Meski masih muda, tetapi kharisma Wahyu terlihat begitu memancar. Wahyu terlihat begitu mempesona bahkan ketika dia sedang mengerjakan kolom-kolom kosong yang butuh diisi di dalam catatan progress karyawan perusahaan jahit.
Anara terlihat sabar menunggu Wahyu hingga selesai membubuhkan tulisan di dalam kolom yang kosong. Setelah beberapa menit berlalu, Wahyu telah selesai mengisi kolom-kolom yang kosong dengan data berupa nominal harga dan waktu yang dibutuhkan untuk menjahit satu kain.
Wahyu menutup buku progress karyawan. Setelahnya, dia memberikan buku tebal itu kepada Anara. Tanpa memandang jeli kepada Anara, Wahyu menunjukkan wajah datarnya.
“Aku sudah mengisi bagian-bagian yang membutuhkan keterangan harga dan lama waktu yang dibutuhkan karyawan untuk mengerjakan jahitan. Sekarang buku ini sudah kupenuhi dengan informasi, ambillah. Coba kamu periksa teliti agar tidak ada yang keliru,” kata Wahyu.
“Baik, Pak. Saya akan memeriksanya setelah ini. Bapak tidak perlu khawatir, aku akan memperbaiki apa yang kurang,” kata Anara.
Wahyu mengangguk, dia hanya memberikan respon sederhana untuk perkataan Anara. Selebihnya, dia mengalihkan pandangan pada buku tipis. Wahyu lekas membuka buku, dan membacanya. Pimpinan muda itu tidak lagi mengarahkan perhatiannya kepada Anara.
“Tapi, Pak. Bolehkah saya bertanya sesuatu pada Bapak?” tanya Anara.
“Tanya apa? Kenapa kamu tidak langsung memberikan pertanyaan saja,” kata Wahyu.
“Apa nanti siang Bapak ada waktu? Saya ingin mengajak Bapak untuk makan siang bersama di luar. Itupun kalau Bapak mau,” kata Anara.
“Boleh. Aku tidak seberapa sibuk nanti siang. Mungkin aku bisa meluangkan waktu sebentar untuk makan siang di luar denganmu,” kata Wahyu, memberikan keputusan untuk Anara.
Setelah mendapat jawaban dari Wahyu, Anara tersenyum. Tak disangka jika pimpinan mudanya menerima ajakan untuk makan siang bersama. Hati Anara begitu senang, bahkan bibirnya masih menunjukkan senyum yang begitu memuaskan.
“Baiklah. Nanti saya tunggu Bapak di ruang tunggu. Jangan sampai telat, Pak. Sebab waktu istirahat tidak lama,” kata Anara.
“Ya, aku usahakan. Sekarang, jika sudah tidak ada lagi yang ingin kamu bicarakan, kamu bisa meninggalkan ruanganku,” kata Wahyu.
Anara mengangguk. Setelahnya, dia berbalik dan lekas melangkah meninggalkan ruangan Wahyu. Anara pergi membawa buku tebal di tangannya. Kini hanya ada Wahyu di ruangan. Meskipun sendirian, tetapi Wahyu tidak merasa kesepian.
Di dalam ruangannya, Wahyu mencoba untuk mengumpulkan fokus agar bisa memahami isi buku tipis yang di abaca. Buku tipis itu berisi tentang riwayat perusahaan jahit milik keluarganya. Riwayat yang tertulis di antaranya adalah hubungan kerjasama antara perusahaan jahit dengan beberapa toko.
Wahyu mencoba untuk mengamati pengaruh antara jalinan kerjasama yang sudah dilakukan oleh perusahaan jahit. Sepuluh di antaranya membawa keuntungan yang besar, tetapi dua ada juga yang memberikan keuntungan tak seberapa.
Rata-rata hubungan kerjasama yang dilakukan oleh Jahitan Anarta adalah lanjutan dari apa yang dilakukan oleh Yuarta, papanya. Wahyu mengangguk pelan, dia mulai mengerti mengapa papanya dianggap sebagai pimpinan yang cakap untuk memimpin perusahaan jahit ini.
Tidak heran, sebab Yuarta mampu membuat jalinan kerjasama antara perusahaan jahit dengan beberapa toko membawa keuntungan. Rata-rata hubungan kerjasama yang dibina oleh Yuarta berhasil, dan jarang mengalami kegagalan.
Wahyu mencoba mempelajarinya. Namun semakin lama dia membaca, semakin banyak hal yang dia ketahui mengenai pola yang digunakan oleh sang papa. Wahyu melebarkan senyumannya, merasa lega dengan apa yang dihasilkan oleh Yuarta.
