"Jangan telepon lagi! Bukankah kemarin aku sudah bilang, rescedule jadwalku seminggu ke depan, apa kamu masih kurang paham?!"
"Hey, hello! Lian sayang, kenapa kamu pagi-pagi sudah marah-marah? Baru PMS? Atau semalam tidak menyenangkan bersama Saga?"
Lian mendengus di balik telepon itu. Mood-nya memang sangat buruk pagi ini, tentu saja ini adalah dampak persoalan semalam dengan Saga. Ia bahkan baru bangun di pukul sebelas pagi karena semalaman ia habiskan untuk menangis.
"Pokoknya jangan ganggu aku hari ini. Masalah kerjaan kita obrolkan lain kali saja!" protes Lian dan menutup sambungan telepon itu sepihak tanpa mau mendengarkan Hana —managernya— lebih lanjut.
Ia melemparkan ponselnya di atas ranjang, mengucir rambutnya asal dan berjalan ke wastafel untuk mencuci muka. Matanya sungguh membengkak dan wajahnya mirip seperti zombie. Ia mengusap kedua pipinya yang kusam karena tidak memoleskan skincare malamnya.
Saat ia keluar kamar dan mau ke dapur untuk mengambil minum, ia menemukan Saga sudah bersiap dengan pakaian rapinya, akan berangkat bekerja. Anehnya, ini sudah hampir pukul dua belas siang. Padahal Lian tahu hari ini Saga bekerja dari rumah. Atau Saga akan ke luar kota lagi? Baru saja dua hari yang lalu lelaki ini pulang setelah tugas di luar kota satu minggu, sekarang harus berangkat lagi?
Saga yang tahu jika istrinya sudah bangun dan berdiri bersandar di ambang pintu melihatnya bersiap-siap, ia pun menatap Lian dengan datar.
"Aku harus berangkat ke kantor. Ada pekerjaan mendadak. Hanya akan pulang sore karena tugas ke luar kota sudah digantikan Andri." jelasnya tanpa menunggu Lian bertanya.
Lian hanya menatap suaminya tak acuh. Ia meninggalkan sandaran pintu itu dan berjalan menuju dapur. Perasaan marahnya masih ada, tapi tidak terlalu mendominasi meski mood-nya masih tidak tertolong. Diam-diam ia ingin mengunyah suaminya sendiri setelah mengingat berkas yang diberikan Saga semalam. Ia masih berniat mendiamkan Saga, entah sampai kapan. Mungkin sampai lelaki itu sadar bahwa keputusannya itu bodoh.
Memang, harusnya mereka bisa mengobrol lebih baik dan mencari jalan tengah dari persoalan ini, seperti biasanya sebagai dua orang dewasa. Akan tetapi, Lian terlalu malas berbicara dengan Saga yang keras kepala itu.
Satu tangan melingkar di bahunya dan sebuah kecupan mendarat di atas kening Lian saat ia selesai meneguk minumnya.
"Aku berangkat." ujar Saga sedikit kaku.
Biasanya lelaki itu akan mencium Lian terlebih dahulu tidak peduli Lian masih bau mulut dan belum mandi, memeluk erat dan kadang membercandai Lian sampai tertawa lalu Saga akan berangkat sambil melambaikan tangan kepada istrinya. Tak lupa tiga kata sakralnya 'I love you'. Kali ini Saga lebih dingin dari biasanya, Lian pun sama. Ia tidak membalas memeluk suaminya dan berkata hati-hati di jalan.
Lian tidak peduli, karena yang berhak marah sekarang tentu saja adalah dirinya. Ia merasa dicurangi dengan keputusan Saga yang konyol itu. Memang Saga tidak ingat, jika lelaki itu adalah anak tunggal di keluarganya dan selalu merasa kesepian di rumah karena tidak punya saudara lain? Bagaimana mungkin saat mereka tua nanti juga tidak ada satupun anak diantara mereka? Bukankah itu akan menambah rasa kesepiannya?
