Sudah terlalu lama Lian berjibaku dengan pikirannya sendiri. Dengan asumsi bahwa setelah Fahri kembali dari menuntut ilmu di luar negeri, lelaki itu tidak akan mengenali Lian lagi. Terbukti, waktu itu Lian diam-diam datang ke rumah Fahri saat lelaki ia sedang liburan dan pulang ke tanah air. Fahri sedang sangat buru-buru memasuki mobilnya. Fahri semakin menawan dengan setelan jas mahalnya. Dari sana, Lian bisa menyadari bahwa ia masih belum bisa bersanding dengan Fahri. Meski perasaannya mungkin tidak berubah, kenyataan menyentaknya untuk berhenti. Berhenti mengharapkan diri kembali pada Fahri dan berhenti berharap. Maka, ia pun pergi dari kompleks rumah itu setelah melihat mobil Fahri menghilang di belokan gang. Ia merasa menjadi manusia yang paling putus asa, saat itu. Ia menaiki bis untuk kembali ke kost-kostannya yang masih empat kali empat itu. Namun, justru takdir mempertemukannya dengan Saga.Seolah alam semesta tidak bekerja sendiri, ada andil takdir juga, ia dan Saga akhirnya
“Keputusan ku sudah bulat,” ujar Saga.Satu bundle kertas disodorkan kepada Lian, perempuan yang sudah ia nikahi selama lima tahun. Lian menaruh sendok makannya dan meraih kertas tersebut. Di atasnya tertera nama sebuah rumah sakit besar dan ada identitas nama suaminya. Perempuan itu lalu membacanya perlahan, mencoba memahami data yang tertulis rapi di sana. Sayangnya, ia sama sekali tidak mengerti, meski tulisan itu menggunakan bahasa Indonesia.“Apa ini mas?” tanya Lian dengan kening yang mengernyit dan menatap suaminya.“Hasil medical check up dan beberapa tes untuk tindakan Vasektomi, satu bulan lagi.” Saga menjawab dengan begitu santainya seolah ini hanya persoalan flu.“Apa?!” Lian menolak paham, informasi macam apa ini?“Aku sudah riset dan banyak membaca jurnal dan artikel. Aku juga sudah konsultasi dengan dokter berpengalaman. Ini akan banyak manfaatnya, Lian, kita tidak perlu khawatir soal kebobolan dan kamu tidak perlu minum pil KB yang mungkin suatu hari akan mempunyai dam
"Jangan telepon lagi! Bukankah kemarin aku sudah bilang, rescedule jadwalku seminggu ke depan, apa kamu masih kurang paham?!" "Hey, hello! Lian sayang, kenapa kamu pagi-pagi sudah marah-marah? Baru PMS? Atau semalam tidak menyenangkan bersama Saga?"Lian mendengus di balik telepon itu. Mood-nya memang sangat buruk pagi ini, tentu saja ini adalah dampak persoalan semalam dengan Saga. Ia bahkan baru bangun di pukul sebelas pagi karena semalaman ia habiskan untuk menangis."Pokoknya jangan ganggu aku hari ini. Masalah kerjaan kita obrolkan lain kali saja!" protes Lian dan menutup sambungan telepon itu sepihak tanpa mau mendengarkan Hana —managernya— lebih lanjut.Ia melemparkan ponselnya di atas ranjang, mengucir rambutnya asal dan berjalan ke wastafel untuk mencuci muka. Matanya sungguh membengkak dan wajahnya mirip seperti zombie. Ia mengusap kedua pipinya yang kusam karena tidak memoleskan skincare malamnya.Saat ia keluar kamar dan mau ke dapur untuk mengambil minum, ia menemukan Sa
