"Mau aku temani?"
"Memangnya aku anak kecil yang masih butuh dampingan?" gerutu Lian sambil membuka pintu mobil dan bersiap keluar.Sebelum ke rumah ibu Mita, mereka mampir dahulu ke toko bunga langganan, membelikan satu buket lily putih kesukaan ibu Mita. Namun, sejak perjalanan itu dimulai, Lian memang sedikit sinis kepada Saga. Apalagi jika bukan soal ekspektasi perempuan itu terhadap Saga dan segala misinya mendapatkan benih cinta dari suaminya. Ya, lagi-lagi gagal total.Bayangkan saja, Lian sudah optimis, geloranya sungguh membara seiring sentuhan Saga yang tergesa-gesa si setiap jengkal tubuhnya, tapi tetap on poin. Di puncak hasratnya, ia sudah tersenyum dan menyebut nama Saga di sela desahannya dengan penuh damba. Namun, senyum dan kebahagiaannya itu terpatahkan saat Saga merogoh sesuatu di saku celana kerjanya yang masih ia pakai dari semalam. Bisa-bisanya Lelaki itu mengeluarkan pengaman dan memakainya. Wajah Lian, pias seketika. Akhirnya, klimaksnya tertahan dan ia jadi uring-uringan. Lian mengingkari untuk tidak kesal hari ini. Pada kenyataannya, realita memang tidak seindah imajinasinya.Sebenarnya, salah Lian juga selalu berekspektasi terlalu tinggi terhadap Saga. Sudah tahu lelaki itu akan kekeh pada pendiriannya untuk tidak akan memiliki anak. Dan Saga bukan tipe lelaki yang bodoh apalagi ceroboh dan lalai. Ia bertanggungjawab atas pilihannya. Sudah jelas di sini bahwa Lian tidak bisa menaruh ekspektasinya terlalu tinggi lagi pada suaminya. Pagi tadi, ia terlalu memaksakan hingga Lian sakit hati sendiri.Sekarang, janji terakhir kalinya Lian kesal dengan Saga. Besok ia akan mencari strategi yang lebih jitu lagi tanpa harus melibatkan ekspektasi dan menggantungkan harapan setinggi langit pada Saga. Lian kapok, bukannya mendapatkan benih, ia malah kesal karena energinya jadi berkurang drastis menghadapi Saga dan moodnya sendiri.Lian pun masuk ke toko bunga itu. Seorang karyawan tersenyum manis padanya tapi tidak mampu mengubah hari buruknya ini. Lian segera menyebutkan pesanannya seperti biasa.Tak selang lama, buket lily itu sudah ada di tangannya dan ia kembali masuk ke mobil. Namun, saat melewati parkiran, seseorang memanggilnya."Anda! Lianda!"Jarang-jarang ia dipanggil penggalan nama yang seperti itu jika bukan satu orang di masa lalunya. Lian pun menoleh dan benar saja, seorang dari masa lalunya —yang pernah bilang bahwa Anda adalah nama paling indah— itu menghampirinya."Fahri?""Hey, kamu baru beli bunga?""Oh iya. Kamu juga mau beli? Kalau begitu silakan, mumpung belum banyak customer yang datang."Lelaki bernama Fahri itu tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku jelas tidak akan melewatkan pertemuan dengan mu lagi walau sebentar saja. Kamu dengan siapa?" tanyanya."Aku deng—""Sayang, sudah selesai?" Saga tiba-tiba hadir di sampingnya dan membebat pinggang Lian dengan tangan kirinya secara posesif."Aku dengan suamiku. Fahri maaf ya, kita sedikit buru-buru. Jadi maaf sepertinya kita akan sungguhan melewatkan pertemuan singkat ini." ujar Lian yang mengerti bahwa situasi ini tidaklah baik."Oh tentu saja. Aku yang harus meminta maaf karena sudah menganggu waktu kalian.""Kita permisi