Langit malam mendadak terasa lebih kelam. Angin yang tadinya hanya berhembus pelan kini berubah menjadi badai kecil, menggoyangkan pepohonan di sekitar makam. Cahaya biru yang sebelumnya hanya melingkupi makam tua kini membesar, membentuk jaring-jaring cahaya yang memancar ke segala arah. Murni memegangi tangan Prawiro dengan erat, tubuhnya bergetar ketakutan sekaligus takjub melihat kejadian yang tak masuk akal itu. Gundukan tanah di sekitar mereka kini mulai retak, dan dari dalamnya, asap tipis keluar, mengeluarkan aroma tanah basah bercampur sesuatu yang terasa begitu asing. "Pak Prawiro... ini apa?" bisik Murni, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh angin. "Prana telah bangkit, Murni!" jawab Prawiro dengan tegas. "Mereka tidak akan membiarkan Sangkalana membeiarka Sangkalana begitu saja." Tiba-tiba, dari setiap gundukan tanah, muncul sosok-sosok samar. Wajah-wajah mereka tidak jelas, hanya berupa bayangan hitam yang diselimutinkabut berwarna biru. Namun, dari tatapan koso
Hari demi hari berlalu, Murni menjalani pergulatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kekuatan Prana yang menyatu dalam dirinya terus menggerogoti seluruh tubuh dan pikirannya. Rasa sakit yang tak terlukiskan muncul setiap kali ia mencoba menggunakan energi itu. Tubuhnya terasa seperti terbakar dari dalam, sementara pikirannya seolah-olah dirasuki ribuan suara yang berbisik tanpa henti.Hutan terasing yang ia tempati kini terasa seperti dunia lain. Udara dingin menusuk tulang, namun keheningan yang menyelimuti malam itu justru menambah berat suasana. Prawiro memimpin Murni ke tengah hutan yang paling dalam, langkah-langkah mereka perlahan di atas dedaunan kering yang berderak di bawah kaki. Tidak ada bintang di langit malam itu, hanya pekat yang menyelimuti, seolah menyembunyikan rahasia yang paling gelap. Prawiro, yang selalu berada di sisinya, mengamati dengan cemas. Ia tahu bahwa Murni membutuhkan bantuan untuk mengendalikan Prana sebelum kekuatan itu menghabisinya. Dengan
Malam berikutnya tiba dengan suasana yang lebih mencekam. Hutan itu, yang sebelumnya hanya menyimpan ketenangan yang janggal, kini terasa hidup dengan energi yang tak terlihat. Pepohonan seakan bergerak meskipun tidak ada angin, dan suara gemerisik daun terdengar seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari balik kegelapan. Bayangan gelap melintas di sudut mata Murni, meski ketika ia menoleh, tidak ada apa-apa kecuali kehampaan yang menyeramkan.Murni tidak gentar. Ia tahu malam ini adalah langkah besar dalam perjalanan yang telah ia mulai. Rasa takutnya telah digantikan oleh tekad yang membaja, meskipun ia sadar risiko yang menantinya sangat besar."Murni, untuk malam ini, apa yang akan kamu terima jauh lebih besar. Apa kamu sudah siap untuk itu?" tanya Prawiro dengan suara berat, seraya menatap Murni lekat-lekat. Tatapan itu tidak hanya meminta jawaban, tetapi juga meyakinkan dirinya sendiri bahwa Murni cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan datang."Kapan pun, Pak. Aku sud
