Jam sudah menunjukkan pukul dua saat Najwa bangun, Dafa sudah duduk bersama di ruang tengah."Sudah bangun? Duduk sini," panggil Dafa, ia bergeser memberi tempat untuk Najwa.Najwa mendekat, ia lalu duduk di samping Dafa. Lelah yang mendera, membuat Najwa tertidur begitu lelap."Udah pulang dari tadi?" "Udah, kamu boboknya pules banget jadi nggak tega bangunin," jawab Dafa."Aku baru tau kalau Mas Ferdi juga kerja di tempat Mas Dafa. Kok aku nggak pernah ketemu?" tanya Sandi. Mereka memang berada di cabang yang berbeda."Tempat kalian kan, emang beda. Pas dulu ada acara gathering kamu belum masuk," jelas Dafa."Besok bawalah Tasya menjenguknya, ibumu tadi sudah bicara sama Tasya," ucap Bari, saat ini Tasya dan Rahma masih tidur siang."Iya, besok pagi ke sana sama aku. Mungkin ini memang sudah waktunya Tasya tau siapa ayahnya," imbuh Dafa, ia menggenggam jemari sang istri. Najwa mengangguk, ia harus siap."Bagaimanapun masa lalu kalian, semua harus diakhiri. Kalau ketakutanmu tidak k
Dafa tersenyum menatap Tasya yang kebingungan, diusapnya surai lembut sang putri. "Iya, om Ferdi itu papanya Tasya. Tasya seneng nggak?""Beneran?" Tasya masih menatap Dafa dan Ferdi bergantian, Ferdi juga ikut tersenyum melihat tingkah Tasya." Iya, Sayang, sana peluk Papa Ferdi." Dafa meminta Tasya mendekat pada Ferdi.Jantung Ferdi berdetak tidak karuan. Momen ini adalah kebahagiaan terindah dalam hidupnya selain bisa menikahi Najwa dulu, sementara Tasya mendekat dengan ragu ke arah Ferdi. Entah apa yang diucapkan Rahma hingga membuat Tasya bisa mengerti. "Pa ... Pa," ucap Tasya terbata. Ferdi meraih Tasya dengan tangan kanan yang terbebas dari selang infus. Ferdi tidak bisa membendung air matanya, ia terisak dalam senyuman.Najwa yang tidak kuasa melihat pemandangan di depannya menyembunyikan wajahnya di pelukan Dafa. Momen ini dulu yang pernah ia impikan. Dafa mengelus punggung istrinya yang bergetar, ia tahu ini berat untuk mereka bertiga.Di depan sana pemandangan seorang ayah
"Obsesimu sudah sangat berlebihan. Kamu sakit, Ranti," ucap Ferdi lemah, ia tidak menyangka selama ini telah hidup bersama dengan orang yang begitu kejam. Bagaimana bisa seorang istri menginginkan suaminya sakit hanya agar tetap hidup bersama."Semua ini karena kamu, Mas. Kamu yang bikin aku ketakutan. Takut disakiti, takut ditinggalkan, takut dibuang. Aku takut kamu pergi ninggalin aku cuma karena kita nggak bisa punya keturunan, kamu pikir aku mau hidup kayak gini mas? Nggak mau. Aku nggak mau hidup menderita seperti ini, setiap hari kita bersama tapi pikiran dan hatimu bukan untukku. Aku cinta sama kamu, aku nggak akan biarin kamu ninggalin aku." Ranti menyentakkan tubuhnya di sofa. " Aku akan merawat kamu, bahkan kalau seumur hidup kamu nggak bisa sembuh, aku akan tetap ngurusin kamu."Ferdi hanya menghela nafas lelah, ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia memang tidak berniat menceraikan Ranti, semua ini memang salahnya. Tapi dia juga berat hidup dengan Ranti yang penuh rasa curiga
