Lian adalah fighter sejati. Ia ingat perjuangannya menjadi model seperti sekarang tidaklah semulus jalan tol. Ada banyak halangan dan rintangan yang terjadi. Mulai dari ditolak puluhan agensi, ditipu agensi, hampir dilecehkan oleh salah satu kru mesum sampai latihan fisik berminggu-minggu hingga tipes. Belum lagi beban menghadapi senior yang suka membully dan memfitnahnya.
Saat akhirnya Lian berhasil mendapatkan kerjaan pertama menjadi model sebuah iklan produk, ia diharuskan pergi ke luar kota beberapa hari. Dan saat itu juga, Anggi mengabari jika mamanya meninggal dunia. Beberapa bulan setelahnya, karir Lian semakin melejit. Ia dipercaya menjadi brand ambassador beberapa produk dan menjadi bintang sampul majalah wanita terpopuler. Lagi-lagi, ia tidak bisa melihat saat-saat terakhir papanya karena harus pemotretan di puncak dan susah sinyal. Ia pulang dan mendapati papanya sudah tiada. Jika tahu kesuksesannya di model harus mengorbankan waktu untuk bersama kedua orang tuanya disaat-saat terkahir hidup mereka, ia lebih baik menurut untuk menjadi PNS seperti yang papanya mau.
Namun tidak ia lakukan dan tetap memperjuangkan mimpinya.
Kehidupannya sungguh naik turun seperti rollercoaster dan ia masih bertahan hingga sekarang dengan segala kemelut dan masalah yang ada di hidupnya, meski terkadang orang melihatnya sebagai perempuan paling beruntung sedunia. Bukankah Lian adalah pejuang? Tentu. Karena jika tidak, ia sudah berhenti menjadi model dan menganggap model adalah malapetaka baginya karena sudah membuatnya banyak hal buruk menimpanya.
Sekarang, ia hanya butuh kembali mengobarkan semangat pejuangnya untuk mendapatkan benih anak dari suaminya sendiri. Lian tidak menyerah setelah misi pertamanya kemarin gagal.
Pagi ini, ia membantu Saga mengemasi barang-barangnya untuk di bawa ke luar pulau, di area tambang dan tempat musibah karyawannya terjadi.
Saga sedang di ruang kerjanya menyiapkan laptop dan dokumen yang harus dibawa.
"Kamu udah siap?" ujar Lian saat Saga masuk ke dalam kamar membawa satu tas jinjing hitam.
Saga mengerjap karena ada yang aneh dengan kopernya. "Kok ada dua? Aku cuma di sana dua hari Lian."
"Yang satu punyaku. Aku mau ikut kamu ke sana."
"Buat apa? Aku di sana mengurus kerjaan dan musibah kemarin."
"Ya siapa bilang kamu akan pelatihan sirkus? Aku tidak akan menganggumu kerja Mas. Tenang saja," jelas Lian sambil meraih scarft dan memakainya di leher.
Saga tidak bisa menolak jika Lian sudah mode seperti ini. Bisa-bisa Lian akan tantrum lagi dan saat pulang nanti ia harus tidur di luar. Bahkan nyamuk di ruang tengah sampai bosan dengan keberadaannya saking sering disuruh tidur di luar.
Saga menghela napas pelan. Perempuan ini memang suka sekali melakukan hal impulsif.
"Tapi Rama hanya booking satu tiket pagi ini. Lagian terakhir kamu ikut ke sana, baru satu malam kamu sudah bosan di kabin. Yakin masih mau ikut?"
Lian mengangguk antusias. "Aku sudah beli tiket sendiri. Di jam yang sama dengan tiketmu. Beda kursi." Lian menunjukkan hasil booking tiketnya melalui layar ponsel itu.
Untungnya, ia sempat bertanya pada Rama —asisten Saga— tadi pagi-pagi sekali.