Prawiro, yang sedari tadi berdiri di tepi kolam, terus mengawasi Murni dengan cermat. Tatapannya tidak pernah beralih, penuh perhatian namun juga dihantui kekhawatiran yang mendalam. Sebagai seorang penjaga rahasia kolam itu selama bertahun-tahun, ia memahami bahwa tempat ini bukanlah sekadar tempat biasa. Kolam tersebut adalah gerbang menuju sesuatu yang lebih besar, lebih tua, dan lebih suci dari apa pun yang bisa dipahami manusia. Namun, ia juga tahu bahwa kolam itu tidak memaafkan. Banyak yang telah mencoba masuk sebelumnya—mereka yang sombong, tamak, atau bahkan sekadar penasaran. Mereka semua berakhir sama: jiwa mereka hancur, tubuh mereka menjadi kosong, tidak lebih dari cangkang yang tak bernyawa. Hanya mereka yang membawa niat tulus, tanpa beban dendam atau ambisi pribadi, yang bisa bertahan. Murni adalah harapan terakhirnya, tetapi meski ia percaya pada gadis itu, keraguan kecil tetap menyelinap di hatinya. Prawiro melantunkan mant
Malam semakin larut. Suara jangkrik dan gemerisik dedaunan menjadi satu-satunya melodi yang mengiringi perjalanan Murni dan Prawiro menuju makam tua tempat mereka beristirahat. Angin dingin menyapu kulit, membawa serta aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih tua dan lebih pekat. Seolah-olah udara itu sendiri menyimpan rahasia yang tak terungkapkan. Murni duduk bersandar di sebuah nisan batu yang sudah tua, sementara Prawiro tetap berdiri, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Wajahnya tampak lelah, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Murni merasa tidak nyaman—seperti ada beban berat yang sedang ia simpan. “Besok malam,” kata Prawiro akhirnya, memecah keheningan. Suaranya terdengar berat, hampir seperti gumaman, tetapi cukup untuk menarik perhatian Murni. “Ada satu ritual lagi yang harus kau lakukan, Nduk. Ritual terakhir.” Murni menatapnya, napasnya tertahan. Tubuhnya masih terasa lemah setelah a
Murni duduk termenung di tengah makam yang kini terasa semakin sunyi, seolah dunia sekitarnya telah menghilang. Api kecil yang pada malam itu sempat menyala dengan terang kini hanya tinggal sisa-sisa abu yang hangus. Bayangan-bayangan yang mengelilinginya telah lenyap, tetapi suara-suara itu masih bergema di dalam kepalanya, seperti bisikan yang tak henti-hentinya mengisi ruang kosong di hatinya. Prawiro belum juga datang. Sehari semalam telah berlalu, namun lelaki tua itu tidak sama sekali menampakkan batang hidungnya. Murni merasakan lelah yang luar biasa, tubuhnya begitu lemah dan juga lapar yang tak tertahankan. Namun demikian, kedua matanya tetap terjaga. Kluk'"Buka matamu, Murni...!" Setiap kali ia merasa hampir pingsan, Murni berusaha untuk mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap bertahan. Ia harus tetap menunggu, menunggu Prawiro, yang menurutnya adalah satu-satunya orang yang bisa menjelaskqn semuanya, dan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Keheningan semakin meneka
Cluk! Cluk! "Murni...." Murni terkejut mendengar suara itu. "Bapak?" suaranya gemetar, setengah tidak percaya dengan yang ada di depan matanya saat ini. Pocong itu mengangguk perlahan. "Ya, anakku. Aku datang." Murni menggelengkan kepala, air matanya semakin deras. "Tapi... Bapak...." "Aku lelah, Pak. Aku ingin menyerah. Ini semua terlalu berat untukku," ucap Murni di sela isak tangisnya. Pocong itu mendekat dengan lompatan perlahan, lalu berhenti tepat di hadapannya. "Murni, dengarkan aku. Aku tahu rasa sakitmu, kehilanganmu, dan kehampaan yang kau rasakan. Tapi mati bukan jawaban. Kau punya tujuan besar di dunia ini, sesuatu yang harus kau perjuangkan. Jika kau menyerah sekarang, semuanya akan berakhir sia-sia." Murni menunduk, menggenggam tangannya yang gemetar. "Aku tidak tahu bagaimana caranya bertahan. Aku sudah melakukan segalanya, tapi sekarang... aku sendirian, Pak." Sosok pocong Raharjo yang kedua matanya menghitam, menatap Murni dengan mata yang dipenuhi kehangatan.
