"Apa rencanamu sekarang, Rosi?" tanya Edward, usai ia makan bersama dengan Rosalia di Apartemennya. Rosalia yang tengah mencuci piring kotor di bak cuci piring, menghentikan gerakan tangannya lalu menoleh pada Edward yang tengah berdiri di sampingnya. Pria berwajah tampan dan keras itu saat ini sedang mengelap satu piring yang telah ia cuci kemudian menempatkan piring tersebut ke dalam rak piring. "Aku ingin meninggalkan kota ini, Ed!" ujarnya sembari tersenyum. Ucapannya itu membuat Edward langsung berpaling padanya dengan kedua alis menyatu di tengah. "Mengapa? Bukankah kamu sudah mendengar apa yang Oliver katakan pagi ini? Dia dan Paman akan mengusahakan yang terbaik untuk membantumu juga keluargamu. Mengapa kita tidak menunggu kabar dari Oliver terlebih dahulu?" Rosalia menggeleng pelan, "Aku tidak ingin menjadi beban untukmu, Oliver, dan juga Pamanmu. Jika kepergianku bisa menyelamatkan keluargaku dan membuat Rose mendapatkan cintanya, aku-- Aku bersedia melepaskan semua ini,
Pukul 5 sore, akhirnya Ernest, Carlisle, dan juga Oliver meninggalkan ruang kerja Tuan Gail tua. Meski Tuan Gail tua tidak mengatakan bahwa ia telah memberikan restunya pada Ernest, namun Ayahnya itu telah meminta Ernest untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap Rosalia. "Kamu... Sangat keras kepala, Ernest!" tukas Carlisle sebal, ketika ia dan Ernest keluar dari pintu ruang kerja Ayahnya. "Hmmm..." Dehem Ernest sembari melemparkan senyum sungkan pada Saudara lelakinya itu. "Jadi... Apakah gadis ini benar-benar telah hamil?" tanya Carlisle penasaran. "Belum, untuk saat ini." Ernest menatap Carlisle dengan wajah lelah, mencoba memberi isyarat pada Saudara lelakinya itu agar Carlisle bersedia mendukung keputusannya. Melihat wajah Adiknya itu, Carlisle hanya bisa menghela nafas. Ia tahu sekeras apa Ernest jika menginginkan sesuatu, dan ia juga tahu bahwa semua kata-kata Ernest di dalam ruangan kerja Ayahnya tadi pasti akan Ernest lakukan jika Adiknya ini tidak mendapatkan
Ting!! Edward bergegas meninggalkan lift setelah pintu lift terbuka. Semakin ia dekat ke Apartemen miliknya, ia menemukan 4 Bodyguard Pamannya telah berjaga di depan Apartemennya. Sedangkan pintu Apartemennya sendiri, saat ini tengah terbuka lebar. Tanpa perlu bertanya kepada keempat Bodyguard itu, ia langsung memasuki Apartemen miliknya. Di sofa ruang tamu, ia melihat Pamannya sedang duduk sambil menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Pria dewasa berwajah keras itu, saat ini terlihat sangat-sangat lelah. Hal itu tampak di guratan yang tercetak di wajah sang Paman. Dan di tangan Pamannya, ia menemukan pakaian yang Rosalia kenakan semalam. "Paman!" Edward mencoba menegur Ernest seraya menghampiri Pamannya itu. Membuat Ernest sontak berpaling ke arahnya. "Ed." Suara Ernest terdengar serak menyapa indera pendengaran Edward, bahkan ia menangkap ada nada tertekan di dalamnya. "Maafkan aku, Paman. Aku... Tidak bisa menghalanginya untuk meninggalkan kota ini."Mendengar penjelasan E
"Kapan rencananya Paman akan menemui Rosi di Paris?" tanya Edward. Ia menenggak sisa whisky di dalam gelasnya, meletakkan gelas ke lantai pinggir kolam, lalu menatap sang Paman dengan wajah serius. Oliver juga turut melakukan hal yang sama. Namun, di saat ia menoleh pada Ernest-- Sudut matanya menangkap bayangan Rose dari balik jendela kaca yang membatasi area kolam renang dengan bagian dalam Mansion. Keningnya berkernyit kala memperhatikan gelagat Rose yang tampak mencurigakan baginya. "Hmmm... Secepatnya, mungkin setelah Paman menyelesaikan semua pekerjaan di Gail Group terlebih dahulu." Tukas Ernest. Mendengar ucapan Ernest, Oliver pun berpaling pada sang Paman kemudian mengangguk setuju. "Hanya saja, Paman masih belum yakin apakah Rosi masih mau bertemu dengan Paman?" lanjut Ernest lagi, sembari ia memberi isyarat pada Anne yang baru saja tiba untuk mengisi gelasnya dan gelas kedua Keponakannya yang telah kosong. Anne mengangguk patuh dan segera berlutut di samping kursi yang