Sekecil-kecilnya kesempatan, tentu saja harus Lian perjuangkan untuk misinya ini. Ia tidak mau menyesal nantinya. Meski biasanya ikut kerja di lapangan sama sekali tidak ia sukai. Panas, berdebu dan kabinnya banyak nyamuk.
***
Perusahaan ini menyediakan kabin-kabin kecil seperti shelter untuk karyawannya tinggal. Saga punya kabin sendiri. Meski terlihat lebih luas dan mewah dari yang lainnya, bagi Lian ini tetap saja kecil. Ia harus selalu menunduk jika tidak mau kepalanya mentok dengan atapnya. Ruang geraknya sempit dan hanya bisa duduk atau tidur, ranjangnya muat untuk dua orang. Di sudutnya ada meja kecil dan almari untuk menyimpan pakaian atau persediaan makanan. Lalu ada TV flat yang menempel, mesin kopi, mini cooler dan AC.
Cuaca di luar sangat terik dan Saga meminta Lian untuk tinggal di dalam kotak berukuran kira-kira empat kali lima meter dan tinggi dua meter kurang ini. Sungguh sangat menyiksa karena terbiasa tinggal di rumah yang lega dengan AC yang dingin, tapi Lian harus kuat. Ini demi sel telurnya yang harus segera dibuahi. Lian sudah cek kalender dan peroide haidnya masih lama. Meski bukan masa subur, setidaknya selalu ada peluang.
Ponselnya berdering dan nama Sofi —sahabatnya— menari di sana.
"Ya, Sof?"
"Hai Lian. Ayo kita hangout."
Lian menatap nanar apapun yang ada di sekitarnya. "Sorry, tapi aku sedang ikut Saga ke area tambang. Padahal aku kangen dengan kamu dan Ine."
"Oh begitu. Aku kira Saga ada di sini, soalnya Andri sudah pulang tadi pagi. Ya sudah, kita atur ulang saja nanti kalau kamu sudah pulang."
Andri —suami Sofi— adalah salah satu anak buah Saga di kantor. Mereka sebenarnya adalah teman sebaya dan akrab, bahkan tidak terlihat seperti atasan dan bawahan ketika sedang di luar kantor.
"Oke."
"Li ... "
"Ya?"
"Kabin yang sempit pasti seru untuk bermesraan. Sebelum hamil aku sering melakukannya dengan Andri jika ikut ke sana. Bisa dibilang, bayi di dalam perutku ini adalah produk kabin." Sofi tertawa geli di seberang telepon. "Aku tunggu kabar baiknya ya. Biar aku tidak hamil sendirian. Ine kan sudah mau melahirkan."
Lian hanya terkekeh. Memang tujuannya ikut Saga ke sini satu-satunya adalah untuk itu. "Pantas saja tokcer ya. Pulang-pulang langsung jadi. Baiklah, terima kasih sarannya, Sofi sayang."
"Besok kabari kalau kamu sudah pulang ya."
"Oh tentu. Salon langganan kita sudah melambai-lambai ingin di kunjungi."
Lian menaruh ponselnya tepat ketika Saga datang dengan wajah memerah kepanasan dan berkeringat. Lelaki itu melepaskan helm proyeknya, rompi berwarna neon dan sepatu bootnya.
"Kamu pasti kepanasan. AC di tempat ini memang tidak berpengaruh banyak karena cuaca terik. Harusnya kamu stay di rumah saja daripada tidak nyaman di sini."
Lian menatap suaminya riang. Ia tidak boleh tampak mengeluh apalagi membebani Saga dengan segala tingkah kekanakannya karena dari hati paling dalam, ia tidak terlalu suka tempat ini.
"Sepertinya aku mulai nyaman di sini. Mungkin aku akan sering menemanimu ke sini jika aku sedang tidak sibuk."
Saga menghampiri Lian dan duduk bersebelahan di atas ranjang yang sangat jauh lebih kecil dari punya mereka di rumah.
