"Tuan Ernest, tolong lepaskan Keponakan anda!" titah Erick, pada Ernest yang sedang menatap Edward seakan ingin menghabisi Keponakannya itu. "Tuan Ernest!" tegurnya sekali lagi dengan suara yang sedikit lebih keras. Seraya mengangkat salah satu alisnya, perlahan-lahan Ernest melepaskan lengan Edward dari cengkramannya. Tak lama kemudian, ia mendengus kala melihat Edward pergi dengan cepat menjauhi dirinya. "Bagus, sekarang tenanglah, oke? Saya masih harus memeriksa kondisi anda." Erick lalu memberi isyarat pada Dokter yang tadinya telah ia perintahkan untuk mempersiapkan suntikan pereda kecemasan, demi menenangkan kondisi Ernest yang terbangun secara tiba-tiba. Di luar ruangan, semua berkumpul membicarakan tentang tersadarnya Ernest dengan wajah bahagia. Hanya Rosalia dan Edward yang baru keluar, yang terus memperhatikan kesibukan Erick Marson dari jendela kaca. "Nanti Paman pasti akan membunuhku, setelah dia bisa turun dari ranjang itu!" sungut Edward, sambil menekuk wajahnya. T
"Kemarilah!"Rosalia mendelikkan matanya kala ia mendengar teriakan suaminya itu, tidak mengerti mengapa Ernest sangat marah padanya. Dan, sambil menekuk wajahnya-- Ia pun melemparkan pandangannya pada Erick yang tengah memeriksa kondisi suaminya bersama seorang Dokter."Temanilah! Jika hanya satu orang, tidak masalah." Tukas Erick, lalu menganggukkan kepalanya pada Rosalia agar Rosalia mengikuti permintaan Ernest tadi. Setelah melihat anggukan Erick, Rosalia pun menghampiri Ernest yang terus menatapnya dengan wajah datar. Setibanya ia di samping ranjang yang ditempati oleh suaminya itu... "Duduk!" titah Ernest sembari melirik pinggir ranjang yang berada tepat di samping tubuhnya. Memberi isyarat pada Rosalia agar duduk di sana. Sejak ia terbangun dari koma, ia memang belum sempat bertegur sapa dengan istrinya ini karena harus menjalani beberapa pemeriksaan lagi. Dan setelah pemeriksaan berakhir-- Ia malah dihampiri oleh Ayahnya, Saudara lelakinya, iparnya, bahkan kedua mertuanya.
Pukul 9 malam, kini ruang rawat inap Ernest sudah mulai terlihat sepi. Beberapa pengunjung telah pulang, hanya menyisakan Ben, Bill, Gabriel yang baru datang dari Paris, serta Tuan Gail tua bersama Asistennya. Sementara di luar ruangan, Rosalia sedang berbicara dengan Edward. Ia bahkan melotot pada Keponakan suaminya itu. "Bodoh! Bodoh!" lontarnya sambil memukul lengan Edward berkali-kali dengan kesal. Sebab, gara-gara ucapan Edward pada Ernest-- Ia pun harus menerima hukuman dari suaminya itu. Bibirnya dikecup selama hampir 1 jam, membuat bibir atas dan bawahnya seketika maju dua senti. "Hei, Rosi! Tenanglah! Bukankah katamu kamu yang akan menjelaskannya pada Paman?" sungut Edward seraya menahan pukulan Rosalia. Sesekali ia akan meringis kala pukulan yang ia terima terasa sedikit lebih keras dari pukulan sebelumnya. "Huh!" akhirnya Rosalia pun menghentikan apa yang ia lakukan terhadap Edward. Dan demi menenangkan dirinya, ia lalu menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskanny
"Tinggalkan ruanganku!" teriakan lantang Ernest terdengar di pagi hari, memecah ketenangan suasana pagi di dalam ruangan rawat inapnya. Dan dua dari tiga pria yang menerima teriakan itu, langsung mendengus sesaat setelahnya. Kemudian segera bergegas pergi meninggalkan ruangan rawat inap Ernest. "Ben, tahan pintu itu dari luar! Jangan biarkan seorang pun melewati pintu itu sebelum aku memperbolehkan mereka untuk masuk. Tidak Dokter Marson, tidak Dokter lain dan tidak seorang pun!""Baik, Tuan Ernest." Ben mengangguk patuh, kemudian pergi meninggalkan ruangan rawat inap Ernest. Ia bahkan menutup pintu dari luar dan sengaja berjaga di depan pintu setelah ia berada di luar ruangan. Mengacuhkan tatapan protes dari Bill dan Gabriel yang tidak mengerti mengapa mereka tiba-tiba diusir. "Mengapa si gila itu kembali bertingkah aneh?" sosor Bill sebal, ucapannya itu langsung diangguki oleh Gabriel yang sedang berdiri di sampingnya. Di depan Bill, Ben yang menerima protes tersebut hanya bisa
