Lima belas menit setelah April menunggu di bangku taman, Wahyu lekas datang menghampirinya. Laki-laki berbadan tinggi itu melihat kepada gadis manis dengan rambut disanggul yang sedang tersenyum kepadanya.
“Maaf jika menunggu lama, ya. Tadi uang kembalianku kurang, jadi pelayan masih harus mencarikannya,” kata Wahyu.
“Tidak masalah. Aku bisa menunggu hingga jam satu tiba,” balas April.
April bergeser sedikit untuk memberikan Wahyu sedikit tempat untuk duduk di sampingnya. Setelah gadis dengan rambut hitam disanggul itu memberikan sisa tempat, Wahyu lekas duduk. Meskipun mereka berdua baru saling kenal, tetapi sepertinya tidak ada canggung di antara mereka.
Baik Wahyu maupun April tampak dapat mengimbangi suasana di sekitar mereka agar tidak hening. Mata kecokelatan April menatap pada wajah Wahyu yang saat ini sedang memandang kepadanya.
“Jadi, baru pertama ini aku melihat ada anak muda yang sudah berani memimpin perusahaan besar. Biasanya, adalah pria dengan cambang tipis yang usianya sudah tidak lagi muda. Apa dia ayahmu?” tanya April.
April berusaha untuk bersikap manis dan sopan. Bukan untuk mencari perhatian dan simpati dari Wahyu, melainkan karena April sangat menghargai Wahyu sebagai rekan bisnis bapaknya.
“Iya, yang biasa datang itu adalah papaku. Tapi kini beliau sudah digantikan oleh aku, sebagai putra sulungnya,” kata Wahyu.
Wahyu mengarahkan pandangannya tepat kepada bola mata April yang terlihat jernih. Debaran di dadanya sudah menghilang, Wahyu sudah bersikap biasa. Namun dia terkesima dengan sosok gadis yang masih mau membantu bapaknya dalam mengelola usaha.
“Sudah lama kamu membantu bapak kamu bekerja di toko itu?” tanya Wahyu.
“Sekitar enam bulan yang lalu. Aku kasihan melihat bapak karena sering kelelahan ketika pulang ke rumah. Jadi aku putuskan untuk membantunya di toko kain,” balas April.
Wahyu menyeringai. Bahkan untuk menjabarkan penjelasan mengenai kepeduliannya kepada bapaknya, April masih berkata dengan kalimat yang baik. Suaranya sangat lembut sekali didengar di telinga, senyum di bibir ranumnya bahkan tidak pudar.
“Aku tidak pernah melihat gadis yang masih muda mau membantu usaha bapaknya. Biasanya mereka lebih sering bersikap abai. Aku saja jika tidak dipaksa mama untuk menjadi pimpinan utama menggantikan papa, aku juga tidak mau,” ujar Wahyu.
“Apakah itu berdasarkan keputusan keluarga?” tanya April dengan pupil mata yang membesar mengarah kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya.
Wahyu tertawa ketika menyadari April yang merasa penasaran dengan kejadian penunjukan dirinya sebagai pimpinan utama di perusahaan. Setelah melihat keluguan di wajah April, Wahyu lekas menghentikan tawanya.
“Ya, awalnya dari keputusan keluarga. Aku sebagai anak sulung harus bersedia menggantikan posisi papa yang sudah tua. Untungnya, pergantian pimpinan disambut dengan baik oleh para karyawan. Jika tidak, mungkin aku batal menjadi pimpinan utama,” ujar Wahyu di sela-sela tawanya.
“Ah, anak sulung rupanya. Wajar jika kamu diberikan tanggung jawab yang begitu besar untuk memimpin perusahaan,” kata April.
“Padahal jika diperbolehkan memilih, aku rasanya enggan lho untuk ditunjuk sebagai pimpinan. Tapi apa boleh buat, adikku tidak mungkin menggantikan posisi papa,” balas Wahyu.
Wahyu mengarahkan pandangannya kepada April. Gadis dengan bulu mata lentik itu masih memandang ke arahnya dengan wajah yang sabar.
“Kalau kamu sendiri, bagaimana? Apa kesibukanmu sehari-hari selain membantu bapak di toko kain?” tanya Wahyu.
April memalingkan pandangannya ke langit. Cuaca yang begitu cerah membuat suasana hatinya menjadi semakin baik. Langit biru tanpa awan, terasa seperti melapangkan hatinya.
