Home / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 28 : Seruan Persatuan

Share

Bab 28 : Seruan Persatuan

Author: Adil Perwira
last update Last Updated: 2024-10-29 17:13:11

“Menitis kembali setelah lima puluh tahun?” Prabu Surya Buana tak habis pikir mendengar ucapan Naga Langit tentang Iblis Hitam karena sangat terkejut. “Bagaimana hal itu bisa terjadi, wahai Eyang Naga?”

“Tidak ada yang tidak mungkin, Nanda Prabu,” jawab Naga Langit. “Bukankah Iblis juga merupakan makhluk ciptaan Tuhan, sama seperti kita semua? Tuhan Maha Kuasa untuk memperbuat apa pun terhadap makhluk-Nya. Meski Iblis itu jahat, tapi di sisi lain, sebagai ciptaan Tuhan dia juga memiliki hak untuk memohon sesuatu kepada Tuhan, sebagaimana siapa pun orang boleh meminta kepada Tuhan.”

“Iya, benar sekali apa yang Eyang Naga katakan,” angguk prabu Surya Buana bisa mengerti. “Iblis juga punya hak untuk mengajukan sebuah permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Tuhan tentu menghendaki ini pula sebagai cobaan bagi kita semua agar kita kuat menghadapinya.”

Naga Langit lalu menyampaikan kata-kata penuh hikmah kepada semua orang yang hadir di tempat itu. “Sesungguhnya Tuhan tidak menciptakan kegelapan
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 29 : Tangisan Para Murid di Kamar Sang Guru

    Di waktu pagi saat ayam jantan berkokok dan kicauan burung-burung menyambut sinar matahari di langit timur, Sapardi, juru masak yang biasa bekerja di dapur, berjalan tergesa-gesa menuju kamar Giandra.“Kakang Giandra Lesmana! Cepat keluar, Kakang!” ujarnya dengan sangat mendesak.Giandra ternyata baru saja selesai mandi, dia pun segera buru-buru mengenakan pakaian, kemudian langsung membukakan pintu. Sapardi berdiri di hadapannya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.“Ada apa, Sapardi?” tanya Giandra keheranan.Dengan jantung yang masih berdegup kencang Sapardi memberitahu, “Guru besar telah meninggal. Ada yang membunuh beliau di kamar tidurnya.”“Apa! Bagaimana mungkin!” Giandra merasa tidak percaya akan hal itu.“Kakang lihat saja sendiri ke kamar beliau,” kata Sapardi. Linangan air mata mengalir membasahi kedua pipinya yang gemuk.Tanpa pikir panjang, Giandra segera berlari

    Last Updated : 2024-10-29
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 30 : Api Kemarahan Giandra

    Semua murid hanya terdiam setelah mendengar ucapan Raditiya. Apa yang dia ucapkan itu terdengar seperti sedang menduga-duga siapa pelaku di balik pembunuhan ini.Sambil menggenggam pisau tadi di tangannya, Raditiya menatap pada semua murid yang hadir, “Jika benar kalau yang membunuh guru besar kita adalah Gerombolan Nogo Ireng, pasti orangnya adalah Panglima Sanca, ketua para perampok itu!”“Panglima Sanca? Gerombolan Nogo Ireng?” Kamajaya mengerutkan dahinya.Padmarini pun lalu berkata, “Kita semua tahu kalau guru adalah pendekar yang tangguh, mana mungkin bisa dibunuh dengan begitu mudah di kamarnya sendiri. Bahkan malam tadi benar-benar sunyi, tidak ada suara keributan apa pun yang terdengar, bagaimana si pembunuh bisa masuk ke padepokan kita?”“Pasti Panglima Sanca telah menggunakan ilmu sirep, suatu jenis sihir yang memakai mantra tertentu untuk membuat kita semua jadi tertidur pulas,” ujar Raditiya memandang pada Padmarini.“Ilmu sirep? Aku baru mendengar kalau ada sihir seperti

    Last Updated : 2024-10-30
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 31 : Sambutan Yang Tidak Ramah

