"Hahaha... Aku hanya ingin menggodamu, Mrs. Gail." Tukas Oliver sembari terkekeh geli, lalu mengusap pucuk kepala Rosalia. Membuat Rosalia dan Edward yang melihat tingkahnya itu, sontak mendengus sebal. Sementara Rose, ia langsung memukul manja lengan Oliver. "Kamu hampir saja membuatku terkena serangan jantung," protesnya. Oliver hanya menanggapi ucapan Istrinya itu dengan tersenyum getir. 'Maafkan aku, Rose. Aku belum bisa menghapus bayang-bayang Adikmu dari dalam ingatanku,' bisik hatinya lirih, kemudian menatap Rose dengan senyum yang terus dipaksakan untuk tetap bertahan di bibirnya. "Aku senang kamu bisa melepaskan kesedihanmu untuk sesaat, Mrs. Gail. Walau aku tahu itu sangat sulit," tambahnya lagi. Kali ini ia berpaling pada Rosalia, dan memberikan senyuman lembut pada wanita itu yang seolah ingin terus bertahta di dalam hatinya. Tidak! Sebenarnya ia lah yang menginginkan wanita itu untuk tetap berada di sana. "Terima kasih, Oliver." Ucap Rosalia tulus, kemudian membalas s
Pukul 7 malam... "Rosi!" Edward menepuk lembut pundak Rosalia yang sedang tertidur di samping ranjang Pamannya. Wajah cantik itu, yang berada beberapa senti dari lengan sang Paman-- Saat ini terlihat sangat pucat. Membuat ia sedikit mencemaskan keadaan Rosalia. "Rosi!" sekali lagi ia mencoba memanggil Rosalia, namun sama sekali tidak ada jawaban. Hingga tingkat kekhawatirannya semakin menjadi-jadi. Melihat Rosalia tidak juga terbangun, tanpa pikir panjang ia segera membungkuk dan menyusupkan kedua tangannya. Satu ke belakang punggung Rosalia, dan satu lagi ke balik betis ramping wanita yang ia cintai itu. Lalu dengan sigap ia membawa Rosalia keluar dari ruang rawat inap Pamannya. Edward terpaksa melakukan hal itu karena di dalam ruang rawat inap sang Paman sedang tidak ada siapapun saat ini. Beberapa menit yang lalu, Oliver baru saja meminta ijin padanya untuk menemani Rose yang ingin mengisi perutnya. Sekaligus ingin membelikan sesuatu untuk Rosalia makan nantinya. Sedangkan Suste
Tanpa memperdulikan Oliver yang tengah menatap Edward, Rose justru melirik Rosalia. "Apa yang terjadi, Ed? Apakah terjadi sesuatu pada Rosi?" tanyanya cemas sambil menghampiri Edward. Edward yang baru menyadari posisi tubuhnya, langsung berdiri tegak dengan wajah canggung. "Dia... Tadi aku pikir dia tidur, tapi ternyata dia pingsan. Dan Dokter sudah memeriksa keadaannya. Sedangkan aku... Aku sebenarnya hanya ingin melihat wajahnya dari dekat karena wajahnya terlalu pucat." Tukas Edward memberi alasan. Di saat yang sama, ia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal hanya untuk meredakan rasa canggung yang ia rasakan. Oliver tentu saja tidak percaya pada ucapan Adiknya itu. Jadi... Ketika ia melangkahkan kakinya ke arah Edward, ia terus memperhatikan Adiknya itu sambil memicingkan matanya. Menyadari tatapan Saudara lelakinya padanya, Edward hanya bisa tersenyum kikuk. "Dokter sudah memberikan suntikan pada Rosi, tapi Dokter juga memintanya untuk makan." Ia kembali berbicara
Larut malam, Rosalia terbangun dengan sekujur tubuh yang terasa lemas, ia juga mengernyit heran kala menemukan dirinya telah berada di atas ranjang rumah sakit. Di saat ia mencoba mengangkat salah satu tangannya, ia melihat sebuah jarum infus sedang terpasang dipergelangannya. Dan pada tangannya yang satu lagi... Ia bisa merasakan jika seseorang sedang menggenggam tangannya sekarang. Merasakan genggaman itu, ia pun menoleh dan menemukan Edward sedang tidur bersandar pada kursi yang sebelumnya ia pergunakan untuk menemani Ernest. Salah satu tangan Edward menggenggam erat tangannya, jemarinya dan jemari Edward saling mengait. Demi melepaskan tangannya dari genggaman Edward, perlahan-lahan ia mencoba menarik tangannya. Namun yang ia lakukan itu justru membangunkan Edward yang belum pulas dalam tidurnya. Keponakan suaminya itu tiba-tiba membuka matanya, dan mengerjapkannya berkali-kali hingga akhirnya menatap dirinya. "Hei, terima kasih, Tuhan." Helaan nafas lega terlontar dari bibir