“Aku membantu mengurus rumah. Ibu sudah tiada, jadi yang mengurus segala perlengkapan rumah adalah aku. Kakak laki-lakiku selalu pulang larut malam. Jika dia pulang, dia tidak akan peduli dengan keadaan rumah, selalu begitu,” kata April.
“Beruntung sekali bapak kamu punya anak perempuan sepertimu. Aku pernah mendengar cerita dari bapak kamu, kalau kamu susah membuka hati untuk orang baru,” ujar Wahyu.
Meskipun Wahyu tidak memiliki maksud apa-apa untuk mengatakan hal itu, tetapi benaknya sangat penasaran kepada sosok gadis yang ada di depannya. Tubuhnya yang tidak seberapa besar membuat April menjadi gadis yang terkesan tidak punya banyak daya.
“Ah, bapak selalu menceritakan hal yang tidak-tidak. Aku hanya tidak punya waktu untuk bermain saja. Bukan tidak mau membuka hati untuk orang baru,” kata April.
“Kalau begitu, apa tidak keberatan jika mulai hari ini kita mulai dekat dan menjadi lebih dari sekedar teman?” tanya Wahyu.
April terkesiap setelah mendengar pertanyaan Wahyu. Matanya langsung tertuju kepada sosok laki-laki dengan badan besar yang ada di sampingnya.
“Bagaimana maksudnya? Aku belum siap untuk menjalin hubungan sedekat itu dengan orang baru. Apalagi kamu adalah rekan bisnis bapak,” kata April.
“Tidak apa-apa. Nanti aku yang meminta izin kepada bapak kamu. Itupun jika kamu perbolehkan,” ucap Wahyu.
“Minta izin saja. Aku yakin bapak punya pendapat terbaik untuk keinginanmu itu. Aku tidak bisa menjawabnya sekarang,” ujar April.
Wahyu tersenyum lebar setelah mendengar perkataan April. Sama sekali tidak tersinggung dengan perkataan April yang seolah menolaknya secara halus. Tatapan mata Wahyu kemudian beralih menuju jam tangan yang dikenakannya.
“Ya, tidak masalah. Nanti atau besok, aku akan datang lagi ke toko kain bapak kamu. Sekarang, aku harus balik lagi ke perusahaan. Tidak terasa sudah dua puluh menit kita mengobrol di sini,” kata Wahyu.
Wahyu memandangi wajah gadis yang sedang ada di dekatnya tersebut. Wajah yang terkesan tidak bisa marah itu seolah telah membuatnya jatuh hati. Wahyu terkesima dan menaruh rasa perhatian yang dalam kepada gadis itu, April.
“Jangan bosan-bosan mengobrol denganku, ya. Terima kasih untuk waktu luangnya, April,” ujar Wahyu dengan senyum lebar.
Wahyu lekas berdiri dan membawa bungkusan makanannya. Dia mengarahkan tubuhnya kepada April, hanya untuk memastikan kondisi gadis itu.
“Ya, tidak apa-apa. Aku juga mau mengantarkan makanan ini untuk bapak. Sudah lama beliau menunggu. Sampai ketemu lagi nanti,” kata April.
Wahyu mengangguk seraya tersenyum. Setelah itu, mereka berpisah jalan. Wahyu menuju mobilnya yang terparkir di depan kedai makanan tadi. Sedangkan April berjalan kaki untuk kembali menuju ke toko kain milik bapaknya.
April telah sampai di toko kain bapak. Ia segera masuk ke dalam, dan memberikan satu bungkus makanan kepada bapak. Beberapa saat kemudian, April dan bapak pun mulai menyantap makanan bersama.
Nasi campur yang begitu lezat untuk menu makan siang ini. April dan bapak tampak sangat menikmatinya. Setelah nasi mereka habis, April menatap kepada bapaknya.
“Pak, tadi April ketemu sama teman bisnis bapak. Laki-laki muda yang sudah menjadi pemimpin utama di perusahaan jahit,” kata April.
“Si Wahyu maksudmu? Anak tertua dari Pak Yuarta,” balas bapaknya.