"Yang awal-awal itu, Ma. Kalau sekarang udah nggak. Mama dulu ngidam apa saat hamil mas Yogi?"Sandra yang tengah menggoreng ayam, tiba-tiba terdiam. Kembali teringat kejadian di masa lampau."Mana bisa Mama ngidam." Ucapan Sandra membuat Najwa bingung."Maksudnya nggak bisa gimana, Ma?""Ah, itu," ucap Sandra gelagapan. "Maksudnya ya ngidam kayak biasa gitu, mau buah apa makanan apa gitu."Najwa tidak ambil pusing, ia kembali fokus pada pekerjaannya karena Sandra juga diam setelah menjawab pertanyaan Najwa.Makan malam sudah siap, mereka santap malam bersama. Malam ini suasana sangat ramai karena adanya keluarga Yogi."Aku mau makan ayam, Pi," ujar Arya pada papinya."Tasya juga mau, Pi," sambar Tasya."Eh, minta sama papamu. kamu kan, sudah punya papa. Nggak boleh pinjem Papi lagi," protes Arya seraya memegang lengan papinya erat."Ih, Kak Arya pelit. Tasya kan, juga kangen sama Papi." "Papi ambilin semua. Nggak boleh bertengkar, kita sedang makan," lerai Yogi."Kalau makan jangan
Najwa masih belum beranjak, ia masih memandang kertas di depannya dengan nanar. Disana tertera nama Yogi, sang ibu dan satu nama asing yang tidak Najwa ketahui. Apa yang tidak Najwa tidak tahu?Cukup lama Najwa berdiam di sana. Yogi yang merasa Najwa tidak segera tiba, keluar untuk menyusul Najwa."Wa." Panggilan dari Yogi mengejutkan Najwa, ia segera meraih semua kertas yang berserakan lalu membawanya ke dalam."Maaf, Mas, tadi aku nggak hati-hati akhirnya jatuh semua." Sebenarnya Najwa ingin mencecar Yogi dengan berbagai pertanyaan, tapi ia merasa ini bukan waktu yang tepat."Sini biar aku yang bawa, kasian kamu udah bawa berat di perut," ujar Yogi seraya mengambil barang yang dibawa Najwa.Yogi tetap tidak menyadari apa yang dilihat oleh Najwa, karena berkas itu sudah tertutup oleh kertas-kertas yang lain."Ini juga keponakan kamu, lho." Najwa berjalan di belakang Yogi, banyak spekulasi di benaknya tapi dia belum berani menebak. Najwa sangat yakin kalau Yogi adalah anak dari Sandra
"Aku juga terkejut saat membacanya, karena di sana tertera nama ibu dan satu nama asing sebagai ayahku. Aku segera ke luar menemui Mama, aku menunjukkan akta itu pada Mama. Awalnya Mama terkejut, ia meminta maaf.Mama cerita kalau dulu ibu pernah nikah karena dijodohin kakek, tapi sayang saat ibu tengah mengandungku, ayahku kecelakaan dan meninggal. Ibu harus berjuang membesarkan aku seorang diri. Hingga saat usiaku satu tahun, Mama meminta pada ibu untuk mengizinkan beliau membawaku," lanjut Yogi.Najwa mendengarkan tanpa menyela. Fakta baru yang membuatnya begitu terkejut."Aku lanjut?" tanya Yogi karena melihat Najwa mematung."Iya." Hanya itu yang mampu Najwa ucapkan."Mama sudah menikah selama enam tahun dan belum dikaruniai momongan. Karena keadaan, akhirnya ibu mengizinkan aku diasuh sama Mama. Beliau yakin Mama pasti menyayangiku karena aku keponakannya. Aku di bawa Mama pergi ke luar kota karena Papa bekerja berpindah-pindah.Yogi melihat wajah terkejut Najwa, ia tahu bagaima
"Kok pelukan kayak teletubies aja." Sandra datang seraya menggandeng Arya.Arya segera berlari menuju papinya. Yogi segera melepas pelukannya dengan Najwa, lalu meraih Arya dalam pangkuan."Aku udah ceritain semua sama Najwa, Ma," jelas Yogi, ia mengurai pelukan."Hah! Beneran?" Sandra kaget dengan ucapan Yogi."Iya, Ma, Najwa udah tau semuanya," ucap Najwa. Sandra mendekati Najwa, ia genggam tangan Najwa. "Maafin Mama ya, Wa, maafin ibu kamu juga. Ada banyak alasan yang membuat kami menyembunyikan ini dari kalian.""Sejujurnya aku sedih dan kecewa karena kalian semua nutupin ini dari aku, tapi aku juga bahagia ternyata aku mempunyai saudara kandung."Sandra memeluk Najwa. "Tanyakan apa yang mau kamu tanyakan, Mama pasti jawab semuanya. Maafin Mama ya.""Aku nggak mau tanya apa-apa, cukup tau ini aja. Makasih karena selama ini Mama udah sayang sama aku juga Mas Yogi.""Kamu dan Yogi selamanya akan menjadi anak Mama. Kalian adalah penyemangat buat Mama."Pagi ini diakhiri dengan senyu
