Tasya makan dengan lahap meski sedikit belepotan, ia benar-benar makan tanpa disuapi oleh pengasuhnya. Setelah selesai makan dan cukup beristirahat, Tasya dan Nia pulang ke rumah. Nia akan menginap selama Najwa belum pulang jadi Dafa bisa fokus menemani Najwa di rumah sakit."Mau makan apa?" Ini sudah tengah malam tapi Najwa membangunkan Dafa dan berkata kalau ia begitu lapar."Mau bakso," jawab Najwa, entah mengapa ia begitu menginginkan bakso panas dengan irisan lontong. Saat tertidur tadi ia bermimpi tengah menyantap bakso dan saat terbangun ia merasakan lapar."Jam segini mau beli bakso di mana?" Ini sudah pukul satu, mana ada kios bakso yang buka."Nggak tau, pokoknya pengen bakso. Kalau nggak dituruti nanti anakmu ileran gimana?" Ucapan Najwa membuat Dafa segera berdiri, ia tidak mau itu terjadi pada anaknya."Ya udah deh, aku keluar dulu ya." Dafa mengambil dompet dan jaket lalu bergegas keluar dari rumah sakit, saat bertanya pada satpam ia mendapat informasi kalau disekitar si
"Nggak lah, dikit aja makannya. Lemes banget kalau nggak makan yang pedes-pedes." Najwa memang merasa badannya sedikit lemah saat kehamilan ini, entah karena usianya yang sudah tua atau faktor lain ia tidak tahu. "Tasya tadi malem jadi tidur di rumah Mama nggak?" "Jadi, ini aja dia masih di rumah Mama. Nanti pulangnya nungguin kita sampek rumah katanya." Selama di tinggal oleh ayah dan ibunya, Tasya diurus oleh orang tua Dafa karena keluarga Najwa belum bisa datang."Tasya pasti seneng banget di sana, semua diturutin sama Mama, apalagi Papa pasti nurutin semua yabg Tasya mau." Najwa sebenarnya keberatan saat orang tua Dafa begitu memanjakan Tasya, tetapi Najwa tidak bisa protes karena ia tahu kalau itu salah satu bentuk rasa sayang orang tua Dafa pada anaknya."Biarin aja lah, lagian yang diminta Tasya juga masih dalam batas wajar. Mama sama Papa tuh jadi ada penghibur kalau ada Tasya, anak-anak Mas Daris kan jarang bisa ke sini. Nanti kalau si Adek lahir pasti dikuasai sama Mama.""
"Beneran mau berangkat kerja? Kalau masih capek di rumah aja, nanti biar Linda yang dateng ke sini," ucap Dafa saat sang istri sudah siap berangkat bekerja."Udah nggak apa-apa, seminggu di rumah terus bosen banget. Cuma bentar aja nanti di sana, makan siang udah di rumah." Najwa sudah siap berangkat. "Lagian juga dianter supir, jadi nggak capek-capek banget.""Ya udah ati-ati, aku nanti pulang agak malem ya. Ada klien mau dibuatin desain buat usahanya," jelas Dafa. Meski sudah banyak karyawan dan ada orang kepercayaan yang bertanggung jawab di setiap cabang tetapi Dafa tetap menemui klien yang akan mencetak dalam jumlah besar."Iya, nanti mau ke cabang yang mana?" "Tempat Sandi. Mau pesen sesuatu?" "Mau dibawain kue buatan Ibuk. Nanti aku telepon Ibuk biar dibuatin. Kamu tinggal ambil aja ke rumah." Najwa memang sedang ingin memekan kue buatan ibunya, hanya kue sederhana berupa roti kukus dan muffin tapi itu membuat Najwa dan Tasya ketagihan rasanya. Ibu Najwa memang melayani pesa
"Dafa, apa kabar?" sapa wanita cantik yang tengah menggendong bayi berumur tiga tahun.Najwa tidak tahu mengapa suaminya tidak langsung menjawab sapaan tamunya, tapi ia tahu pasti terjadi sesuatu di antara mereka di masa lalu. Najwa menggenggam tangan suaminya, Dafa menoleh pada Najwa dan dilihatnya sang istri tersenyum. Dafa mengontrol emosi lalu melihat tamu yang berada di depannya."Baik," jawab Dafa singkat. Ia menggandeng Najwa untuk duduk di kursi tamu berseberangan dengan tamunya."Kamu nikah kok nggak kabar-kabar, sih, Daf. Aku baru tau tadi dari Mama kamu," ucap Nila. Ia menampilkan senyum terbaiknya untuk Dafa. Senyum yang perlahan luntur saat melihat wanita di samping Dafa."Cuma ngundang tamu penting aja. Mungkin kamu termasuk orang yang nggak penting, makanya nggak dapet undangan," ujar Dafa ketus. Ia sebenarnya malas menemui wanita ini. Andai tidak ada Najwa, ia pasti akan mengusir Nila dari rumah orang tuanya."Ya ampun, Daf, gitu banget sih sama aku. Kita tuh temen dar