April mengangguk, sedangkan tatapan matanya tertuju ragu kepada bapak. Tampaknya April merasakan kebimbangan di dalam hatinya. Dirinya tidak yakin jika ingin mengtakan yang sebenarnya kepada bapak perihal rencana kedekatannya dengan Wahyu.“Ada apa dengan anak itu? Apa dia mengganggumu?” tanya bapak.“Tidak, Pak. Dia hanya mengajakku mengobrol sebentar di taman seberang kedai kecil. Bukannya dia adalah pelanggan dari toko kain kita,” kata April.“Sepanjang yang bapak tahu memang begitu. Wahyu itu anak paling tua di keluarga Anarta. Kedua orang tuanya juga sangat menghargai semua orang. Wajar jika mereka disegani, keluarga itu juga memiliki reputasi yang cukup bagus di mata orang-orang,” balas bapak.April terdiam setelah mendengar penjelasan dari bapaknya. Bibirnya mengatup rapat seakan enggan untuk membalas perkataan si bapak. April menundukkan kepala, di dalam hatinya ia sempat ragu dengan keputusannya untuk menjalin hubungan dekat dengan anak sulung dari keluarga kaya.“Keluarganya
Meski masih muda, tetapi kharisma Wahyu terlihat begitu memancar. Wahyu terlihat begitu mempesona bahkan ketika dia sedang mengerjakan kolom-kolom kosong yang butuh diisi di dalam catatan progress karyawan perusahaan jahit.Anara terlihat sabar menunggu Wahyu hingga selesai membubuhkan tulisan di dalam kolom yang kosong. Setelah beberapa menit berlalu, Wahyu telah selesai mengisi kolom-kolom yang kosong dengan data berupa nominal harga dan waktu yang dibutuhkan untuk menjahit satu kain.Wahyu menutup buku progress karyawan. Setelahnya, dia memberikan buku tebal itu kepada Anara. Tanpa memandang jeli kepada Anara, Wahyu menunjukkan wajah datarnya.“Aku sudah mengisi bagian-bagian yang membutuhkan keterangan harga dan lama waktu yang dibutuhkan karyawan untuk mengerjakan jahitan. Sekarang buku ini sudah kupenuhi dengan informasi, ambillah. Coba kamu periksa teliti agar tidak ada yang keliru,” kata Wahyu.“Baik, Pak. Saya akan memeriksanya setelah ini. Bapak tidak perlu khawatir, aku aka
Makan malam yang begitu tidak nikmat di sebuah ruang makan keluarga kaya di Kota Suro. Sebut saja keluarga Anarta. Di antara mereka yang paling berwajah enggan untuk mendengarkan perdebatan papa dan mamanya adalah Wahyu.Seorang laki-laki dengan usia yang sudah menginjak 30 tahun itu tampak malas mendengarkan obrolan mengenai siapa yang akan menjadi pimpinan di perusahaan keluarganya.Wahyu Dwi Anarta adalah anak sulung yang seharusnya pantas untuk menjadi pewaris kekayaan keluarga. Namun karena sikapnya yang seakan abai dengan keluarga, membuat Yanuar, mamanya, meragukan kemampuan Wahyu dalam memimpin perusahaan.Sikap Wahyu yang sering tidak peduli dengan keluarga dan kerap pulang malam membuat Yanuar ragu dengan kedewasaan anak sulungnya. Yanuar mengarahkan tatapannya kepada Wahyu yang masih menyantap menu malamnya.“Yu, kamu jangan diam saja. Bagaimana pendapatmu jika kami menunjukmu menjadi pemimpin di perusahaan jahit? Kamu ini sudah besar. Jangan bisanya hanya bersikap cuek deng
Wahyu mendapat banyak tepuk tangan dan rasa salut dari para karyawan yang akan dipimpinnya. Banyak di antara mereka yang kagum dengan sosok diri Wahyu yang menjadi pengganti dari papanya.Hampir sebagian besar dari mereka berharap, semoga Wahyu dapat menjadi pemimpin yang tangguh dan bertanggung jawab seperti Bapak Yuarta. Papanya itu diketahui memiliki rekam jejak yang baik sebagai pemimpin perusahaan jahit. Yuarta telah berhasil memimpin perusahaan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.Meskipun diakui, belum banyak progress yang bisa diselesaikan tepat waktu, tetapi kepemimpinan Yuarta di Jahitan Anarta cukup cakap dan dipuji banyak karyawan.Wahyu merasa cukup tersanjung karena mendapatkan banyak apresiasi baik dari orang-orang yang ada di depannya. Dia pun setengah membungkukkan badannya untuk memberikan ucapan terima kasih kepada mereka.“Terima kasih untuk sambutan baik dari kalian. Saya sangat senang karena kalian menyetujui keputusan saya. Saya juga meminta maaf karena Bapa
