"Nah itu!!" ujar Anggi sampai Lian kaget.
"Iya, tapi apa?" tanya Lian dengan wajah sedikit putus asa.
"Hmm ... Mengingat karakter Saga yang begitu, kamu sepertinya harus bekerja keras untuk meluluhkan batu karang itu. Coba kamu ajak Saga ngobrol baik-baik. Atau rayu dia dulu supaya mau membatalkan niatnya. Siapa tahu kalian hanya butuh mengobrol."
"Bagaimana jika tidak mempan? Dia susah dipengaruhi dan selalu pada pendiriannya. Kadang aku kesal bicara dengannya."
Anggi mengangkat Miko dari baby chair dan memangkunya. "Itu tugas kamu mencari strategi jitu. Ah! Atau begini saja jika memang Saga susah diajak bicara dan kekeh dengan keputusannya, fokus dulu dengan tujuanmu. Kamu mau punya anak kan darinya?"
Lian mengangguk setelah mengelus pipi gembul Miko.
"Ya sudah, targetkan itu sebelum Saga benar-benar melakukan vasektomi. Satu bulan itu waktu yang lama, Lian!" Anggi memancing Lian untuk berpikir lebih luas.
Lian terdiam sejenak, memahami maksud Anggi. Lalu satu ide kembali muncul. "Jadi aku harus berusaha supaya Saga mau berhubungan tanpa pengaman, lalu benih itu tertanam di rahimku supaya aku hamil. Aku harus mengusahakan itu selama satu bulan ke depan. Begitu kan?"
"Akhirnya, otak adikku satu ini berjalan juga. Kadang perempuan itu juga butuh sedikit kelicikan kecil untuk mencapai tujuannya." Anggi menepuk-nepuk pundak Lian dengan sedikit kasar dengan bangganya.
Lian justru tersenyum kecut atas tindakan Anggi. Jangan sampai Miko juga kasar dan nyablak seperti ibunya begini.
Lian mulai kembali memutar otaknya. Ia harus mengumpulkan ide-ide untuk di kepalanya dan mulai menyusun satu per satu. Pokoknya, selama Saga belum melakukan tindakan itu, ia masih punya banyak kesempatan untuk mendapatkan momongan dari suaminya. Lian harus bisa. Tidak ada yang boleh menyerah duluan sebelum berusaha.
Lian menipiskan bibirnya dan mengangguk-angguk sendiri. Semangatnya mulai berkobar.
"Eh iya, tolong pangku Miko dulu. Aku mau membereskan sisa makannya dan mencucinya." Tanpa persetujuan Lian, Anggi sudah mendudukkan Miko di atas pangkuannya. "Duduk dengan tante dulu ya nak."
Anggi lantas melenggang membawa peralatan makan Miko yang kotor ke dapur. Meninggalkan Lian dengan mulut menganga dan Miko di ruang tengah.
Miko masih delapan bulan, tapi pintar sekali mengoceh dan tangannya bergerak-gerak aktif dan riang, seolah senang sekali berada di pangkuan tantenya.
Karena duduknya sedikit melorot, Lian pun dengan sigap membenahi duduk si bayi gembul ini sampai terasa nyaman.
"Kamu jangan seperti mamamu yang suka cerewet panjang kali lebar ya, Ko."
"Ayayaya ... " Seperti mengerti saja apa yang diucapkan Lian, Miko ini menanggapi dengan celotehan khas bayi, membuat Lian tiba-tiba tertawa.
"Ih! Kamu tahu yang tante bicarakan?"
Lian terus mengajak ngobrol Miko seperti orang dewasa. Apa saja dan bayi ini juga menanggapi dengan bahasanya sendiri. Lian tidak paham tetapi rasanya candu sekali berbicara dengan bayi. Karena gemas, Lian pun memeluk Miko dan menciumi seluruh anggota tubuh bayi yang penuh lemak itu.
Satu ide pun muncul. Ia meraih ponselnya dan mengarahkan kamera ke arahnya yang sedang memangku Miko. Bayi yang sumringah ini terus tersenyum dihadapan kamera dan satu jepretan berhasil Lian dapatkan dengan pose yang pas.