"Aku tidak percaya kamu libur seminggu ini. But it's good for you. Kamu bisa istirahat dan rehat dari pekerjaan. Tapi bukan berarti ikut berpanas-panasan di sini denganku kan?"
Lian meraih tisu di meja sebelahnya dan mulai beraksi menyeka keringat di kening Saga dengan gerakan lembut. Tangannya menyugar rambut-rambut basah Saga ke belakang. Lian sungguh menjelma menjadi istri perhatian dan peka hingga sukses membuat Saga terpaku bingung sambil menatap wajah istrinya.
Lian menangkup pipi kanan Saga dan menatapnya. "Aku memang sengaja. Kita lama tidak me time dan waktu kita tidak banyak untuk bertemu. Jadi tidak ada salahnya kan aku ikut kamu tugas di saat aku free?"
Lengan mereka sudah menempel satu sama lain. Tatapan itu seolah terkunci dan Saga memajukan wajahnya untuk meraih bibir Lian. Kembang api terdengar di kepala Lian. Yes! Intro yang bagus. Lian pun dengan gerakan cepat, berpindah posisi di atas pangkuan Saga. Kedua tungkai kakinya mengapit paha dan tangannya mengalung di leher lelaki itu.
Untung Lian sudah membuka cardigan dan scarf-nya dan hanya menyisakan blouse tanpa lengannya. Apalagi kedua kancing teratasnya sudah ia buka karena panas. Lian sudah bisa menebak aktivitas mereka akan sampai mana. Peduli setan ini siang terik dan panas bukan main di dalam sini. Kesempatan sudah menghampirinya.
Lalu, Saga memisahkan diri untuk sama-sama mengambil napas.
"Jadi, kamu sudah tidak marah denganku?" tanya Lian. "Aku janji kemesraan kita tidak akan terpengaruh oleh keputusanku untuk vasektomi."
Lian meneguk kasar salivanya sendiri. Mengapa jadi Saga yang merayunya soal itu? Harusnya ia yang memakai kesempatan ini untuk merayu Saga membatalkan keputusan konyolnya.
Perut Lian berbunyi nyaring dan mendistrak obrolan yang akan menjurus ke perdebatan lebih lanjut. Masalahnya, ia menghindari perdebatan dan sudah berjanji menahan diri untuk misinya kali ini. Ia pun mengelus perutnya sambil dalam hati berterima kasih.
"Sayang, aku lapar. Tadi pagi kita belum sempat sarapan. Sebentar lagi jam makan siang kan?"
Saga tersenyum dan masih melingkari pinggang Lian mesra. "Ya, aku juga dengar perutmu yang nyaring itu. Oke, ayo kita makan di aula. Kamu tidak apa-apa kan kita makan bersama karyawan yang lain?"
"Tentu saja." Senyum Lian sedikit masam.
Hari ini akan berakhir dalam dua belas jam lagi. Itu adalah waktu yang lama dan bisa ia gunakan untuk mencoba kembali merayu Saga, nanti. Semua hal bisa terjadi dalam waktu dua belas jam bukan? Lian hanya harus optimis.