dulu. Sampai jumpa lain waktu." pamit Lian dengan senyum sumringah.Saga membawa Lian kembali ke mobil tanpa suara. Akan tetapi, Lian biasa saja. Ia bahkan hanya mengedikkan bahu saat tahu Saga berubah cuek dari sebelumnya."Harus sekali ya bilang 'sampai jumpa lain waktu' pada mantanmu itu?" tanya Saga yang sudah melajukan mobilnya membelah jalanan kota.Dalam hati, Lian tersenyum. Pancingannya yang spontan itu, termakan juga oleh Saga. Tinggal bagaimana lelaki itu akan bereaksi selanjutnya."Memang kenapa? Fahri punya perusahaan media, siapa tahu aku akan jadi salah satu modelnya suatu hari nanti? Who knows?" Lian menaikkan kedua bahunya dengan cuek."Kamu berharap jadi model di sana? Tidak cukup pekerjaan kamu yang sudah merambah mencanegara ini, sampai harus menerima tawaran kerjaan dari perusahaan itu?""Loh, apa yang salah? Kita kan tidak boleh menolak rejeki. Lagipula hubunganku dengan Fahri baik-baik saja, kita berpisah baik-baik dan hubungan kita sekarang seperti teman pada umumnya."Ya bagus, sepertinya Saga mulai cemburu. Lian tidak sabar melihat ekspresi wajah kusut Saga sekarang."Aku tidak akan mengijinkan kalau sampai kamu menerima perkerjaan itu."Lian tertawa sumbang. "Kenapa? Kamu mulai cemburu, Mas?" tanyanya yang sudah menoleh sepenuhnya ke arah Saga."Tidak. Untuk apa aku cemburu dengan lelaki yang levelnya dibawahku?"Lian bersungut-sungut, apa maksud Saga bicara seperti itu?"Jadi kamu mengejekku secara tersirat? Kamu menganggap kualifikasi pacarku dulu sangat buruk begitu?""Ck! Aku tidak bilang begitu Lian. Ah sudahlah, susah bicara dengan kamu, kita sudah sampai. Mau turun atau tidak?" Saga mengalihkan pembicaraan sambil membuka pintunya.Tidak terasa perjalanan yang memakan waktu satu jam ini akhirnya sampai. Namun, Lian masih belum puas dengan perdebatannya dengan Saga. Ia ingin melihat seberapa besar rasa cemburunya pada Lian. Konon, cemburu adalah tanda cinta bukan? Melihat mata Saga yang penuh kilat saat membicarakan mantan Lian itu sesuatu yang Lian tunggu-tunggu.Siapa tahu, dengan memberikan sedikit getaran cemburu itu, Saga jadi lebih mau melunak dengan Lian dan menuruti apa katanya. Eh lihat saja, Saga membukakan pintu mobil untuk Lian dan meraih tangan Lian untuk digandeng dengan erat saat memasuki rumah ibu Mita Lestari. Lian pun tersenyum. Ego lelaki memang harus disentil dulu, baru bisa seperti ini.***"Ini untuk Ibu." Lian memberikan buket lily itu dengan senyum manisnya."Lian, Saga, Ibu rindu sekali dengan kalian." ujar Ibu Mita seraya memeluk menantu dan anaknya bergantian."Ibu sendirian terus dari kemarin. Bosan, sepi, sampai-sampai ibu takut kalau mati dalam keadaan sepi.""Ibu Mita Lestari tidak boleh bilang seperti itu." Saga merangkul ibunya sambil memasuki rumah. "Saga, umur ibu sudah enam puluh lima. Dengan penyakit macam-macam. Memangnya tidak boleh Ibu berpikir seperti itu? Lagipula umur siapa yang tahu?"Ibu Mita terlalu berlebihan, padahal beliau hanya sering kontrol untuk kolesterol dan gula darah saja, tidak ada yang namanya penyakit macam-macam. Beliau masih terlihat segar bugar di usia pertengahan enam puluhan ini."Ya bukan berarti Ibu Mita bisa sepesimis itu. Nanti Saga yang akan telepon Bi Ratmi supaya segera pulang ke sini.""Janganlah! Ratmi juga kasihan sebenarnya. Anaknya memang sudah besar-besar, tapi tetap saja butuh perhatiannya."Lian yang berjalan di