Kini dia tidak perlu merintis jalannya perusahaan dengan susah payah, Wahyu hanya harus meneruskan bagaimana pola dan strategi yang diterapkan oleh Yuarta untuk perusahaan ini. Setelah lama mengamati dan mempelajari, Wahyu menutup buku tipis yang ada di mejanya.
Wahyu mencatat apa yang dia ketahui di buku kecil miliknya. Setelah menuliskan apa yang dia ketahui, Wahyu menyimpan buku kecilnya di laci meja. Wahyu mengarahkan tatapannya ke jam dinding, tampaknya sudah dua jam berlalu dari waktu dia masuk ke dalam ruangan.
Meski tubuhnya masih terasa lelah, tetapi Wahyu memutuskan untuk merapikan meja kerjanya. Ketika meja kerja sudah rapi dari tumpukan berkas, Wahyu berdiri. Dia meninggalkan ruangannya, dan berjalan menuju ruang tunggu.
Dia masih ingat mengenai janjinya untuk menemui Anara. Mengenai perkataan setuju untuk makan siang bersama Anara, tidak mungkin Wahyu mengingkarinya.
Sepasang kakinya masih melangkah melewati koridor panjang kantor. Tujuan Wahyu adalah menemui Anara di ruang tunggu. Sesampainya di ruang tunggu, Wahyu menemukan Anara sedang duduk di salah satu kursi. Wajah Anara tampak datar, sepertinya sudah jenuh menunggu kedatangannya.
“Aku sudah ada di sini. Jadi kapan kita akan berangkat untuk makan siang di luar? Kebetulan aku ada waktu senggang, sehingga bisa meluangkan banyak waktu untuk bersamamu,” kata Wahyu.
“Kita pergi sekarang, Pak. Lebih baik Bapak berada satu mobil dengan saya. Biar saya tunjukkan tempat untuk makan siang,” kata Anara.
“Baiklah. Kamu ikut di mobilku saja. Aku tidak ingin kamu yang menyetir untukku,” kata Wahyu.
Anara mengangguk, dia menyetujui ucapan pimpinan mudanya. Setelah Anara berdiri, Wahyu melangkah lebih dahulu di depan Anara. Sedangkan Anara berjalan di belakang mengikuti langkah kaki Wahyu.
Mereka berada di tempat Wahyu memarkirkan mobil. Wahyu mengizinkan Anara untuk masuk ke dalam mobilnya. Ketika sudah berada di dalam mobil, Wahyu lekas mengemudikan mobilnya ke jalanan.
Sepanjang jalan, Wahyu mencoba untuk tidak menghiraukan Anara. Meski Anara sudah mengajaknya untuk mengobrol, tetapi jawaban Wahyu hanya kata-kata singkat.
“Tapi, Pak. Saya penasaran dengan satu hal. Apa Bapak yang masih muda ini sudah memiliki pasangan? Saya lihat Bapak tidak pernah mengajak perempuan di samping Bapak,” kata Anara.
Seketika pertanyaan Anara membuat Wahyu terkejut. Wahyu menoleh dan mengarahkan pandangannya kepada Anara. Sekretaris pribadinya itu masih mengarahkan perhatian kepada dirinya. Seolah Anara sedang menunggu jawaban dari Wahyu.
“Aku belum memiliki pasangan. Tidak ada wanita yang ingin dekat denganku. Aku yakin mereka pasti tidak akan betah jika berada di sisiku,” kata Wahyu.
“Apa mungkin begitu, Pak? Tapi Bapak punya pesona yang mengagumkan. Tidak hanya rupawan, Bapak juga bisa memimpin perusahaan ini. Meski baru satu bulan, tetapi kelihatannya kemajuan perusahaan sudah cukup baik,” kata Anara.
Dia mencoba untuk memuji keahlian Wahyu dalam memimpin perusahaan jahit. Wahyu dikenal dapat menggantikan posisi papanya. Inilah mengapa Wahyu dikenal lebih pekerja keras dan dianggap mampu untuk membawa perusahaan menuju arah yang lebih baik.
“Memimpin perusahaan berbeda dengan menjatuhkan pilihan pada wanita. Aku rasa mengerjakan apa yang menjadi pekerjaanku jauh lebih mudah dibanding harus berkencan dengan perempuan,” kata Wahyu.
“Kalau begitu, kenapa Bapak tidak mencoba menjalin hubungan dengan saya? Mungkin ada kecocokan di antara Bapak dengan saya,” kata Anara.