Lian tersenyum melihat potret dirinya bersama sang keponakan. Ia pun membuka aplikasi chat dan mengirimkan foto tersebut pada Saga.
Lian:
đź“·
Tak selang lama, balasan dari Saga muncul.
Saga:
:)
Sungguh balasan Saga membuat Lian sedikit kecewa. Mengapa hanya emoji senyum saja? Tidak seperti biasanya. Saga selalu mengetik panjang kali lebar jika mengirim chat atau balasan chat seperti sales peninggi badan. Kali ini Saga benar-benar berubah dingin dan membuat Lian sangat kesal.
Lian tertantang, ia mengirimkan balasan pesan lagi pada suaminya.
Lian:
Mau satu yang seperti ini.
Balasan dari Saga datang beberapa detik setelahnya. Cukup fast respon, tapi justru tambah membuat Lian naik darah.
Saga:
:'(
"Lihat, Om kamu sangat menyebalkan sekali kan, Miko?" Lian memperlihatkan layar ponselnya di depan bocah lucu ini meski tidak mengerti dan ekspresi Miko hanya tertawa tanpa suara sambil bergerak gemas.
"Heh! Jangan coba-coba memberi ujaran kebencian pada Miko ya!" omel Anggi yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya.
"Biar Miko tahu bagaimana watak omnya ini."
Anggi mendengus, lantas meraih Miko dari pangkuan Lian. "Memang benar, kepekaanmu ini nol besar jika soal anak kecil. Anak itu harus diberikan afirmasi-afirmasi positif, bukan diajak membenci apalagi memberi asupan negatif. Sudahlah sana pulang dan atur strategi!"
Lian mencebik, merasa diusir oleh kakaknya sendiri.
***
Lian membuka setiap laci di dalam kamarnya. Ia memasukkan semua pil KB miliknya dan juga berbungkus-bungkus pengaman berbentuk silikon tipis milik Saga ke dalam kantong plastik dan membuangnya ke bak sampah depan rumah.
Lian mengusap kedua tangannya. "Beres!!"
Setelah ia ke salon untuk mempercantik diri dan membeli bahan makanan di supermarket, ia tidak bisa menunggu lama untuk melakukan rencananya meluluhkan hati Saga. Sepertinya tidak akan sulit. Meski harus terpaksa membuang semua ego dan gengsinya yang selama ini merajai dirinya.
Misi pertama, ia harus terlihat cantik dan menyambut Saga pulang kantor sebaik mungkin. Lalu, memasakkannya sesuatu yang enak dan mencari celah obrolan untuk sedikit merayu Saga menunda tindakan itu. Untuk malamnya, Lian sudah menyiapkan beberapa list film yang akan mereka tonton. Tentu saja film romantis, supaya memacu Saga juga melajukan keromantisan yang sama seperti tokoh di filmnya. Ketika Saga sudah luluh dan mereka masuk ke kamar melakukan olahraga cardio ala suami istri dan mereka sudah dikelabuhi hasrat, Saga tidak akan menemukan pengamannya dan benih itu akhirnya akan melesat masuk ke dalam rahimnya dengan mulus. Berlomba-lomba mencari indung telur di rahimnya untuk dibuahi.
NICE!! Lian tersenyum membayangkan misinya akan berhasil sekali waktu. Tidak perlu effort yang lebih.
Namun, sayang seribu sayang, Saga rupanya masih bersikap dingin saat Lian menyuguhkan kepiting asam manis kesukaan suaminya. Memang tidak sedingin pagi tadi, tapi Lian jadi mengurungkan niatnya untuk membuka obrolan setelah tahu Saga punya masalah baru yang berkaitan dengan pekerjaannya. Tiga karyawannya yang bekerja di lapangan, terkena musibah. Satu karyawan kakinya terlindas ban alat berat, dua yang lain patah tulang karena terjatuh dari tebing dan harus dilarikan ke rumah sakit. Jelas itu membuat Saga tidak bisa berpikir lebih baik selain keselamatan karyawannya. Kabar buruknya lagi, setelah makan, rencana nonton film dan berujung di atas ranjang juga gagal total. Saga sibuk menelepon orang-orang di lapangan dan kantornya untuk memastikan karyawan yang terkena musibah itu ditangani dengan baik. Saga juga sedang mengkoordinasikan sesuatu yang Lian tidak mengerti dan meminta Lian untuk istirahat saja.
