Keesokan harinya, pukul 7. Untuk pertama kalinya Oliver terlambat bangun gara-gara adegan panas yang ia lakukan bersama Rose semalam. Bahkan masih jelas di dalam ingatannya bagaimana semua itu dimulai. Setelah Rose melepaskan pelukannya, Rose tiba-tiba berjingkat mencium bibirnya. Gerakan wanita itu sangat kaku, tapi membuatnya sempat tertegun selama beberapa saat. Rose, yang pernah menolak untuk bertunangan dengannya lalu meninggalkan dirinya di malam pertunangan mereka-- Tiba-tiba menciumnya? Sempat terpikirkan olehnya, apakah Rose melakukan hal itu karena Rose telah menyerah terhadap Pamannya? Namun, pikiran itu menguap begitu saja di saat ia melihat ekspresi di wajah Rose. Wajah itu... Yang terlihat sama persis dengan Rosalia, membangkitkan kelelakiannya. Dan kepolosan Rose kala menggodanya bahkan mengingatkan ia akan kepolosan Rosalia. Hal inilah yang membuat ia tanpa sadar menyentuh Rose, bergulat dengan peluh dan keringat bersama wanita cantik itu di atas ranjang. Sialnya,
Dengan bantuan beberapa Bodyguard Ernest, kini Rose tengah menyimpan tas pakaiannya ke dalam bagasi mobil Oliver. Sementara di dalam Mansion, Oliver tengah berbicara dengan Anne. "Apa yang Tuan lakukan?" protes Anne, sambil menatap Oliver. Setelah ia mendengarkan penjelasan dari Keponakan Majikannya itu bahwa Oliver ingin mengambil tanggung jawab untuk menjaga Rose. Mendengar suara Anne yang sedikit meninggi, Oliver segera memberi isyarat pada Anne agar mengecilkan suaranya. Ia, hanya tidak ingin Rose sampai mendengar percakapannya bersama Anne. "Aku harus melakukannya, Ann." Tekannya pada wanita paruh baya itu. Lalu kemudian menyelipkan jemari tangannya di antara rambutnya yang tebal dan menyugar sebagian rambutnya itu ke belakang kepalanya. "Aku... Harus mengawasinya agar Rose tidak lagi menyimpan dendam terhadap Adiknya karena Paman telah menolak dirinya dan lebih memilih untuk menjalin hubungan dengan Adiknya.""Jadi... Apakah itu artinya wanita itu telah memilih Tuan Ernest?" s
"Sial, ke mana kamu, Ernest Gail? Mengapa sampai jam sekarang ponselmu masih sulit untuk dihubungi?" Sekali lagi Gabriel mengusap lambang memanggil pada ponselnya. Ini sudah yang kelima kalinya ia mencoba menghubungi Ernest, namun lagi-lagi panggilannya selalu berakhir di kotak suara. "Huh!!" akhirnya dengan kesal ia mengantongi kembali ponsel miliknya, lalu menyugar rambutnya dengan gusar. 'Di mana dia?' pikirnya seraya memutar bola matanya. Karena tidak biasanya di jam-jam begini Ernest mematikan ponselnya. Di saat Gabriel mengalihkan pandangannya ke arah Rosalia, tiba-tiba ia melihat kelopak mata Rosalia yang tengah terpejam tampak bergerak. Sepertinya gadis itu sudah mulai terjaga. Hanya berselang beberapa detik, sesuai perkiraannya-- Rosalia pun membuka matanya. Membuat ia langsung menghampiri Rosalia dan menjatuhkan bokongnya di pinggiran ranjang. "Hei, istirahatlah! Jangan memaksakan dirimu untuk bangun, aku lihat tubuhmu terlalu lemah." Nasehatnya pada Rosalia. Ia lalu memb
"Pagi ini Rosi pingsan, Ernest."Mendengar ucapan Gabriel itu, salah satu alis Ernest mencuat naik. Namun sang empunya alis masih tidak juga bergeming. Terus menunggu lanjutan kalimat Gabriel selanjutnya. "Aku dengar, dia juga muntah cukup banyak pagi ini. Tapi, tenanglah! Aku sudah meminta Dokter keluargaku untuk memeriksa keadaannya." "Bisakah kamu tidak berputar-putar, Gab! Katakan saja apa yang terjadi!" protes Ernest tak sabar. Ia lalu menyugar rambutnya karena terlalu gusar menunggu apa yang ingin Gabriel sampaikan padanya. "Dia hamil, Bung."Degg!! Ernest membeku di hadapan Gabriel, "Apa katamu?" lontarnya tak percaya, terus menatap Gabriel demi memastikan bahwa informasi yang baru saja dikatakan oleh Sahabatnya ini tadi memang benar adanya. "Rosi hamil, Bung. Dua minggu!" tekan Gabriel, tapi ia mengucapkan kata-katanya itu dengan sangat pelan. Namun itu cukup membuat Ernest tersentak, termangu, bingung bagaimana harus menanggapi informasi tersebut. Informasi yang selama i