Setidaknya, Lian berpikir ia tidak mau menua tanpa pernah memikirkan seorang anak.
Lian menatap punggung Saga yang kian menjauh dan menghilang di balik tembok dapur. Tak lama suara mobil Saga terdengar dan menjauh. Selanjutnya, ia tidak bisa berdiam diri di rumah begini. Sebaiknya Lian pergi ke rumah Anggi —kakaknya— dan bermain dengan Miko atau bertemu dengan kedua sahabatnya. Itu akan membantu melupakan sejenak masalahnya dengan Saga.
"Tumben tidak kerja? Sudah kaya ya?" sindir Anggi saat Lian datang ke rumahnya dengan membawa satu box pizza.
"Aku hanya bisa mengamini ucapanmu. Lagian aku sudah minta Hana merescedule jadwalku seminggu ke depan. Jadi aku free."
"Hah? Seorang Lianda Alsyi benar-benar mengambil jeda kerja? Yang benar saja? Demi kecoak bunting, aku terlalu kaget mendengar ini." ucap Anggi dengan wajah yang hiperbola.
Anggi jelas kaget, karena selama ini, Lian memang selalu sibuk. Bahkan untuk datang ke rumahnya saja harus Anggi yang menelepon dulu. Lian susah sekali ditemui. Sebagai model, ia kerja dari pagi ke pagi tanpa kenal waktu dan sekarang meminta managernya mengosongkan jadwal selama seminggu. Bukankah ini adalah keajaiban dunia?
Lian menghela napasnya. "Rencana mau liburan bersama Saga. Tapi—"
"Wah bagus itu. Kalian harus sering-sering liburan berdua. Percuma punya uang banyak tapi tidak pernah dipakai bersenang-senang. Syukur-syukur mulai rencanakan lah punya momongan. Usia kamu masih tiga puluh tiga, it's not bad for have a baby." Anggi memotong ucapan Lian begitu saja dengan antusias.
Lian menurunkan kedua pundaknya. "Mustahil, Nggi."
Anggi menaruh Miko di baby chair-nya dan membiarkan anak itu menyantap buah sebagai cemilannya. Perempuan berambut pendek itu menatap Lian dengan heran.
"Mustahil kenapa? Heh, Kalian tidak ingat bibi Mondi dan paman Purnomo, tetangga kita di rumah lama? Mereka terpaksa di bawa ke panti jompo karena tidak ada yang mengurus di rumah saat usia mereka sudah senja. Bayangkan usia mu dan Saga sudah tidak produktif lagi, tangan kalian sudah tremor dan kaki kalian letoy, apa iya saat tua nanti kalian tetap bisa mengambil makan sendiri, memegang gelas sendiri tanpa tumpah? Aku tidak yakin. Lagipula, rumah tangga kalian akan lebih harmonis dengan adanya anak. Jadi aku mohon, pertimbangkan soal momongan ini." ujar Anggi panjang lebar sampai lupa bahwa wajah anaknya sudah merah semua karena buah naga. "Oh no! Miko!" jeritnya panik.
Lian hanya bisa menipiskan bibirnya.
"Bilang saja kamu tidak mau membagi kasih sayang anakmu untuk tante dan omnya juga saat sudah dewasa nanti."
Anggi mengelap wajah Miko dengan tissu basah dan sesekali menoleh pada Lian.
"Aku memang berencana punya anak lebih dari dua, tapi bukan berarti saat mereka dewasa harus kerepotan mengurusi dua pasangan jompo seperti aku dan Fadil serta kamu dan Saga. No! Memangnya mereka suster panti jompo? Lebih baik kamu usaha dulu. Kamu kan juga sudah dinyatakan sehat oleh dokter dan tidak menunjukkan kelainan apapun, Saga juga kan?"
"Ya bagaimana, Nggi? Memang mustahil kita punya anak."