"Keluarganya sudah datang? Kalau sudah, tolong wakilkan dulu untuk meminta maaf. Besok saya akan ke sana." Saga berdiri tegang di dekat jendela dan masih menempelkan ponselnya di telinga.
Lain orang lagi, Saga menelepon dengan kepentingan yang berbeda.
"Tolong jadwalkan ulang meeting dengan Pak Dirga. Saya mau ke area tambang besok. Atau kalau beliau bersedia, meeting by zoom saja biar lebih cepat dan efisien."
" ... "
"Ya, terima kasih."
Sementara itu, Lian sekarang hanya jadi manekin yang tertidur miring di atas ranjang dan memperhatikan Saga bergerak kesana-kemari dan sibuk dengan ponselnya. Wajah lelaki itu tampak suram, tapi wajar jika diposisinya sekarang. Nyatanya ada hal yang tidak bisa diprediksi seperti ini.
Lian masih berharap suaminya akan segera bergabung dengannya, memeluk dan menciumnya seperti biasanya.
Tak lama, Saga menyelesaikan urusannya dan menghampiri Lian. Perempuan itu sudah tersenyum dan siap melayani suaminya.
"Aku ke ruang kerja ya, mau kirim email untuk Andri. Kamu tidur duluan saja." ujar Saga sambil mengusap kepala Lian.
Terdengar dahan ranting pohon yang patah dengan nyaring di kepala Lian.
"Ini sudah jam sebelas malam loh, apa jam kerjamu itu dua puluh empat jam?" Lian mencebik kesal.
"Tanggung jawab aku besar sayang. Kerja dua puluh empat jam juga rasanya tidak cukup jika ada peristiwa di luar kendali seperti ini. Tidak lama, satu jam lagi aku akan bergabung di bawah selimut denganmu."
Lian memutar bola mata ke atas, jengah. Satu jam lagi itu artinya jam dua belas malam. Ia tidak terlalu yakin jika masih mempertahankan matanya untuk terbuka. Namun, misinya akan terlewatkan begitu saja jika ia memutuskan untuk tidur sekarang.
Ia pun bangkit dari ranjang. "Kalau begitu, ayo aku temani. Mau aku buatkan kopi?"
"Besok kamu kerja Lian. Lebih baik kamu istirahat saja. Aku bisa buat kopi sendiri nanti."
Kini Lian sudah berdiri berhadapan dengan Saga dan menatap mata lelaki itu. "Aku belum bilang ya sama kamu? Seminggu ke depan aku free. Hana aku minta mengosongkan dan merescedule semua jadwalku."
"Oh ya? Kamu biasanya hanya akan libur jika ada urusan mendadak saja. Apa ada sesuatu atau kegiatan yang urgent?"
Lian menggeleng dan melekatkan tangannya di pinggang suaminya sambil mendorong Lian untuk keluar dari kamar supaya Saga tidak membuang waktu untuk menyelesaikan kerjaannya. Meski masih bingung dengan Lian yang tiba-tiba libur satu minggu, Saga tetap menurut saat Lian menemaninya di ruang kerja dan membuatkan kopi.
"Aku mau mengganti waktu-waktu kita yang hilang karena kesibukan. Seminggu mungkin tidak cukup, tapi aku harap bisa memaksimalkan liburku dengan sering bersamamu."
Saga menyesap kopinya dan tersenyum jika memang niat Lian untuk libur hanya demi mereka bisa sering bersama. "That's good."
Rupanya, satu jam tidak cukup bagi Saga menyelesaikan pekerjaannya. Ia masih menekuri laptopnya sampai pukul satu pagi dan tidak mempedulikan rengekan Lian yang sudah mengantuk hebat. Boro-boro mengajak Saga bicara, dipanggil saja lelaki itu hanya menjawab dengan deheman tanpa menoleh.