"Apa? Siapa yang harus tunduk?" pikir Murni. Murni tertegun di tempatnya. Napasnya masih memburu, menyadari dirinya kini berada di tengah-tengah sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Matanya menatap bayangan-bayangan hitam itu Murni memandangi kejadian yang belum dapat ia mengerti itu dengan mulut ternganga. Bayangan-bayangan hitam yang tadi tampak mengerikan kini merunduk di bawah kaki pocong bapaknya, mereka merapatkan tubuh—patuh pada perintah Harjo. "Ada apa ini?" lirih Murni. Sosok-sosok hitam yang jumlahnya tak terkira itu seperti mencair, melebur ke tanah dengan gerakan yang seolah memohon pengampunan dari sosok yang Murni sebut sebagai 'Bapak'. Pocong Raharjo sedikit mengambang, ikatan kain bagian bawahnya tampak sedikit menyentuh tanah. Kain kafannya yang tampak kotor karena tanah berdesir perlahan, memancarkan aura ketenangan namun juga tampak mengerikan.Murni mencoba bangkit dari posisinya yang terduduk lemas. Seluruh tubuhnya seperti menolak perintahnya, te
Lima tahun telah berlalu sejak mereka berhasil mengalahkan Lindung Sukma dan mengembalikan kedamaian di Desa Juwono. Desa itu kini berubah menjadi tempat yang lebih sejahtera dan harmonis. Sawah-sawah yang dulunya terbengkalai kini menghijau, sungai yang sebelumnya keruh mengalir jernih, dan udara yang dulu dipenuhi ketakutan kini beraroma segar dan penuh harapan.Murni, yang telah menyembuhkan banyak luka batin akibat masa lalu kelam desa itu, kini menjalani hidup yang lebih tenang. Ia sudah mulai menemukan kedamaian dalam dirinya. Kehidupan baru yang lebih cerah juga hadir dalam bentuk Joko, seorang pria muda yang telah mencuri perhatian Murni sejak beberapa tahun lalu. Joko adalah seorang petani muda yang bekerja keras, namun juga memiliki hati yang baik. Ia tidak pernah ragu untuk membantu orang lain, dan senyumnya selalu memberikan rasa damai bagi siapa saja yang melihatnya.Murni, yang tadinya lebih tertutup dan melawan rasa sakit yang datang dari dalam, mulai merasa nyaman bera
Kabut hitam semakin pekat, seolah mencengkeram seluruh dunia mereka. Pusaran kekuatan Lindung Sukma semakin kuat, menarik mereka lebih dekat ke dalam kegelapan yang mengancam. Tanah di bawah kaki mereka bergetar hebat, dan suara gemuruh yang datang dari dalam makam semakin menakutkan, seakan dunia ini akan runtuh.“Kita harus segera menghadapinya!” teriak Kyai Hasan, suaranya penuh tekad.“Apa yang harus kita lakukan?” Murni berteriak, tubuhnya mulai terasa lelah dan nyaris tak bisa bergerak. Tangan bayangan yang terus menerjangnya membuatnya semakin merasa terhimpit.“Kita harus menghancurkan inti kekuatannya, sumber dari kebencian dan kerusakan ini!” Kyai Hasan berlari ke arah batu nisan besar yang terletak di tengah lingkaran sulur hitam. Ia memegang kerisnya dengan erat, menatap Aji dan Murni yang masih bertahan melawan bayangan.“Tolong bantu aku!” Kyai Hasan memanggil mereka.Aji dan Murni segera menyusul Kyai Hasan, berlari melewati tanah yang terpecah-pecah dan tangan bayangan
Kabut semakin tebal saat mereka melangkah menuju makam tua yang disebut Kyai Hasan. Hutan itu terasa seperti labirin yang hidup, dengan suara-suara aneh yang terdengar dari segala arah. Pohon-pohon besar melengkung seperti sosok yang mengintai, dan udara dingin mencubit kulit mereka.“Kyai, apa yang sebenarnya ada di makam itu?” tanya Aji, mencoba memecah kesunyian yang menyesakkan.“Lindung Sukma adalah roh penjaga yang diciptakan untuk melindungi tanah ini di masa lalu,” jelas Kyai Hasan. “Namun, ketika keserakahan manusia menghancurkan keseimbangan alam, roh itu berubah menjadi kekuatan gelap. Sekarang, ia menjadi sumber dari semua kutukan ini.”“Apa mungkin kita bisa mengalahkan sesuatu yang sekuat itu?” tanya Murni ragu.“Kita harus mencobanya,” jawab Kyai Hasan tegas. “Kita tidak punya pilihan lain.”Setelah berjalan beberapa jam, mereka tiba di depan sebuah gerbang batu yang besar dan berlumut. Gerbang itu dihiasi dengan ukiran simbol-simbol aneh, mirip dengan yang mereka lihat