"Nah itu!!" ujar Anggi sampai Lian kaget."Iya, tapi apa?" tanya Lian dengan wajah sedikit putus asa."Hmm ... Mengingat karakter Saga yang begitu, kamu sepertinya harus bekerja keras untuk meluluhkan batu karang itu. Coba kamu ajak Saga ngobrol baik-baik. Atau rayu dia dulu supaya mau membatalkan niatnya. Siapa tahu kalian hanya butuh mengobrol.""Bagaimana jika tidak mempan? Dia susah dipengaruhi dan selalu pada pendiriannya. Kadang aku kesal bicara dengannya."Anggi mengangkat Miko dari baby chair dan memangkunya. "Itu tugas kamu mencari strategi jitu. Ah! Atau begini saja jika memang Saga susah diajak bicara dan kekeh dengan keputusannya, fokus dulu dengan tujuanmu. Kamu mau punya anak kan darinya?"Lian mengangguk setelah mengelus pipi gembul Miko. "Ya sudah, targetkan itu sebelum Saga benar-benar melakukan vasektomi. Satu bulan itu waktu yang lama, Lian!" Anggi memancing Lian untuk berpikir lebih luas.Lian terdiam sejenak, memahami maksud Anggi. Lalu satu ide kembali muncul. "
Lian adalah fighter sejati. Ia ingat perjuangannya menjadi model seperti sekarang tidaklah semulus jalan tol. Ada banyak halangan dan rintangan yang terjadi. Mulai dari ditolak puluhan agensi, ditipu agensi, hampir dilecehkan oleh salah satu kru mesum sampai latihan fisik berminggu-minggu hingga tipes. Belum lagi beban menghadapi senior yang suka membully dan memfitnahnya.Saat akhirnya Lian berhasil mendapatkan kerjaan pertama menjadi model sebuah iklan produk, ia diharuskan pergi ke luar kota beberapa hari. Dan saat itu juga, Anggi mengabari jika mamanya meninggal dunia. Beberapa bulan setelahnya, karir Lian semakin melejit. Ia dipercaya menjadi brand ambassador beberapa produk dan menjadi bintang sampul majalah wanita terpopuler. Lagi-lagi, ia tidak bisa melihat saat-saat terakhir papanya karena harus pemotretan di puncak dan susah sinyal. Ia pulang dan mendapati papanya sudah tiada. Jika tahu kesuksesannya di model harus mengorbankan waktu untuk bersama kedua orang tuanya disaat-s
Setelah makan siang, Lian memilih untuk ikut Saga menemui karyawannya yang kini masih menjalani perawatan di rumah sakit. Sepertinya ini lebih baik daripada ia harus terkurung di dalam kabin kecil itu dan merasa bosan.Sebagai iktikad baik mewakili perusahaan, Saga mau meminta maaf dan memberikan santunan. Mereka pergi dengan penanggung jawab lapangan dan dua pengawal yang biasanya bersama Saga. Sesampainya di rumah sakit, Lian cukup sedih melihat kondisi tiga karyawan itu terbaring dengan kaki yang diperban, dengan kepala yang diperban dan juga tangan. Lian memang tidak tahu cerita detailnya, tapi dari yang Saga katakan, ketiga karyawan ini terhantam alat berat saat sedang bekerja. "Putra rencananya hari ini di operasi pak kakinya. Kalau Deni tangannya sudah baikan dan Aji tinggal pemulihan kepalanya setelah dijahit dua puluh jahitan."Lian menghela napasnya, sedih mendengar itu.Saga mengangguk menerima informasi dari penanggung jawab
Rasa bimbang itu muncul saat Saga merasa Lian terlepas dari lingkaran tangannya di bahu dan berjalan cepat keluar ruangan. Di satu sisi, keriuhan yang terjadi ini menyangkut dirinya sebagai pemimpin perusahaan yang sedang dituntut keadilan oleh seorang ibu. Di sisi yang lain, Saga berpikir kemungkinan Lian sakit hati dengan perkataan ibu itu. Namun, sebagai pemimpin perusahaan yang bertanggung jawab, ia tentu harus mendahulukan urusan perusahaannya dulu. Untung saja, saudara perempuan Putra itu mampu mengendalikan kemarahan ibunya dan membujuk untuk pulang. Setelah dirasa kondusif, Saga langsung berlari mencari Lian. Ia ke taman, ke sisi-sisi kursi ruang tunggu dan tidak ia temukan istrinya itu. Lalu, saat ia melewati toilet perempuan, langkahnya terhenti. Saga hafal suara lirih tangis itu. Ya, itu jelas suara Lian.Maka, dengan tidak mempedulikan kesopanan, ia masuk ke dalam toilet wanita tersebut dan mengetuk salah satu pintunya."Lian." panggilnya lemb