Oh sungguh malang Lian. Sudah tidak bisa mengobrol, Ia tak tersentuh pula sama sekali malam ini. Misinya gagal total. Sepertinya ketidakhadiran anak secara permanen memang akan jadi kenyataan.
***
Lian adalah fighter sejati. Ia ingat perjuangannya menjadi model seperti sekarang tidaklah semulus jalan tol. Ada banyak halangan dan rintangan yang terjadi. Mulai dari ditolak puluhan agensi, ditipu agensi, hampir dilecehkan oleh salah satu kru mesum sampai latihan fisik berminggu-minggu hingga tipes. Belum lagi beban menghadapi senior yang suka membully dan memfitnahnya.Saat akhirnya Lian berhasil mendapatkan kerjaan pertama menjadi model sebuah iklan produk, ia diharuskan pergi ke luar kota beberapa hari. Dan saat itu juga, Anggi mengabari jika mamanya meninggal dunia. Beberapa bulan setelahnya, karir Lian semakin melejit. Ia dipercaya menjadi brand ambassador beberapa produk dan menjadi bintang sampul majalah wanita terpopuler. Lagi-lagi, ia tidak bisa melihat saat-saat terakhir papanya karena harus pemotretan di puncak dan susah sinyal. Ia pulang dan mendapati papanya sudah tiada. Jika tahu kesuksesannya di model harus mengorbankan waktu untuk bersama kedua orang tuanya disaat-s
Setelah makan siang, Lian memilih untuk ikut Saga menemui karyawannya yang kini masih menjalani perawatan di rumah sakit. Sepertinya ini lebih baik daripada ia harus terkurung di dalam kabin kecil itu dan merasa bosan.Sebagai iktikad baik mewakili perusahaan, Saga mau meminta maaf dan memberikan santunan. Mereka pergi dengan penanggung jawab lapangan dan dua pengawal yang biasanya bersama Saga. Sesampainya di rumah sakit, Lian cukup sedih melihat kondisi tiga karyawan itu terbaring dengan kaki yang diperban, dengan kepala yang diperban dan juga tangan. Lian memang tidak tahu cerita detailnya, tapi dari yang Saga katakan, ketiga karyawan ini terhantam alat berat saat sedang bekerja. "Putra rencananya hari ini di operasi pak kakinya. Kalau Deni tangannya sudah baikan dan Aji tinggal pemulihan kepalanya setelah dijahit dua puluh jahitan."Lian menghela napasnya, sedih mendengar itu.Saga mengangguk menerima informasi dari penanggung jawab
Rasa bimbang itu muncul saat Saga merasa Lian terlepas dari lingkaran tangannya di bahu dan berjalan cepat keluar ruangan. Di satu sisi, keriuhan yang terjadi ini menyangkut dirinya sebagai pemimpin perusahaan yang sedang dituntut keadilan oleh seorang ibu. Di sisi yang lain, Saga berpikir kemungkinan Lian sakit hati dengan perkataan ibu itu. Namun, sebagai pemimpin perusahaan yang bertanggung jawab, ia tentu harus mendahulukan urusan perusahaannya dulu. Untung saja, saudara perempuan Putra itu mampu mengendalikan kemarahan ibunya dan membujuk untuk pulang. Setelah dirasa kondusif, Saga langsung berlari mencari Lian. Ia ke taman, ke sisi-sisi kursi ruang tunggu dan tidak ia temukan istrinya itu. Lalu, saat ia melewati toilet perempuan, langkahnya terhenti. Saga hafal suara lirih tangis itu. Ya, itu jelas suara Lian.Maka, dengan tidak mempedulikan kesopanan, ia masuk ke dalam toilet wanita tersebut dan mengetuk salah satu pintunya."Lian." panggilnya lemb
