepentingan gak?” tanya Gilang sudah siap di atas motornya
Gilang menepuk pelan bahu Rafa, “Yaudah sana balik, adik lo udah nunggu tuh.”
Rafa menoleh ke arah pos satpam, disana Tasya benar-benar menunggunya sambil tersenyum memperhatikan handphonenya membuat Rafa ikut tersenyum.
Rafa kembali menoleh ke arah Gilang, lalu gantian menepuk bahunya pelan, “Thanks, Bro. Gue duluan,”
Gilang mengangguk, membiarkan Rafa pergi menjemput adiknya di pos satpam, setelah itu mereka benar-benar hilang dari pandangan Gilang.
…..
“Rendra!”
Panggilan itu membuat Rendra membalikan tubuhnya dan berjalan mendekati Gilang, “Kenapa, Kak?”
“Lo mau ke lapangan ya?”
“Iya,”
Jari telunjuk Gilang mengarah pada pohon besar dipinggir lapangan, mata Rendra mengikuti jari telunjuk Gilang, “Lo liat orang yang berdiri disana gak?”
“Kak Rama dan Kak Arga?”
Gilang mengangguk, “Boleh panggilin mereka gak?”
“Boleh, Kak.”
“Oke, makasih ya. Bilang kalau gue tunggu di mobil,”
“Oke, Kak.” Rendra langsung melenggang pergi, sedangkan Gilang menuju mobilnya yang berada di parkiran
Sesampainya diparkiran, Gilang langsung masuk ke dalam mobilnya. Pikirannya langsung kembali teringat saat ia melihat Rafa yang kebingungan.
Flashback on
Gilang, Rama, dan Arga berdiri di depan mading, matanya mulai mencari nama masing-masing. Tidak hanya ada mereka, di belakang dan sampingnya juga banyak anak kelas 12 yang sama-sama sedang mencari namanya.
“WOHOOO... KEREN… KEREN.. KITA SATU KELAS LAGI!”
Sontak semua murid yang ada disana langsung menutup kedua telinganya, Rama benar-benar memalukan.
“Tiga tahun kita se—“ Ucapan Rama terpotong saat Arga membekap mulutnya
Gilang menyenggol pinggang Arga, “Bawa ke belakang.”
Arga mengangguk kemudian membawa Rama dengan satu tangannya yang masih membekap mulut Rama, dan satu tangannya lagi mendorong Rama agar berjalan. Sedangkan Gilang mengikuti dari belakang Arga.
Rama melepaskan tangan Arga dari mulutnya, “Tangan lo bau banget!”
Arga membulatkan matanya, “Jigong lo yang bau!”
“Enak aja, tiap hari—“
“Stt.. Jangan berisik!” perintah Gilang melerai keduanya
Rama mengalihkan pandangannya, seolah sedang marah. Matanya tidak sengaja melihat Rafa yang sedang berjalan mendekati mading, lalu memanggilnya sambil melambaikan tangan. “Rafa, sini!”
“Kenapa?” tanya Rafa saat sampai di depan Rama
“KITA SEKELAS!”
“Oh, ya?”
“IYA! TADI GUE LIHAT NAMA LO DI ATAS NAMA GUE.”
“Gak usah teriak-teriak!” Kesal Arga sambil menjitak dahi Rama
“Sakit, woi!” ketus Rama sambil mengelus dahinya
“Di kelas mana?” tanya Rafa
“Dua belas IPA satu,” jawab Rama
Rafa menganggukan kepalanya, “Oh, oke. Ini udah bisa pulang?”
“Fingerprint dulu, sebagai tanda hadir.”
Rafa mengangguk lagi, kemudian menempelkan jari jempolnya di perangkat teknologi yang memanfaatkan sidik jari sebagai media kehadiran murid yang letaknya berada di samping mading.
Sesudah itu, Rafa mendekati Gilang, Rama, dan Arga, “Makasih ya, gue duluan.”
Dari ketiganya tidak ada yang bersuara, sama-sama diam melihat kepergian Rafa.
“Rafa kenapa ya? Dia kayak biasa aja sekelas sama kita,” ucap Rama tiba-tiba
“Emang apa untungnya kalau dia sekelas sama lo?” tanya Arga
“Oh tentu aja pasti untung, secara gue famous gitu.”
Arga tertawa, “Kepedean lo. Siapa sih yang gak kenal dia disini? Dia itu juara umum. Sedangkan lo?”