Wahyu berjalan memasuki ruangannya. Ruang pimpinan utama itu menjadi ruang kerjanya mulai hari ini hingga beberapa saat ke depan. Wahyu membuka pintu ruang kerjanya, dan mendapati Yanuar sedang duduk di kursi kerjanya.“Sudah selesai urusan kamu? Bagaimana pertemuannya dengan pemilik toko kain?” tanya Yanuar mencecar anak sulungnya dengan pertanyaan.Dengan helaan panjang, Wahyu mencoba untuk bersabar menghadapi Yanuar. Mamanya itu memang tipikal orang yang selalu ingin meminta kejelasan lebih lanjut, meskipun dengan hal-hal yang sepele.Mata hitam Wahyu tertuju kepada Yanuar yang sedang menatap kepadanya. Sepertinya Yanuar sedang menunggu penjelasan darinya.“Tidak ada kendala yang cukup berarti. Pemilik toko kain itu mengatakan jika Kerjasama yang terjalin antara perusahaan kita dengan tokonya akan tetap terus berlanjut selama beberapa bulan ke depan. Kontrak akan diperbarui oleh tokonya,” jelas Wahyu kepada Yanuar.“Ah, ya. Baguslah jika begitu. Setelah ini, kamu harus memeriksa be
Meski masih muda, tetapi kharisma Wahyu terlihat begitu memancar. Wahyu terlihat begitu mempesona bahkan ketika dia sedang mengerjakan kolom-kolom kosong yang butuh diisi di dalam catatan progress karyawan perusahaan jahit.Anara terlihat sabar menunggu Wahyu hingga selesai membubuhkan tulisan di dalam kolom yang kosong. Setelah beberapa menit berlalu, Wahyu telah selesai mengisi kolom-kolom yang kosong dengan data berupa nominal harga dan waktu yang dibutuhkan untuk menjahit satu kain.Wahyu menutup buku progress karyawan. Setelahnya, dia memberikan buku tebal itu kepada Anara. Tanpa memandang jeli kepada Anara, Wahyu menunjukkan wajah datarnya.“Aku sudah mengisi bagian-bagian yang membutuhkan keterangan harga dan lama waktu yang dibutuhkan karyawan untuk mengerjakan jahitan. Sekarang buku ini sudah kupenuhi dengan informasi, ambillah. Coba kamu periksa teliti agar tidak ada yang keliru,” kata Wahyu.“Baik, Pak. Saya akan memeriksanya setelah ini. Bapak tidak perlu khawatir, aku aka
April mengangguk, sedangkan tatapan matanya tertuju ragu kepada bapak. Tampaknya April merasakan kebimbangan di dalam hatinya. Dirinya tidak yakin jika ingin mengtakan yang sebenarnya kepada bapak perihal rencana kedekatannya dengan Wahyu.“Ada apa dengan anak itu? Apa dia mengganggumu?” tanya bapak.“Tidak, Pak. Dia hanya mengajakku mengobrol sebentar di taman seberang kedai kecil. Bukannya dia adalah pelanggan dari toko kain kita,” kata April.“Sepanjang yang bapak tahu memang begitu. Wahyu itu anak paling tua di keluarga Anarta. Kedua orang tuanya juga sangat menghargai semua orang. Wajar jika mereka disegani, keluarga itu juga memiliki reputasi yang cukup bagus di mata orang-orang,” balas bapak.April terdiam setelah mendengar penjelasan dari bapaknya. Bibirnya mengatup rapat seakan enggan untuk membalas perkataan si bapak. April menundukkan kepala, di dalam hatinya ia sempat ragu dengan keputusannya untuk menjalin hubungan dekat dengan anak sulung dari keluarga kaya.“Keluarganya