"Jadi... Apa keputusan Kakek?" tanya Oliver, sambil menatap Ben yang sejak 1 jam yang lalu telah berbicara dengannya di bagian samping rumah sakit. Ada selasar panjang di sana yang dilengkapi dengan kursi tunggu berbahan besi. Dan di depan selasar itu, terdapat sebuah taman mungil tempat Edward duduk sebelumnya. Di kursi tunggu itulah Oliver duduk bersama Ben selama 1 jam ini. "Ketika beliau menghubungiku tadi, Tuan Besar sempat meminta pendapatku, Tuan Oliver." Jawab Ben, ia lalu diam sejenak menunggu reaksi dari Oliver. Dan kala ia melihat Oliver hanya diam saja, ia pun melanjutkan kata-katanya. "Beliau tampaknya cemas terhadap nasib Gail Group apabila Tuan Ernest tidak sadar secepatnya," lanjutnya lagi. Oliver hanya mendengarkan semua perkataan Ben itu dengan wajah serius. "Dan Tuan Besar juga bertanya padaku bagaimana pendapatku tentang Nyonya Rosalia, apakah aku bisa membimbingnya untuk menggantikan tempat Tuan Ernest untuk sementara waktu?""Dia sedang hamil, Ben." Tukas Olive
Sore hari, Oliver melambaikan tangannya pada Edward saat ia bertemu Adiknya itu di parkiran rumah sakit. Selama dua hari ini, setiap jam pulang kerja, ia dan Edward memang selalu bertemu di parkiran ini. Menggantikan jadwal makan siang yang biasanya kerap ia lakukan bersama Edward, karena sudah 2 hari ini ia selalu makan di Gail Group. Sedangkan Edward selalu pergi ke rumah sakit, mengantarkan makan siang untuk Rosalia. Walau ia dan Edward tahu bahwa ada Ben yang selalu menemani Rosalia di sana, namun Edward tetap kukuh ingin membelikan sendiri makan siang untuk Bibinya itu. "Bagaimana keadaannya hari ini, Ed?" tanya Oliver sambil menepuk pundak Adiknya yang sengaja menunggu dirinya agar bisa memasuki lobby rumah sakit bersama-sama. Sembari tersenyum, Edward mengangguk pada Saudara lelakinya itu sebelum ia membuka mulutnya. "Lumayan, Kak. Jika Kakak membandingkannya dengan dua hari yang lalu." Sahutnya. "Dan Kakek? Apakah sudah ada kabar dari Kakek?" tanya Oliver lagi sambil meli
"Berapa lama mereka akan memeriksanya, Ben?" celetuk Rosalia, pada Ben yang sedang berdiri di sampingnya.Saat ini, Asisten berwajah tampan itu tampak fokus memperhatikan kerja pria paruh baya yang telah sengaja diundang oleh Ayah Mertuanya ke Kota L demi memeriksa kondisi Suaminya."Aku belum tahu, Nyonya." Sahut Ben, ia menggeleng pelan lalu kembali berbicara. "Tapi Nyonya tidak perlu khawatir, aku pikir Dokter Marson pasti tahu apa yang harus dia lakukan demi menyembuhkan Tuan Ernest." Tambahnya lagi."Apakah kamu mengenalnya?"Ben menganggukkan kepalanya, "Kalau aku tidak salah ingat, Dokter Marson adalah Sahabat dari Tuan Carlisle, Nyonya. Tapi memang sudah lama sekali dia tidak pernah kembali ke Kota L, sejak seluruh anggota keluarganya memutuskan untuk pindah ke Newyork." Ia lalu diam sejenak dan menoleh ke arah Rosalia. "Dari informasi yang kudapatkan tentang Dokter Marson, belakangan ini dia cukup terkenal di Kota Newyork, Nyonya." Lanjutnya. Ia kemudian mengatakan pada Rosali
Malam hari, di ruang rawat inap Ernest. "Aku tidak menduga bahwa selera makanmu cukup baik hari ini," seloroh Edward. Ia melirik bungkusan kosong yang tergeletak di atas meja di depan Rosalia. Membuat Ben dan Oliver yang mendengar ucapannya itu sontak ikut memperhatikan bungkusan tersebut. Berbeda dengan Rosalia, ia langsung mencembungkan pipinya dengan sebal. Belakangan ini, karena ia tidak tahu tentang keadaan pasti suaminya dan apakah suaminya bisa bangun lagi. Nafsu makannya agak sedikit menurun. Namun, setelah ia mendengar penjelasan dari Ben dan Erick Marson-- Kalau kondisi suaminya sebenarnya tidak berbahaya, ia tiba-tiba merasa sangat lapar sekali. 'Mungkinkah sebelumnya Ernest junior juga sedang memikirkan Ayahnya?' bisik hatinya sambil melirik ke arah perutnya yang masih rata. Oh, Tuhan. Kini ada seorang malaikat kecil yang sedang tumbuh di sana, benih dari cintanya bersama Ernest. Dan entah bagaimana, harapan suaminya itu untuk memiliki anak secepatnya seolah dikabulkan