“Untuk itu, mungkin jawabanku saat ini tidak. Lagipula aku sudah memiliki rencana lain jika memang harus memiliki perempuan di sampingku,” kata Wahyu.
“Tapi siapa? Bukankah kata Bapak belum ada satupun wanita yang bisa tahan dengan sikap Bapak. Jika memang benar, Bapak sedang dekat dengan wanita lain, setidaknya beritahu saya,” kata Anara.
Makan malam yang begitu tidak nikmat di sebuah ruang makan keluarga kaya di Kota Suro. Sebut saja keluarga Anarta. Di antara mereka yang paling berwajah enggan untuk mendengarkan perdebatan papa dan mamanya adalah Wahyu.Seorang laki-laki dengan usia yang sudah menginjak 30 tahun itu tampak malas mendengarkan obrolan mengenai siapa yang akan menjadi pimpinan di perusahaan keluarganya.Wahyu Dwi Anarta adalah anak sulung yang seharusnya pantas untuk menjadi pewaris kekayaan keluarga. Namun karena sikapnya yang seakan abai dengan keluarga, membuat Yanuar, mamanya, meragukan kemampuan Wahyu dalam memimpin perusahaan.Sikap Wahyu yang sering tidak peduli dengan keluarga dan kerap pulang malam membuat Yanuar ragu dengan kedewasaan anak sulungnya. Yanuar mengarahkan tatapannya kepada Wahyu yang masih menyantap menu malamnya.“Yu, kamu jangan diam saja. Bagaimana pendapatmu jika kami menunjukmu menjadi pemimpin di perusahaan jahit? Kamu ini sudah besar. Jangan bisanya hanya bersikap cuek deng
Wahyu mendapat banyak tepuk tangan dan rasa salut dari para karyawan yang akan dipimpinnya. Banyak di antara mereka yang kagum dengan sosok diri Wahyu yang menjadi pengganti dari papanya.Hampir sebagian besar dari mereka berharap, semoga Wahyu dapat menjadi pemimpin yang tangguh dan bertanggung jawab seperti Bapak Yuarta. Papanya itu diketahui memiliki rekam jejak yang baik sebagai pemimpin perusahaan jahit. Yuarta telah berhasil memimpin perusahaan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.Meskipun diakui, belum banyak progress yang bisa diselesaikan tepat waktu, tetapi kepemimpinan Yuarta di Jahitan Anarta cukup cakap dan dipuji banyak karyawan.Wahyu merasa cukup tersanjung karena mendapatkan banyak apresiasi baik dari orang-orang yang ada di depannya. Dia pun setengah membungkukkan badannya untuk memberikan ucapan terima kasih kepada mereka.“Terima kasih untuk sambutan baik dari kalian. Saya sangat senang karena kalian menyetujui keputusan saya. Saya juga meminta maaf karena Bapa
Wahyu berjalan memasuki ruangannya. Ruang pimpinan utama itu menjadi ruang kerjanya mulai hari ini hingga beberapa saat ke depan. Wahyu membuka pintu ruang kerjanya, dan mendapati Yanuar sedang duduk di kursi kerjanya.“Sudah selesai urusan kamu? Bagaimana pertemuannya dengan pemilik toko kain?” tanya Yanuar mencecar anak sulungnya dengan pertanyaan.Dengan helaan panjang, Wahyu mencoba untuk bersabar menghadapi Yanuar. Mamanya itu memang tipikal orang yang selalu ingin meminta kejelasan lebih lanjut, meskipun dengan hal-hal yang sepele.Mata hitam Wahyu tertuju kepada Yanuar yang sedang menatap kepadanya. Sepertinya Yanuar sedang menunggu penjelasan darinya.“Tidak ada kendala yang cukup berarti. Pemilik toko kain itu mengatakan jika Kerjasama yang terjalin antara perusahaan kita dengan tokonya akan tetap terus berlanjut selama beberapa bulan ke depan. Kontrak akan diperbarui oleh tokonya,” jelas Wahyu kepada Yanuar.“Ah, ya. Baguslah jika begitu. Setelah ini, kamu harus memeriksa be