"Coba jelaskan kenapa kamu pesimis begini? Perasaan kemarin baru saja menyinggung soal berhenti KB dan riset dokter untuk program."
Lagi-lagi, Lian menghembuskan napasnya kasar. "Nggi, semalam tiba-tiba Saga memberitahuku jika dia mau melakukan tindakan Vasektomi satu bulan lagi."
"Apa?! Vasek-vasektomi?" Anggi mengingat-ingat sebuah istilah yang pernah beberapa kali ia dengar itu. "Tindakan bedah untuk menyumbat sperma dan menjadikan lelaki mandul secara permanen? Saga mau melakukan itu? Kok bisa?!"
Kedua bahu Lian terangkat. "Ya. Kamu saja kaget, apalagi aku sebagai istrinya yang tidak pernah diajak diskusi soal hal ini, tahu-tahu dia sudah memberiku laporan hasil medical check up dan beberapa tes lain."
Anggi menggeleng dramatis. Ia lantas meluruskan badannya dan menghadap Lian. Matanya menatap dengan seksama seolah ada sesuatu hal yang harus Anggi katakan.
"Ini terlalu mengejutkan tapi pasti dia punya alasan dibalik semua itu. Kenapa?"
"Saga mau childfree, katanya dia sudah nyaman dengan ketidakhadiran anak diantara kami. Padahal kamu tahu kan, kita hanya menunda bukan berarti tidak mau punya."
Anggi melongo. Mungkin di kota besar, tindakan vasektomi ini sudah banyak dilakukan pada laki-laki yang ingin menua tanpa kerepotan oleh hadirnya anak. Akan tetapi ia tidak habis pikir ini akan dilakukan oleh adik iparnya sendiri. "Astaga! Aku pikir justru Saga yang paling ingin kalian segera memiliki anak karena dia anak tunggal. Jujur saja ini keputusan besar, Lian. Terus apa yang sudah kamu lakukan? Pasti kamu cuma marah dan nangis semalam. Dasar!"
Lian benci jika kakaknya sudah menyalahkannya begini. Ya jelas Lian marah dan menangis jika tahu suaminya mau melakukan tindakan itu tanpa persetujuannya.
"Memangnya aku harus melakukan apa?!"
Anggi memutar bola matanya ke atas dan mendengus. "Makanya jangan kelamaan pose di depan kamera terus sampai lupa menggunakan fungsi otak. Coba kamu pikir, apa yang harus kamu lakukan untuk mencegah suamimu melakukan vasektomi!"
Tak selang lama, Lian mendongak dan menatap Anggi begitu serius. "Apa mungkin aku harus menyusun strategi khusus untuk mencegah Saga melakukan tindakan itu?"
***
"Nah itu!!" ujar Anggi sampai Lian kaget."Iya, tapi apa?" tanya Lian dengan wajah sedikit putus asa."Hmm ... Mengingat karakter Saga yang begitu, kamu sepertinya harus bekerja keras untuk meluluhkan batu karang itu. Coba kamu ajak Saga ngobrol baik-baik. Atau rayu dia dulu supaya mau membatalkan niatnya. Siapa tahu kalian hanya butuh mengobrol.""Bagaimana jika tidak mempan? Dia susah dipengaruhi dan selalu pada pendiriannya. Kadang aku kesal bicara dengannya."Anggi mengangkat Miko dari baby chair dan memangkunya. "Itu tugas kamu mencari strategi jitu. Ah! Atau begini saja jika memang Saga susah diajak bicara dan kekeh dengan keputusannya, fokus dulu dengan tujuanmu. Kamu mau punya anak kan darinya?"Lian mengangguk setelah mengelus pipi gembul Miko. "Ya sudah, targetkan itu sebelum Saga benar-benar melakukan vasektomi. Satu bulan itu waktu yang lama, Lian!" Anggi memancing Lian untuk berpikir lebih luas.Lian terdiam sejenak, memahami maksud Anggi. Lalu satu ide kembali muncul. "