Di kehidupan rumah tangga Saga dan Lian, pagi bukanlah sembarang pagi. Pagi seolah adalah waktu yang paling emas untuk keduanya merefleksi diri. Di saat baru bangun, mood Lian akan lebih baik daripada malamnya dan itu selalu terjadi setiap mereka bertengkar malamnya. Begitupun Saga. Lelaki itu selalu mengawali hari dengan sesuatu yang lebih baik. Lalu, mereka akan berinteraksi seperti sedia kala, seolah masalah mereka semalam telah selesai karena kesadaran masing-masing.Lian keluar dari kamarnya dan mendapati Saga masih meringkuk di sofa ruang tengah. Ia menghampiri dan berdiri mematung saja sambil melipat tangannya di dada, memperhatikan suaminya dengan mata terpejam itu. Wajah polos Saga saat tidur seolah tidak mencerminkan bahwa lelaki itu sangat keras kepala dan tidak peka.Diam-diam, Lian juga sebenarnya mengakui bahwa kelakuannya kemarin memang sangat kekanakan. Itu sangat bukan dirinya sekali. Entahlah, rasanya semenjak Saga mengumumkan bahwa akan melakukan vasektomi, Lian jadi
Sudah terlalu lama Lian berjibaku dengan pikirannya sendiri. Dengan asumsi bahwa setelah Fahri kembali dari menuntut ilmu di luar negeri, lelaki itu tidak akan mengenali Lian lagi. Terbukti, waktu itu Lian diam-diam datang ke rumah Fahri saat lelaki ia sedang liburan dan pulang ke tanah air. Fahri sedang sangat buru-buru memasuki mobilnya. Fahri semakin menawan dengan setelan jas mahalnya. Dari sana, Lian bisa menyadari bahwa ia masih belum bisa bersanding dengan Fahri. Meski perasaannya mungkin tidak berubah, kenyataan menyentaknya untuk berhenti. Berhenti mengharapkan diri kembali pada Fahri dan berhenti berharap. Maka, ia pun pergi dari kompleks rumah itu setelah melihat mobil Fahri menghilang di belokan gang. Ia merasa menjadi manusia yang paling putus asa, saat itu. Ia menaiki bis untuk kembali ke kost-kostannya yang masih empat kali empat itu. Namun, justru takdir mempertemukannya dengan Saga.Seolah alam semesta tidak bekerja sendiri, ada andil takdir juga, ia dan Saga akhirnya
Selayaknya pagi adalah waktu yang tepat untuk mengawali hari, pertengkaran mereka di malam hari selalu teredam di waktu pagi. Mereka akan baikan dengan sendirinya di pagi hari. Namun kali ini, tidak. Semalam, Saga dengan kemauannya sendiri tidur di sofa ruang tengah setelah mengisolasi diri di ruang kerjanya. Lian juga tidak berinisiatif untuk menawarkan Saga tidur di kamar. Ia hanya membawakan selimut ketika malam telah larut dan Saga sudah terlelap. "Aku berangkat," pamit Saga kepada Lian di ambang pintu kaca pembatas antara ruang tengah dan dapur. Lelaki itu bahkan tidak repot-repot menghampiri dan memberikan kecupan hangat kepada Lian. Jangankan itu, menoleh barang sejenak saja tidak. Saga melenggang pergi menuju carport."Mas ... " Lian menyusul Saga ke carport dan memberikan satu kotak makan. "Aku mungkin tidak bisa ke kantor kamu membawakan makan siang. Hana sudah mengatur kembali jadwal kerjaku. Jadi, bawa ini untuk makan siang."Tanpa berkata apa-apa, Saga meraih kotak maka