Di kehidupan rumah tangga Saga dan Lian, pagi bukanlah sembarang pagi. Pagi seolah adalah waktu yang paling emas untuk keduanya merefleksi diri. Di saat baru bangun, mood Lian akan lebih baik daripada malamnya dan itu selalu terjadi setiap mereka bertengkar malamnya. Begitupun Saga. Lelaki itu selalu mengawali hari dengan sesuatu yang lebih baik. Lalu, mereka akan berinteraksi seperti sedia kala, seolah masalah mereka semalam telah selesai karena kesadaran masing-masing.Lian keluar dari kamarnya dan mendapati Saga masih meringkuk di sofa ruang tengah. Ia menghampiri dan berdiri mematung saja sambil melipat tangannya di dada, memperhatikan suaminya dengan mata terpejam itu. Wajah polos Saga saat tidur seolah tidak mencerminkan bahwa lelaki itu sangat keras kepala dan tidak peka.Diam-diam, Lian juga sebenarnya mengakui bahwa kelakuannya kemarin memang sangat kekanakan. Itu sangat bukan dirinya sekali. Entahlah, rasanya semenjak Saga mengumumkan bahwa akan melakukan vasektomi, Lian jadi
"Mau aku temani?" "Memangnya aku anak kecil yang masih butuh dampingan?" gerutu Lian sambil membuka pintu mobil dan bersiap keluar.Sebelum ke rumah ibu Mita, mereka mampir dahulu ke toko bunga langganan, membelikan satu buket lily putih kesukaan ibu Mita. Namun, sejak perjalanan itu dimulai, Lian memang sedikit sinis kepada Saga. Apalagi jika bukan soal ekspektasi perempuan itu terhadap Saga dan segala misinya mendapatkan benih cinta dari suaminya. Ya, lagi-lagi gagal total.Bayangkan saja, Lian sudah optimis, geloranya sungguh membara seiring sentuhan Saga yang tergesa-gesa si setiap jengkal tubuhnya, tapi tetap on poin. Di puncak hasratnya, ia sudah tersenyum dan menyebut nama Saga di sela desahannya dengan penuh damba. Namun, senyum dan kebahagiaannya itu terpatahkan saat Saga merogoh sesuatu di saku celana kerjanya yang masih ia pakai dari semalam. Bisa-bisanya Lelaki itu mengeluarkan pengaman dan memakainya. Wajah Lian, pias seketika. Akhirnya, klimaksnya tertahan dan ia jadi ur
"Ini untuk Ibu." Lian memberikan buket lily itu dengan senyum manisnya."Lian, Saga, Ibu rindu sekali dengan kalian." ujar Ibu Mita seraya memeluk menantu dan anaknya bergantian."Ibu sendirian terus dari kemarin. Bosan, sepi, sampai-sampai ibu takut kalau mati dalam keadaan sepi.""Ibu Mita Lestari tidak boleh bilang seperti itu." Saga merangkul ibunya sambil memasuki rumah. "Saga, umur ibu sudah enam puluh lima. Dengan penyakit macam-macam. Memangnya tidak boleh Ibu berpikir seperti itu? Lagipula umur siapa yang tahu?"Ibu Mita terlalu berlebihan, padahal beliau hanya sering kontrol untuk kolesterol dan gula darah saja, tidak ada yang namanya penyakit macam-macam. Beliau masih terlihat segar bugar di usia pertengahan enam puluhan ini."Ya bukan berarti Ibu Mita bisa sepesimis itu. Nanti Saga yang akan telepon Bi Ratmi supaya segera pulang ke sini.""Janganlah! Ratmi juga kasihan sebenarnya. Anaknya memang sudah besar-besar, tapi tetap saja butuh perhatiannya."Lian yang berjalan di
Lian paling bisa membuat Saga tak berkutik dengan aksi-aksi spontannya. Saga menunduk, memikirkan apa yang akan ia bicarakan untuk mengalihkan lerhatian Ibu Mita yang kini sudah amat penasaran."Mau bicara apa Saga?" tanya ibu Mita lagi."Oh, ehm ... bagaimana kalau kita duduk dulu?" Saga menghela ibu Mita untuk duduk di kursi panjang kebun itu. Lian pun juga ikut duduk di sebelah ibu Mita. Ia harap kali ini, Saga sungguhan mau bicara serius dengan ibunya. Lian optimis saja pasti ibu Mita tidak akan merestui anaknya untuk melakukan tindakan medis yang tidak masuk akal itu. Jadi ia tidak perlu repot-repot merayu Saga lagi karena Saga pasti akan lebih menuruti apa kata ibunya.Ibu Mita menatap Saga dan Lian bergantian. Masih menunggu topik pembicaraan apa yang sekiranya akan Saga utarakan."Jadi, Bu. Saga dan Lian mau pamit." ujar Saga dan langsung mendapat kernyitan dari Lian."Pamit kemana?""Saga sama Lian mau pergi liburan akhir minggu ini, Bu."Ibu mengerjap riang. "Oh ya? Bagus it