“Gue ganteng, ya!” ucap Rama tidak terima
“Ganteng doang gak cukup, sayang.” Ejek Arga kepada Rama
“Najis, sayang-sayang. Geli!”
Gilang tidak menghiraukan keduanya, ia malah terfokus dengan kepergian Rafa. Gilang beralih menempelkan jempolnya seperti yang dilakukan Rafa tadi sebagai tanda kehadiran. Kemudian melenggang pergi meninggalkan Rama dan Arga.
“Woi! Mau kemana lo, Lang?”
Tanpa merespon keduanya, Gilang terus mengikuti Rafa. Sampai akhirnya Rafa menghentikan langkahnya dipinggir lapangan, Gilang juga menghentikan langkahnya di belakang Rafa.
“Kirain ngapain, taunya liatin pacarnya biar gak ilang. Dasar, bucin.” Monolognya pelan
Merasa telah melakukan hal yang tidak berguna, Gilang berniat kembali menghampiri Rama dan Arga. Namun langkah Gilang malah bergerak maju, sedikit memajukan posisinya agar lebih dekat dengan Rafa.
Rafa membolak-balikan Handphonenya, “Tasya pasti sangat butuh Handphone,” Monolognya, kemudian melenggang pergi dengan buru-buru.
Gilang tidak mengikuti Rafa lagi. Entah apa yang ada dipikirannya, Kini tangannya bergerak merogoh saku celananya, mengeluarkan handphone berlogo apel yang baru saja ia beli seminggu yang lalu karena handphone lamanya hilang.
Jarinya mulai berkutik dengan handphonenya, memindahkan semua datanya ke dalam memory card. Setelah dirasa cukup, dan tanpa berpikir panjang, Gilang langsung memulihkan perangkatnya ke pengaturan pabrik. Gilang mengeluarkan memory card dan sim cardnya, kemudian menyimpan ke dalam tasnya.
“Kak Gilang, sebentar lagi kata sambutan dari Kakak.”
Panggilan dari salah satu anggota OSIS yang menghampirinya membuat Gilang menoleh dan mengangguk. Kemudian berjalan mengikuti OSIS tersebut sambil memasukkan handphonenya ke dalam saku dengan bibirnya yang melengkung ke atas.
Flashback off
Tok... tok… tok…
Ketukan kaca yang berasal dari luar mobil membuat Gilang tersentak kaget lalu membuka kaca mobil, “Pelan-pelan bisa gak sih? Bisa pecah kaca mobil gue!”
Rama menatapnya jengah, “Siapa suruh kelamaan?”
“Dari tadi kita nyariin lo kemana-mana. Handphone lo susah banget dihubungi, gak aktif.” sahut Arga
“Iya, maaf. Yaudah ayo, temenin gue nanti gue bayarin makan.”
“Kemana?” tanya Rama dan Arga serentak
“Toko ponsel,”
Rama dan Arga saling pandang, “Beli Handphone lagi?” tanya mereka serentak lagi
Gilang langsung menutup kaca mobilnya, dan menginjak pedal gasnya.
“Woi sultan, tungguin!” teriak Arga
Rama menepuk bahu Arga, “Makan gratis gak boleh di sia-siakan.”
Rama dan Arga buru-buru menghampiri motornya masing-masing, memakai helm, menaiki motor, lalu mengejar mobil Gilang dengan kecepatan tinggi.