***
Setelah makan siang, Lian memilih untuk ikut Saga menemui karyawannya yang kini masih menjalani perawatan di rumah sakit. Sepertinya ini lebih baik daripada ia harus terkurung di dalam kabin kecil itu dan merasa bosan.Sebagai iktikad baik mewakili perusahaan, Saga mau meminta maaf dan memberikan santunan. Mereka pergi dengan penanggung jawab lapangan dan dua pengawal yang biasanya bersama Saga. Sesampainya di rumah sakit, Lian cukup sedih melihat kondisi tiga karyawan itu terbaring dengan kaki yang diperban, dengan kepala yang diperban dan juga tangan. Lian memang tidak tahu cerita detailnya, tapi dari yang Saga katakan, ketiga karyawan ini terhantam alat berat saat sedang bekerja. "Putra rencananya hari ini di operasi pak kakinya. Kalau Deni tangannya sudah baikan dan Aji tinggal pemulihan kepalanya setelah dijahit dua puluh jahitan."Lian menghela napasnya, sedih mendengar itu.Saga mengangguk menerima informasi dari penanggung jawab
Rasa bimbang itu muncul saat Saga merasa Lian terlepas dari lingkaran tangannya di bahu dan berjalan cepat keluar ruangan. Di satu sisi, keriuhan yang terjadi ini menyangkut dirinya sebagai pemimpin perusahaan yang sedang dituntut keadilan oleh seorang ibu. Di sisi yang lain, Saga berpikir kemungkinan Lian sakit hati dengan perkataan ibu itu. Namun, sebagai pemimpin perusahaan yang bertanggung jawab, ia tentu harus mendahulukan urusan perusahaannya dulu. Untung saja, saudara perempuan Putra itu mampu mengendalikan kemarahan ibunya dan membujuk untuk pulang. Setelah dirasa kondusif, Saga langsung berlari mencari Lian. Ia ke taman, ke sisi-sisi kursi ruang tunggu dan tidak ia temukan istrinya itu. Lalu, saat ia melewati toilet perempuan, langkahnya terhenti. Saga hafal suara lirih tangis itu. Ya, itu jelas suara Lian.Maka, dengan tidak mempedulikan kesopanan, ia masuk ke dalam toilet wanita tersebut dan mengetuk salah satu pintunya."Lian." panggilnya lemb
Di kehidupan rumah tangga Saga dan Lian, pagi bukanlah sembarang pagi. Pagi seolah adalah waktu yang paling emas untuk keduanya merefleksi diri. Di saat baru bangun, mood Lian akan lebih baik daripada malamnya dan itu selalu terjadi setiap mereka bertengkar malamnya. Begitupun Saga. Lelaki itu selalu mengawali hari dengan sesuatu yang lebih baik. Lalu, mereka akan berinteraksi seperti sedia kala, seolah masalah mereka semalam telah selesai karena kesadaran masing-masing.Lian keluar dari kamarnya dan mendapati Saga masih meringkuk di sofa ruang tengah. Ia menghampiri dan berdiri mematung saja sambil melipat tangannya di dada, memperhatikan suaminya dengan mata terpejam itu. Wajah polos Saga saat tidur seolah tidak mencerminkan bahwa lelaki itu sangat keras kepala dan tidak peka.Diam-diam, Lian juga sebenarnya mengakui bahwa kelakuannya kemarin memang sangat kekanakan. Itu sangat bukan dirinya sekali. Entahlah, rasanya semenjak Saga mengumumkan bahwa akan melakukan vasektomi, Lian jadi