"Kalau kita bertatap muka, pasti ekspresimu sekarang sudah jelek sekali seperti badut. Kamu tidak cocok jadi perempuan cengeng begini Lian," ujar Anggi di seberang telepon.Lian memang merengek sejak pertama Anggi mengangkat telepon itu. Lian baru saja menangis di bawah selimut setelah menyuruh Saga kembali tidur di luar lagi."Sepertinya aku menyerah," keluh Lian dengan nada lemah."Wait! Kamu mau menyerah dengan Saga?!"Lian mengangguk, meski Anggi tidak akan dapat melihatnya. "Hmm ... ""Hey! Dimana jiwa kompetitif kamu Lian? Kamu tidak lupa kan, bisa menjadi model terpopuler se-Asia berkat apa? Kegigihanmu. Dan sekarang masalah begini kamu sudah menyerah?""Beda kasus Anggi.""Kamu mampu mengalahkan ribuan peserta dari berbagai negara. Tapi ini mengalahkan ego suamimu saja tidak bisa. Ayolah Lian."Lian mendesah seraya menyugar rambutnya yang sudah berantakan. Baru beberapa hari ia memegang mental juang itu,
Sudah terlalu lama Lian berjibaku dengan pikirannya sendiri. Dengan asumsi bahwa setelah Fahri kembali dari menuntut ilmu di luar negeri, lelaki itu tidak akan mengenali Lian lagi. Terbukti, waktu itu Lian diam-diam datang ke rumah Fahri saat lelaki ia sedang liburan dan pulang ke tanah air. Fahri sedang sangat buru-buru memasuki mobilnya. Fahri semakin menawan dengan setelan jas mahalnya. Dari sana, Lian bisa menyadari bahwa ia masih belum bisa bersanding dengan Fahri. Meski perasaannya mungkin tidak berubah, kenyataan menyentaknya untuk berhenti. Berhenti mengharapkan diri kembali pada Fahri dan berhenti berharap. Maka, ia pun pergi dari kompleks rumah itu setelah melihat mobil Fahri menghilang di belokan gang. Ia merasa menjadi manusia yang paling putus asa, saat itu. Ia menaiki bis untuk kembali ke kost-kostannya yang masih empat kali empat itu. Namun, justru takdir mempertemukannya dengan Saga.Seolah alam semesta tidak bekerja sendiri, ada andil takdir juga, ia dan Saga akhirnya
Selayaknya pagi adalah waktu yang tepat untuk mengawali hari, pertengkaran mereka di malam hari selalu teredam di waktu pagi. Mereka akan baikan dengan sendirinya di pagi hari. Namun kali ini, tidak. Semalam, Saga dengan kemauannya sendiri tidur di sofa ruang tengah setelah mengisolasi diri di ruang kerjanya. Lian juga tidak berinisiatif untuk menawarkan Saga tidur di kamar. Ia hanya membawakan selimut ketika malam telah larut dan Saga sudah terlelap. "Aku berangkat," pamit Saga kepada Lian di ambang pintu kaca pembatas antara ruang tengah dan dapur. Lelaki itu bahkan tidak repot-repot menghampiri dan memberikan kecupan hangat kepada Lian. Jangankan itu, menoleh barang sejenak saja tidak. Saga melenggang pergi menuju carport."Mas ... " Lian menyusul Saga ke carport dan memberikan satu kotak makan. "Aku mungkin tidak bisa ke kantor kamu membawakan makan siang. Hana sudah mengatur kembali jadwal kerjaku. Jadi, bawa ini untuk makan siang."Tanpa berkata apa-apa, Saga meraih kotak maka