    Di balik Bukit Sarang Merpati ada sebuah lembah yang ditanami berbagai jenis tumbuh-tumbuhan obat. Di sinilah tempat berdirinya perguruan Teratai Jingga, salah satu perguruan silat yang cukup disegani dan memiliki nama yang tersohor.Janaloka sekarang berdiri di hadapan pintu gerbang perguruan tersebut. Dia datang dengan membawa sebuah pesan dari Ki Nawasena, yaitu ajakan persatuan kepada seluruh pendekar aliran putih untuk melawan huru-hara di dunia persilatan.Empat orang murid yang menjaga pintu gerbang lalu menghampiri Janaloka. Salah satu dari mereka bertanya, “Siapa kau, Orang Tua? Ada urusan apa datang kemari?”Murid perguruan itu bertanya dengan nada kasar, tapi Janaloka menjawabnya dengan tenang, “Namaku Janaloka. Aku adalah teman dari mendiang guru besar kalian, Nyai Maheswari. Aku datang hendak bertemu penerus perguruan ini. Ada hal penting yang mesti aku sampaikan.”Murid itu bertanya lagi, “Darimana kautahu bahwa

    Last Updated : 2024-10-30
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 32 : Cupik Emas

    Alindra pagi itu sedang sibuk menyirami tanaman obat, dia dibuat terkejut karena mendengar suara keribuatan yang bersumber dari arah pintu gerbang. Abirama lalu muncul dan berjalan menghampirinya, tampaknya sang kakak itu juga mendengar suara yang sama.“Sepertinya sesuatu telah terjadi di depan sana,” kata Abirama kepada Alindra.“Ayo kita coba lihat ke sana, Kakang” ajak Alindra, dia lalu meletakkan di tanah gayung yang tadi dipakainya untuk menyirami tanaman.Mereka berdua segera bergegas mendatangi sumber keributan itu. Hanya baru beberapa langkah keduanya berjalan, tiba-tiba Janaloka pun muncul di hadapan mereka. Alindra dan Abirama merasa asing dengan tamu yang datang ini.Janaloka menjura hormat kepada keduanya. Sambil tersenyum, dia pun berkata, “Maafkanlah aku yang sudah membuat keributan di tempat ini. Aku terpaksa memberi sedikit pelajaran pada empat murid yang tadi menghalangiku. Perkenalkan, namaku Janaloka, aku

    Last Updated : 2024-10-30
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 33 : Seseorang di Balik Argani

    Janaloka mengusap jengkot putihnya yang panjang. Dia berkata, “Kalau begitu, ini memang sudah saatnya akan terjadi peperangan besar antara kebaikan melawan kejahatan. Tugas kita adalah mempersiapkan diri. Cepat atau lambat, musuh pasti akan menyerang kita semua.”“Mungkin itu saja pesan yang bisa kusampaikan dari gusti prabu kepada kalian,” ujar Senopati Taraka kepada Abirama dan juga Alindra, ini sebagai tanda kalau dia masih harus mendatangi perguruan yang lain. “Jika kalian sudah punya waktu luang, aku harap segera menghadap ke istana dan menemui gusti Prabu Surya Buana.”Janaloka bertanya, “Setelah ini Tuan Senopati akan pergi kemana?”“Mungkin aku akan ke padepokan Lenggo Geni di seberang Sungai Pinang Muda. Aku hendak menemui Datuk Ancala Raya untuk menyampaikan pesan yang serupa kepadanya,” jawab Senopati Taraka. “Datuk Ancala Raya? Apakah pendekar sepuh itu masih hidup hingga hari ini?” Janaloka mengernyitkan kulit dahinya.“Iya, beliau masih hidup sampai sekarang walau umurn

    Last Updated : 2024-10-31
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 34 : Tiga Sumpah Yang Tak Boleh Dillanggar

    Dalam sebuah desa di seberang Sungai Pinang Muda, Patrioda tengah melatih anak-anak murid padepokan Lenggo Geni. Ada empat puluhan orang yang sedang berlatih siang itu, sebagiannya lagi sedang beristirahat, dan sisanya yang ain menjalankan tugas menjaga gerbang padepokan.Patrioda berjalan di antara para murid, membimbing mereka dalam melakukan sikap kuda-kuda, membetulkan posisi tangan dan juga posisi mereka berdiri. Dia menguji kekokohan kuda-kuda setiap anak didiknya dengan menendang kaki mereka satu persatu.Di bawah terik mentari yang membakar kulit, murid-murid padepokan Lenggo Geni tetap semangat dan tidak manja. Mereka sadar kalau sebentar lagi akan ada perang besar antara aliran putih dan aliran hitam, sebab berita munculnya Persaudaraan Iblis telah sampai ke telinga Datuk Ancala, maka sedari sekaranglah padepokan Lenggo Geni membuat persiapan.Datuk Ancala Raya berdiri di depan pintu rumahnya. Dia mengenakan baju warna merah hati dan ikat kepala berwarna coklat. Pendekar sep