Murni dan Aji terus melangkah, meninggalkan rumah yang penuh tipuan itu. Mereka tahu perjuangan belum selesai. Desa Juwono masih dipenuhi misteri yang membelit, dan setiap sudutnya mengintai bahaya tak terduga.Kabut semakin pekat, membuat pandangan mereka terbatas. Langkah-langkah kecil terasa berat karena tanah berlumpur yang seakan menahan kaki mereka. Namun, tekad untuk menghentikan kutukan yang melanda desa terus memacu keberanian mereka.Saat mereka menyusuri jalan setapak yang sepi, terdengar suara-suara bisikan aneh dari arah pepohonan. Murni dan Aji berhenti, menatap sekitar dengan waspada. Pohon-pohon besar yang menjulang tampak seperti sosok hidup, ranting-rantingnya melambai-lambai seolah ingin menangkap mereka.“Jangan menoleh ke belakang, Ji,” bisik Murni.Aji mengangguk, tetapi tubuhnya gemetar. Ia bisa merasakan sesuatu mengikuti mereka, namun ia berusaha fokus pada langkah di depannya. Tiba-tiba, angin dingin bertiup kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. D
Murni dan Aji terus melangkah tanpa arah yang jelas, menyusuri jalan setapak yang penuh duri dan akar-akar pohon menjulur. Hutan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang remang-remang. Udara malam begitu dingin, seakan membekukan harapan yang tersisa. Tapi, di tengah keheningan itu, tekad untuk kembali ke desa mereka terus memupuk keberanian dalam hati.Setelah berjalan selama berjam-jam, mereka tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Pondok itu tampak tua dan nyaris roboh, tapi pintunya sedikit terbuka, mengisyaratkan kehadiran seseorang di dalamnya. Murni ragu sejenak, tapi kemudian mengetuk pintu dengan hati-hati.“Siapa di luar sana?” Suara tua dan serak terdengar dari dalam.“Kami… kami hanya butuh tempat untuk beristirahat,” jawab Murni dengan suara gemetar.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria tua berambut putih kusut dengan jubah panjang yang tampak usang. Sorot matanya tajam, tapi ada kehangatan yang tersembunyi di balik kerut wajahnya. Ia memandang Mu
Murni menarik Aji keluar dari kamar melalui pintu belakang, seperti yang diperintahkan Raharjo. Langkah mereka tergesa-gesa, namun bayangan dingin yang mengikuti di belakang mereka semakin menambah beban di dada. Setiap langkah terasa berat, udara malam yang dingin menusuk tulang, dan suara-suara samar di kejauhan mengiringi mereka, seperti bisikan yang tak dapat dimengerti.Aji meremas tangan kakaknya dengan kuat, takut kehilangan pegangan. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya sedikit gemetar. “Mbak, sebenarnya siapa yang benar, dan siapa yang salah? Siapa yang teman dan siapa yang lawan?"Murni menoleh sejenak ke arah adiknya, namun pandangannya tertuju ke bayangan biru samar di kejauhan. Prana masih ada di sana, seperti melayang-layang, menjaga jarak namun tetap mengikuti mereka dengan langkah perlahan. Bayangan itu seperti pilar harapan yang menjulang di tengah kegelapan, meskipun aura misteriusnya tidak sepenuhnya membawa rasa aman."Sama sepertimu, Mbak juga masih bertanya-tanya, Ji.