Lian adalah fighter sejati. Ia ingat perjuangannya menjadi model seperti sekarang tidaklah semulus jalan tol. Ada banyak halangan dan rintangan yang terjadi. Mulai dari ditolak puluhan agensi, ditipu agensi, hampir dilecehkan oleh salah satu kru mesum sampai latihan fisik berminggu-minggu hingga tipes. Belum lagi beban menghadapi senior yang suka membully dan memfitnahnya.Saat akhirnya Lian berhasil mendapatkan kerjaan pertama menjadi model sebuah iklan produk, ia diharuskan pergi ke luar kota beberapa hari. Dan saat itu juga, Anggi mengabari jika mamanya meninggal dunia. Beberapa bulan setelahnya, karir Lian semakin melejit. Ia dipercaya menjadi brand ambassador beberapa produk dan menjadi bintang sampul majalah wanita terpopuler. Lagi-lagi, ia tidak bisa melihat saat-saat terakhir papanya karena harus pemotretan di puncak dan susah sinyal. Ia pulang dan mendapati papanya sudah tiada. Jika tahu kesuksesannya di model harus mengorbankan waktu untuk bersama kedua orang tuanya disaat-s
Setelah makan siang, Lian memilih untuk ikut Saga menemui karyawannya yang kini masih menjalani perawatan di rumah sakit. Sepertinya ini lebih baik daripada ia harus terkurung di dalam kabin kecil itu dan merasa bosan.Sebagai iktikad baik mewakili perusahaan, Saga mau meminta maaf dan memberikan santunan. Mereka pergi dengan penanggung jawab lapangan dan dua pengawal yang biasanya bersama Saga. Sesampainya di rumah sakit, Lian cukup sedih melihat kondisi tiga karyawan itu terbaring dengan kaki yang diperban, dengan kepala yang diperban dan juga tangan. Lian memang tidak tahu cerita detailnya, tapi dari yang Saga katakan, ketiga karyawan ini terhantam alat berat saat sedang bekerja. "Putra rencananya hari ini di operasi pak kakinya. Kalau Deni tangannya sudah baikan dan Aji tinggal pemulihan kepalanya setelah dijahit dua puluh jahitan."Lian menghela napasnya, sedih mendengar itu.Saga mengangguk menerima informasi dari penanggung jawab
Rasa bimbang itu muncul saat Saga merasa Lian terlepas dari lingkaran tangannya di bahu dan berjalan cepat keluar ruangan. Di satu sisi, keriuhan yang terjadi ini menyangkut dirinya sebagai pemimpin perusahaan yang sedang dituntut keadilan oleh seorang ibu. Di sisi yang lain, Saga berpikir kemungkinan Lian sakit hati dengan perkataan ibu itu. Namun, sebagai pemimpin perusahaan yang bertanggung jawab, ia tentu harus mendahulukan urusan perusahaannya dulu. Untung saja, saudara perempuan Putra itu mampu mengendalikan kemarahan ibunya dan membujuk untuk pulang. Setelah dirasa kondusif, Saga langsung berlari mencari Lian. Ia ke taman, ke sisi-sisi kursi ruang tunggu dan tidak ia temukan istrinya itu. Lalu, saat ia melewati toilet perempuan, langkahnya terhenti. Saga hafal suara lirih tangis itu. Ya, itu jelas suara Lian.Maka, dengan tidak mempedulikan kesopanan, ia masuk ke dalam toilet wanita tersebut dan mengetuk salah satu pintunya."Lian." panggilnya lemb