Lian paling bisa membuat Saga tak berkutik dengan aksi-aksi spontannya. Saga menunduk, memikirkan apa yang akan ia bicarakan untuk mengalihkan lerhatian Ibu Mita yang kini sudah amat penasaran."Mau bicara apa Saga?" tanya ibu Mita lagi."Oh, ehm ... bagaimana kalau kita duduk dulu?" Saga menghela ibu Mita untuk duduk di kursi panjang kebun itu. Lian pun juga ikut duduk di sebelah ibu Mita. Ia harap kali ini, Saga sungguhan mau bicara serius dengan ibunya. Lian optimis saja pasti ibu Mita tidak akan merestui anaknya untuk melakukan tindakan medis yang tidak masuk akal itu. Jadi ia tidak perlu repot-repot merayu Saga lagi karena Saga pasti akan lebih menuruti apa kata ibunya.Ibu Mita menatap Saga dan Lian bergantian. Masih menunggu topik pembicaraan apa yang sekiranya akan Saga utarakan."Jadi, Bu. Saga dan Lian mau pamit." ujar Saga dan langsung mendapat kernyitan dari Lian."Pamit kemana?""Saga sama Lian mau pergi liburan akhir minggu ini, Bu."Ibu mengerjap riang. "Oh ya? Bagus it
"Kalau kita bertatap muka, pasti ekspresimu sekarang sudah jelek sekali seperti badut. Kamu tidak cocok jadi perempuan cengeng begini Lian," ujar Anggi di seberang telepon.Lian memang merengek sejak pertama Anggi mengangkat telepon itu. Lian baru saja menangis di bawah selimut setelah menyuruh Saga kembali tidur di luar lagi."Sepertinya aku menyerah," keluh Lian dengan nada lemah."Wait! Kamu mau menyerah dengan Saga?!"Lian mengangguk, meski Anggi tidak akan dapat melihatnya. "Hmm ... ""Hey! Dimana jiwa kompetitif kamu Lian? Kamu tidak lupa kan, bisa menjadi model terpopuler se-Asia berkat apa? Kegigihanmu. Dan sekarang masalah begini kamu sudah menyerah?""Beda kasus Anggi.""Kamu mampu mengalahkan ribuan peserta dari berbagai negara. Tapi ini mengalahkan ego suamimu saja tidak bisa. Ayolah Lian."Lian mendesah seraya menyugar rambutnya yang sudah berantakan. Baru beberapa hari ia memegang mental juang itu,
"Gosipnya, Sera itu sudah punya anak, tapi disembunyikan." ujar seorang hair stylist bernama Barbara yang sedikit melambai yang kini sedang mengerjakan rambut Lian.Mereka sedang membicarakan tentang Sera Warnadi, artis sinetron dan layar lebar yang kini sedang banyak digandrungi netizen. "Oh, iya aku pernah dengar selentingan itu. Ingat tidak waktu kita bertiga jalan-jalan di Mall lalu berpapasan dengan Sera, lima bulan lalu? Kita sempat curiga karena Sera pakai pakaian yang membuat tubuhnya terlihat besar bukan? Jangan-jangan waktu itu sedang hamil." Kecurigaan Ine terlihat nyambung dengan gosip yang beredar.Sementara Sofi mengangguk dan terlihat begitu antusias dengan topik ini."Bisa-bisanya tidak terendus media. Padahal Sera cukup aktif main sinetron dan film bukan?" Kini Lian juga ikut menanggapi."Nah, itu! Akika juga curiga." Matilda, hair stylist Sofi imut bersuara. "Tapi sedikit nyambung dengan dua bulan lalu, Sera dikabarkan