"Semua yang ada di kepalamu isinya hanya kamu meragukanku, Lian."Saga lantas meraih laptopnya dan membawanya ke ruang kerja. Sebelum mencapai ambang pintu, Saga menoleh lagi dan berkata sesuatu yang membuat Lian semakin tercengang dan bingung."Segera selesaikan urusan masa lalumu," ujar Saga dengan nada paling dingin yang pernah Lian dengar, membuatnya bergidik.Lelaki itu menutup kasar pintunya tanpa sedikitpun memikirkan perasaan Lian. Ya, apa yang harus dipikirkan setelah kekacauan yang Lian buat sendiri?Kulu berlari menghampiri Lian, naik di atas sofa seolah tahu bahwa pemiliknya kini sedang tidak baik-baik saja. Kulu seolah ingin menghibur Lian dengan mengibaskan ekor berbulu lebatnya dengan gemas. Maka, Lian meraih Kulu dan mendekapnya dengan erat. "Kulu ... " Satu butir air mata jatuh melalui pipinya. "I'm so stupid!"Pukul dua siang, Saga belum juga keluar dari ruang kerjanya. Sementara Lian sudah bersiap akan ke rumah sakit untuk mengecek kakinya dan melepas perban yang ma
Lian membuka matanya dengan berat. Ia sudah berada di kamar dan cahaya matahari yang menembus vitrase, lembut menyerbunya. Satu kerjapan, dua kerjapan dan Lian merasa mual. Ia pun menyibak selimut dengan kasar dan berlari ke kamar mandi.Lian menundukkan kepalanya di wastafel dan memuntahkan isi perutnya akibat mabuk semalam. Astaga! Apa yang ia perbuat semalam sampai ia lupa semuanya dan jadi seperti ini? Sudah sekian lama ia tidak mabuk. Rupanya saat kembali mabuk, justru rasanya sekacau ini. Tenggorokannya kering dan napasnya memburu.Ia mendongak, melihat pantulan dirinya di kaca atas wastafel setelah mengusap wajahnya dengan air. Satu kata; berantakan. Rambutnya mencuat kemana-mana. Matanya memerah dan oh shit! Ia hanya mengenakan piyama tipis tanpa terkancing semua.Pasti semalam adalah situasi bencana.Kepalanya pening dan ia menunduk dalam untuk menetralkannya. Lalu, ia mencoba mengingat dengan detail apa yang terjadi hingga tidak sadarkan diri dan bangun di siang bolong begi
"Kalau begitu, kita menikah muda. Aku janji akan membahagiakanmu. Aku janji tidak akan ada yang berani mengusikmu. Kamu begini pasti terpengaruh dengan orang-orang di sekitarku bukan? Sehingga kamu bisa berpikir begini? Lianda, please! Kita sama-sama sudah dewasa dan tahu apa yang kita rasakan satu sama lain."Lian marah dengan perkataan Fahri yang seenaknya itu. Ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Lalu memalingkan wajah ke lain arah. Ia tidak mampu lagi membendung air matanya."Jika semudah itu, mungkin aku tidak akan banyak berpikir Fahri. Justru kita sudah sama-sama dewasa, kita harusnya tahu bahwa realita ini ada. Kamu terlalu baik untukku, dan aku terlalu buruk untukmu.""Tidak ada yang bilang begitu, Anda!" Suara Fahri meninggi."Aku yang bilang. Aku yang merasakan bahwa ketimpangan ini sangat amat menyiksaku selama ini dan aku sadar, bahwa hubungan ini tidak akan sehat. Please ... " Mohonnya dengan mata yang sudah sepenuhnya basah dan menatap Fahri dengan sayu.Saat itu pul
Flashback On—Sore itu, Lian menangis di sudut kamar kosnya. Kamar yang menjadi saksi bisu, bagaimana perjuangannya masuk ke dunia modeling, bagaimana kerasnya persaingan dan industri, serta bagaimana ia mengetahui karakter orang-orang yang sesungguhnya. Semua perasaan sudah ia lalui dan lampiaskan di kamar yang hanya berukuran empat kali empat meter ini. Kebahagiaan, kehilangan, kesedihan, kekecewaan dan sebagainya.Di ruangan gelap itu, Ia menekuk kedua kaki dan menenggelamkan kepala di sana. Udara malam membelai gorden transparan dan menyalurkan energi dingin d setiap inci tubuh Lian. Saat ini, perasaannya teramat sedih, hancur, marah dan ... patah hati. Baru saja, ada seorang yang mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya. Orang itu mengatakan bahwa Lian tidak memiliki kepantasan sedikitpun. Lian adalah model rendahan dan tidak punya value. Dan juga orang itu mengatakan, Lian tidak punya apa-apa. Lian hanya seonggok manusia yang tidak terlihat dan t