Di kehidupan rumah tangga Saga dan Lian, pagi bukanlah sembarang pagi. Pagi seolah adalah waktu yang paling emas untuk keduanya merefleksi diri. Di saat baru bangun, mood Lian akan lebih baik daripada malamnya dan itu selalu terjadi setiap mereka bertengkar malamnya. Begitupun Saga. Lelaki itu selalu mengawali hari dengan sesuatu yang lebih baik. Lalu, mereka akan berinteraksi seperti sedia kala, seolah masalah mereka semalam telah selesai karena kesadaran masing-masing.Lian keluar dari kamarnya dan mendapati Saga masih meringkuk di sofa ruang tengah. Ia menghampiri dan berdiri mematung saja sambil melipat tangannya di dada, memperhatikan suaminya dengan mata terpejam itu. Wajah polos Saga saat tidur seolah tidak mencerminkan bahwa lelaki itu sangat keras kepala dan tidak peka.Diam-diam, Lian juga sebenarnya mengakui bahwa kelakuannya kemarin memang sangat kekanakan. Itu sangat bukan dirinya sekali. Entahlah, rasanya semenjak Saga mengumumkan bahwa akan melakukan vasektomi, Lian jadi
"Mau aku temani?" "Memangnya aku anak kecil yang masih butuh dampingan?" gerutu Lian sambil membuka pintu mobil dan bersiap keluar.Sebelum ke rumah ibu Mita, mereka mampir dahulu ke toko bunga langganan, membelikan satu buket lily putih kesukaan ibu Mita. Namun, sejak perjalanan itu dimulai, Lian memang sedikit sinis kepada Saga. Apalagi jika bukan soal ekspektasi perempuan itu terhadap Saga dan segala misinya mendapatkan benih cinta dari suaminya. Ya, lagi-lagi gagal total.Bayangkan saja, Lian sudah optimis, geloranya sungguh membara seiring sentuhan Saga yang tergesa-gesa si setiap jengkal tubuhnya, tapi tetap on poin. Di puncak hasratnya, ia sudah tersenyum dan menyebut nama Saga di sela desahannya dengan penuh damba. Namun, senyum dan kebahagiaannya itu terpatahkan saat Saga merogoh sesuatu di saku celana kerjanya yang masih ia pakai dari semalam. Bisa-bisanya Lelaki itu mengeluarkan pengaman dan memakainya. Wajah Lian, pias seketika. Akhirnya, klimaksnya tertahan dan ia jadi ur
"Ini untuk Ibu." Lian memberikan buket lily itu dengan senyum manisnya."Lian, Saga, Ibu rindu sekali dengan kalian." ujar Ibu Mita seraya memeluk menantu dan anaknya bergantian."Ibu sendirian terus dari kemarin. Bosan, sepi, sampai-sampai ibu takut kalau mati dalam keadaan sepi.""Ibu Mita Lestari tidak boleh bilang seperti itu." Saga merangkul ibunya sambil memasuki rumah. "Saga, umur ibu sudah enam puluh lima. Dengan penyakit macam-macam. Memangnya tidak boleh Ibu berpikir seperti itu? Lagipula umur siapa yang tahu?"Ibu Mita terlalu berlebihan, padahal beliau hanya sering kontrol untuk kolesterol dan gula darah saja, tidak ada yang namanya penyakit macam-macam. Beliau masih terlihat segar bugar di usia pertengahan enam puluhan ini."Ya bukan berarti Ibu Mita bisa sepesimis itu. Nanti Saga yang akan telepon Bi Ratmi supaya segera pulang ke sini.""Janganlah! Ratmi juga kasihan sebenarnya. Anaknya memang sudah besar-besar, tapi tetap saja butuh perhatiannya."Lian yang berjalan di
