Home / Horor / 40 Hari Setelah Kematian Bapak / Bab 58. Permainan Lasmi

Share

Bab 58. Permainan Lasmi

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2024-12-25 22:25:31

Murni menatap wajah ibunya yang samar di antara bayangan dan cahaya ruangan yang temaram. Kata-kata terakhir yang ia dengar menghantam jiwanya seperti badai yang mampu menghancurkan kekokohan hatinya, menciptakan kekacauan di dalam pikirannya.

Lasmi berdiri diam, ia menoleh dengan kedua mata yang seolah tertuju pada Prawiro dan Murni yang berdiri di sana.

"Aku tahu kalian di sini."

Murni menoleh ke arah Prawiro yang berdiri di belakangnya, wajahnya tampak tegang. "Apa itu... Apa Ibu melihat kita?"

Prawiro mengangguk perlahan, matanya menatap tajam ke kejauhan. "Dia bisa merasakan kehadiran kita. Meski berada di dimensi yang berbeda, Lasmi... memiliki ikatan yang tak bisa kau abaikan begitu saja."

"Tapi bagaimana mungkin?" Murni bertanya, kebingungan menyelimuti wajahnya. "Bukankah kita berada di dunia yang tak sama dengan Ibu?"

Prawiro menghela napas panjang, lalu mendekatkan tubuhnya pada Murni. "Ada sesuatu yang belum kukatakan padamu, Murni. Ibumu... dia telah mengikatkan jiw
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (45)
goodnovel comment avatar
Erisa Zulfa
piye toh mi Lasmi, melindungi opo mengorbankan Iki yg bener?
goodnovel comment avatar
Marimar
adududuhhh... Lasmi serakah syekali
goodnovel comment avatar
Attin26
pantas saja Lasmi random kadang merasa ingin melindungi tapi juga mengorbankan murni kepada sangkalana . itu semua karena Lasmi pun terjebak permainan setan bapaknya...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 59. Bangun

    Langkah kaki Prawiro dan Murni terdengar tergesa-gesa di tengah kegelapan hutan yang hanya diterangi oleh sinar bulan pucat. Napas mereka tersengal, dan suara raungan Sangkalana terus menggema, seolah-olah makhluk itu berada di mana-mana sekaligus.“Pak Prawiro, apa kita bisa selamat dari ini?” tanya Murni, suaranya bergetar antara lelah dan takut.“Kita harus selamat,” jawab Prawiro singkat, matanya terus waspada memperhatikan jalan di depan. “Aku tidak akan membiarkanmu jatuh ke tangan Sangkalana.”Mereka terus berlari, melewati pepohonan yang menjulang tinggi. Suara dedaunan yang bergesekan dengan angin semakin menambah suasana mencekam. Tiba-tiba, sebuah bayangan besar muncul di antara pepohonan, bergerak cepat menuju mereka.“Dia ada di depan!” teriak Murni, berhenti sejenak dengan napas terengah-engah.“Jangan berhenti! Berlari terus!” seru Prawiro sambil menarik tangan Murni, memaksanya melanjutkan langkah.Namun Sangkalana bergerak lebih cepat dari dugaan mereka. Makhluk itu m

    Last Updated : 2024-12-25
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 60. Pengendalian

    Langit malam mendadak terasa lebih kelam. Angin yang tadinya hanya berhembus pelan kini berubah menjadi badai kecil, menggoyangkan pepohonan di sekitar makam. Cahaya biru yang sebelumnya hanya melingkupi makam tua kini membesar, membentuk jaring-jaring cahaya yang memancar ke segala arah. Murni memegangi tangan Prawiro dengan erat, tubuhnya bergetar ketakutan sekaligus takjub melihat kejadian yang tak masuk akal itu. Gundukan tanah di sekitar mereka kini mulai retak, dan dari dalamnya, asap tipis keluar, mengeluarkan aroma tanah basah bercampur sesuatu yang terasa begitu asing. "Pak Prawiro... ini apa?" bisik Murni, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh angin. "Prana telah bangkit, Murni!" jawab Prawiro dengan tegas. "Mereka tidak akan membiarkan Sangkalana membeiarka Sangkalana begitu saja." Tiba-tiba, dari setiap gundukan tanah, muncul sosok-sosok samar. Wajah-wajah mereka tidak jelas, hanya berupa bayangan hitam yang diselimutinkabut berwarna biru. Namun, dari tatapan koso