Sebenarnya Sofi dan Ine ingin melanjutkan jalan-jalan di Mall setelah dari salon. Namun, Lian yang melihat mereka berdua dengan perut buncit seperti itu, jelas tidak tega. Jalan beberapa langkah saja, Ine sudah ngos-ngosan. Apalagi mengelilingi Mall? Berbeda ketika mereka masih belum hamil, mau keliling dan window shopping sampai Mall tutup pun sanggup-sanggup saja.Sebagai gantinya, Lian menawarkan ide untuk makan siang saja ke restoran jepang langganan mereka. Karena Sofi dan Ine tadi diantar oleh suami mereka masing-masing ke salon, jadilah mereka pergi dengan mobil Lian."Kalian tahu kan seberapa ugal-ugalannya Rio kalau naik mobil?""Tahulah, dia kan memang hobby nge-drive. Aku saja jantungan waktu satu mobil dan disetiri Rio.""Iya, sama. Ingat tidak waktu kita ke puncak, terus aku sampai muntah? Aduh, berasa diputar-putar perutnya. Itu juga yang nyetir Rio. Memangnya kenapa Ne?" tanya Sofi penasaran."Semenjak aku hamil, Rio auto tobat. Setiap naik mobil denganku, dia selalu mem
Terlihat santai, Saga turun dari mobil, menghampiri Lian dan yang lain di pinggir trotoar itu. Wajah jengah Lian sudah tidak bisa disembunyikan lagi saat suaminya itu tepat berdiri di depannya.Lian jelas tahu, Saga dapat info darimana sehingga ada di sini. Sudah pasti dari Andri atau bisa jadi Rama."Aku sudah telepon bengkel, mungkin sebentar lagi mobil dereknya sampai.""Makasih, Yo. Sudan bantu Lian." Saga menepuk ramah pundak Rio."Tidak masalah. Sahabat Ine, sahabatku juga." balas Rio.Saga mengangguk. Lelaki itu lantas mendekat ke arah Lian yang pura-pura sibuk dengan ponselnya. Padahal hanya scroll marketplace melihat-lihat produk. Sampai akhirnya, Lian terpaksa mengalihkan fokusnya pada ponsel saat sesuatu melingkar di pinggangnya dan sebuah hembusan napas terasa di sekitar telinganya, berbisik."Kamu pasti panik sekali tadi, kenapa gak telpon aku, malah telpon Rama?" katanya."Kamu bukannya sibuk?" ujar Lian tidak bersahabat.Saga menghembuskan napas kasar tepat di samping w
Dulu keluarga Lian memelihara kucing. Tidak sampai belasan, tapi lumayan banyak. Ia dan Anggi biasanya akan membagi tugas untuk memberi makan kucing-kucing mereka. Orangtuanya yang bagian menyayang-nyayang saja di depan televisi. Namun, seiring waktu, Lian sibuk kuliah dan mencari kerja. Kedua orang tuanya sudah tidak punya banyak energi untuk para anabul itu. Anggi pun juga sempat merantau. Daripada para anabul itu tidak terurus, akhirnya Lian merelakan kucing-kucingnya diadopsi oleh orang lain.Setelah menikah pun, ia dan Saga tidak sempat memikirkan kucing. Jangankan kucing, ikan yang baru di beli satu hari saja sudah mati karena tidak mereka beri makan, saking sibuknya.Sudah lama sekali ia tidak berjibaku dengan kucing, hewan yang paling manis dan manja. Kini, kerinduannya untuk punya kucing, terobati oleh hadirnya Kulu. Ya, Lian dan Saga sepakat menamainya Kulu, persis seperti nama nasi goreng yang sering lewat depan rumah mereka.Entah sejak kapan,