Lian paling bisa membuat Saga tak berkutik dengan aksi-aksi spontannya. Saga menunduk, memikirkan apa yang akan ia bicarakan untuk mengalihkan lerhatian Ibu Mita yang kini sudah amat penasaran."Mau bicara apa Saga?" tanya ibu Mita lagi."Oh, ehm ... bagaimana kalau kita duduk dulu?" Saga menghela ibu Mita untuk duduk di kursi panjang kebun itu. Lian pun juga ikut duduk di sebelah ibu Mita. Ia harap kali ini, Saga sungguhan mau bicara serius dengan ibunya. Lian optimis saja pasti ibu Mita tidak akan merestui anaknya untuk melakukan tindakan medis yang tidak masuk akal itu. Jadi ia tidak perlu repot-repot merayu Saga lagi karena Saga pasti akan lebih menuruti apa kata ibunya.Ibu Mita menatap Saga dan Lian bergantian. Masih menunggu topik pembicaraan apa yang sekiranya akan Saga utarakan."Jadi, Bu. Saga dan Lian mau pamit." ujar Saga dan langsung mendapat kernyitan dari Lian."Pamit kemana?""Saga sama Lian mau pergi liburan akhir minggu ini, Bu."Ibu mengerjap riang. "Oh ya? Bagus it
Sudah terlalu lama Lian berjibaku dengan pikirannya sendiri. Dengan asumsi bahwa setelah Fahri kembali dari menuntut ilmu di luar negeri, lelaki itu tidak akan mengenali Lian lagi. Terbukti, waktu itu Lian diam-diam datang ke rumah Fahri saat lelaki ia sedang liburan dan pulang ke tanah air. Fahri sedang sangat buru-buru memasuki mobilnya. Fahri semakin menawan dengan setelan jas mahalnya. Dari sana, Lian bisa menyadari bahwa ia masih belum bisa bersanding dengan Fahri. Meski perasaannya mungkin tidak berubah, kenyataan menyentaknya untuk berhenti. Berhenti mengharapkan diri kembali pada Fahri dan berhenti berharap. Maka, ia pun pergi dari kompleks rumah itu setelah melihat mobil Fahri menghilang di belokan gang. Ia merasa menjadi manusia yang paling putus asa, saat itu. Ia menaiki bis untuk kembali ke kost-kostannya yang masih empat kali empat itu. Namun, justru takdir mempertemukannya dengan Saga.Seolah alam semesta tidak bekerja sendiri, ada andil takdir juga, ia dan Saga akhirnya
Selayaknya pagi adalah waktu yang tepat untuk mengawali hari, pertengkaran mereka di malam hari selalu teredam di waktu pagi. Mereka akan baikan dengan sendirinya di pagi hari. Namun kali ini, tidak. Semalam, Saga dengan kemauannya sendiri tidur di sofa ruang tengah setelah mengisolasi diri di ruang kerjanya. Lian juga tidak berinisiatif untuk menawarkan Saga tidur di kamar. Ia hanya membawakan selimut ketika malam telah larut dan Saga sudah terlelap. "Aku berangkat," pamit Saga kepada Lian di ambang pintu kaca pembatas antara ruang tengah dan dapur. Lelaki itu bahkan tidak repot-repot menghampiri dan memberikan kecupan hangat kepada Lian. Jangankan itu, menoleh barang sejenak saja tidak. Saga melenggang pergi menuju carport."Mas ... " Lian menyusul Saga ke carport dan memberikan satu kotak makan. "Aku mungkin tidak bisa ke kantor kamu membawakan makan siang. Hana sudah mengatur kembali jadwal kerjaku. Jadi, bawa ini untuk makan siang."Tanpa berkata apa-apa, Saga meraih kotak maka
"Semua yang ada di kepalamu isinya hanya kamu meragukanku, Lian."Saga lantas meraih laptopnya dan membawanya ke ruang kerja. Sebelum mencapai ambang pintu, Saga menoleh lagi dan berkata sesuatu yang membuat Lian semakin tercengang dan bingung."Segera selesaikan urusan masa lalumu," ujar Saga dengan nada paling dingin yang pernah Lian dengar, membuatnya bergidik.Lelaki itu menutup kasar pintunya tanpa sedikitpun memikirkan perasaan Lian. Ya, apa yang harus dipikirkan setelah kekacauan yang Lian buat sendiri?Kulu berlari menghampiri Lian, naik di atas sofa seolah tahu bahwa pemiliknya kini sedang tidak baik-baik saja. Kulu seolah ingin menghibur Lian dengan mengibaskan ekor berbulu lebatnya dengan gemas. Maka, Lian meraih Kulu dan mendekapnya dengan erat. "Kulu ... " Satu butir air mata jatuh melalui pipinya. "I'm so stupid!"Pukul dua siang, Saga belum juga keluar dari ruang kerjanya. Sementara Lian sudah bersiap akan ke rumah sakit untuk mengecek kakinya dan melepas perban yang ma