"Sabar, Wa, sebentar lagi kita sampai rumah sakit." Astuti mengelus pundak Najwa.Najwa hanya bisa mendesis menahan rasa sakit, ini jauh lebih sakit dari sakit hati yang ia rasakan dulu. Bedanya yang ini ia akan meraih bahagia, sakit ini bisa ia tahan.Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu lama. Najwa merasa pinggangnya begitu sakit. Pengalaman pertama ini membuat Najwa merasa sakit yang luar biasa."Mama mau ngubungin Dafa dulu ya, kamu tarik nafas yang dalam lalu keluarkan. Begitu terus biar rasa sakitnya berkurang."Astuti mengabari Dafa, sementara Najwa masih berusaha mengatur nafas agar rasa sakit yang ia rasakan berkurang. Dua puluh menit waktu yang ditempuh untuk mereka sampai di rumah sakit, Najwa segera dibawa perawat menggunakan kursi roda."Ini masih bukaan enam, ditunggu sampai bukaan lengkap ya. Jangan dipakai jalan-jalan karena ketuban sudah rembes, tiduran miring ke kiri sama kaki ditekuk ya. Nanti saya ke sini lagi," ucap seorang Dokter pada Astuti."Iya, Dok, t
Tasya dan Bian menoleh, ternyata Dafa sudah berdiri di ambang pintu."Om." Bian mendekat, ia lalu mencium tangan Dafa."Baru nyampek, Pa," jawab Tasya seraya mendekati papanya."Mau masuk dulu?" tawar Dafa.Sebenarnya Bian tidak enak hati untuk menolak, tetapi ia harus segera pulang. Besok pagi sekali dia harus kembali ke kota sebelah untuk mengumpulkan rupiah."Lain kali aja, Om. Ditungguin mama," tolak Bian. "Kalau gitu Bian pulang, ya, Om. Salam buat mama Najwa sama Davin."Bian berjalan keluar gerbang, Dafa mengikuti untuk menutup gerbangnya. "Udah makan?" tanya Dafa seraya merangkul pundak anaknya, lalu mereka masuk bersama."Udah," jawab Tasya. "Mama sama Davin mana?" Dilihatnya tidak ada orang selain Dafa."Davin lagi ke rumah temennya. Kalau mama ada di kamar. Mau dipanggilin?"Tasya menggeleng. "Papa kalau udah capek istirahat aja, Tasya mau ke atas," ujar Tasya. Ia kini berjalan meninggalkan Dafa."Sya."Tasya berhenti saat papanya memanggil. Lama Tasya memperhatikan papany
"Kapan nih, nikah? Tante udah nggak sabar lihat kalian di pelaminan," tanya Rania. Kini acara susah selesai. Selain keluarga inti Bian, tinggal Tasya dan Rania beserta keluarganya.Mereka tengah berkumpul di ruang tengah. Saat ini Tania sedang berganti baju, tinggallah Rania dan Tasya di sana."Doakan saja, Tante," jawab Tasya. Semua masih rencana, tidak baik untuk diutarakan."Anak Tante sebenarnya juga udah waktunya nikah, tapi sampai sekarang anteng-anteng aja. Nggak tau maunya yang kayak gimana," ujar Rania. Usia anak sulungnya selisih tujuh tahun dari Bian dan Tasya. Harusnya Revan sudah menikah dan Rania susah menimang cucu. Tapi apalah daya, anaknya masih betah sendiri hingga usia tiga puluhan."Mungkin memang belum ketemu jodohnya, Tante," jawab Tasya. Tidak mungkin ia mengatakan karena anak Rania itu memang sombong, jadi susah mendapatkan pasangan. Pasti Rania akan marah padanya."Mbak Tasya, mau minta foto." Radea, anak kedua Rania datang menghampiri."Boleh," jawab Tasya.