"Mau aku temani?" "Memangnya aku anak kecil yang masih butuh dampingan?" gerutu Lian sambil membuka pintu mobil dan bersiap keluar.Sebelum ke rumah ibu Mita, mereka mampir dahulu ke toko bunga langganan, membelikan satu buket lily putih kesukaan ibu Mita. Namun, sejak perjalanan itu dimulai, Lian memang sedikit sinis kepada Saga. Apalagi jika bukan soal ekspektasi perempuan itu terhadap Saga dan segala misinya mendapatkan benih cinta dari suaminya. Ya, lagi-lagi gagal total.Bayangkan saja, Lian sudah optimis, geloranya sungguh membara seiring sentuhan Saga yang tergesa-gesa si setiap jengkal tubuhnya, tapi tetap on poin. Di puncak hasratnya, ia sudah tersenyum dan menyebut nama Saga di sela desahannya dengan penuh damba. Namun, senyum dan kebahagiaannya itu terpatahkan saat Saga merogoh sesuatu di saku celana kerjanya yang masih ia pakai dari semalam. Bisa-bisanya Lelaki itu mengeluarkan pengaman dan memakainya. Wajah Lian, pias seketika. Akhirnya, klimaksnya tertahan dan ia jadi ur
"Ini untuk Ibu." Lian memberikan buket lily itu dengan senyum manisnya."Lian, Saga, Ibu rindu sekali dengan kalian." ujar Ibu Mita seraya memeluk menantu dan anaknya bergantian."Ibu sendirian terus dari kemarin. Bosan, sepi, sampai-sampai ibu takut kalau mati dalam keadaan sepi.""Ibu Mita Lestari tidak boleh bilang seperti itu." Saga merangkul ibunya sambil memasuki rumah. "Saga, umur ibu sudah enam puluh lima. Dengan penyakit macam-macam. Memangnya tidak boleh Ibu berpikir seperti itu? Lagipula umur siapa yang tahu?"Ibu Mita terlalu berlebihan, padahal beliau hanya sering kontrol untuk kolesterol dan gula darah saja, tidak ada yang namanya penyakit macam-macam. Beliau masih terlihat segar bugar di usia pertengahan enam puluhan ini."Ya bukan berarti Ibu Mita bisa sepesimis itu. Nanti Saga yang akan telepon Bi Ratmi supaya segera pulang ke sini.""Janganlah! Ratmi juga kasihan sebenarnya. Anaknya memang sudah besar-besar, tapi tetap saja butuh perhatiannya."Lian yang berjalan di
Lian paling bisa membuat Saga tak berkutik dengan aksi-aksi spontannya. Saga menunduk, memikirkan apa yang akan ia bicarakan untuk mengalihkan lerhatian Ibu Mita yang kini sudah amat penasaran."Mau bicara apa Saga?" tanya ibu Mita lagi."Oh, ehm ... bagaimana kalau kita duduk dulu?" Saga menghela ibu Mita untuk duduk di kursi panjang kebun itu. Lian pun juga ikut duduk di sebelah ibu Mita. Ia harap kali ini, Saga sungguhan mau bicara serius dengan ibunya. Lian optimis saja pasti ibu Mita tidak akan merestui anaknya untuk melakukan tindakan medis yang tidak masuk akal itu. Jadi ia tidak perlu repot-repot merayu Saga lagi karena Saga pasti akan lebih menuruti apa kata ibunya.Ibu Mita menatap Saga dan Lian bergantian. Masih menunggu topik pembicaraan apa yang sekiranya akan Saga utarakan."Jadi, Bu. Saga dan Lian mau pamit." ujar Saga dan langsung mendapat kernyitan dari Lian."Pamit kemana?""Saga sama Lian mau pergi liburan akhir minggu ini, Bu."Ibu mengerjap riang. "Oh ya? Bagus it
"Kalau kita bertatap muka, pasti ekspresimu sekarang sudah jelek sekali seperti badut. Kamu tidak cocok jadi perempuan cengeng begini Lian," ujar Anggi di seberang telepon.Lian memang merengek sejak pertama Anggi mengangkat telepon itu. Lian baru saja menangis di bawah selimut setelah menyuruh Saga kembali tidur di luar lagi."Sepertinya aku menyerah," keluh Lian dengan nada lemah."Wait! Kamu mau menyerah dengan Saga?!"Lian mengangguk, meski Anggi tidak akan dapat melihatnya. "Hmm ... ""Hey! Dimana jiwa kompetitif kamu Lian? Kamu tidak lupa kan, bisa menjadi model terpopuler se-Asia berkat apa? Kegigihanmu. Dan sekarang masalah begini kamu sudah menyerah?""Beda kasus Anggi.""Kamu mampu mengalahkan ribuan peserta dari berbagai negara. Tapi ini mengalahkan ego suamimu saja tidak bisa. Ayolah Lian."Lian mendesah seraya menyugar rambutnya yang sudah berantakan. Baru beberapa hari ia memegang mental juang itu,