Pukul 9 siang di penjara khusus Kota L, seorang wanita cantik berkaca mata hitam, melenggang dengan gemulai menemui beberapa sipir yang tengah duduk di depan meja panjang. Sambil membungkukkan tubuhnya dengan gerakan menggoda, wanita itu kemudian menumpukan kedua sikunya ke atas meja. Menyapa salah seorang sipir yang tak berkedip melihat ke arahnya. "Aku ingin bertemu dengan Julius," ucapnya, sembari menggerakkan jemarinya yang lentik di atas meja. Membuat beberapa gambar acak yang tidak terlihat. "Julius? Sang terpidana mati?" tanya sang Sipir, ia lalu mengerutkan keningnya. Bingung mengapa ada orang yang mau menjenguk Julius, padahal sepengetahuannya semua keluarga Julius telah diusir keluar dari Kota L. "Terpidana mati?" sesaat wanita itu tampak sangat terkejut, namun ia dengan cepat mengendalikan dirinya dan kembali mengubah mimik wajahnya. "Maksud anda, Julius...""Yang semua anggota keluarganya telah diusir dari kota ini karena terlalu serakah. Tapi... Anda siapa, Nona?" san
Dua hari kemudian, saat ini kesibukan tampak di dalam ruang rawat inap Ernest. Setelah pemeriksaan total selama 2 hari, akhirnya hari ini Ernest diperbolehkan pulang oleh Erick Marson yang juga akan segera kembali ke negaranya. "Terima kasih atas bantuannya, Dokter Marson." Ucap Tuan Gail tua sambil menjabat tangan Erick setelah Erick menyatakan bahwa putra bungsunya sudah diperbolehkan pulang. "Sama-sama Tuan Besar, aku juga berterima kasih pada anda karena sudah mengundangku untuk datang ke Kota L. Jadi aku bisa sedikit bernostalgia dengan Carly," balas Erick. Ia, tersenyum ramah pada Tuan Gail tua. Kemudian berpelukan dengan Carlisle setelah Tuan Gail tua melepaskan tangannya. "Aku baru mengerti mengapa hari ini kamu bersikeras untuk membawa tas pakaianmu," sindir Carlisle. Erick menanggapi ucapan Sahabatnya itu dengan terkekeh pelan, ia bahkan menepuk punggung Carlisle. "Aku akan merindukanmu, Bung." Ujarnya. "Aku juga." Carlisle balas menepuk punggung Erick. Tak jauh dari
"Ernest?" Rosalia menyentuh lengan suaminya untuk menyadarkan Ernest. Ernest yang merasakan sentuhan itu, sontak tergugu dan langsung menurunkan pandangannya pada Rosalia yang tengah berdiri di sampingnya. Ketika netranya bertemu dengan netra istri mungilnya itu, Ernest melihat Rosalia menggelengkan kepala padanya. Namun ia hanya menanggapinya dengan tersenyum canggung. Semua karena kehadiran Isabelle yang sama sekali tidak ia duga, cinta pertamanya yang sangat membekas di dalam hatinya. "Baby, bagaimana jika kamu pulang dulu dengan Ben dan Anne?" pintanya. Kata-katanya itu ditanggapi oleh Rosalia dengan mendelikkan matanya, "Jangan lakukan ini, Ernest! Kumohon!"Sesaat Ernest menghela nafas setelah mendengar permintaan istrinya itu, dan meski ia sangat mencintai Rosalia-- Tapi Isabelle... Lalu, sambil mengangkat tangannya, ia pun mengusap lembut pipi sang istri dan terpaksa berkata. "Maaf, Baby. Aku perlu berbicara berdua dengannya, dan kuharap kamu bisa mengerti dengan keputus
"Brengsek!! Aku tahu kalau Paman gila, tapi aku tidak tahu kalau dia lebih memilih Isabelle daripada Rosi." Dengus Edward sambil melangkahkan kakinya memasuki area kolam renang. Terus melangkah hingga ia tiba di hadapan Rosalia. "Hei!" tegurnya pada wanita cantik itu. Teguran itu berhasil membuat Rosalia mengangkat wajahnya dan menatapnya dengan tatapan sayu. "Mengapa tidak menghubungiku?!" protesnya seiring ia menurunkan tubuhnya lalu berjongkok di hadapan Rosalia. Melabuhkan tatapannya yang sayu ke netra Rosalia yang sedang memerah. "Bukankah sudah kukatakan aku akan selalu ada untukmu?"Di hadapan Edward, Rosalia tersenyum getir lalu menggeleng pelan. "Ini bukan masalah besar, Ed. Lagipula Ernest telah berjanji padaku bahwa dia akan pulang. Mungkin dia hanya butuh sedikit waktu agar bisa menyelesaikan masalahnya dengan Isabelle, aku benar 'kan?""Hmm... Kamu tahu, Rosi. Menurutku kata-katamu itu justru terdengar terlalu naif. Kamu adalah istri Paman! Tidak seharusnya Paman lebih me