"Ma, aku mau berangkat dulu, ya," pamit Tasya pada ibunya.Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Tasya kini sudah beranjak dewasa. Ia bahkan sudah menjalin kasih dengan Bian, sahabat yang dipuja Tasya sejak kecil."Iya, salam buat mama Tania, ya."Najwa masih sibuk di dapur untuk membuat makan siang. Dafa masih bekerja, sementara Davin belum pulang dari sekolah."Siap, Mamaku yang paling cantik."Tasya mencium pipi mamanya, setelah itu Bian bersalaman dengan Najwa untuk berpamitan."Bian pergi dulu, ya, Ma. Nanti Tasyanya Bian anterin agak malam. Setelah acara selesai," ujar Bian pada Najwa."Iya, Sayang. Mama nitip Tasya. Nanti kalau rewel kamu jewer aja.""Ih, Mama. Tasya udah gede, ya. Nggak ada rewel-rewel segala," protes Tasya yang membuat Najwa dan Bian tertawa.Tasya dan Bian menaiki mobil. Mereka akan pergi ke rumah Bian untuk menghadiri acara keluarga. Sudah beberapa kali Tasya menghadiri acara keluarga di rumah Bian, begitu pun dengan Bian yang juga sering ikut saat ada
Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Kedekatan antara Ferdi dan Rina akhirnya berakhir ke pelaminan.Saat ini Najwa dan Dafa tengah mempersiapkan perjalanan menuju rumah Ferdi, sementara Tasya sudah di sana sejak beberapa hari yang lalu."Udah masuk semua?" tanya Dafa. Sedari tadi ia sudah memasukkan beberapa tas ke dalam bagasi mobil."Udah kayaknya," jawab Najwa seraya melihat barang-barang yang sudah masuk.Rencananya Najwa dan Dafa akan menginap selama dua hari, sementara Tasya akan menginap selama satu minggu."Aku ganti baju dulu, Davin masih tidur di kamar bawah," ujar Najwa seraya meninggalkan Dafa yang tengah memanasi mobil.Najwa tidak langsung memakai baju untuk acara, tetapi ia memakai baju biasa dulu. Mengingat perjalanan dari rumahnya menuju rumah Ferdi cukup jauh.Mereka berangkat setelah semua sudah siap. Davin masih terlelap saat mereka memulai perjalanan.Sesampainya di rumah Ferdi, suasana sudah sangat meriah. Pesta akan dilaksanakan di rumah Ferdi saja karena
"Rudi yang bilang, Ma?" tanya Dafa pada ibunya Nila. Mereka sudah sangat akrab dari Dafa kecil, jadilah Dafa memanggilnya mama juga."Iya," jawab Lastri. "Mama mau minta maaf atas nama Nila dan Rudi. Selama ini mereka sudah nyakitin kamu. Mama masih punya banyak uang untuk membayarnya dan itu juga bukan tanggung jawabmu," lanjut Lastri.Sejahat apa pun Nila dan Rudi, Dafa tetap menyayangi Lastri. Baginya, Lastri tetaplah ibu yang baik."Dafa emang pengen ngasih, tapi bukan paksaan dari Rudi juga. Ini murni keinginan Dafa. Mama terima, semoga bisa membantu." Dafa menyerahkan amplop pada Lastri. Sebelum ini, ia sudah berbicara pada istrinya dan mereka sepakat untuk memberi sumbangan."Jangan, Nak. Mama nggak mau bebanin kamu," tolak Lastri seraya mengembalikan amplop itu pada Dafa."Dafa ikhlas, Ma. Nggak banyak, tapi semoga bisa bermanfaat. Terima ya, Ma." Akhirnya Lastri mengalah. Ia menerima uang pemberian dari Dafa seraya mengucap terimakasih.Hingga sore Dafa dan Najwa masih berad