Lian membuka matanya dengan berat. Ia sudah berada di kamar dan cahaya matahari yang menembus vitrase, lembut menyerbunya. Satu kerjapan, dua kerjapan dan Lian merasa mual. Ia pun menyibak selimut dengan kasar dan berlari ke kamar mandi.Lian menundukkan kepalanya di wastafel dan memuntahkan isi perutnya akibat mabuk semalam. Astaga! Apa yang ia perbuat semalam sampai ia lupa semuanya dan jadi seperti ini? Sudah sekian lama ia tidak mabuk. Rupanya saat kembali mabuk, justru rasanya sekacau ini. Tenggorokannya kering dan napasnya memburu.Ia mendongak, melihat pantulan dirinya di kaca atas wastafel setelah mengusap wajahnya dengan air. Satu kata; berantakan. Rambutnya mencuat kemana-mana. Matanya memerah dan oh shit! Ia hanya mengenakan piyama tipis tanpa terkancing semua.Pasti semalam adalah situasi bencana.Kepalanya pening dan ia menunduk dalam untuk menetralkannya. Lalu, ia mencoba mengingat dengan detail apa yang terjadi hingga tidak sadarkan diri dan bangun di siang bolong begi
"Kalau begitu, kita menikah muda. Aku janji akan membahagiakanmu. Aku janji tidak akan ada yang berani mengusikmu. Kamu begini pasti terpengaruh dengan orang-orang di sekitarku bukan? Sehingga kamu bisa berpikir begini? Lianda, please! Kita sama-sama sudah dewasa dan tahu apa yang kita rasakan satu sama lain."Lian marah dengan perkataan Fahri yang seenaknya itu. Ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Lalu memalingkan wajah ke lain arah. Ia tidak mampu lagi membendung air matanya."Jika semudah itu, mungkin aku tidak akan banyak berpikir Fahri. Justru kita sudah sama-sama dewasa, kita harusnya tahu bahwa realita ini ada. Kamu terlalu baik untukku, dan aku terlalu buruk untukmu.""Tidak ada yang bilang begitu, Anda!" Suara Fahri meninggi."Aku yang bilang. Aku yang merasakan bahwa ketimpangan ini sangat amat menyiksaku selama ini dan aku sadar, bahwa hubungan ini tidak akan sehat. Please ... " Mohonnya dengan mata yang sudah sepenuhnya basah dan menatap Fahri dengan sayu.Saat itu pul
Flashback On—Sore itu, Lian menangis di sudut kamar kosnya. Kamar yang menjadi saksi bisu, bagaimana perjuangannya masuk ke dunia modeling, bagaimana kerasnya persaingan dan industri, serta bagaimana ia mengetahui karakter orang-orang yang sesungguhnya. Semua perasaan sudah ia lalui dan lampiaskan di kamar yang hanya berukuran empat kali empat meter ini. Kebahagiaan, kehilangan, kesedihan, kekecewaan dan sebagainya.Di ruangan gelap itu, Ia menekuk kedua kaki dan menenggelamkan kepala di sana. Udara malam membelai gorden transparan dan menyalurkan energi dingin d setiap inci tubuh Lian. Saat ini, perasaannya teramat sedih, hancur, marah dan ... patah hati. Baru saja, ada seorang yang mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya. Orang itu mengatakan bahwa Lian tidak memiliki kepantasan sedikitpun. Lian adalah model rendahan dan tidak punya value. Dan juga orang itu mengatakan, Lian tidak punya apa-apa. Lian hanya seonggok manusia yang tidak terlihat dan t