Lima belas menit setelah April menunggu di bangku taman, Wahyu lekas datang menghampirinya. Laki-laki berbadan tinggi itu melihat kepada gadis manis dengan rambut disanggul yang sedang tersenyum kepadanya.“Maaf jika menunggu lama, ya. Tadi uang kembalianku kurang, jadi pelayan masih harus mencarikannya,” kata Wahyu.“Tidak masalah. Aku bisa menunggu hingga jam satu tiba,” balas April.April bergeser sedikit untuk memberikan Wahyu sedikit tempat untuk duduk di sampingnya. Setelah gadis dengan rambut hitam disanggul itu memberikan sisa tempat, Wahyu lekas duduk. Meskipun mereka berdua baru saling kenal, tetapi sepertinya tidak ada canggung di antara mereka.Baik Wahyu maupun April tampak dapat mengimbangi suasana di sekitar mereka agar tidak hening. Mata kecokelatan April menatap pada wajah Wahyu yang saat ini sedang memandang kepadanya.“Jadi, baru pertama ini aku melihat ada anak muda yang sudah berani memimpin perusahaan besar. Biasanya, adalah pria dengan cambang tipis yang usianya
Wahyu berjalan memasuki ruangannya. Ruang pimpinan utama itu menjadi ruang kerjanya mulai hari ini hingga beberapa saat ke depan. Wahyu membuka pintu ruang kerjanya, dan mendapati Yanuar sedang duduk di kursi kerjanya.“Sudah selesai urusan kamu? Bagaimana pertemuannya dengan pemilik toko kain?” tanya Yanuar mencecar anak sulungnya dengan pertanyaan.Dengan helaan panjang, Wahyu mencoba untuk bersabar menghadapi Yanuar. Mamanya itu memang tipikal orang yang selalu ingin meminta kejelasan lebih lanjut, meskipun dengan hal-hal yang sepele.Mata hitam Wahyu tertuju kepada Yanuar yang sedang menatap kepadanya. Sepertinya Yanuar sedang menunggu penjelasan darinya.“Tidak ada kendala yang cukup berarti. Pemilik toko kain itu mengatakan jika Kerjasama yang terjalin antara perusahaan kita dengan tokonya akan tetap terus berlanjut selama beberapa bulan ke depan. Kontrak akan diperbarui oleh tokonya,” jelas Wahyu kepada Yanuar.“Ah, ya. Baguslah jika begitu. Setelah ini, kamu harus memeriksa be
Wahyu mendapat banyak tepuk tangan dan rasa salut dari para karyawan yang akan dipimpinnya. Banyak di antara mereka yang kagum dengan sosok diri Wahyu yang menjadi pengganti dari papanya.Hampir sebagian besar dari mereka berharap, semoga Wahyu dapat menjadi pemimpin yang tangguh dan bertanggung jawab seperti Bapak Yuarta. Papanya itu diketahui memiliki rekam jejak yang baik sebagai pemimpin perusahaan jahit. Yuarta telah berhasil memimpin perusahaan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.Meskipun diakui, belum banyak progress yang bisa diselesaikan tepat waktu, tetapi kepemimpinan Yuarta di Jahitan Anarta cukup cakap dan dipuji banyak karyawan.Wahyu merasa cukup tersanjung karena mendapatkan banyak apresiasi baik dari orang-orang yang ada di depannya. Dia pun setengah membungkukkan badannya untuk memberikan ucapan terima kasih kepada mereka.“Terima kasih untuk sambutan baik dari kalian. Saya sangat senang karena kalian menyetujui keputusan saya. Saya juga meminta maaf karena Bapa
Makan malam yang begitu tidak nikmat di sebuah ruang makan keluarga kaya di Kota Suro. Sebut saja keluarga Anarta. Di antara mereka yang paling berwajah enggan untuk mendengarkan perdebatan papa dan mamanya adalah Wahyu.Seorang laki-laki dengan usia yang sudah menginjak 30 tahun itu tampak malas mendengarkan obrolan mengenai siapa yang akan menjadi pimpinan di perusahaan keluarganya.Wahyu Dwi Anarta adalah anak sulung yang seharusnya pantas untuk menjadi pewaris kekayaan keluarga. Namun karena sikapnya yang seakan abai dengan keluarga, membuat Yanuar, mamanya, meragukan kemampuan Wahyu dalam memimpin perusahaan.Sikap Wahyu yang sering tidak peduli dengan keluarga dan kerap pulang malam membuat Yanuar ragu dengan kedewasaan anak sulungnya. Yanuar mengarahkan tatapannya kepada Wahyu yang masih menyantap menu malamnya.“Yu, kamu jangan diam saja. Bagaimana pendapatmu jika kami menunjukmu menjadi pemimpin di perusahaan jahit? Kamu ini sudah besar. Jangan bisanya hanya bersikap cuek deng