Lelah berkejar-kejaran, mereka duduk bersantai di sun lounger sambil menikmati kelapa muda dan pemandangan matahari terbenam yang menakjubkan."Aku tahu kamu lebih suka pantai daripada gunung. Tapi, bagaimana jika suatu hari kita merencanakan ke gunung sekali-kali?"Lian membenahi topinya dan menoleh. "Daripada ke gunung, lebih baik ke mall."Sudah Saga duga. Bukannya merasa tersinggung karena Lian menolak ajakannya, Saga justru terbahak. Lian memang tidak pernah suka sesuatu yang ribet. Prinsipnya jika ada yang mudah kenapa harus mencari yang susah? Ia suka alam, tapi tidak dengan lelahnya harus menyusuri perbukitan atau hiking dan sebagainya."Kamu lihat itu kan Mas?" tunjuk Lian ke ujung barat. "Sunset yang tidak perlu dikejar dan banyak effort saja, sudah terpampang nyata di hadapan kita. Kenapa kita harus memilih cara yang lebih sulit untuk sekedar melihatnya? Begini saja sudah gratis dari Tuhan dan patut disyukuri, kamu malah mau menantang d
Sudah terlalu lama Lian berjibaku dengan pikirannya sendiri. Dengan asumsi bahwa setelah Fahri kembali dari menuntut ilmu di luar negeri, lelaki itu tidak akan mengenali Lian lagi. Terbukti, waktu itu Lian diam-diam datang ke rumah Fahri saat lelaki ia sedang liburan dan pulang ke tanah air. Fahri sedang sangat buru-buru memasuki mobilnya. Fahri semakin menawan dengan setelan jas mahalnya. Dari sana, Lian bisa menyadari bahwa ia masih belum bisa bersanding dengan Fahri. Meski perasaannya mungkin tidak berubah, kenyataan menyentaknya untuk berhenti. Berhenti mengharapkan diri kembali pada Fahri dan berhenti berharap. Maka, ia pun pergi dari kompleks rumah itu setelah melihat mobil Fahri menghilang di belokan gang. Ia merasa menjadi manusia yang paling putus asa, saat itu. Ia menaiki bis untuk kembali ke kost-kostannya yang masih empat kali empat itu. Namun, justru takdir mempertemukannya dengan Saga.Seolah alam semesta tidak bekerja sendiri, ada andil takdir juga, ia dan Saga akhirnya
Selayaknya pagi adalah waktu yang tepat untuk mengawali hari, pertengkaran mereka di malam hari selalu teredam di waktu pagi. Mereka akan baikan dengan sendirinya di pagi hari. Namun kali ini, tidak. Semalam, Saga dengan kemauannya sendiri tidur di sofa ruang tengah setelah mengisolasi diri di ruang kerjanya. Lian juga tidak berinisiatif untuk menawarkan Saga tidur di kamar. Ia hanya membawakan selimut ketika malam telah larut dan Saga sudah terlelap. "Aku berangkat," pamit Saga kepada Lian di ambang pintu kaca pembatas antara ruang tengah dan dapur. Lelaki itu bahkan tidak repot-repot menghampiri dan memberikan kecupan hangat kepada Lian. Jangankan itu, menoleh barang sejenak saja tidak. Saga melenggang pergi menuju carport."Mas ... " Lian menyusul Saga ke carport dan memberikan satu kotak makan. "Aku mungkin tidak bisa ke kantor kamu membawakan makan siang. Hana sudah mengatur kembali jadwal kerjaku. Jadi, bawa ini untuk makan siang."Tanpa berkata apa-apa, Saga meraih kotak maka
"Semua yang ada di kepalamu isinya hanya kamu meragukanku, Lian."Saga lantas meraih laptopnya dan membawanya ke ruang kerja. Sebelum mencapai ambang pintu, Saga menoleh lagi dan berkata sesuatu yang membuat Lian semakin tercengang dan bingung."Segera selesaikan urusan masa lalumu," ujar Saga dengan nada paling dingin yang pernah Lian dengar, membuatnya bergidik.Lelaki itu menutup kasar pintunya tanpa sedikitpun memikirkan perasaan Lian. Ya, apa yang harus dipikirkan setelah kekacauan yang Lian buat sendiri?Kulu berlari menghampiri Lian, naik di atas sofa seolah tahu bahwa pemiliknya kini sedang tidak baik-baik saja. Kulu seolah ingin menghibur Lian dengan mengibaskan ekor berbulu lebatnya dengan gemas. Maka, Lian meraih Kulu dan mendekapnya dengan erat. "Kulu ... " Satu butir air mata jatuh melalui pipinya. "I'm so stupid!"Pukul dua siang, Saga belum juga keluar dari ruang kerjanya. Sementara Lian sudah bersiap akan ke rumah sakit untuk mengecek kakinya dan melepas perban yang ma
