Beberapa saat berselang di dalam kamar Rosalia, Anne yang telah berada di dalam kamar ini bersama Rosalia, langsung membawa sang Nyonya barunya itu untuk duduk di pinggir ranjang pengantin yang telah dihias sedemikian rupa. Tapi, gara-gara tragedi penembakan yang terjadi terhadap Ernest hari ini, kamar ini yang seharusnya akan menjadi saksi bisu penyatuan dua insan yang telah bersumpah setia. Kini justru tampak hening dan suram. "Apakah Nyonya pulang untuk berganti pakaian?" tanya Anne sopan, setelah ia menegakkan tubuhnya di hadapan Rosalia. Rosalia mengangguk pelan, "Benar, Anne. Setelah berganti pakaian aku akan segera kembali ke rumah sakit." Ia diam sejenak, kemudian memperhatikan sekeliling kamar dengan tatapan sayu. Anne yang melihat hal itu, turut diam tanpa ingin mengganggu sang Nyonya. Dan walau tidak mengatakan sepatah kata pun, tapi ia juga tidak melepaskan pandangannya dari wajah Rosalia yang masih menyisakan sembab di sana. "Aku merindukannya, Anne. Padahal baru beb
Keluar dari kamar Rosalia, Anne dicegat oleh Edward yang mencemaskan keadaan wanita cantik itu. "Mengapa meninggalkannya sendiri, Ann? Tahukah kamu kalau tubuhnya sangat lemah sekarang? Selain itu, sejak dia mempersiapkan pernikahannya pagi ini-- Hingga saat ini dia sama sekali belum makan apapun!" lontarnya gemas, pada Anne yang hanya menatapnya dengan wajah datar. "Nyonya yang telah memintaku untuk keluar, Tuan Edward. Tadi setelah aku membukakan pakaian pengantinnya. Sekarang Nyonya sedang berendam di bak air panas."Mengetahui bahwa Rosalia saat ini sedang berada di dalam kamar mandi tanpa mengenakan apapun, wajah Edward sontak merona. Bahkan area bawah pinggangnya, tanpa tahu situasi, langsung berkedut di balik celana yang ia kenakan. Dan, dengan menutup sebagian wajahnya yang terus memanas, ia pun meminta Anne untuk pergi. "Tolong katakan pada Koki untuk memasakkan sesuatu, agar Rosi... Maksudku Bibi bisa makan terlebih dahulu sebelum kami kembali ke rumah sakit." Titahnya.
"Jangan berpikir berlebihan!" lanjut Edward kemudian, lalu kembali melangkahkan kakinya dengan wajah yang perlahan-lahan mulai merona. Meski ia mengatakan hal itu pada Rosalia, kenyataannya-- Ia justru memikirkan apa yang baru saja ia ucapkan pada wanita cantik ini. Dan yang menyebalkan, mengapa ia tanpa sadar mengucapkan kata-kata tersebut yang mengandung makna ambigu. Bahkan terhadap dirinya sendiri? 'C'mon, Ed. Lihatlah! Bukankah kamu benar-benar tidak tahu malu karena memanfaatkan situasi di saat Rosi tengah bersedih?' celetuk hatinya, mengutuki perkataannya pada Rosalia. 'Tapi bukan itu maksudku!' sahut sisi hatinya yang lain. 'Akui saja, kamu memang ingin membuatnya menjadi milikmu 'kan?'Edward mendengus frustasi sambil meremas tangan Rosalia yang berada di dalam genggaman tangannya. 'Coba bayangkan bagaimana tubuhnya di saat dia tidak sedang mengenakan apapun!'"Diamlah!!" teriak Edward gusar, membuat Rosalia yang baru saja turun dari anak tangga terakhir-- Sontak menoleh
"Hahaha... Aku hanya ingin menggodamu, Mrs. Gail." Tukas Oliver sembari terkekeh geli, lalu mengusap pucuk kepala Rosalia. Membuat Rosalia dan Edward yang melihat tingkahnya itu, sontak mendengus sebal. Sementara Rose, ia langsung memukul manja lengan Oliver. "Kamu hampir saja membuatku terkena serangan jantung," protesnya. Oliver hanya menanggapi ucapan Istrinya itu dengan tersenyum getir. 'Maafkan aku, Rose. Aku belum bisa menghapus bayang-bayang Adikmu dari dalam ingatanku,' bisik hatinya lirih, kemudian menatap Rose dengan senyum yang terus dipaksakan untuk tetap bertahan di bibirnya. "Aku senang kamu bisa melepaskan kesedihanmu untuk sesaat, Mrs. Gail. Walau aku tahu itu sangat sulit," tambahnya lagi. Kali ini ia berpaling pada Rosalia, dan memberikan senyuman lembut pada wanita itu yang seolah ingin terus bertahta di dalam hatinya. Tidak! Sebenarnya ia lah yang menginginkan wanita itu untuk tetap berada di sana. "Terima kasih, Oliver." Ucap Rosalia tulus, kemudian membalas s