"Gosipnya, Sera itu sudah punya anak, tapi disembunyikan." ujar seorang hair stylist bernama Barbara yang sedikit melambai yang kini sedang mengerjakan rambut Lian.Mereka sedang membicarakan tentang Sera Warnadi, artis sinetron dan layar lebar yang kini sedang banyak digandrungi netizen. "Oh, iya aku pernah dengar selentingan itu. Ingat tidak waktu kita bertiga jalan-jalan di Mall lalu berpapasan dengan Sera, lima bulan lalu? Kita sempat curiga karena Sera pakai pakaian yang membuat tubuhnya terlihat besar bukan? Jangan-jangan waktu itu sedang hamil." Kecurigaan Ine terlihat nyambung dengan gosip yang beredar.Sementara Sofi mengangguk dan terlihat begitu antusias dengan topik ini."Bisa-bisanya tidak terendus media. Padahal Sera cukup aktif main sinetron dan film bukan?" Kini Lian juga ikut menanggapi."Nah, itu! Akika juga curiga." Matilda, hair stylist Sofi imut bersuara. "Tapi sedikit nyambung dengan dua bulan lalu, Sera dikabarkan
Sudah terlalu lama Lian berjibaku dengan pikirannya sendiri. Dengan asumsi bahwa setelah Fahri kembali dari menuntut ilmu di luar negeri, lelaki itu tidak akan mengenali Lian lagi. Terbukti, waktu itu Lian diam-diam datang ke rumah Fahri saat lelaki ia sedang liburan dan pulang ke tanah air. Fahri sedang sangat buru-buru memasuki mobilnya. Fahri semakin menawan dengan setelan jas mahalnya. Dari sana, Lian bisa menyadari bahwa ia masih belum bisa bersanding dengan Fahri. Meski perasaannya mungkin tidak berubah, kenyataan menyentaknya untuk berhenti. Berhenti mengharapkan diri kembali pada Fahri dan berhenti berharap. Maka, ia pun pergi dari kompleks rumah itu setelah melihat mobil Fahri menghilang di belokan gang. Ia merasa menjadi manusia yang paling putus asa, saat itu. Ia menaiki bis untuk kembali ke kost-kostannya yang masih empat kali empat itu. Namun, justru takdir mempertemukannya dengan Saga.Seolah alam semesta tidak bekerja sendiri, ada andil takdir juga, ia dan Saga akhirnya
Selayaknya pagi adalah waktu yang tepat untuk mengawali hari, pertengkaran mereka di malam hari selalu teredam di waktu pagi. Mereka akan baikan dengan sendirinya di pagi hari. Namun kali ini, tidak. Semalam, Saga dengan kemauannya sendiri tidur di sofa ruang tengah setelah mengisolasi diri di ruang kerjanya. Lian juga tidak berinisiatif untuk menawarkan Saga tidur di kamar. Ia hanya membawakan selimut ketika malam telah larut dan Saga sudah terlelap. "Aku berangkat," pamit Saga kepada Lian di ambang pintu kaca pembatas antara ruang tengah dan dapur. Lelaki itu bahkan tidak repot-repot menghampiri dan memberikan kecupan hangat kepada Lian. Jangankan itu, menoleh barang sejenak saja tidak. Saga melenggang pergi menuju carport."Mas ... " Lian menyusul Saga ke carport dan memberikan satu kotak makan. "Aku mungkin tidak bisa ke kantor kamu membawakan makan siang. Hana sudah mengatur kembali jadwal kerjaku. Jadi, bawa ini untuk makan siang."Tanpa berkata apa-apa, Saga meraih kotak maka
