Share

Bab 59. Bangun

Penulis: Yasmin_imaji
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-25 22:54:34

Langkah kaki Prawiro dan Murni terdengar tergesa-gesa di tengah kegelapan hutan yang hanya diterangi oleh sinar bulan pucat. Napas mereka tersengal, dan suara raungan Sangkalana terus menggema, seolah-olah makhluk itu berada di mana-mana sekaligus.

“Pak Prawiro, apa kita bisa selamat dari ini?” tanya Murni, suaranya bergetar antara lelah dan takut.

“Kita harus selamat,” jawab Prawiro singkat, matanya terus waspada memperhatikan jalan di depan. “Aku tidak akan membiarkanmu jatuh ke tangan Sangkalana.”

Mereka terus berlari, melewati pepohonan yang menjulang tinggi. Suara dedaunan yang bergesekan dengan angin semakin menambah suasana mencekam. Tiba-tiba, sebuah bayangan besar muncul di antara pepohonan, bergerak cepat menuju mereka.

“Dia ada di depan!” teriak Murni, berhenti sejenak dengan napas terengah-engah.

“Jangan berhenti! Berlari terus!” seru Prawiro sambil menarik tangan Murni, memaksanya melanjutkan langkah.

Namun Sangkalana bergerak lebih cepat dari dugaan mereka. Makhluk itu m
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (41)
goodnovel comment avatar
Erisa Zulfa
MasyaAllah begitu sayangnya Raharjo ke anaknya smpe sudah menyiapkan perlindungan buat murni pdhl raharjonya udh meninggal
goodnovel comment avatar
Marimar
penuh kejutan.
goodnovel comment avatar
Attin26
salut sama kasih sayang Raharjo ke murni bahkan sebelum kerumitan ini terjadi Raharjo sudah merencanakan hal besar untuk melindungi murni di masa depan...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 60. Pengendalian

    Langit malam mendadak terasa lebih kelam. Angin yang tadinya hanya berhembus pelan kini berubah menjadi badai kecil, menggoyangkan pepohonan di sekitar makam. Cahaya biru yang sebelumnya hanya melingkupi makam tua kini membesar, membentuk jaring-jaring cahaya yang memancar ke segala arah. Murni memegangi tangan Prawiro dengan erat, tubuhnya bergetar ketakutan sekaligus takjub melihat kejadian yang tak masuk akal itu. Gundukan tanah di sekitar mereka kini mulai retak, dan dari dalamnya, asap tipis keluar, mengeluarkan aroma tanah basah bercampur sesuatu yang terasa begitu asing. "Pak Prawiro... ini apa?" bisik Murni, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh angin. "Prana telah bangkit, Murni!" jawab Prawiro dengan tegas. "Mereka tidak akan membiarkan Sangkalana membeiarka Sangkalana begitu saja." Tiba-tiba, dari setiap gundukan tanah, muncul sosok-sosok samar. Wajah-wajah mereka tidak jelas, hanya berupa bayangan hitam yang diselimutinkabut berwarna biru. Namun, dari tatapan koso

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 61. Ritual Hitam

    Hari demi hari berlalu, Murni menjalani pergulatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kekuatan Prana yang menyatu dalam dirinya terus menggerogoti seluruh tubuh dan pikirannya. Rasa sakit yang tak terlukiskan muncul setiap kali ia mencoba menggunakan energi itu. Tubuhnya terasa seperti terbakar dari dalam, sementara pikirannya seolah-olah dirasuki ribuan suara yang berbisik tanpa henti.Hutan terasing yang ia tempati kini terasa seperti dunia lain. Udara dingin menusuk tulang, namun keheningan yang menyelimuti malam itu justru menambah berat suasana. Prawiro memimpin Murni ke tengah hutan yang paling dalam, langkah-langkah mereka perlahan di atas dedaunan kering yang berderak di bawah kaki. Tidak ada bintang di langit malam itu, hanya pekat yang menyelimuti, seolah menyembunyikan rahasia yang paling gelap. Prawiro, yang selalu berada di sisinya, mengamati dengan cemas. Ia tahu bahwa Murni membutuhkan bantuan untuk mengendalikan Prana sebelum kekuatan itu menghabisinya. Dengan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-27
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 62. Kolam Perak