Lian rasa, hidup memang selalu penuh kejutan. Jika tidak, maka hidup hanya akan menjadi putih dan abu-abu saja. Monoton. Namun, kejutan kali ini sangat tidak lucu dan juga tidak akan berwarna apapun baginya. Justru aura galaplah yang akan menyelimutinya.Bagaimana mungkin ia bertemu lelaki ini lagi? Harusnya Lian sudah bisa memprediksi bahwa yang akan bertemu dengan Ine dan membahas soal rumah baru, tentulah Fahri. Karena Lian ingat bahwa yang dimau oleh Ine adalah real estate milik Fahri ini. Namun, ia tidak menyangka bahwa yang terjun langsung menemui klien adalah Fahri sendiri. Apa sesenggang itu, sampai harus menemui Ine langsung? Memangnya tidak punya karyawan? Perusahannya kan besar dan karyawannya mungkin lebih dari seratus orang.Oh no! Ini kacau!Ia menundukkan kepala dan menutup matanya. Lalu sedetik kemudian, ia mendongak dan menyunggingkan senyum tipis."Pak Fahri, kenal dengan Lian?" tanya Ine yang kini menatap Lian dan Fahr
Hari berikutnya dan seterusnya Lian datang ke kantor Saga lagi membawa makan siang. Lian jadi lebih sering memperhatikan Saga dari hal kecil ke yang besar sekalipun. Seperti tadi pagi, Lian memasangkan dasi untuk sang suami, menyeterika baju dan membantu Saga menyisir rambut. Hal yang jarang atau bahkan tidak pernah Lian lakukan karena menganggap Saga bisa melakukannya sendiri. Agaknya memang ia selama ini kurang memperhatikan suaminya. Pekerjaan selalu menyita waktunya dari pagi ketemu pagi lagi. Hingga hal-hal kecil seperti itu tidak terjamah oleh Lian."Enak?" tanya Lian yang tersenyum karena Saga selalu lahap setiap kali ia memasak untuknya."Selalu enak," kata Saga di tengah kunyahannya."Ck! Lelaki memang murahan kalau soal makanan enak."Tawa Saga berderai. "Aku pikir, setelah kamu berhenti jadi model, kamu punya peluang untuk membuka restoran dengan menu seperti ini, Lian.""Itu berlebihan, Mas. Review-mu saja tidak objektif, bagaimana bisa aku percaya diri soal masakanku?""N
Saga mengamati Lian yang sedang membereskan sampah makannya. Ia menatap perempuan itu tidak percaya. Sikap Lian aneh sekali hari ini. Ia tiba-tiba datang ke kantor —yang biasanya tidak pernah— membawakan makan siang. Lalu, Saga dibuat seperti orang yang dicurigai macam-macam. Kadang Lian menyunggingkan senyum manis, tapi juga kadang senyumnya mengandung makna lain. Tipis-tipis, tapi Saga bisa melihat ada hawa kesal yang Lian bawa ke sini. Entah itu untuk hal apa."Biar aku saja yang buang." Saga meraih sampah paperbag itu dari tangan Lian dan membuangnya di tempat sampah.Mata Lian tidak lepas melihat setiap gerakan suaminya. Susunan kata di kepalanya sudah sedemikian rapi dan siap untuk ia lontarkan.Namun, sebuah ketukan pintu terdengar dan menampilkan salah satu karyawan lelaki. Lian tahu lelaki itu berada di bagian perbendaharaan. Saga menerima beberapa dokumen dari lelaki itu dan menumpuknya di atas meja."Itu semua kerjaan kamu Mas