    Last Updated : 2024-12-26
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 61. Ritual Hitam

    Hari demi hari berlalu, Murni menjalani pergulatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kekuatan Prana yang menyatu dalam dirinya terus menggerogoti seluruh tubuh dan pikirannya. Rasa sakit yang tak terlukiskan muncul setiap kali ia mencoba menggunakan energi itu. Tubuhnya terasa seperti terbakar dari dalam, sementara pikirannya seolah-olah dirasuki ribuan suara yang berbisik tanpa henti.Hutan terasing yang ia tempati kini terasa seperti dunia lain. Udara dingin menusuk tulang, namun keheningan yang menyelimuti malam itu justru menambah berat suasana. Prawiro memimpin Murni ke tengah hutan yang paling dalam, langkah-langkah mereka perlahan di atas dedaunan kering yang berderak di bawah kaki. Tidak ada bintang di langit malam itu, hanya pekat yang menyelimuti, seolah menyembunyikan rahasia yang paling gelap. Prawiro, yang selalu berada di sisinya, mengamati dengan cemas. Ia tahu bahwa Murni membutuhkan bantuan untuk mengendalikan Prana sebelum kekuatan itu menghabisinya. Dengan

    Last Updated : 2024-12-27
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 62. Kolam Perak

    Malam berikutnya tiba dengan suasana yang lebih mencekam. Hutan itu, yang sebelumnya hanya menyimpan ketenangan yang janggal, kini terasa hidup dengan energi yang tak terlihat. Pepohonan seakan bergerak meskipun tidak ada angin, dan suara gemerisik daun terdengar seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari balik kegelapan. Bayangan gelap melintas di sudut mata Murni, meski ketika ia menoleh, tidak ada apa-apa kecuali kehampaan yang menyeramkan.Murni tidak gentar. Ia tahu malam ini adalah langkah besar dalam perjalanan yang telah ia mulai. Rasa takutnya telah digantikan oleh tekad yang membaja, meskipun ia sadar risiko yang menantinya sangat besar."Murni, untuk malam ini, apa yang akan kamu terima jauh lebih besar. Apa kamu sudah siap untuk itu?" tanya Prawiro dengan suara berat, seraya menatap Murni lekat-lekat. Tatapan itu tidak hanya meminta jawaban, tetapi juga meyakinkan dirinya sendiri bahwa Murni cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan datang."Kapan pun, Pak. Aku sud

    Last Updated : 2024-12-27
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 63. Niat Murni

    Prawiro, yang sedari tadi berdiri di tepi kolam, terus mengawasi Murni dengan cermat. Tatapannya tidak pernah beralih, penuh perhatian namun juga dihantui kekhawatiran yang mendalam. Sebagai seorang penjaga rahasia kolam itu selama bertahun-tahun, ia memahami bahwa tempat ini bukanlah sekadar tempat biasa. Kolam tersebut adalah gerbang menuju sesuatu yang lebih besar, lebih tua, dan lebih suci dari apa pun yang bisa dipahami manusia. Namun, ia juga tahu bahwa kolam itu tidak memaafkan. Banyak yang telah mencoba masuk sebelumnya—mereka yang sombong, tamak, atau bahkan sekadar penasaran. Mereka semua berakhir sama: jiwa mereka hancur, tubuh mereka menjadi kosong, tidak lebih dari cangkang yang tak bernyawa. Hanya mereka yang membawa niat tulus, tanpa beban dendam atau ambisi pribadi, yang bisa bertahan. Murni adalah harapan terakhirnya, tetapi meski ia percaya pada gadis itu, keraguan kecil tetap menyelinap di hatinya. Prawiro melantunkan mant