    Malam berikutnya tiba dengan suasana yang lebih mencekam. Hutan itu, yang sebelumnya hanya menyimpan ketenangan yang janggal, kini terasa hidup dengan energi yang tak terlihat. Pepohonan seakan bergerak meskipun tidak ada angin, dan suara gemerisik daun terdengar seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari balik kegelapan. Bayangan gelap melintas di sudut mata Murni, meski ketika ia menoleh, tidak ada apa-apa kecuali kehampaan yang menyeramkan.Murni tidak gentar. Ia tahu malam ini adalah langkah besar dalam perjalanan yang telah ia mulai. Rasa takutnya telah digantikan oleh tekad yang membaja, meskipun ia sadar risiko yang menantinya sangat besar."Murni, untuk malam ini, apa yang akan kamu terima jauh lebih besar. Apa kamu sudah siap untuk itu?" tanya Prawiro dengan suara berat, seraya menatap Murni lekat-lekat. Tatapan itu tidak hanya meminta jawaban, tetapi juga meyakinkan dirinya sendiri bahwa Murni cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan datang."Kapan pun, Pak. Aku sud

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-27
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 63. Niat Murni

    Prawiro, yang sedari tadi berdiri di tepi kolam, terus mengawasi Murni dengan cermat. Tatapannya tidak pernah beralih, penuh perhatian namun juga dihantui kekhawatiran yang mendalam. Sebagai seorang penjaga rahasia kolam itu selama bertahun-tahun, ia memahami bahwa tempat ini bukanlah sekadar tempat biasa. Kolam tersebut adalah gerbang menuju sesuatu yang lebih besar, lebih tua, dan lebih suci dari apa pun yang bisa dipahami manusia. Namun, ia juga tahu bahwa kolam itu tidak memaafkan. Banyak yang telah mencoba masuk sebelumnya—mereka yang sombong, tamak, atau bahkan sekadar penasaran. Mereka semua berakhir sama: jiwa mereka hancur, tubuh mereka menjadi kosong, tidak lebih dari cangkang yang tak bernyawa. Hanya mereka yang membawa niat tulus, tanpa beban dendam atau ambisi pribadi, yang bisa bertahan. Murni adalah harapan terakhirnya, tetapi meski ia percaya pada gadis itu, keraguan kecil tetap menyelinap di hatinya. Prawiro melantunkan mant

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-28
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 64. Warisan dan Kutukan

    Malam semakin larut. Suara jangkrik dan gemerisik dedaunan menjadi satu-satunya melodi yang mengiringi perjalanan Murni dan Prawiro menuju makam tua tempat mereka beristirahat. Angin dingin menyapu kulit, membawa serta aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih tua dan lebih pekat. Seolah-olah udara itu sendiri menyimpan rahasia yang tak terungkapkan. Murni duduk bersandar di sebuah nisan batu yang sudah tua, sementara Prawiro tetap berdiri, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Wajahnya tampak lelah, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Murni merasa tidak nyaman—seperti ada beban berat yang sedang ia simpan. “Besok malam,” kata Prawiro akhirnya, memecah keheningan. Suaranya terdengar berat, hampir seperti gumaman, tetapi cukup untuk menarik perhatian Murni. “Ada satu ritual lagi yang harus kau lakukan, Nduk. Ritual terakhir.” Murni menatapnya, napasnya tertahan. Tubuhnya masih terasa lemah setelah a

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-28
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 65. Lelah

    Murni duduk termenung di tengah makam yang kini terasa semakin sunyi, seolah dunia sekitarnya telah menghilang. Api kecil yang pada malam itu sempat menyala dengan terang kini hanya tinggal sisa-sisa abu yang hangus. Bayangan-bayangan yang mengelilinginya telah lenyap, tetapi suara-suara itu masih bergema di dalam kepalanya, seperti bisikan yang tak henti-hentinya mengisi ruang kosong di hatinya. Prawiro belum juga datang. Sehari semalam telah berlalu, namun lelaki tua itu tidak sama sekali menampakkan batang hidungnya. Murni merasakan lelah yang luar biasa, tubuhnya begitu lemah dan juga lapar yang tak tertahankan. Namun demikian, kedua matanya tetap terjaga. Kluk'"Buka matamu, Murni...!" Setiap kali ia merasa hampir pingsan, Murni berusaha untuk mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap bertahan. Ia harus tetap menunggu, menunggu Prawiro, yang menurutnya adalah satu-satunya orang yang bisa menjelaskqn semuanya, dan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Keheningan semakin meneka

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-29
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 66. Pocong Bapak