Lian membuka matanya dengan berat. Ia sudah berada di kamar dan cahaya matahari yang menembus vitrase, lembut menyerbunya. Satu kerjapan, dua kerjapan dan Lian merasa mual. Ia pun menyibak selimut dengan kasar dan berlari ke kamar mandi.Lian menundukkan kepalanya di wastafel dan memuntahkan isi perutnya akibat mabuk semalam. Astaga! Apa yang ia perbuat semalam sampai ia lupa semuanya dan jadi seperti ini? Sudah sekian lama ia tidak mabuk. Rupanya saat kembali mabuk, justru rasanya sekacau ini. Tenggorokannya kering dan napasnya memburu.Ia mendongak, melihat pantulan dirinya di kaca atas wastafel setelah mengusap wajahnya dengan air. Satu kata; berantakan. Rambutnya mencuat kemana-mana. Matanya memerah dan oh shit! Ia hanya mengenakan piyama tipis tanpa terkancing semua.Pasti semalam adalah situasi bencana.Kepalanya pening dan ia menunduk dalam untuk menetralkannya. Lalu, ia mencoba mengingat dengan detail apa yang terjadi hingga tidak sadarkan diri dan bangun di siang bolong begi
"Kalau begitu, kita menikah muda. Aku janji akan membahagiakanmu. Aku janji tidak akan ada yang berani mengusikmu. Kamu begini pasti terpengaruh dengan orang-orang di sekitarku bukan? Sehingga kamu bisa berpikir begini? Lianda, please! Kita sama-sama sudah dewasa dan tahu apa yang kita rasakan satu sama lain."Lian marah dengan perkataan Fahri yang seenaknya itu. Ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Lalu memalingkan wajah ke lain arah. Ia tidak mampu lagi membendung air matanya."Jika semudah itu, mungkin aku tidak akan banyak berpikir Fahri. Justru kita sudah sama-sama dewasa, kita harusnya tahu bahwa realita ini ada. Kamu terlalu baik untukku, dan aku terlalu buruk untukmu.""Tidak ada yang bilang begitu, Anda!" Suara Fahri meninggi."Aku yang bilang. Aku yang merasakan bahwa ketimpangan ini sangat amat menyiksaku selama ini dan aku sadar, bahwa hubungan ini tidak akan sehat. Please ... " Mohonnya dengan mata yang sudah sepenuhnya basah dan menatap Fahri dengan sayu.Saat itu pul
Flashback On—Sore itu, Lian menangis di sudut kamar kosnya. Kamar yang menjadi saksi bisu, bagaimana perjuangannya masuk ke dunia modeling, bagaimana kerasnya persaingan dan industri, serta bagaimana ia mengetahui karakter orang-orang yang sesungguhnya. Semua perasaan sudah ia lalui dan lampiaskan di kamar yang hanya berukuran empat kali empat meter ini. Kebahagiaan, kehilangan, kesedihan, kekecewaan dan sebagainya.Di ruangan gelap itu, Ia menekuk kedua kaki dan menenggelamkan kepala di sana. Udara malam membelai gorden transparan dan menyalurkan energi dingin d setiap inci tubuh Lian. Saat ini, perasaannya teramat sedih, hancur, marah dan ... patah hati. Baru saja, ada seorang yang mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya. Orang itu mengatakan bahwa Lian tidak memiliki kepantasan sedikitpun. Lian adalah model rendahan dan tidak punya value. Dan juga orang itu mengatakan, Lian tidak punya apa-apa. Lian hanya seonggok manusia yang tidak terlihat dan t