    Last Updated : 2024-11-01
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 35 : Kegaduhan di Padepokan Lenggo Geni

    Celeng Ireng mengamuk seganas-ganasnya di area depan padepokan Lenggo Geni. Siluman berkepala babi itu membantai para murid tanpa belas kasihan. Siapa pun yang berani maju, langsung akan dia bunuh dengan tombak trisula miliknya yang bermata runcing.Di antara para murid ada yang coba melarikan diri, tapi Celeng Ireng bergerak sangat cepat, dengan sekali lompatan saja tubuhnya mampu melayang, dia lalu menendang satu persatu kepala setiap murid yang hendak kabur itu.Enam belas orang yang murid yang siap bertempur kemudian muncul dengan membawa golok, mereka berusaha menahan Celeng Ireng dengan berkeliling membentuk lingkaran. Inilah formasi yang dinamakan Lingkaran Naga Melilit Gunung.Bagi Celeng Ireng sangat mudah menghancurkan kepungan tersebut, diayunkannyalah tongkat trisula dengan kedua tangan seraya memutar badan, lalu deburan angin pun muncul dan membuat semua murid itu terpelanting.Empat puluh orang murid yang lain datang lagi dengan membawa senjata bambu runcing. Mereka hend

    Last Updated : 2024-11-01
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 36 : Jurus Moncong Naga Menyambar Danau

    Semua anak murid bergerak menepi dan tidak lagi ikut campur. Ini adalah waktunya bagi guru besar mereka dan si kakak senior untuk menampilkan kebolehan bermain silat. Pertarungan dua lawan dua sebentar lagi akan dimulai, yaitu antara Datuk Ancala Raya dan Patrioda menghadapi dua pendekar dari Persaudaraan Iblis.Datuk Ancala Raya membuka gaya dengan gerakan bunga dan langkah silat khas dari aliran Lenggo Geni. Sementara di seberangnya, Jimbalang Loreng bersiap bagai seekor macan yang sedang mengawasi mangsa.Dalam waktu sejenak keduanya saling melempar tatapan, berbagi ketajaman sorot mata, seolah berusaha saling membaca dan menilai tingkat ketangguhan satu sama lain.Jimbalang Loreng pun mengawali serangan. Dia melompat ke depan, tangan kirinya terulur hendak mencengkram ke leher lawan. Jari-jarinya itu berhasil menyambar tepat sasaran dan mencekik kuat Datuk Ancala Raya. Inilah jurus Cakar Besi, teknik yang kerap dia gunakan untuk memutus aliran nafas lawannya. Tapi Datuk Ancala Ra

    Last Updated : 2024-11-01

Latest chapter

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 113 : Diam-diam Menguping

    Setelah selesai mengobati Prabu Surya Buana di kamarnya, Giandra dan Tubagus Dharmasuri segera dibawa lagi oleh Senopati Wibisana untuk menemui Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka yang juga sedang demam akibat keracunan.Dua orang yang sakit itu berada di sebuah ruangan khusus dalam lingkungan istana. Mereka tengah berbaring ditemani oleh Abirama dan juga Alindra.Senopati Wibisana mengetuk pintu dari luar. Alindra pun berdiri dan membukakannya.“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Senopati Wibisana.Alindra hanya menggeleng. “Kami sudah memberikan mereka berdua ramuan obat, tapi nampaknya tidak mempan. Aku dan kakang Abirama bahkan tidak tahu jenis racun apa yang digunakan oleh Manik Maya.”Senopati Wibisana lalu melangkah masuk ke dalam ruangan, begitu pula Tubagus Dharmasuri dan Giandra, keduanya mengikutnya di belakang.Mpu Bhiantar kelihatan menggigil seperti orang yang sangat kedinginan. Nafasnya terdengar sesak. Seme

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 112 : Mengobati Sang Prabu

    Giandra dan Tubagus Dharmasuri akhirnya tiba juga di Istana Jayakastara saat hari sudah malam. Baru sebentar mereka melewati para pengawal di depan gerbang dan masuk ke halaman, tiba-tiba Senopati Wibisana langsung muncul menghampiri keduanya.Senopati Wibisana kelihatan kalang kabut. Dia berjalan sangat cepat, membuat Tubagus Dharmasuri jadi curiga kalau telah terjadi sesuatu.“Untunglah Gusti Patih telah kembali. Kita sedang ada masalah di Istana!”Tubagus Dharmasuri memberi isyarat dengan telapak tangan agar Senopati Wibisana tenang dan jangan seperti orang kebangkaran jenggot begitu.“Memangnya ada masalah apa? Bicaralah pelan-pelan.”“Ada orang jahat yang menaruh racun ke dalam tempayan. Gusti Prabu Surya Buana, Senopati Taraka, dan Mpu Bhiantar langsung tiba-tiba mengalami demam parah setelah minum kopi beberapa saat yang lalu.”Tubagus Dharmasuri memandang ke Giandra. “Sepertinya kita terlamba