    Cluk! Cluk! "Murni...." Murni terkejut mendengar suara itu. "Bapak?" suaranya gemetar, setengah tidak percaya dengan yang ada di depan matanya saat ini. Pocong itu mengangguk perlahan. "Ya, anakku. Aku datang." Murni menggelengkan kepala, air matanya semakin deras. "Tapi... Bapak...." "Aku lelah, Pak. Aku ingin menyerah. Ini semua terlalu berat untukku," ucap Murni di sela isak tangisnya. Pocong itu mendekat dengan lompatan perlahan, lalu berhenti tepat di hadapannya. "Murni, dengarkan aku. Aku tahu rasa sakitmu, kehilanganmu, dan kehampaan yang kau rasakan. Tapi mati bukan jawaban. Kau punya tujuan besar di dunia ini, sesuatu yang harus kau perjuangkan. Jika kau menyerah sekarang, semuanya akan berakhir sia-sia." Murni menunduk, menggenggam tangannya yang gemetar. "Aku tidak tahu bagaimana caranya bertahan. Aku sudah melakukan segalanya, tapi sekarang... aku sendirian, Pak." Sosok pocong Raharjo yang kedua matanya menghitam, menatap Murni dengan mata yang dipenuhi kehangatan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 67. Tunduk

    "Apa? Siapa yang harus tunduk?" pikir Murni. Murni tertegun di tempatnya. Napasnya masih memburu, menyadari dirinya kini berada di tengah-tengah sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Matanya menatap bayangan-bayangan hitam itu Murni memandangi kejadian yang belum dapat ia mengerti itu dengan mulut ternganga. Bayangan-bayangan hitam yang tadi tampak mengerikan kini merunduk di bawah kaki pocong bapaknya, mereka merapatkan tubuh—patuh pada perintah Harjo. "Ada apa ini?" lirih Murni. Sosok-sosok hitam yang jumlahnya tak terkira itu seperti mencair, melebur ke tanah dengan gerakan yang seolah memohon pengampunan dari sosok yang Murni sebut sebagai 'Bapak'. Pocong Raharjo sedikit mengambang, ikatan kain bagian bawahnya tampak sedikit menyentuh tanah. Kain kafannya yang tampak kotor karena tanah berdesir perlahan, memancarkan aura ketenangan namun juga tampak mengerikan.Murni mencoba bangkit dari posisinya yang terduduk lemas. Seluruh tubuhnya seperti menolak perintahnya, te

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31

Bab terbaru

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 138. Terus Berlari

    “LARAS!” teriaknya putus asa.Laras meronta semakin kuat, tapi Rani hanya terkekeh pelan, kepalanya menunduk hingga hampir menyentuh wajah Laras. Suara tawa yang terdengar mengerikan, bercampur dengan hembusan angin dingin yang menusuk tulang. Laras menggelinjang di bawah cengkeraman makhluk itu, tubuhnya bergetar hebat. Damar, yang masih terguncang akibat hantaman tak terlihat tadi, merangkak dengan napas tersengal, matanya tak lepas dari Laras yang semakin tenggelam ke dalam tanah.Mulut Rani terbuka perlahan—terlalu lebar untuk ukuran manusia. Dari dalamnya, keluar kabut hitam pekat yang berputar-putar, menyelimuti wajah Laras. Napasnya terhenti, tubuhnya kaku, dan pikirannya mulai terasa berat, seolah ada sesuatu yang mencoba menarik kesadarannya pergi.Damar melihat itu semua dengan mata melebar ketakutan. Tidak, ia tidak akan membiarkan Rani mengambil Laras!"Lepaskan dia!" Damar menggeram, suaranya dipenuhi kemarahan dan ketakutan.Joni dan Rani hanya tertawa lebih keras, seola

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 137. Kembali ke Desa

    Damar membuka matanya perlahan. Udara di sekelilingnya terasa dingin dan lembap, menusuk sampai ke tulang. Kepalanya terasa begitu berat, seperti baru saja ditarik dari mimpi buruk yang sangat panjang. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami situasi.Namun, yang pertama kali tertangkap oleh matanya bukanlah langit-langit rumah Darto, melainkan sebuah atap tua yang reyot, penuh dengan sarang laba-laba. Damar menelan ludah, rasa cemas menjalari tubuhnya."Laras ...?" bisiknya serak.Di sebelahnya, Laras menggeliat pelan, lalu perlahan membuka mata. Begitu ia melihat sekeliling, napasnya tercekat."Damar ... k-kita ... di mana ini?" suaranya bergetar, kepalanya menoleh ke kana dan ke kiri, menyadari jika saat ini mereka berdua telah berpindah tempat.Damar buru-buru bangkit dan segera menarik tangan Laras untuk duduk. Mereka berdua kini benar-benar sadar sepenuhnya—mereka tidak lagi berada di rumah Darto.Mereka ada di depan rumah tua itu. Rumah yang seharusnya telah mereka tinggalk