Lian rasa, hidup memang selalu penuh kejutan. Jika tidak, maka hidup hanya akan menjadi putih dan abu-abu saja. Monoton. Namun, kejutan kali ini sangat tidak lucu dan juga tidak akan berwarna apapun baginya. Justru aura galaplah yang akan menyelimutinya.Bagaimana mungkin ia bertemu lelaki ini lagi? Harusnya Lian sudah bisa memprediksi bahwa yang akan bertemu dengan Ine dan membahas soal rumah baru, tentulah Fahri. Karena Lian ingat bahwa yang dimau oleh Ine adalah real estate milik Fahri ini. Namun, ia tidak menyangka bahwa yang terjun langsung menemui klien adalah Fahri sendiri. Apa sesenggang itu, sampai harus menemui Ine langsung? Memangnya tidak punya karyawan? Perusahannya kan besar dan karyawannya mungkin lebih dari seratus orang.Oh no! Ini kacau!Ia menundukkan kepala dan menutup matanya. Lalu sedetik kemudian, ia mendongak dan menyunggingkan senyum tipis."Pak Fahri, kenal dengan Lian?" tanya Ine yang kini menatap Lian dan Fahr
Hari berikutnya dan seterusnya Lian datang ke kantor Saga lagi membawa makan siang. Lian jadi lebih sering memperhatikan Saga dari hal kecil ke yang besar sekalipun. Seperti tadi pagi, Lian memasangkan dasi untuk sang suami, menyeterika baju dan membantu Saga menyisir rambut. Hal yang jarang atau bahkan tidak pernah Lian lakukan karena menganggap Saga bisa melakukannya sendiri. Agaknya memang ia selama ini kurang memperhatikan suaminya. Pekerjaan selalu menyita waktunya dari pagi ketemu pagi lagi. Hingga hal-hal kecil seperti itu tidak terjamah oleh Lian."Enak?" tanya Lian yang tersenyum karena Saga selalu lahap setiap kali ia memasak untuknya."Selalu enak," kata Saga di tengah kunyahannya."Ck! Lelaki memang murahan kalau soal makanan enak."Tawa Saga berderai. "Aku pikir, setelah kamu berhenti jadi model, kamu punya peluang untuk membuka restoran dengan menu seperti ini, Lian.""Itu berlebihan, Mas. Review-mu saja tidak objektif, bagaimana bisa aku percaya diri soal masakanku?""N
Saga mengamati Lian yang sedang membereskan sampah makannya. Ia menatap perempuan itu tidak percaya. Sikap Lian aneh sekali hari ini. Ia tiba-tiba datang ke kantor —yang biasanya tidak pernah— membawakan makan siang. Lalu, Saga dibuat seperti orang yang dicurigai macam-macam. Kadang Lian menyunggingkan senyum manis, tapi juga kadang senyumnya mengandung makna lain. Tipis-tipis, tapi Saga bisa melihat ada hawa kesal yang Lian bawa ke sini. Entah itu untuk hal apa."Biar aku saja yang buang." Saga meraih sampah paperbag itu dari tangan Lian dan membuangnya di tempat sampah.Mata Lian tidak lepas melihat setiap gerakan suaminya. Susunan kata di kepalanya sudah sedemikian rapi dan siap untuk ia lontarkan.Namun, sebuah ketukan pintu terdengar dan menampilkan salah satu karyawan lelaki. Lian tahu lelaki itu berada di bagian perbendaharaan. Saga menerima beberapa dokumen dari lelaki itu dan menumpuknya di atas meja."Itu semua kerjaan kamu Mas