Angin semilir tengah menemani perjalanan pulang sekolah Tasya dan Rafa. Keduanya sama-sama diam selama diperjalanan sambil menikmati udara, hingga akhirnya tangan Tasya yang tiba-tiba melingkar di pinggang Rafa membuat Rafa sedikit terkejut.“Kenapa?” tanya Rafa sambil melihat ke spion motornyaTasya melebarkan senyumannya, “Abang kalau mau kasih apa-apa gak usah lewat orang lain lagi, ya?”Rafa meneguk salivanya, “I-ya, Sya.” jawabnya sedikit terbataMendengar jawaban itu membuat Tasya mempererat pelukannya, dan menyandarkan kepalanya ke bahu Rafa. “Gue sayang lo, Bang.”Rafa tersenyum, “Lo sesenang itu?”“Senang banget, Bang. Tapi lo dapat uang dari mana?”“Gue pintar nabung, gak kayak lo!”Tasya langsung melepaskan pelukannya, kemudian mengetuk keras helm yang digunakan Rafa, “Enak aja lo!”Rafa merintih kesakitan, “S
Rafa menarik salah satu kursi plastik, lalu memberi aba-aba agar Tasya duduk di kursi tersebut. “Abang gak duduk?”“Kursinya penuh, lo tunggu sini gue pesan dulu ya.”Tasya mengangguk, “Oke! Pesan yang pedas ya, Bang.” Rafa mengeluarkan satu jempolnya kemudian menghampiri gerobak gado-gado yang ada di depannya“Gado-gadonya satu ya, cabainya dikit aja.” ucap Rafa memesan gado-gado yang tidak sesuai dengan pesanan TasyaPenjual gado-gado tersebut mengangguk, “Dibungkus atau makan disini, Mas?”“Makan disini,”“Nunggu sekitar sepuluh menit gak apa-apa, Mas? Soalnya masih buatin pesanan yang lain,”Rafa menoleh ke belakang, melihat beberapa orang yang duduk sambil menunggu pesanannya. “Gak apa-apa, Pak. Saya disana ya, sama perempuan yang pakai seragam sekolah.” Jari telunjuk Rafa menunjuk posisi duduk Tasya“Baik, Mas.”
Sial!Hari ini Rafa kesiangan, padahal hari ini adalah hari pertama adiknya masuk sekolah menjadi siswi menengah atas. Rafa membuka matanya lebar saat melihat jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul 06.00.Dengan cepat Rafa langsung keluar kamar menuju kamar Tasya, adiknya. Rafa mendengus kesal saat mengetahui pintu kamar Tasya terkunci, apakah adiknya ini melupakan hari pertama sekolahnya?Tok... tok... tok...Rafa mengetuk pintu kamar Tasya sebanyak tiga kali, tidak ada jawaban.Tok... tok... tok...Sekali lagi Rafa mengetuk pintu kamar Tasya, tetap tidak ada jawaban.“ADEK, BANGUN!” teriak Rafa dari luar kamar TasyaSang pemilik kamar akhirnya membuka pintu, menampilkan wajah bangun tidurnya disertai dengan rambut panjangnya yang tidak beraturan, alias acak-acakan.“Gak usah teriak, bisa gak?” Tasya menatap Rafa dengan kesalTangan kekar Rafa merapihkan rambut
Tasya menghentikan langkahnya saat sampai dipinggir lapangan, membuat langkah Rafa ikut terhenti. Rafa menoleh ke samping, menatap wajah adiknya yang sangat ketakutan.“Gak usah takut, Sya.”“Ramai banget, Bang.” ucap Tasya pelanRafa memegang kedua bahu Tasya, lalu menatap lekat mata Tasya, “Ini sekolah favorit, tentu saja peminatnya banyak.”“Tasya gak perlu takut, disini ada Abang. Lo cuma perlu beradaptasi dengan lingkungan baru, gue yakin sebentar lagi lo dapat teman. Sekarang gue antar lo sampai lapangan, gue gak bisa terlalu lama. Gue juga harus lihat mading, gue masuk ke kelas mana.” Tasya mengangguk pasrahRafa mengambil nametag yang terbuat dari kardus dari dalam tas Tasya, kemudian mengalungkan di leher Tasya, lalu kembali menggenggam tangan Tasya dan membawa Tasya hingga tengah lapangan.Sesampainya di tengah lapangan, Rafa melepaskan tangannya dari Tasya yang sedari tadi m
Rafa menarik salah satu kursi plastik, lalu memberi aba-aba agar Tasya duduk di kursi tersebut. “Abang gak duduk?”“Kursinya penuh, lo tunggu sini gue pesan dulu ya.”Tasya mengangguk, “Oke! Pesan yang pedas ya, Bang.” Rafa mengeluarkan satu jempolnya kemudian menghampiri gerobak gado-gado yang ada di depannya“Gado-gadonya satu ya, cabainya dikit aja.” ucap Rafa memesan gado-gado yang tidak sesuai dengan pesanan TasyaPenjual gado-gado tersebut mengangguk, “Dibungkus atau makan disini, Mas?”“Makan disini,”“Nunggu sekitar sepuluh menit gak apa-apa, Mas? Soalnya masih buatin pesanan yang lain,”Rafa menoleh ke belakang, melihat beberapa orang yang duduk sambil menunggu pesanannya. “Gak apa-apa, Pak. Saya disana ya, sama perempuan yang pakai seragam sekolah.” Jari telunjuk Rafa menunjuk posisi duduk Tasya“Baik, Mas.”