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 136. Mereka Pergi

    Asap hitam terus berputar, membentuk sosok yang semakin jelas di tengah kobaran api. Wajahnya berubah-ubah—kadang seperti seorang wanita dengan mata kosong yang penuh kebencian, kadang menyerupai tengkorak yang menganga dengan senyum mengerikan.Laras mundur selangkah, napasnya memburu. Damar meremas bahunya erat, berusaha menahan ketakutan yang menjalari tubuhnya.Tiba-tiba, sosok itu membuka mulutnya, mengeluarkan suara yang bukan milik manusia."Panas!! Beraninya kalian membakarnya?"Suaranya menggaung, bergema di seluruh ruangan, membuat dada mereka terasa sesak.Giman mengatupkan rahangnya rapat. "Kita harus mengusirnya sebelum semuanya terlambat!"Darto dengan sigap meraih segenggam garam dari kantong kecil di pinggangnya, lalu melemparkannya ke arah bayangan itu. "Pergi! Kau tidak punya tempat di sini!"Cesss!Begitu garam mengenai asap hitam itu, suara mendesis terdengar. Sosok tersebut bergetar hebat, mengeluarkan jeritan melengking yang membuat telinga mereka berdenging.Nam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 135. Sosok Liar

    "Dan ada bekas cakaran di wajahnya?" sela Giman.Laras tersentak. Matanya melebar, menatap Giman dengan penuh keterkejutan. "Bagaimana Bapak tahu?" suaranya nyaris berbisik, bergetar oleh ketakutan yang semakin menusuk.Giman menelan ludah, sementara Warso dan Darto semakin tegang. Darto bahkan tanpa sadar meremas ujung sarung yang melilit pinggangnya, seolah mencari pegangan agar tetap berdiri tegak."Kalian benar-benar sudah celaka!" Suara Giman terdengar berat. "Karena kalau yang kalian temui itu memang Joko, berarti kalian tidak bertemu dengan manusia."Laras merasakan lututnya melemas. "Apa maksudnya, Pak?"Warso mendesah panjang, matanya menatap lurus ke arah Laras dan Damar. "Joko memang kepala desa Juwono ... dulu. Tapi dia sudah mati sejak lebih dari dua puluh tahun yang lalu."Damar menegang. "Tidak mungkin! Kami berbicara dengannya, bahkan dia menyambut kami, memberi kami makan!""Dia juga membiarkan kami meng

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 134. Salah Desa

    Laras menelan ludah, matanya masih terpaku pada kehampaan di belakang mereka. "Lalu ... siapa kalian?" Warso, pria paruh baya dengan sorot mata tajam, memandang Laras dan Damar dengan penuh selidik. Napasnya masih tersengal setelah perjuangan mereka keluar dari hutan terkutuk itu. Di sampingnya, Giman dan Darto juga tampak waspada, seolah masih khawatir akan sesuatu yang bisa saja mengikuti mereka keluar. "Kami yang seharusnya bertanya. Kalian ini siapa? Kenapa bisa sampai di tempat itu?" Warso akhirnya membuka suara. Rasa penasaran terpancar jelas dari wajahnya. Damar masih terduduk lemah di tanah. Dadanya masih terlihat naik turun, mencoba menenangkan napasnya. Bahunya yang terluka mulai membiru, tapi ia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkannya sekarang. Laras menatap Warso dengan ragu, sebelum akhirnya berbicara. "Kami ... tersesat, Pak. Kami tidak tahu kalau tempat itu berbahaya." Giman, pria bertubuh kurus dengan wajah cekung, menatap mereka dengan sorot mata penuh ke