"Sayang?" "Ya."Sekali lagi Ernest mengurai pelukannya, mendorong pundak Rosalia perlahan hingga tubuh mungil itu kembali bersandar pada bantal yang terdapat di belakangnya. "Saat kamu pergi, aku menemukan kalung dan kartu hitam yang kamu tinggalkan di griya tawang." Ia merogoh saku jas yang dikenakannya, dan mengeluarkan sebuah kalung yang pernah diberikannya pada Rosalia dan biasanya selalu berada di leher Kekasihnya ini. "Ini!" Rosalia hanya menatap untaian kalung yang diangkat Ernest ke hadapan wajahnya. Di saat melihat kalung tersebut, kesedihan sontak mengisi relung hatinya. Hari itu, ia ingat dengan baik ketika ia memutuskan untuk melepaskan kalung tersebut dan meninggalkannya di griya tawang sebelum ia pergi meninggalkan kota L. Kala ia melakukan hal itu, hatinya sangat hancur mengingat kebohongan Ernest padanya. Ternyata, tanpa sepengetahuan dirinya, banyak hal yang telah Ernest sembunyikan darinya. Terutama tentang Rose yang nyatanya telah memilih Kekasihnya ini, juga ten
Selama mendengarkan penjelasan dari Sahabatnya, Gabriel lebih banyak diam sambil memperhatikan wajah Ernest dengan serius. Namun sesekali, ia juga manggut-manggut. Yang artinya ia setuju pada tindakan yang telah Ernest ambil. "Begitulah, Gab." Ujar Ernest mengakhiri ceritanya, lalu menghela nafas lelah. "Sudahkah kamu katakan hal ini padanya?" tanya Gabriel. Ernest menggeleng pelan, "Aku tidak bisa mengatakannya, Gab. Aku... Aku tidak ingin Rosi merasa terbebani setelah mendengar bagaimana aku menghadapi Ayahku. Lagipula masalahku dengan Ayahku telah selesai, bagiku ini sudah cukup!" tegasnya sembari tersenyum kelu. "Cih, kamu benar-benar pria sejati, Bung." Tukas Gabriel. Ia menepuk pundak Ernest, mengekspresikan kekagumannya terhadap Sahabatnya itu. "Begini saja, aku akan mencoba membantumu untuk membujuknya. Tapi... Untuk sementara ini, sebaiknya kamu biarkan dulu Rosi di sini sendiri. Biarkan dia menenangkan pikirannya terlebih dahulu, aku perhatikan-- Dia terlalu banyak menang
Saat ini di atas ranjang, Rosalia tengah mengoleskan salep pada sekujur tubuh Ernest yang memiliki memar menghitam. Meskipun memar tersebut sudah mulai terlihat samar, namun ia tahu bahwa semula tampilan memar tersebut pasti sangat mengerikan dan pastinya sangat menyakitkan. Ia mengetahuinya karena ia sering terlibat perkelahian dengan beberapa pria sebelumnya, dan juga pernah mendapatkan memar seperti ini di tubuhnya akibat terkena pukulan tongkat bisbol yang dibawa oleh lawannya. "Ssshh..."Mendengar ringisan pelan Ernest, ia sontak menatap wajah Kekasihnya itu yang mencoba untuk tersenyum padanya. "Bodoh, sangat bodoh!" omelnya geram sambil memencet salah satu memar di bawah dada Ernest, membuat Kekasihnya itu mengerang tertahan. "Apa ini enak, Mr. Ernest Gail?" sindirnya. Tapi bukan jawaban yang ia dapatkan, melainkan satu tarikan di tengkuknya dan lumatan lembut di bibirnya. Tubuhnya bahkan didorong pelan ke belakang dengan posisi tangan Ernest berada di pinggangnya hingga ia t
Keesokan harinya... "Huekk!!"Ernest terbangun dari tidurnya setelah mendengar keributan itu. Saat ia menoleh untuk mencari Rosalia... "Huekk!!" Suara itu kembali terdengar, membuat ia dengan cepat mengangkat tubuhnya untuk duduk di atas ranjang lalu melemparkan pandangannya pada pintu kamar mandi yang tertutup rapat, dari mana asal suara tadi terdengar. "Rosi?" mencemaskan keadaan Kekasihnya, ia pun bergegas ke kamar mandi yang terdapat di dalam kamar yang ia tempati bersama Rosalia. Untungnya, semalam ia telah membersihkan tubuhnya terlebih dahulu dan kembali mengenakan celana piyamanya sebelum ia tidur memeluk Rosalia sambil bertelanjang dada, hingga ia tidak perlu mencemaskan keadaannya sekarang. Tiba di depan pintu kamar mandi, tanpa berpikir panjang-- Ia segera meraih gagang pintu lalu menggerakkannya ke arah bawah. Ia menghela nafas lega karena ternyata pintu kamar mandi sama sekali tidak terkunci. 'Apakah dia tadi tergesa-gesa masuk ke dalam kamar mandi hingga lupa meng