Pukul 7 malam... "Rosi!" Edward menepuk lembut pundak Rosalia yang sedang tertidur di samping ranjang Pamannya. Wajah cantik itu, yang berada beberapa senti dari lengan sang Paman-- Saat ini terlihat sangat pucat. Membuat ia sedikit mencemaskan keadaan Rosalia. "Rosi!" sekali lagi ia mencoba memanggil Rosalia, namun sama sekali tidak ada jawaban. Hingga tingkat kekhawatirannya semakin menjadi-jadi. Melihat Rosalia tidak juga terbangun, tanpa pikir panjang ia segera membungkuk dan menyusupkan kedua tangannya. Satu ke belakang punggung Rosalia, dan satu lagi ke balik betis ramping wanita yang ia cintai itu. Lalu dengan sigap ia membawa Rosalia keluar dari ruang rawat inap Pamannya. Edward terpaksa melakukan hal itu karena di dalam ruang rawat inap sang Paman sedang tidak ada siapapun saat ini. Beberapa menit yang lalu, Oliver baru saja meminta ijin padanya untuk menemani Rose yang ingin mengisi perutnya. Sekaligus ingin membelikan sesuatu untuk Rosalia makan nantinya. Sedangkan Suste
Tanpa memperdulikan Oliver yang tengah menatap Edward, Rose justru melirik Rosalia. "Apa yang terjadi, Ed? Apakah terjadi sesuatu pada Rosi?" tanyanya cemas sambil menghampiri Edward. Edward yang baru menyadari posisi tubuhnya, langsung berdiri tegak dengan wajah canggung. "Dia... Tadi aku pikir dia tidur, tapi ternyata dia pingsan. Dan Dokter sudah memeriksa keadaannya. Sedangkan aku... Aku sebenarnya hanya ingin melihat wajahnya dari dekat karena wajahnya terlalu pucat." Tukas Edward memberi alasan. Di saat yang sama, ia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal hanya untuk meredakan rasa canggung yang ia rasakan. Oliver tentu saja tidak percaya pada ucapan Adiknya itu. Jadi... Ketika ia melangkahkan kakinya ke arah Edward, ia terus memperhatikan Adiknya itu sambil memicingkan matanya. Menyadari tatapan Saudara lelakinya padanya, Edward hanya bisa tersenyum kikuk. "Dokter sudah memberikan suntikan pada Rosi, tapi Dokter juga memintanya untuk makan." Ia kembali berbicara
Larut malam, Rosalia terbangun dengan sekujur tubuh yang terasa lemas, ia juga mengernyit heran kala menemukan dirinya telah berada di atas ranjang rumah sakit. Di saat ia mencoba mengangkat salah satu tangannya, ia melihat sebuah jarum infus sedang terpasang dipergelangannya. Dan pada tangannya yang satu lagi... Ia bisa merasakan jika seseorang sedang menggenggam tangannya sekarang. Merasakan genggaman itu, ia pun menoleh dan menemukan Edward sedang tidur bersandar pada kursi yang sebelumnya ia pergunakan untuk menemani Ernest. Salah satu tangan Edward menggenggam erat tangannya, jemarinya dan jemari Edward saling mengait. Demi melepaskan tangannya dari genggaman Edward, perlahan-lahan ia mencoba menarik tangannya. Namun yang ia lakukan itu justru membangunkan Edward yang belum pulas dalam tidurnya. Keponakan suaminya itu tiba-tiba membuka matanya, dan mengerjapkannya berkali-kali hingga akhirnya menatap dirinya. "Hei, terima kasih, Tuhan." Helaan nafas lega terlontar dari bibir
"Jadi... Apa keputusan Kakek?" tanya Oliver, sambil menatap Ben yang sejak 1 jam yang lalu telah berbicara dengannya di bagian samping rumah sakit. Ada selasar panjang di sana yang dilengkapi dengan kursi tunggu berbahan besi. Dan di depan selasar itu, terdapat sebuah taman mungil tempat Edward duduk sebelumnya. Di kursi tunggu itulah Oliver duduk bersama Ben selama 1 jam ini. "Ketika beliau menghubungiku tadi, Tuan Besar sempat meminta pendapatku, Tuan Oliver." Jawab Ben, ia lalu diam sejenak menunggu reaksi dari Oliver. Dan kala ia melihat Oliver hanya diam saja, ia pun melanjutkan kata-katanya. "Beliau tampaknya cemas terhadap nasib Gail Group apabila Tuan Ernest tidak sadar secepatnya," lanjutnya lagi. Oliver hanya mendengarkan semua perkataan Ben itu dengan wajah serius. "Dan Tuan Besar juga bertanya padaku bagaimana pendapatku tentang Nyonya Rosalia, apakah aku bisa membimbingnya untuk menggantikan tempat Tuan Ernest untuk sementara waktu?""Dia sedang hamil, Ben." Tukas Olive