    Last Updated : 2024-12-28
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 64. Warisan dan Kutukan

    Malam semakin larut. Suara jangkrik dan gemerisik dedaunan menjadi satu-satunya melodi yang mengiringi perjalanan Murni dan Prawiro menuju makam tua tempat mereka beristirahat. Angin dingin menyapu kulit, membawa serta aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih tua dan lebih pekat. Seolah-olah udara itu sendiri menyimpan rahasia yang tak terungkapkan. Murni duduk bersandar di sebuah nisan batu yang sudah tua, sementara Prawiro tetap berdiri, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Wajahnya tampak lelah, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Murni merasa tidak nyaman—seperti ada beban berat yang sedang ia simpan. “Besok malam,” kata Prawiro akhirnya, memecah keheningan. Suaranya terdengar berat, hampir seperti gumaman, tetapi cukup untuk menarik perhatian Murni. “Ada satu ritual lagi yang harus kau lakukan, Nduk. Ritual terakhir.” Murni menatapnya, napasnya tertahan. Tubuhnya masih terasa lemah setelah a

    Last Updated : 2024-12-28
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 65. Lelah

    Murni duduk termenung di tengah makam yang kini terasa semakin sunyi, seolah dunia sekitarnya telah menghilang. Api kecil yang pada malam itu sempat menyala dengan terang kini hanya tinggal sisa-sisa abu yang hangus. Bayangan-bayangan yang mengelilinginya telah lenyap, tetapi suara-suara itu masih bergema di dalam kepalanya, seperti bisikan yang tak henti-hentinya mengisi ruang kosong di hatinya. Prawiro belum juga datang. Sehari semalam telah berlalu, namun lelaki tua itu tidak sama sekali menampakkan batang hidungnya. Murni merasakan lelah yang luar biasa, tubuhnya begitu lemah dan juga lapar yang tak tertahankan. Namun demikian, kedua matanya tetap terjaga. Kluk'"Buka matamu, Murni...!" Setiap kali ia merasa hampir pingsan, Murni berusaha untuk mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap bertahan. Ia harus tetap menunggu, menunggu Prawiro, yang menurutnya adalah satu-satunya orang yang bisa menjelaskqn semuanya, dan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Keheningan semakin meneka

    Last Updated : 2024-12-29
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 66. Pocong Bapak

    Cluk! Cluk! "Murni...." Murni terkejut mendengar suara itu. "Bapak?" suaranya gemetar, setengah tidak percaya dengan yang ada di depan matanya saat ini. Pocong itu mengangguk perlahan. "Ya, anakku. Aku datang." Murni menggelengkan kepala, air matanya semakin deras. "Tapi... Bapak...." "Aku lelah, Pak. Aku ingin menyerah. Ini semua terlalu berat untukku," ucap Murni di sela isak tangisnya. Pocong itu mendekat dengan lompatan perlahan, lalu berhenti tepat di hadapannya. "Murni, dengarkan aku. Aku tahu rasa sakitmu, kehilanganmu, dan kehampaan yang kau rasakan. Tapi mati bukan jawaban. Kau punya tujuan besar di dunia ini, sesuatu yang harus kau perjuangkan. Jika kau menyerah sekarang, semuanya akan berakhir sia-sia." Murni menunduk, menggenggam tangannya yang gemetar. "Aku tidak tahu bagaimana caranya bertahan. Aku sudah melakukan segalanya, tapi sekarang... aku sendirian, Pak." Sosok pocong Raharjo yang kedua matanya menghitam, menatap Murni dengan mata yang dipenuhi kehangatan.

    Last Updated : 2024-12-30

Latest chapter

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 147. TAMAT

    Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 146. Perjalanan

    Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 145. Keluar

    Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 144. Memilih

    Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 143. Perpisahan

    Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 142. Mencari Petunjuk

    Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 141. Mengawasi dan Menunggu

    Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 140. Rasuk

    Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 139. Menolak

    Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status