Angin semilir tengah menemani perjalanan pulang sekolah Tasya dan Rafa. Keduanya sama-sama diam selama diperjalanan sambil menikmati udara, hingga akhirnya tangan Tasya yang tiba-tiba melingkar di pinggang Rafa membuat Rafa sedikit terkejut.“Kenapa?” tanya Rafa sambil melihat ke spion motornyaTasya melebarkan senyumannya, “Abang kalau mau kasih apa-apa gak usah lewat orang lain lagi, ya?”Rafa meneguk salivanya, “I-ya, Sya.” jawabnya sedikit terbataMendengar jawaban itu membuat Tasya mempererat pelukannya, dan menyandarkan kepalanya ke bahu Rafa. “Gue sayang lo, Bang.”Rafa tersenyum, “Lo sesenang itu?”“Senang banget, Bang. Tapi lo dapat uang dari mana?”“Gue pintar nabung, gak kayak lo!”Tasya langsung melepaskan pelukannya, kemudian mengetuk keras helm yang digunakan Rafa, “Enak aja lo!”Rafa merintih kesakitan, “S
Tasya melepaskan tangannya dari cekalan tangan pria yang ada di depannya. Pria itu menghentikan langkahnya, “Kenapa?”“Kak Gilang yang kenapa?”Ya, dia Gilang. Pria yang tiba-tiba memberikan handphone kepada Tasya dan membawa Tasya pergi dari lapangan.Bukannya menjawab, Gilang malah menyodorkan kembali handphone yang sempat ia berikan kepada Tasya, tapi tidak Tasya terima. Tasya melirik handphone berlogo apel, tidak berniat untuk menerimanya.Tidak mendapat respon dari Tasya, Gilang menarik tangan kanan Tasya, kemudian menaruh handphone tersebut di telapak tangan Tasya. “Ini, dari Rafa.”“Apa yang dari gue?”Suara itu sontak membuat Tasya dan Gilang menoleh serentak. Rafa datang bersama motor maticnya, kemudian melepas helm, turun dari motornya, lalu berjalan mendekati Tasya.“Ini dari lo, Bang?” Rafa melihat Handphone yang Tasya
Tasya menghentikan langkahnya saat sampai dipinggir lapangan, membuat langkah Rafa ikut terhenti. Rafa menoleh ke samping, menatap wajah adiknya yang sangat ketakutan.“Gak usah takut, Sya.”“Ramai banget, Bang.” ucap Tasya pelanRafa memegang kedua bahu Tasya, lalu menatap lekat mata Tasya, “Ini sekolah favorit, tentu saja peminatnya banyak.”“Tasya gak perlu takut, disini ada Abang. Lo cuma perlu beradaptasi dengan lingkungan baru, gue yakin sebentar lagi lo dapat teman. Sekarang gue antar lo sampai lapangan, gue gak bisa terlalu lama. Gue juga harus lihat mading, gue masuk ke kelas mana.” Tasya mengangguk pasrahRafa mengambil nametag yang terbuat dari kardus dari dalam tas Tasya, kemudian mengalungkan di leher Tasya, lalu kembali menggenggam tangan Tasya dan membawa Tasya hingga tengah lapangan.Sesampainya di tengah lapangan, Rafa melepaskan tangannya dari Tasya yang sedari tadi m
Sial!Hari ini Rafa kesiangan, padahal hari ini adalah hari pertama adiknya masuk sekolah menjadi siswi menengah atas. Rafa membuka matanya lebar saat melihat jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul 06.00.Dengan cepat Rafa langsung keluar kamar menuju kamar Tasya, adiknya. Rafa mendengus kesal saat mengetahui pintu kamar Tasya terkunci, apakah adiknya ini melupakan hari pertama sekolahnya?Tok... tok... tok...Rafa mengetuk pintu kamar Tasya sebanyak tiga kali, tidak ada jawaban.Tok... tok... tok...Sekali lagi Rafa mengetuk pintu kamar Tasya, tetap tidak ada jawaban.“ADEK, BANGUN!” teriak Rafa dari luar kamar TasyaSang pemilik kamar akhirnya membuka pintu, menampilkan wajah bangun tidurnya disertai dengan rambut panjangnya yang tidak beraturan, alias acak-acakan.“Gak usah teriak, bisa gak?” Tasya menatap Rafa dengan kesalTangan kekar Rafa merapihkan rambut