"Apa yang ingin kamu lakukan, Rose?!"Pertanyaan Ernest yang bernada dingin, membuat sekujur tubuh Rose sontak mengkerut. Dan sambil memperhatikan pria berwajah arogan itu mengangkat tubuhnya untuk duduk di atas ranjang, ia diam-diam mencoba menggerakkan tangannya agar terlepas dari genggaman Ernest. "Tuan Ernest, ini sakit." Lirihnya seraya menarik tangannya. Tanpa Rose duga... "Ukh!!" ia tercekat ketika salah satu tangan Ernest yang bebas kini telah berada di lehernya. "Tu-Tuan Ernest..." Wajah Rose memerah di saat ia merasakan tangan tersebut meremas lehernya dengan keras. "Besok pagi, kembalilah ke mansion keluargamu, Rose Heart! Pertunangan kita telah dibatalkan, dan kamu... Kamu tidak diterima di sini!!" bentak Ernest, setelahnya ia melemparkan wajah Rose ke atas ranjang. Rose menarik nafas dengan rakus setelah Ernest melepaskan lehernya demi mengisi paru-parunya yang terasa sesak gara-gara cengkraman Ernest pada lehernya tadi. Mengacuhkan posisinya yang tampak memalukan dan m
Keesokan harinya, pukul 7. Untuk pertama kalinya Oliver terlambat bangun gara-gara adegan panas yang ia lakukan bersama Rose semalam. Bahkan masih jelas di dalam ingatannya bagaimana semua itu dimulai. Setelah Rose melepaskan pelukannya, Rose tiba-tiba berjingkat mencium bibirnya. Gerakan wanita itu sangat kaku, tapi membuatnya sempat tertegun selama beberapa saat. Rose, yang pernah menolak untuk bertunangan dengannya lalu meninggalkan dirinya di malam pertunangan mereka-- Tiba-tiba menciumnya? Sempat terpikirkan olehnya, apakah Rose melakukan hal itu karena Rose telah menyerah terhadap Pamannya? Namun, pikiran itu menguap begitu saja di saat ia melihat ekspresi di wajah Rose. Wajah itu... Yang terlihat sama persis dengan Rosalia, membangkitkan kelelakiannya. Dan kepolosan Rose kala menggodanya bahkan mengingatkan ia akan kepolosan Rosalia. Hal inilah yang membuat ia tanpa sadar menyentuh Rose, bergulat dengan peluh dan keringat bersama wanita cantik itu di atas ranjang. Sialnya,
Dengan bantuan beberapa Bodyguard Ernest, kini Rose tengah menyimpan tas pakaiannya ke dalam bagasi mobil Oliver. Sementara di dalam Mansion, Oliver tengah berbicara dengan Anne. "Apa yang Tuan lakukan?" protes Anne, sambil menatap Oliver. Setelah ia mendengarkan penjelasan dari Keponakan Majikannya itu bahwa Oliver ingin mengambil tanggung jawab untuk menjaga Rose. Mendengar suara Anne yang sedikit meninggi, Oliver segera memberi isyarat pada Anne agar mengecilkan suaranya. Ia, hanya tidak ingin Rose sampai mendengar percakapannya bersama Anne. "Aku harus melakukannya, Ann." Tekannya pada wanita paruh baya itu. Lalu kemudian menyelipkan jemari tangannya di antara rambutnya yang tebal dan menyugar sebagian rambutnya itu ke belakang kepalanya. "Aku... Harus mengawasinya agar Rose tidak lagi menyimpan dendam terhadap Adiknya karena Paman telah menolak dirinya dan lebih memilih untuk menjalin hubungan dengan Adiknya.""Jadi... Apakah itu artinya wanita itu telah memilih Tuan Ernest?" s
"Sial, ke mana kamu, Ernest Gail? Mengapa sampai jam sekarang ponselmu masih sulit untuk dihubungi?" Sekali lagi Gabriel mengusap lambang memanggil pada ponselnya. Ini sudah yang kelima kalinya ia mencoba menghubungi Ernest, namun lagi-lagi panggilannya selalu berakhir di kotak suara. "Huh!!" akhirnya dengan kesal ia mengantongi kembali ponsel miliknya, lalu menyugar rambutnya dengan gusar. 'Di mana dia?' pikirnya seraya memutar bola matanya. Karena tidak biasanya di jam-jam begini Ernest mematikan ponselnya. Di saat Gabriel mengalihkan pandangannya ke arah Rosalia, tiba-tiba ia melihat kelopak mata Rosalia yang tengah terpejam tampak bergerak. Sepertinya gadis itu sudah mulai terjaga. Hanya berselang beberapa detik, sesuai perkiraannya-- Rosalia pun membuka matanya. Membuat ia langsung menghampiri Rosalia dan menjatuhkan bokongnya di pinggiran ranjang. "Hei, istirahatlah! Jangan memaksakan dirimu untuk bangun, aku lihat tubuhmu terlalu lemah." Nasehatnya pada Rosalia. Ia lalu memb