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 111 : Terciduk di Dapur

    Matahari hampir terbenam di kaki cakrawala. Langit senja sudah semakin pucat. Sebentar lagi hari akan beranjak menuju malam. Dua orang pengawal yang tegak di depan gerbang istana tiba-tiba didatangi oleh laki-laki dan wanita yang mengendarai kereta kuda, mereka tampak membawa peti-peti berukuran besar.Manik Maya kala itu tengah menyamar dengan berpenampilan seperti seorang saudagar kaya raya, sedangkan Bayu merahasiakan tampangnya dengan menutup kepala menggunakan kain hitam.“Berhenti! Siapa kalian berdua? ada urusan apa datang ke istana? Sepertinya kalian bukan orang asli sini,” kata salah satu pengawal.Manik Maya pun mulai mengarang-ngarang cerita. “Kami berdua adalah saudagar dari tempat yang sangat jauh. Sengaja datang kemari untuk menghaturkan hadiah kepada gusti prabu agar beliau mau mendoakan suamiku yang sedang menderita sakit cacar.”Pengawal itu pun memperhatikan ke Bayu Halimun yang kepalanya tertutup kain hitam. &ldq

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 110 : Terpaksa Tunduk

    Beberapa saat waktu telah berlalu. Bayu Halimun dan Manik Maya akhirnya terbangun dari ketikdasaran mereka.Saat keduanya membuka mata, mereka memperdapati kondisi tubuh mereka yang digantung terbalik dengan kaki di atas dan kepala menghadap ke bawah.Badan Bayu Halimun dan Manik Maya dililit dengan kencang oleh akar-akar besar dan juga tumbuhan melayap. Mereka sekarang merasa pusing, sebab seluruh aliran darah menumpuk di bagian kepala.Keduanya mencoba untuk menggerak-gerakkan badan supaya bisa lepas. Namun usaha itu sia-sia belaka. Hanya membuang-buang tenaga dan membikin kepala mereka jadi tambah berdenyut.Nyai Jamanika berjalan di bawah sambil menggunakan tongkat. Dia gelak sekali mentertawakan dua pendekar itu. Kini kegeraman si nenek jelek itu telah terbayarkan dan hatinya pun puas.“Siapa suruh kalian mau coba-coba kabur dariku? Aku meminta baik-baik supaya kalian mengantarku menemui ketua Persaudaraan Iblis, tapi kalian malah cara g

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 109 : Sihir Kabut Hitam Delapan Penjuru

    Manik Maya menduga kalau ada dendam kesumat di hati Nyai Jamanika terhadap Mpu Bhiantar. Pasalnya si nenek berwajah mengerikan ini dahulu pernah ingin merebut kitab catatan racun milik Nyai Maheswari, hingga terjadilah pertarungan di antara keduanya.Dalam perkelahian tersebut hampir saja Nyai Maheswari kalah, tapi Mpu Bhiantar tiba-tiba muncul dan ikut campur, dia menyiramkan ke wajah Nyai Jamanika racun yang bernama “Getah Buah Hutan”. Itu yang membuat wajah Nyai Jamanika pun jadi rusak hingga sekarang.“Katakanlah, hai Nenek Peot, untuk apa dari tadi kau mengendengarkan pembincaraan kami.” desak Bayu Halimun. Dia curiga kalau si nenek ini mata-mata dari kerajaan.“Sebetulnya aku cuma kebetulan lewat dan bertemu kalian di sini. Jika memang kalian ingin berperang melawan Prabu Surya Buana dan para bawahannya, aku tertarik untuk ikut bergabung,” ujar Nyai Jamanika.Bayu Halimun merasa ragu mendengar hal itu. Dia berkata

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 108 : Ada Yang Diam-diam Menguping