Lima belas menit setelah April menunggu di bangku taman, Wahyu lekas datang menghampirinya. Laki-laki berbadan tinggi itu melihat kepada gadis manis dengan rambut disanggul yang sedang tersenyum kepadanya.“Maaf jika menunggu lama, ya. Tadi uang kembalianku kurang, jadi pelayan masih harus mencarikannya,” kata Wahyu.“Tidak masalah. Aku bisa menunggu hingga jam satu tiba,” balas April.April bergeser sedikit untuk memberikan Wahyu sedikit tempat untuk duduk di sampingnya. Setelah gadis dengan rambut hitam disanggul itu memberikan sisa tempat, Wahyu lekas duduk. Meskipun mereka berdua baru saling kenal, tetapi sepertinya tidak ada canggung di antara mereka.Baik Wahyu maupun April tampak dapat mengimbangi suasana di sekitar mereka agar tidak hening. Mata kecokelatan April menatap pada wajah Wahyu yang saat ini sedang memandang kepadanya.“Jadi, baru pertama ini aku melihat ada anak muda yang sudah berani memimpin perusahaan besar. Biasanya, adalah pria dengan cambang tipis yang usianya
April mengangguk, sedangkan tatapan matanya tertuju ragu kepada bapak. Tampaknya April merasakan kebimbangan di dalam hatinya. Dirinya tidak yakin jika ingin mengtakan yang sebenarnya kepada bapak perihal rencana kedekatannya dengan Wahyu.“Ada apa dengan anak itu? Apa dia mengganggumu?” tanya bapak.“Tidak, Pak. Dia hanya mengajakku mengobrol sebentar di taman seberang kedai kecil. Bukannya dia adalah pelanggan dari toko kain kita,” kata April.“Sepanjang yang bapak tahu memang begitu. Wahyu itu anak paling tua di keluarga Anarta. Kedua orang tuanya juga sangat menghargai semua orang. Wajar jika mereka disegani, keluarga itu juga memiliki reputasi yang cukup bagus di mata orang-orang,” balas bapak.April terdiam setelah mendengar penjelasan dari bapaknya. Bibirnya mengatup rapat seakan enggan untuk membalas perkataan si bapak. April menundukkan kepala, di dalam hatinya ia sempat ragu dengan keputusannya untuk menjalin hubungan dekat dengan anak sulung dari keluarga kaya.“Keluarganya
Meski masih muda, tetapi kharisma Wahyu terlihat begitu memancar. Wahyu terlihat begitu mempesona bahkan ketika dia sedang mengerjakan kolom-kolom kosong yang butuh diisi di dalam catatan progress karyawan perusahaan jahit.Anara terlihat sabar menunggu Wahyu hingga selesai membubuhkan tulisan di dalam kolom yang kosong. Setelah beberapa menit berlalu, Wahyu telah selesai mengisi kolom-kolom yang kosong dengan data berupa nominal harga dan waktu yang dibutuhkan untuk menjahit satu kain.Wahyu menutup buku progress karyawan. Setelahnya, dia memberikan buku tebal itu kepada Anara. Tanpa memandang jeli kepada Anara, Wahyu menunjukkan wajah datarnya.“Aku sudah mengisi bagian-bagian yang membutuhkan keterangan harga dan lama waktu yang dibutuhkan karyawan untuk mengerjakan jahitan. Sekarang buku ini sudah kupenuhi dengan informasi, ambillah. Coba kamu periksa teliti agar tidak ada yang keliru,” kata Wahyu.“Baik, Pak. Saya akan memeriksanya setelah ini. Bapak tidak perlu khawatir, aku aka
April mengangguk, sedangkan tatapan matanya tertuju ragu kepada bapak. Tampaknya April merasakan kebimbangan di dalam hatinya. Dirinya tidak yakin jika ingin mengtakan yang sebenarnya kepada bapak perihal rencana kedekatannya dengan Wahyu.“Ada apa dengan anak itu? Apa dia mengganggumu?” tanya bapak.“Tidak, Pak. Dia hanya mengajakku mengobrol sebentar di taman seberang kedai kecil. Bukannya dia adalah pelanggan dari toko kain kita,” kata April.“Sepanjang yang bapak tahu memang begitu. Wahyu itu anak paling tua di keluarga Anarta. Kedua orang tuanya juga sangat menghargai semua orang. Wajar jika mereka disegani, keluarga itu juga memiliki reputasi yang cukup bagus di mata orang-orang,” balas bapak.April terdiam setelah mendengar penjelasan dari bapaknya. Bibirnya mengatup rapat seakan enggan untuk membalas perkataan si bapak. April menundukkan kepala, di dalam hatinya ia sempat ragu dengan keputusannya untuk menjalin hubungan dekat dengan anak sulung dari keluarga kaya.“Keluarganya