"Semua yang ada di kepalamu isinya hanya kamu meragukanku, Lian."Saga lantas meraih laptopnya dan membawanya ke ruang kerja. Sebelum mencapai ambang pintu, Saga menoleh lagi dan berkata sesuatu yang membuat Lian semakin tercengang dan bingung."Segera selesaikan urusan masa lalumu," ujar Saga dengan nada paling dingin yang pernah Lian dengar, membuatnya bergidik.Lelaki itu menutup kasar pintunya tanpa sedikitpun memikirkan perasaan Lian. Ya, apa yang harus dipikirkan setelah kekacauan yang Lian buat sendiri?Kulu berlari menghampiri Lian, naik di atas sofa seolah tahu bahwa pemiliknya kini sedang tidak baik-baik saja. Kulu seolah ingin menghibur Lian dengan mengibaskan ekor berbulu lebatnya dengan gemas. Maka, Lian meraih Kulu dan mendekapnya dengan erat. "Kulu ... " Satu butir air mata jatuh melalui pipinya. "I'm so stupid!"Pukul dua siang, Saga belum juga keluar dari ruang kerjanya. Sementara Lian sudah bersiap akan ke rumah sakit untuk mengecek kakinya dan melepas perban yang ma
Lian membuka matanya dengan berat. Ia sudah berada di kamar dan cahaya matahari yang menembus vitrase, lembut menyerbunya. Satu kerjapan, dua kerjapan dan Lian merasa mual. Ia pun menyibak selimut dengan kasar dan berlari ke kamar mandi.Lian menundukkan kepalanya di wastafel dan memuntahkan isi perutnya akibat mabuk semalam. Astaga! Apa yang ia perbuat semalam sampai ia lupa semuanya dan jadi seperti ini? Sudah sekian lama ia tidak mabuk. Rupanya saat kembali mabuk, justru rasanya sekacau ini. Tenggorokannya kering dan napasnya memburu.Ia mendongak, melihat pantulan dirinya di kaca atas wastafel setelah mengusap wajahnya dengan air. Satu kata; berantakan. Rambutnya mencuat kemana-mana. Matanya memerah dan oh shit! Ia hanya mengenakan piyama tipis tanpa terkancing semua.Pasti semalam adalah situasi bencana.Kepalanya pening dan ia menunduk dalam untuk menetralkannya. Lalu, ia mencoba mengingat dengan detail apa yang terjadi hingga tidak sadarkan diri dan bangun di siang bolong begi
"Kalau begitu, kita menikah muda. Aku janji akan membahagiakanmu. Aku janji tidak akan ada yang berani mengusikmu. Kamu begini pasti terpengaruh dengan orang-orang di sekitarku bukan? Sehingga kamu bisa berpikir begini? Lianda, please! Kita sama-sama sudah dewasa dan tahu apa yang kita rasakan satu sama lain."Lian marah dengan perkataan Fahri yang seenaknya itu. Ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Lalu memalingkan wajah ke lain arah. Ia tidak mampu lagi membendung air matanya."Jika semudah itu, mungkin aku tidak akan banyak berpikir Fahri. Justru kita sudah sama-sama dewasa, kita harusnya tahu bahwa realita ini ada. Kamu terlalu baik untukku, dan aku terlalu buruk untukmu.""Tidak ada yang bilang begitu, Anda!" Suara Fahri meninggi."Aku yang bilang. Aku yang merasakan bahwa ketimpangan ini sangat amat menyiksaku selama ini dan aku sadar, bahwa hubungan ini tidak akan sehat. Please ... " Mohonnya dengan mata yang sudah sepenuhnya basah dan menatap Fahri dengan sayu.Saat itu pul
Flashback On—Sore itu, Lian menangis di sudut kamar kosnya. Kamar yang menjadi saksi bisu, bagaimana perjuangannya masuk ke dunia modeling, bagaimana kerasnya persaingan dan industri, serta bagaimana ia mengetahui karakter orang-orang yang sesungguhnya. Semua perasaan sudah ia lalui dan lampiaskan di kamar yang hanya berukuran empat kali empat meter ini. Kebahagiaan, kehilangan, kesedihan, kekecewaan dan sebagainya.Di ruangan gelap itu, Ia menekuk kedua kaki dan menenggelamkan kepala di sana. Udara malam membelai gorden transparan dan menyalurkan energi dingin d setiap inci tubuh Lian. Saat ini, perasaannya teramat sedih, hancur, marah dan ... patah hati. Baru saja, ada seorang yang mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya. Orang itu mengatakan bahwa Lian tidak memiliki kepantasan sedikitpun. Lian adalah model rendahan dan tidak punya value. Dan juga orang itu mengatakan, Lian tidak punya apa-apa. Lian hanya seonggok manusia yang tidak terlihat dan t