Murni menarik Aji ke belakang, tubuhnya gemetar hebat. Sosok di ambang pintu tetap diam, hanya menatap mereka dengan mata merah menyala. Suara napasnya terdengar berat, bergema di dalam rumah kosong itu. “Aji, jangan lihat ke arahnya!” bisik Murni, berusaha menyembunyikan ketakutannya. Ia melangkah mundur, perlahan menjauh dari pintu. Sebaliknya, Aji tak bisa mengalihkan pandangannya, seolah terhipnotis oleh tatapan makhluk itu. “Keluar…” Suara serak menggema dari sosok itu, pelan namun penuh ancaman. Kata itu seperti memerintah, memaksa, mengikat mereka dalam ketakutan. Murni menggeleng cepat. “Kita tidak boleh keluar! Pak Prawiro bilang jangan keluar!” Ia memeluk Aji erat, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya sendiri gemetar tanpa henti. Sosok itu melangkah maju, kain kafannya berderak pelan seiring gerakannya. Setiap langkahnya membuat udara di dalam ruangan semakin dingin. Kabut tipis mulai merembes masuk melalui celah-celah dinding, membawa bau anyir yang membuat Murni mua
Murni dan Aji mengikuti Prawiro dengan langkah ragu, menembus hutan yang semakin gelap dan sunyi. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kaki mereka mencoba menahan perjalanan mereka. Namun, tatapan tegas Prawiro memberikan rasa aman meski hanya sedikit. Obor kecil di tangannya menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah kegelapan malam. "Apa desa itu benar-benar aman, Pak?" tanya Murni, suaranya pelan namun penuh kekhawatiran. "Selama kalian berada di bawah perlindunganku, kalian akan aman," jawab Prawiro tanpa menoleh. Suaranya tegas, namun ada nada ketegangan yang sulit disembunyikan. Aji, yang berjalan di samping Murni, menarik-narik lengan kakaknya. "Mbak, kenapa kita nggak langsung pulang saja? Kenapa harus ke desa itu?" Murni menunduk, mencoba memberikan senyum yang menenangkan kepada adiknya. "Percaya sama Mbak, Ji. Kita akan baik-baik saja." Namun, jawaban itu tidak cukup menenangkan Aji. Ia merasakan sesuatu yang aneh sejak pria tua itu muncul, meski i
Di tengah malam yang sunyi, di rumah kecil Raharjo tempat Murni dan Aji tinggal, suara aneh mulai terdengar dari luar. Angin berhembus kencang, menciptakan suara desis seperti bisikan yang menyeramkan. Di dalam rumah, Murni memeluk Aji yang tertidur di pangkuannya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak tahu pasti apa itu. Tiba-tiba, lampu di rumahnya berkedip-kedip sebelum padam sepenuhnya. Suasana menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar masuk melalui jendela. Dari luar, suara langkah berat terdengar, seolah ada sesuatu yang besar mendekat. Murni merasa napasnya tertahan, tubuhnya gemetar. Ia mencoba membangunkan Aji. Pintu rumah berderit pelan, lalu terbuka dengan sendirinya. Di ambang pintu, sosok itu muncul—Danyang. Tinggi, menyeramkan, dan mengeluarkan aura kegelapan yang begitu pekat. Matanya bersinar merah menyala, sementara tubuhnya diselimuti kabut hitam yang terus bergerak seperti hidup. Murni mundur, memeluk Aji erat-erat. "