"Semua yang ada di kepalamu isinya hanya kamu meragukanku, Lian."Saga lantas meraih laptopnya dan membawanya ke ruang kerja. Sebelum mencapai ambang pintu, Saga menoleh lagi dan berkata sesuatu yang membuat Lian semakin tercengang dan bingung."Segera selesaikan urusan masa lalumu," ujar Saga dengan nada paling dingin yang pernah Lian dengar, membuatnya bergidik.Lelaki itu menutup kasar pintunya tanpa sedikitpun memikirkan perasaan Lian. Ya, apa yang harus dipikirkan setelah kekacauan yang Lian buat sendiri?Kulu berlari menghampiri Lian, naik di atas sofa seolah tahu bahwa pemiliknya kini sedang tidak baik-baik saja. Kulu seolah ingin menghibur Lian dengan mengibaskan ekor berbulu lebatnya dengan gemas. Maka, Lian meraih Kulu dan mendekapnya dengan erat. "Kulu ... " Satu butir air mata jatuh melalui pipinya. "I'm so stupid!"Pukul dua siang, Saga belum juga keluar dari ruang kerjanya. Sementara Lian sudah bersiap akan ke rumah sakit untuk mengecek kakinya dan melepas perban yang ma
Lian membuka matanya dengan berat. Ia sudah berada di kamar dan cahaya matahari yang menembus vitrase, lembut menyerbunya. Satu kerjapan, dua kerjapan dan Lian merasa mual. Ia pun menyibak selimut dengan kasar dan berlari ke kamar mandi.Lian menundukkan kepalanya di wastafel dan memuntahkan isi perutnya akibat mabuk semalam. Astaga! Apa yang ia perbuat semalam sampai ia lupa semuanya dan jadi seperti ini? Sudah sekian lama ia tidak mabuk. Rupanya saat kembali mabuk, justru rasanya sekacau ini. Tenggorokannya kering dan napasnya memburu.Ia mendongak, melihat pantulan dirinya di kaca atas wastafel setelah mengusap wajahnya dengan air. Satu kata; berantakan. Rambutnya mencuat kemana-mana. Matanya memerah dan oh shit! Ia hanya mengenakan piyama tipis tanpa terkancing semua.Pasti semalam adalah situasi bencana.Kepalanya pening dan ia menunduk dalam untuk menetralkannya. Lalu, ia mencoba mengingat dengan detail apa yang terjadi hingga tidak sadarkan diri dan bangun di siang bolong begi
"Kalau begitu, kita menikah muda. Aku janji akan membahagiakanmu. Aku janji tidak akan ada yang berani mengusikmu. Kamu begini pasti terpengaruh dengan orang-orang di sekitarku bukan? Sehingga kamu bisa berpikir begini? Lianda, please! Kita sama-sama sudah dewasa dan tahu apa yang kita rasakan satu sama lain."Lian marah dengan perkataan Fahri yang seenaknya itu. Ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Lalu memalingkan wajah ke lain arah. Ia tidak mampu lagi membendung air matanya."Jika semudah itu, mungkin aku tidak akan banyak berpikir Fahri. Justru kita sudah sama-sama dewasa, kita harusnya tahu bahwa realita ini ada. Kamu terlalu baik untukku, dan aku terlalu buruk untukmu.""Tidak ada yang bilang begitu, Anda!" Suara Fahri meninggi."Aku yang bilang. Aku yang merasakan bahwa ketimpangan ini sangat amat menyiksaku selama ini dan aku sadar, bahwa hubungan ini tidak akan sehat. Please ... " Mohonnya dengan mata yang sudah sepenuhnya basah dan menatap Fahri dengan sayu.Saat itu pul
Flashback On—Sore itu, Lian menangis di sudut kamar kosnya. Kamar yang menjadi saksi bisu, bagaimana perjuangannya masuk ke dunia modeling, bagaimana kerasnya persaingan dan industri, serta bagaimana ia mengetahui karakter orang-orang yang sesungguhnya. Semua perasaan sudah ia lalui dan lampiaskan di kamar yang hanya berukuran empat kali empat meter ini. Kebahagiaan, kehilangan, kesedihan, kekecewaan dan sebagainya.Di ruangan gelap itu, Ia menekuk kedua kaki dan menenggelamkan kepala di sana. Udara malam membelai gorden transparan dan menyalurkan energi dingin d setiap inci tubuh Lian. Saat ini, perasaannya teramat sedih, hancur, marah dan ... patah hati. Baru saja, ada seorang yang mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya. Orang itu mengatakan bahwa Lian tidak memiliki kepantasan sedikitpun. Lian adalah model rendahan dan tidak punya value. Dan juga orang itu mengatakan, Lian tidak punya apa-apa. Lian hanya seonggok manusia yang tidak terlihat dan t