Lian rasa, hidup memang selalu penuh kejutan. Jika tidak, maka hidup hanya akan menjadi putih dan abu-abu saja. Monoton. Namun, kejutan kali ini sangat tidak lucu dan juga tidak akan berwarna apapun baginya. Justru aura galaplah yang akan menyelimutinya.Bagaimana mungkin ia bertemu lelaki ini lagi? Harusnya Lian sudah bisa memprediksi bahwa yang akan bertemu dengan Ine dan membahas soal rumah baru, tentulah Fahri. Karena Lian ingat bahwa yang dimau oleh Ine adalah real estate milik Fahri ini. Namun, ia tidak menyangka bahwa yang terjun langsung menemui klien adalah Fahri sendiri. Apa sesenggang itu, sampai harus menemui Ine langsung? Memangnya tidak punya karyawan? Perusahannya kan besar dan karyawannya mungkin lebih dari seratus orang.Oh no! Ini kacau!Ia menundukkan kepala dan menutup matanya. Lalu sedetik kemudian, ia mendongak dan menyunggingkan senyum tipis."Pak Fahri, kenal dengan Lian?" tanya Ine yang kini menatap Lian dan Fahr
Hari berikutnya dan seterusnya Lian datang ke kantor Saga lagi membawa makan siang. Lian jadi lebih sering memperhatikan Saga dari hal kecil ke yang besar sekalipun. Seperti tadi pagi, Lian memasangkan dasi untuk sang suami, menyeterika baju dan membantu Saga menyisir rambut. Hal yang jarang atau bahkan tidak pernah Lian lakukan karena menganggap Saga bisa melakukannya sendiri. Agaknya memang ia selama ini kurang memperhatikan suaminya. Pekerjaan selalu menyita waktunya dari pagi ketemu pagi lagi. Hingga hal-hal kecil seperti itu tidak terjamah oleh Lian."Enak?" tanya Lian yang tersenyum karena Saga selalu lahap setiap kali ia memasak untuknya."Selalu enak," kata Saga di tengah kunyahannya."Ck! Lelaki memang murahan kalau soal makanan enak."Tawa Saga berderai. "Aku pikir, setelah kamu berhenti jadi model, kamu punya peluang untuk membuka restoran dengan menu seperti ini, Lian.""Itu berlebihan, Mas. Review-mu saja tidak objektif, bagaimana bisa aku percaya diri soal masakanku?""N
Saga mengamati Lian yang sedang membereskan sampah makannya. Ia menatap perempuan itu tidak percaya. Sikap Lian aneh sekali hari ini. Ia tiba-tiba datang ke kantor —yang biasanya tidak pernah— membawakan makan siang. Lalu, Saga dibuat seperti orang yang dicurigai macam-macam. Kadang Lian menyunggingkan senyum manis, tapi juga kadang senyumnya mengandung makna lain. Tipis-tipis, tapi Saga bisa melihat ada hawa kesal yang Lian bawa ke sini. Entah itu untuk hal apa."Biar aku saja yang buang." Saga meraih sampah paperbag itu dari tangan Lian dan membuangnya di tempat sampah.Mata Lian tidak lepas melihat setiap gerakan suaminya. Susunan kata di kepalanya sudah sedemikian rapi dan siap untuk ia lontarkan.Namun, sebuah ketukan pintu terdengar dan menampilkan salah satu karyawan lelaki. Lian tahu lelaki itu berada di bagian perbendaharaan. Saga menerima beberapa dokumen dari lelaki itu dan menumpuknya di atas meja."Itu semua kerjaan kamu Mas