    Setelah cukup jauh melarikan diri sambil menggendong Manik Maya, Bayu Halimun kini sampai di tengah hutan belantara yang tak ada satu pun rumah penduduk. Dia mendarat dan kemudian menurunkan wanita itu.“Kau tidak apa-apa?” tanya Bayu Halimun.Manik Maya berjalan menuju ke sebetang pohon beringin. Dia lalu duduk bernaung di bawahnya dan bersandar.Sambil mengusap lambungnya yang masih nyeri, Manik Maya menjawab, “Aku tidak apa-apa. Kalau tadi dirimu tidak segera muncul, maka habislah sudah aku di tangan pendekar itu.”Bayu Halimun tegak di samping Manik Maya. Dia memberitahu, “Aku disuruh oleh Argani Bhadrika untuk mengawasimu dan Celeng Ireng. Sebab Argani tahu bahwa tidak akan mudah bagi kalian untuk menjalankan tugas ini. Setelah bertemu kalian berdua aku pun terkejut, bagaimana bisa sampai terjadi pertarungan dengan para pendekar tadi? Apakah Celeng Ireng terbunuh.Manik Maya menarik Nafas dalam-dalam. Dia pun mena

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 107 : Tewasnya Celeng Ireng

    Melihat temannya yang terkena totokan, Manik Maya segera menotok balik leher Celeng Ireng dengan dua jari untuk membuka lagi aliran darahnya. Namun walau demikian, Giandra dan Tubagus Dharmasuri sudah sampai ke dekat mereka, tak mungkin lagi bagi keduanya untuk kabur.“Sekarang kalian mau lari kemana? Aku tahu kalian pasti sedang merencanakan niat jahat. Cepat katakan!” bentak Tubagus Dharmasuri.Manik Maya dan Celeng Ireng pun saling bertatapan sesaat. Mereka tak menyangka kalau harus bertemu dengan dua pria ini. Tidak mudah bagi mereka untuk bisa selamat jika sudah dalam keadaan begini.“Ilmu Malih Rupomu sangat hebat sekali, hai Siluman Babi. Tapi sayang, kini penyamaranmu telah terbongkar,” ujar Giandra pada Celeng Ireng.Karena memang tidak ada pilihan lain kecuali bertarung, Manik Maya pun segera mencabut pedangya dari pinggang. Celeng Ireng juga mengangkat tangan kirinya, lalu tombak trisula pun tiba-tiba langsung muncul di

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 106 : Sihir Tipuan

    Di waktu siang saat terik matahari menjilati kulit, langit biru begitu cerah dan gumpalan awan putih berkilauan hingga ke ujung cakrawala, Giandra dan Tubagus Dharmasuri masih dalam perjalanan menuju istana. Mereka sudah bergerak dari pagi tadi meninggalkan padepokan, dan sekarang telah keluar dari kawasan Desa Tanjung Bambu.Perut keduanya kini mulai keroncongan, dahaga terasa menggelegak di tenggorokan, butir-butir keringat membasahi leher dan juga lengan mereka, bahkan kuda yang jadi tunggangan pun kelihatannya sudah capek dan ingin beristirahat.Karena hari beranjak semakin siang, akhirnya mereka pun memutuskan untuk berhenti dahulu demi melepas lelah. Tidak jauh di hadapan mereka terlihat ada sebuah warung tempat makan, Giandra mengajak Tubagus Dharmasuri untuk mampir di sana sebentar.Sesampainya mereka di depan warung itu, Keduanya pun turun dari atas tunggangan. Giandra menyeret kudanya dan kuda Tubagus Dharmasuri ke dekat pohon kelapa di seberang jalan,

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 105 : Berakhirnya Buruk Rupa Argani Bhadrika

    Di puncak Gunung Ratri, di depan pintu gua yang pernah menjadi sarang Iblis Hitam, tujuh orang anggota Persaudaraan Iblis bersama Dewa Kalajengking kembali akan melakukan ritual. Malam ini adalah penyempurnaan bersatunya sukma Iblis Hitam ke dalam tubuh Argani Bhadrika.Sambil berdiri menghadapi Dewa Kalajengking yang tegak di depan pintu gua, Argani Bhadrika memegang dua cupak tempurung di kedua belah tangannya yang berisi darah perawan. Dia menuangkan darah dalam cupak-cupak tempurung itu ke mulutnya secara bergantian kiri dan kanan. Pada kedua tepian bibirnya melelehlah sisa darah itu hingga ke bawah dagunya.Sesuah selesai minum, Argani lalu melemparkan kedua tempurung itu ke atas tumpukan tempurung-tempurung lain yang berserakan di tanah. Dia kemudian menyapu bekas lelehan darah di dagunya dengan punggung tangan.“Darah belas gadis perawan telah habis aku minum. Rasanya sangat manis dan kental. Sekarang lanjutkanlah upacaranya, hai Dewa Kalajengking!&

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status