Lian rasa, hidup memang selalu penuh kejutan. Jika tidak, maka hidup hanya akan menjadi putih dan abu-abu saja. Monoton. Namun, kejutan kali ini sangat tidak lucu dan juga tidak akan berwarna apapun baginya. Justru aura galaplah yang akan menyelimutinya.Bagaimana mungkin ia bertemu lelaki ini lagi? Harusnya Lian sudah bisa memprediksi bahwa yang akan bertemu dengan Ine dan membahas soal rumah baru, tentulah Fahri. Karena Lian ingat bahwa yang dimau oleh Ine adalah real estate milik Fahri ini. Namun, ia tidak menyangka bahwa yang terjun langsung menemui klien adalah Fahri sendiri. Apa sesenggang itu, sampai harus menemui Ine langsung? Memangnya tidak punya karyawan? Perusahannya kan besar dan karyawannya mungkin lebih dari seratus orang.Oh no! Ini kacau!Ia menundukkan kepala dan menutup matanya. Lalu sedetik kemudian, ia mendongak dan menyunggingkan senyum tipis."Pak Fahri, kenal dengan Lian?" tanya Ine yang kini menatap Lian dan Fahr
Hari berikutnya dan seterusnya Lian datang ke kantor Saga lagi membawa makan siang. Lian jadi lebih sering memperhatikan Saga dari hal kecil ke yang besar sekalipun. Seperti tadi pagi, Lian memasangkan dasi untuk sang suami, menyeterika baju dan membantu Saga menyisir rambut. Hal yang jarang atau bahkan tidak pernah Lian lakukan karena menganggap Saga bisa melakukannya sendiri. Agaknya memang ia selama ini kurang memperhatikan suaminya. Pekerjaan selalu menyita waktunya dari pagi ketemu pagi lagi. Hingga hal-hal kecil seperti itu tidak terjamah oleh Lian."Enak?" tanya Lian yang tersenyum karena Saga selalu lahap setiap kali ia memasak untuknya."Selalu enak," kata Saga di tengah kunyahannya."Ck! Lelaki memang murahan kalau soal makanan enak."Tawa Saga berderai. "Aku pikir, setelah kamu berhenti jadi model, kamu punya peluang untuk membuka restoran dengan menu seperti ini, Lian.""Itu berlebihan, Mas. Review-mu saja tidak objektif, bagaimana bisa aku percaya diri soal masakanku?""N
Saga mengamati Lian yang sedang membereskan sampah makannya. Ia menatap perempuan itu tidak percaya. Sikap Lian aneh sekali hari ini. Ia tiba-tiba datang ke kantor —yang biasanya tidak pernah— membawakan makan siang. Lalu, Saga dibuat seperti orang yang dicurigai macam-macam. Kadang Lian menyunggingkan senyum manis, tapi juga kadang senyumnya mengandung makna lain. Tipis-tipis, tapi Saga bisa melihat ada hawa kesal yang Lian bawa ke sini. Entah itu untuk hal apa."Biar aku saja yang buang." Saga meraih sampah paperbag itu dari tangan Lian dan membuangnya di tempat sampah.Mata Lian tidak lepas melihat setiap gerakan suaminya. Susunan kata di kepalanya sudah sedemikian rapi dan siap untuk ia lontarkan.Namun, sebuah ketukan pintu terdengar dan menampilkan salah satu karyawan lelaki. Lian tahu lelaki itu berada di bagian perbendaharaan. Saga menerima beberapa dokumen dari lelaki itu dan menumpuknya di atas meja."Itu semua kerjaan kamu Mas