"Sayang?" "Ya."Sekali lagi Ernest mengurai pelukannya, mendorong pundak Rosalia perlahan hingga tubuh mungil itu kembali bersandar pada bantal yang terdapat di belakangnya. "Saat kamu pergi, aku menemukan kalung dan kartu hitam yang kamu tinggalkan di griya tawang." Ia merogoh saku jas yang dikenakannya, dan mengeluarkan sebuah kalung yang pernah diberikannya pada Rosalia dan biasanya selalu berada di leher Kekasihnya ini. "Ini!" Rosalia hanya menatap untaian kalung yang diangkat Ernest ke hadapan wajahnya. Di saat melihat kalung tersebut, kesedihan sontak mengisi relung hatinya. Hari itu, ia ingat dengan baik ketika ia memutuskan untuk melepaskan kalung tersebut dan meninggalkannya di griya tawang sebelum ia pergi meninggalkan kota L. Kala ia melakukan hal itu, hatinya sangat hancur mengingat kebohongan Ernest padanya. Ternyata, tanpa sepengetahuan dirinya, banyak hal yang telah Ernest sembunyikan darinya. Terutama tentang Rose yang nyatanya telah memilih Kekasihnya ini, juga ten
Selama mendengarkan penjelasan dari Sahabatnya, Gabriel lebih banyak diam sambil memperhatikan wajah Ernest dengan serius. Namun sesekali, ia juga manggut-manggut. Yang artinya ia setuju pada tindakan yang telah Ernest ambil. "Begitulah, Gab." Ujar Ernest mengakhiri ceritanya, lalu menghela nafas lelah. "Sudahkah kamu katakan hal ini padanya?" tanya Gabriel. Ernest menggeleng pelan, "Aku tidak bisa mengatakannya, Gab. Aku... Aku tidak ingin Rosi merasa terbebani setelah mendengar bagaimana aku menghadapi Ayahku. Lagipula masalahku dengan Ayahku telah selesai, bagiku ini sudah cukup!" tegasnya sembari tersenyum kelu. "Cih, kamu benar-benar pria sejati, Bung." Tukas Gabriel. Ia menepuk pundak Ernest, mengekspresikan kekagumannya terhadap Sahabatnya itu. "Begini saja, aku akan mencoba membantumu untuk membujuknya. Tapi... Untuk sementara ini, sebaiknya kamu biarkan dulu Rosi di sini sendiri. Biarkan dia menenangkan pikirannya terlebih dahulu, aku perhatikan-- Dia terlalu banyak menang
Saat ini di atas ranjang, Rosalia tengah mengoleskan salep pada sekujur tubuh Ernest yang memiliki memar menghitam. Meskipun memar tersebut sudah mulai terlihat samar, namun ia tahu bahwa semula tampilan memar tersebut pasti sangat mengerikan dan pastinya sangat menyakitkan. Ia mengetahuinya karena ia sering terlibat perkelahian dengan beberapa pria sebelumnya, dan juga pernah mendapatkan memar seperti ini di tubuhnya akibat terkena pukulan tongkat bisbol yang dibawa oleh lawannya. "Ssshh..."Mendengar ringisan pelan Ernest, ia sontak menatap wajah Kekasihnya itu yang mencoba untuk tersenyum padanya. "Bodoh, sangat bodoh!" omelnya geram sambil memencet salah satu memar di bawah dada Ernest, membuat Kekasihnya itu mengerang tertahan. "Apa ini enak, Mr. Ernest Gail?" sindirnya. Tapi bukan jawaban yang ia dapatkan, melainkan satu tarikan di tengkuknya dan lumatan lembut di bibirnya. Tubuhnya bahkan didorong pelan ke belakang dengan posisi tangan Ernest berada di pinggangnya hingga ia t
Keesokan harinya... "Huekk!!"Ernest terbangun dari tidurnya setelah mendengar keributan itu. Saat ia menoleh untuk mencari Rosalia... "Huekk!!" Suara itu kembali terdengar, membuat ia dengan cepat mengangkat tubuhnya untuk duduk di atas ranjang lalu melemparkan pandangannya pada pintu kamar mandi yang tertutup rapat, dari mana asal suara tadi terdengar. "Rosi?" mencemaskan keadaan Kekasihnya, ia pun bergegas ke kamar mandi yang terdapat di dalam kamar yang ia tempati bersama Rosalia. Untungnya, semalam ia telah membersihkan tubuhnya terlebih dahulu dan kembali mengenakan celana piyamanya sebelum ia tidur memeluk Rosalia sambil bertelanjang dada, hingga ia tidak perlu mencemaskan keadaannya sekarang. Tiba di depan pintu kamar mandi, tanpa berpikir panjang-- Ia segera meraih gagang pintu lalu menggerakkannya ke arah bawah. Ia menghela nafas lega karena ternyata pintu kamar mandi sama sekali tidak terkunci. 'Apakah dia tadi tergesa-gesa masuk ke dalam kamar mandi hingga lupa meng