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 133. Selamat

    Laras terengah-engah, tubuhnya nyaris tak sanggup berdiri setelah tarikan kasar dari Damar. Tenggorokannya kering, dan dadanya terasa sesak seakan udara di sekitar mereka semakin menipis. Tapi yang lebih menyesakkan adalah tatapan Rani—tatapan penuh keputusasaan yang masih tertinggal di benaknya. "Laras! Bangun! Kita harus lari!" Damar berusaha menariknya berdiri, tapi kaki Laras seperti kehilangan tenaga. "Damar ... tolong. Aku udah nggak kuat." Laras menatap nanae kw arah Damar. "Ras! Fokus!" Damar mengguncang tubuhnya, suaranya penuh putus asa. "Kalau kita berhenti sekarang, kita akan mati!" Laras menarik napas dalam-dalam. Ia memaksa dirinya untuk kembali ke kenyataan, menepis rasa bimbang yang menggerogoti hatinya. Matanya bertemu dengan mata Damar—sarat dengan ketakutan dan kepanikan, tapi juga keyakinan. Damar percaya mereka bisa keluar dari sini. Mereka harus bisa. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Laras bangkit. Tangannya masih gemetar, tapi ia menggenggam erat tangan

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 132. Tercengang

    "Aaaa...!" Laras menjerit, tubuhnya terhuyung ke belakang hingga hampir jatuh. Damar mematung, tubuhnya membeku seperti batu. Tenggorokannya terasa kering, napasnya pendek-pendek, dan dadanya berdebar kencang. Itu… mereka. Tubuh mereka sendiri."Tidak! Ini pasti mimpi!" Laras mengguncang kepalanya dengan putus asa. Matanya menatap nanar ke arah mayat yang terduduk di dalam mobil. Itu—adalah wajahnya sendiri, matanya sendiri—tetapi kosong. Mati.Damar mundur selangkah, lalu dua langkah, tangannya terangkat gemetar. "Ini... ini tidak masuk akal," bisiknya.Wanita tua itu masih berdiri di tempatnya, menatap mereka dengan sorot mata iba bercampur ngeri. "Aku sudah bilang... tidak ada yang bisa keluar dari desa itu tanpa meninggalkan sesuatu di dalamnya."Laras menatap wanita itu dengan mata berkaca-kaca, menggeleng keras. "Tapi... tapi kami ada di sini! Kami masih hidup!"Wanita tua itu menghela napas panjang, lalu perlahan berjalan mendekat. Suaranya melembut, tetapi tetap terdengar sep

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 131. Kematian

    "Selamat tinggal, Rani."Laras jatuh berlutut di tanah yang masih dingin oleh embun pagi. Isak tangisnya pecah, dadanya bergemuruh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Kedua tangannya mencengkeram rumput liar di sekitarnya, seakan ingin meraih sesuatu yang telah hilang.Joko dan Damar saling berpandangan, napas mereka masih tersengal setelah berlari menembus gelapnya hutan. Damar sendiri tahu betul bahwa mereka telah kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali.Joni dan Rani. Mereka terjebak di desa terkutuk itu dan tak bisa lagi diselamatkan.Laras menggeleng keras, menolak kenyataan yang baru saja terjadi. "Tidak... mereka masih bisa kita bawa pulang... 'kan?" Joko mengalihkan pandangannya, rahangnya mengatup rapat. "Sudah terlambat." gumamnya.Damar menggenggam bahu Laras, mencoba menenangkannya meski dirinya sendiri masih dikejar rasa takut. "Kita harus pergi. Hutan itu... desa itu... tempat ini bukan untuk kita."Laras menoleh, matanya yang basah penuh amarah. "Jadi kita a

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 130. Selamat Tinggal

    Joko memejamkan mata, rahangnya mengatup rapat. Napasnya tertahan di tenggorokan.Bodoh!Ia sudah memperingatkan mereka untuk tidak bersuara, tapi Laras justru berteriak. Itu adalah kesalahan besar.Angin malam bertiup lebih kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. Seperti bau bangkai yang telah membusuk selama berhari-hari.Damar merasakan tengkuknya meremang. Ia melangkah mundur dengan hati-hati, tetapi sesuatu dalam tatapan Rani membuatnya sulit berpaling."Bukan Rani. Itu bukan Rani," ucap Damar di dalam hatinya. Sosok di hadapan mereka berdiri kaku, tubuhnya sedikit membungkuk dengan tangan tergantung lemas di sisi tubuhnya. Bibirnya pecah-pecah, dan dari sudut bibirnya menetes cairan hitam yang berbau busuk. Matanya… kosong. Sepasang bola mata itu hitam legam, tak ada putihnya sama sekali.“Larasss… Kenapa… lari? Ini aku.”Suara Rani bergetar, seperti ada sesuatu yang bergema di dalamnya. Seperti bukan hanya satu suara, tapi banyak suara yang bertumpuk menjadi satu.La

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status