"Ada apa?" Najwa bertanya saat dilihatnya suaminya hanya diam seraya menatap ponsel yang menyala."Lihat ini." Dafa memberikan ponselnya pada Najwa.Najwa menggelengkan kepalanya. Merasa heran karena masih ada orang yang tidak tahu malu macam Rudi."Kamu nggak perlu menanggapinya. Ini bukan tanggung jawabmu, Mas."Najwa menyerahkan kembali ponsel Dafa, ia lalu meraih Davin untuk memandikan anak itu.Dafa memilih memblokir nomor Rudi. Ia tidak ingin rasa sakit hati mempengaruhi kehidupan rumah tangganya. Rudi sudah sangat dewasa untuk mengatasi masalahnya sendiri."Aku mau beli nasi goreng dulu, ya," pamit Dafa."Iya," jawab Najwa dari kejauhan. Ia sudah bersiap untuk melepas baju Davin.Davin sudah wangi dan tampan. Rambutnya yang lebat dibelah pinggir. Pipi besarnya membuat siapa pun pasti gemas saat melihat Davin.Davin kini sudah kembali bermain, sementara Najwa mengambil piring untuk menikmati nasi goreng yang dibeli Dafa."Mama tadi kirim pesan," ujar Dafa seraya menyuap nasi gore
"lucu kamu, Rud." Hanya itu komentar Dafa. "Maafkan atas semua kesalahanku dulu, Daf. Aku tau kamu masih marah, tapi tolong pikirkan nasib anak kecil yang tengah kritis."Andai tidak kritis, pasti Rudi tidak akan datang menemui Dafa."Aku serius, Daf. Saat ini anak aku di rumah sakit sama ibunya. Anakku butuh donor darah karen dia sudah kehabisan banyak darah," ungkap Rudi.Dafa tidak habis pikir kenapa dulu ia bisa bersahabat dengan orang-orang yang tidak punya hati."Cari saja orang lain, itu bukan urusanku."Secara tiba-tiba Rudi merosot, ia kini sudah bersimpuh memohon pada Dafa. "Kali ini saja, aku mohon bantuin aku. Cuma kamu satu-satunya harapanku, Daf."Dafa memalingkan wajahnya. Satu sisi ia tidak tega dengan anak itu, tapi di sisi lain ia juga amat membenci orang tuanya."Pergi kamu!" usir Dafa."Kamu mau bantu kan, Daf?" Rudi masih saja memohon."Lihat nanti," ujar Dafa seraya beranjak dari tempatnya duduk. "Pergi dari sini kalau mau aku bantu," lanjut Dafa.Wajah Rudi kin
Dafa hanya membunyikan klakson sebagai tanda pada orang yang ada di dalam untuk membukakan pintu. Ia tidak sedikit pun berniat untuk turun dari mobil menemui Rudi.Najwa turun terlebih dahulu setelah mobil berhenti di halaman rumah mereka, sementara Dafa masih terdiam di tempatnya."Sayang, aku bawa Davin masuk dulu. Abis ini aku ke sini lagi," ujar Najwa. Ia sangat mengerti kegelisahan yang dirasakan suaminya. "Kalau kamu belum siap ketemu, tunggu aku aja," lanjutnya lalu meninggalkan Dafa untuk membawa Davin ke kamarnya."Pak, ada tamu yang ingin bertemu," ujar Seto setelah mengetuk pintu mobil majikannya itu.Dafa menghela napas kasar. Semua sudah berlalu, Dafa memang harus berdamai dengan masa lalu."Suruh dia masuk, Pak," putus Dafa. Ia turun dari mobil. Berjalan dengan gontai ke dalam rumah.Dafa terus berjalan hingga ia sampai di dapur. Dafa mengisi gelas kosong dengan air dingin. Berharap isi kepalanya juga ikut dingin."Tenang. Semua masalah pasti bisa kamu atasi. Ada aku di
"Lho, ada tamu ternyata."Najwa dan Dafa menoleh saat ada seseorang yang datang ke rumah Ferdi. Ternyata itu adalah Rina, ibu dari Sena."Ini ibunya Sena?" Najwa segera berdiri untuk menghampiri Rina.Rina menerima uluran tangan Najwa. "Iya, Mbak. Saya Rina.""Saya Najwa, ibunya Tasya," ujar Najwa memperkenalkan diri. Beberapa kali hanya mengetahui dari cerita anaknya, akhirnya kini Najwa bisa berkenalan secara langsung.Cantik, adalah kesan pertama yang Najwa lihat dari Rina. Orangnya juga ramah dan supel. "Saya kira tadi Tasya dijemput papanya seperti biasa, ternyata dianterin sekeluarga ke sini. Akhirnya bisa ketemu juga ya, Mbak."Rina kini ikut duduk di ruang tamu Ferdi, bercengkrama dengan keluarga Najwa."Tasya itu anaknya ceria banget, jadinya Sena kebawa suasana. Biasanya dia pendiam kalau pas sendiri. Makanya saya senang kalau Tasya pas nginep sini," ujar Rina berterus terang.Sena sudah berusia delapan tahun saat orang tuanya bercerai, jadi wajar kalau ia mengalami dampak