"Bagaimana Ernest membujukmu untuk kembali ke Kota L?"Pertanyaan ini yang berasal dari Charlotte, menyentakkan Ernest dari lamunannya dan membuatnya reflek memalingkan wajahnya ke arah Charlotte yang sedang menatap Kekasihnya sambil mengulum senyum. "Hmmm... Kak, tolong jangan membuat Rosi menjadi bingung!" protesnya. "Justru aku yang sedang bingung di sini, Ernest!" tukas Charlotte tak mau kalah, "Awalnya aku ingin Rosi bertunangan dengan salah satu putraku, tapi apa ini?" ia mencebikkan bibirnya, "Kamu malah merebut calon tunangan Keponakanmu sendiri!" tembaknya sebal. "Tapi aku pria pertama di keluarga ini yang mengenalnya terlebih dahulu." Ernest tetep kekeh dengan pendiriannya. Ia bahkan sengaja melingkarkan lengannya di pinggang Rosalia, sebagai isyarat bahwa ia lah pemilik Kekasihnya itu. Tingkah Ernest yang posesif, sontak membuat Charlotte merapatkan bibirnya. Menahan tawanya agar tidak terlepas. "Carly, sejak kapan adikmu ini tumbuh dewasa?" sindirnya. Meskipun ucapanny
Sudah satu jam Ernest berada di mansion keluarga Heart, duduk berdampingan dengan Ben. Di seberang sofa yang ia duduki, Alston tampak sedang memikirkan permintaannya yang ingin menikahi Rosalia secepatnya. Sesekali pria paruh baya itu melirik Kekasihnya yang tengah berbicara dengan Elizabeth dan juga Rose. Dari tatapan Alston, ia menemukan ada kemarahan yang terpancar di sana. Kemarahan yang ditujukan kepada Rosalia. Tidak hanya sekarang, sejak ia datang satu jam yang lalu-- Alston juga hanya menyapa Kekasihnya itu seadanya. Berbeda dengan Elizabeth yang justru terlihat sangat menyayangi putrinya dan langsung memeluk Rosalia setibanya ia di mansion ini. "Bagaimana, Mr. Alston?" lontarnya sambil menatap Alston dengan wajah serius, membuat pria paruh baya itu sontak berpaling padanya. Alston menghela nafas sejenak, sebelum ia membuka mulutnya. "Tuan Ernest, anda yakin ingin menikahi Rosi?""Begitulah." Ernest melirik Ben, memberi isyarat pada Asistennya itu agar memberikan berkas yan
"Kita ke mansion Ayahku, Ben." Titah Ernest, saat mobilnya yang dikendarai oleh Ben keluar dari gerbang mansion keluarga Heart. "Baik, Tuan Ernest." Sahut Ben. Ia menganggukkan kepalanya lalu memutar setir mobil ke kiri, mengambil jalan menuju ke mansion Tuan Besar Gail. Selama di dalam perjalanan, sesekali Ben melirik kaca spion. Memperhatikan Rosalia yang tengah bersandar di pundak Ernest. Hingga saat ini gadis belia itu masih saja menangis haru. Sementara sang Bos terlihat bingung bagaimana harus membujuk Kekasih kecilnya itu. Namun, menyadari bahwa permasalahan Ernest dan Ayahnya telah selesai, begitu pula permasalahan Rosalia dengan keluarganya-- Ada setitik rasa bangga di hati Ben karena ia telah bekerja pada orang yang tepat. Ernest Gail, pria luar biasa ini selalu menjadi panutannya sejak beberapa tahun belakangan ini. Terlepas dari sifat Ernest sebelumnya sebagai seorang Casanova, nyatanya bagi Ben-- Ernest adalah pria yang sangat berdedikasi tinggi dan mampu menyelesaikan
"Bawakan kudaku!" titah Ernest pada Asisten Ayahnya. Pria paruh baya itu melirik Tuan Gail tua kala mendengar perintah tersebut, dan setelah melihat anggukan sang Majikan-- Ia pun menundukkan kepalanya dengan hormat kemudian pergi untuk mengambilkan kuda milik putra bungsu Majikannya. Belum 10 menit, ia telah kembali bersama seekor kuda hitam yang kekar. Melihat kudanya yang telah lama tidak ia ajak jalan-jalan, Ernest langsung menghampirinya. Menepuk leher kuda kesayangannya itu, menginjak stirrup, lalu mengangkat tubuhnya untuk duduk di atas pelana. Namun, sebelum ia mengejar Rosalia yang tampak tersenyum senang di atas kuda putih, ia terlebih dahulu melepaskan jasnya dari tubuhnya dan melemparkannya pada Asisten sang Ayah. Kini, hanya dengan mengenakan celana bahan, kemeja, dan rompi yang mengetat di tubuh kekarnya-- Ia pun memacu kudanya untuk mengejar Rosalia yang berada dekat dengan gerbang mansion Ayahnya. "Aku akan mengajaknya berjalan-jalan ke pantai, Ayah!" teriaknya, s