Lima belas menit setelah April menunggu di bangku taman, Wahyu lekas datang menghampirinya. Laki-laki berbadan tinggi itu melihat kepada gadis manis dengan rambut disanggul yang sedang tersenyum kepadanya.“Maaf jika menunggu lama, ya. Tadi uang kembalianku kurang, jadi pelayan masih harus mencarikannya,” kata Wahyu.“Tidak masalah. Aku bisa menunggu hingga jam satu tiba,” balas April.April bergeser sedikit untuk memberikan Wahyu sedikit tempat untuk duduk di sampingnya. Setelah gadis dengan rambut hitam disanggul itu memberikan sisa tempat, Wahyu lekas duduk. Meskipun mereka berdua baru saling kenal, tetapi sepertinya tidak ada canggung di antara mereka.Baik Wahyu maupun April tampak dapat mengimbangi suasana di sekitar mereka agar tidak hening. Mata kecokelatan April menatap pada wajah Wahyu yang saat ini sedang memandang kepadanya.“Jadi, baru pertama ini aku melihat ada anak muda yang sudah berani memimpin perusahaan besar. Biasanya, adalah pria dengan cambang tipis yang usianya
Wahyu berjalan memasuki ruangannya. Ruang pimpinan utama itu menjadi ruang kerjanya mulai hari ini hingga beberapa saat ke depan. Wahyu membuka pintu ruang kerjanya, dan mendapati Yanuar sedang duduk di kursi kerjanya.“Sudah selesai urusan kamu? Bagaimana pertemuannya dengan pemilik toko kain?” tanya Yanuar mencecar anak sulungnya dengan pertanyaan.Dengan helaan panjang, Wahyu mencoba untuk bersabar menghadapi Yanuar. Mamanya itu memang tipikal orang yang selalu ingin meminta kejelasan lebih lanjut, meskipun dengan hal-hal yang sepele.Mata hitam Wahyu tertuju kepada Yanuar yang sedang menatap kepadanya. Sepertinya Yanuar sedang menunggu penjelasan darinya.“Tidak ada kendala yang cukup berarti. Pemilik toko kain itu mengatakan jika Kerjasama yang terjalin antara perusahaan kita dengan tokonya akan tetap terus berlanjut selama beberapa bulan ke depan. Kontrak akan diperbarui oleh tokonya,” jelas Wahyu kepada Yanuar.“Ah, ya. Baguslah jika begitu. Setelah ini, kamu harus memeriksa be
Wahyu mendapat banyak tepuk tangan dan rasa salut dari para karyawan yang akan dipimpinnya. Banyak di antara mereka yang kagum dengan sosok diri Wahyu yang menjadi pengganti dari papanya.Hampir sebagian besar dari mereka berharap, semoga Wahyu dapat menjadi pemimpin yang tangguh dan bertanggung jawab seperti Bapak Yuarta. Papanya itu diketahui memiliki rekam jejak yang baik sebagai pemimpin perusahaan jahit. Yuarta telah berhasil memimpin perusahaan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.Meskipun diakui, belum banyak progress yang bisa diselesaikan tepat waktu, tetapi kepemimpinan Yuarta di Jahitan Anarta cukup cakap dan dipuji banyak karyawan.Wahyu merasa cukup tersanjung karena mendapatkan banyak apresiasi baik dari orang-orang yang ada di depannya. Dia pun setengah membungkukkan badannya untuk memberikan ucapan terima kasih kepada mereka.“Terima kasih untuk sambutan baik dari kalian. Saya sangat senang karena kalian menyetujui keputusan saya. Saya juga meminta maaf karena Bapa
Makan malam yang begitu tidak nikmat di sebuah ruang makan keluarga kaya di Kota Suro. Sebut saja keluarga Anarta. Di antara mereka yang paling berwajah enggan untuk mendengarkan perdebatan papa dan mamanya adalah Wahyu.Seorang laki-laki dengan usia yang sudah menginjak 30 tahun itu tampak malas mendengarkan obrolan mengenai siapa yang akan menjadi pimpinan di perusahaan keluarganya.Wahyu Dwi Anarta adalah anak sulung yang seharusnya pantas untuk menjadi pewaris kekayaan keluarga. Namun karena sikapnya yang seakan abai dengan keluarga, membuat Yanuar, mamanya, meragukan kemampuan Wahyu dalam memimpin perusahaan.Sikap Wahyu yang sering tidak peduli dengan keluarga dan kerap pulang malam membuat Yanuar ragu dengan kedewasaan anak sulungnya. Yanuar mengarahkan tatapannya kepada Wahyu yang masih menyantap menu malamnya.“Yu, kamu jangan diam saja. Bagaimana pendapatmu jika kami menunjukmu menjadi pemimpin di perusahaan jahit? Kamu ini sudah besar. Jangan bisanya hanya bersikap cuek deng