Lian rasa, hidup memang selalu penuh kejutan. Jika tidak, maka hidup hanya akan menjadi putih dan abu-abu saja. Monoton. Namun, kejutan kali ini sangat tidak lucu dan juga tidak akan berwarna apapun baginya. Justru aura galaplah yang akan menyelimutinya.Bagaimana mungkin ia bertemu lelaki ini lagi? Harusnya Lian sudah bisa memprediksi bahwa yang akan bertemu dengan Ine dan membahas soal rumah baru, tentulah Fahri. Karena Lian ingat bahwa yang dimau oleh Ine adalah real estate milik Fahri ini. Namun, ia tidak menyangka bahwa yang terjun langsung menemui klien adalah Fahri sendiri. Apa sesenggang itu, sampai harus menemui Ine langsung? Memangnya tidak punya karyawan? Perusahannya kan besar dan karyawannya mungkin lebih dari seratus orang.Oh no! Ini kacau!Ia menundukkan kepala dan menutup matanya. Lalu sedetik kemudian, ia mendongak dan menyunggingkan senyum tipis."Pak Fahri, kenal dengan Lian?" tanya Ine yang kini menatap Lian dan Fahr
Hari berikutnya dan seterusnya Lian datang ke kantor Saga lagi membawa makan siang. Lian jadi lebih sering memperhatikan Saga dari hal kecil ke yang besar sekalipun. Seperti tadi pagi, Lian memasangkan dasi untuk sang suami, menyeterika baju dan membantu Saga menyisir rambut. Hal yang jarang atau bahkan tidak pernah Lian lakukan karena menganggap Saga bisa melakukannya sendiri. Agaknya memang ia selama ini kurang memperhatikan suaminya. Pekerjaan selalu menyita waktunya dari pagi ketemu pagi lagi. Hingga hal-hal kecil seperti itu tidak terjamah oleh Lian."Enak?" tanya Lian yang tersenyum karena Saga selalu lahap setiap kali ia memasak untuknya."Selalu enak," kata Saga di tengah kunyahannya."Ck! Lelaki memang murahan kalau soal makanan enak."Tawa Saga berderai. "Aku pikir, setelah kamu berhenti jadi model, kamu punya peluang untuk membuka restoran dengan menu seperti ini, Lian.""Itu berlebihan, Mas. Review-mu saja tidak objektif, bagaimana bisa aku percaya diri soal masakanku?""N
Saga mengamati Lian yang sedang membereskan sampah makannya. Ia menatap perempuan itu tidak percaya. Sikap Lian aneh sekali hari ini. Ia tiba-tiba datang ke kantor —yang biasanya tidak pernah— membawakan makan siang. Lalu, Saga dibuat seperti orang yang dicurigai macam-macam. Kadang Lian menyunggingkan senyum manis, tapi juga kadang senyumnya mengandung makna lain. Tipis-tipis, tapi Saga bisa melihat ada hawa kesal yang Lian bawa ke sini. Entah itu untuk hal apa."Biar aku saja yang buang." Saga meraih sampah paperbag itu dari tangan Lian dan membuangnya di tempat sampah.Mata Lian tidak lepas melihat setiap gerakan suaminya. Susunan kata di kepalanya sudah sedemikian rapi dan siap untuk ia lontarkan.Namun, sebuah ketukan pintu terdengar dan menampilkan salah satu karyawan lelaki. Lian tahu lelaki itu berada di bagian perbendaharaan. Saga menerima beberapa dokumen dari lelaki itu dan menumpuknya di atas meja."Itu semua kerjaan kamu Mas