Mereka berbincang cukup lama. Hanya Astuti dan Nila karena Nila seperti tidak menganggap ada Najwa di sana. Hingga telepon di rumah Astuti berbunyi dan terpaksa ia harus undur diri. Kini hanya tinggal Najwa dan Nila."Ternyata kamu janda dan sudah punya anak? Kok bisa Dafa tertarik sama kamu?" ujar Nila meremehkan."Memangnya kenapa? Apa itu masalah buat Anda?" Jawab Najwa tenang."Kamu tau, dulu Dafa cinta banget sama aku. Dia tuh nggak bisa move on meski pun udah aku tinggalin. Aku cuma takut kamu jadi pelarian aja." "Oh ya? Terus aku harus gimana?" Najwa masih tenang menanggapi wanita seperti ini."Mending tinggalin aja dia, toh dia juga pasti nggak cinta sama kamu. Kasian mungkin, karena kamu janda. Aku sekarang sudah pisah sama suamiku, pasti Dafa bakal balik sama aku kalau aku minta," ujar Nila dengan percaya diri.Najwa masih diam mendengarkan ucapan Nila. Dia ingin tahu apa saja yang dimau wanita di hadapannya ini."Kami itu berteman dari kecil. Cuma aku wanita di hati Dafa d
"Iya, tadi waktu Mbak di atas," jawab Najwa.Najwa tidak menyangka, perempuan yang mengkhianati Dafa masih berani datang menemui Dafa. Apalagi sampai memintanya pergi dari hidup Dafa. Mengapa ia dan Dafa memiliki mantan yang sama-sama tidak tahu malu."Ngobrol sama kamu juga tadi?" "Iya, bentar aja. Pas ditinggal Mama ke belakang buat angkat telepon." "Kamu kok tahan ngobrol sama dia? Aku aja males banget kalau deket-deket sama dia," ujar Astri dengan suara yang mulai meninggi. "Nggak tau malu sama nggak punya perasaan dia tuh," lanjut Asti penuh emosi."Emang kenapa, kok sampek emosi gitu?" Najwa terkejut mengapa istri iparnya begitu emosi pada mantan pacar suaminya. "Masak dia kirim pesan lewat sosmed ke Mas Daris. Bilang kalau udah pisah sama suaminya. Iya kalau pesannya biasa aja. Ini parah banget. Kata-katanya tuh kayak godain Mas Daris gitu. Ngajak ketemuan lah, kirim-kirim foto dia lah. Kirim kata-kata mesra juga. Buat apa coba kalau nggak buat godain?"Najwa tidak menyangka
"Nanti kalau pulang bawain martabak ya," ucap Najwa saat Dafa akan berangkat bekerja, kandungan Najwa sudah memasuki bulan ke lima. Ia sudah mengurangi kegiatannya."Mau apa lagi?" Dafa memakai sepatunya, ia akan bertemu klien lalu melihat perkembangan pembangunan rumahnya."Sama nasi goreng yang deket percetakan, yang dulu pernah makan di sana itu." Najwa mengulurkan tas Dafa setelah Dafa selesai memasang sepatunya. Mereka berjalan menuju mobil Dafa berada."Tasya masih mau di rumah Ayah. Katanya hari minggu di antar sama Reno." Tasya sudah dua hari menginap di rumah Bari."Lama banget, nggak bisa nanti sama jemput dia gitu?" protes Najwa."Nggak bisa, kalau Tasya yang minta mana bisa dibantah. Lagian udah lama dia nggak ke sana, minggu juga tinggal dua hari lagi." Dafa mengelus surai istrinya. "Aku berangkat dulu ya, jangan capek-capek di rumah. Nanti jam dua udah pulang."Najwa meraih uluran tangan Dafa lalu menciumnya. "Jangan lupa pesenanku loh ya.""Pasti. Daripada kayak kemari
"Iya, Ma, Tasya tuh ngicipin rasanya udah pas apa belum. Tasya dapet uang loh pas bantuin Nenek." Tasya menunjukkan uang pecahan dua puluh ribuan sebanyak tiga lembar."Masak bantuin Nenek tapi minta bayar, kasian Nenek dong. Nanti kalau uang nenek habis gimana?""Uang Nenek banyak, Ma. Merah-merah sama biru-biru. Tasya nggak minta, Tasya kerja kayak embak-embak terus dikasih uang sama Nenek." Yang dimaksud Tasya adalah orang-orang yang membantu di catering neneknya."Cepet pulang loh ya, Mama udah kangen banget." "Iya, Ma. Hari minggu Mas Reno yang anterin."Mereka berbincang cukup lama hingga Tasya pamit untuk tidur siang, Najwa pun sudah menahan kantuk dari tadi.Najwa tertidur hingga pukul empat, ia terbangun saat ada sebuah tangan yang menepuk pipinya."Pules banget?" ucap Dafa sesaat setelah Najwa membuka mata."Kok udah sampek, jam berapa emang?" Najwa bangkit dengan perlahan karena perutnya sudah mulai membesar."Udah jam empat sayang, bobok dari jam berapa sih?" "Setengah d