Ini sudah dua hari sejak terakhir Ernest datang menemui Rosalia di rumah peristirahatan milik Ayah mertuanya. Dan selama dua hari ini, suaminya itu sudah tidak pernah lagi mengganggu dirinya. Tidak menemuinya sama sekali. Membuat Rosalia menjadi bingung dan juga berpikir, apakah Ernest benar-benar telah menyerah padanya. "Ed, aku ingin kembali bekerja!" cetusnya di meja makan, saat ia sarapan pagi bersama Edward. Namun Edward hanya menatapnya dengan wajah seolah kurang yakin kalau ia sudah siap untuk bekerja. "Bagaimana tubuhmu, Rosi? Kau yakin ingin melakukan hal ini?"Rosalia mengangguk tegas, keseriusannya itu juga ia tunjukkan lewat tatapan matanya yang tertuju pada Edward. "Aku bosan, Ed," ungkapnya, mencoba menjelaskan alasan tentang mengapa ia memutuskan untuk pergi bekerja. Sesaat, ia sempat menangkap raut wajah Edward tiba-tiba tampak aneh. Seolah ada sesuatu yang sedang disembunyikan Edward darinya. Tapi apa? "Baik, tapi sebaiknya aku menghubungi Luis terlebih dahulu, b
Di dalam kamarnya, duduk bersandar di atas ranjang, Rosalia terus menunggu seandainya Ernest naik ke lantai dua rumah peristirahatan. Lalu menggedor pintu kamarnya sambil berteriak marah memanggil namanya. Tapi hal itu tidak terjadi sama sekali, terlalu hening, terlalu sepi, membuat ia ingin menangis. Tak lama, suara sedan terdengar di pekarangan rumah. Suara itu seolah bergerak menjauh, pergi menjauhi rumah peristirahatan. "Dia menyerah? Haha ... ternyata hanya begitu." Rosalia tertawa lirih, dan di penghujung tawanya, ia justru terisak pelan. Menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, meringkuk, dan terus terisak di sana hingga ia tertidur. 1 jam kemudian, gagang pintu kamar Rosalia tiba-tiba bergerak turun. Berselang beberapa detik, pintu itu yang ternyata tidak terkunci bahkan didorong perlahan dari luar oleh sesosok tubuh tinggi besar. Sesaat, pria ini melemparkan pandangannya ke arah ranjang. Menatap cukup lama pada Rosalia yang telah tampak pulas, baru kemudian melangkah perlah
Malam hari, usai makan malam. Rosalia terus mengunci dirinya di dalam kamar, duduk termangu di atas ranjang sambil menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang sengaja ia tekuk. Hari ini ia jengkel sekali, sangat jengkel atas semua yang telah Ernest lakukan padanya. Dan ... bagaimana bisa suaminya itu merayunya, menggodanya, menyentuhnya dengan tangan yang pernah menyentuh Barbara sebelumnya, tanpa merasa bersalah pada dirinya? Ernest anggap apa dirinya? 'Itu karena kau juga sengaja membiarkannya melakukan hal itu padamu, Rosi! Kau ... selalu takluk ketika Ernest menyentuhmu. Kau selalu menyerah di bawah kecupannya. Pria itu menyadarinya, Rosalia Heart! Dia mengetahui kelemahanmu!'Rosalia memiringkan kepalanya, mencoba mengacuhkan semua jeritan yang diteriakkan hatinya padanya. Meski ia tahu kalau semua itu memang benar adanya. Yah, ia memang selemah itu di hadapan Ernest. Itu benar, dan ia tidak menampiknya. Ia juga sadar kalau ia tidak bisa melihat sekelilingnya karena h
Perlahan-lahan, Edward membalikkan tubuhnya. Dan ia sontak membeku saat telah berhadapan sempurna dengan Pamannya. Sebab wajah Ernest kini tampak sangat menakutkan. Beberapa saat yang lalu, Ernest hampir berhasil melepaskan satu-satunya kain yang masih melekat di tubuh Rosalia, namun konsentrasinya tiba-tiba terganggu oleh suara bel. Selama beberapa saat ia mencoba untuk mengacuhkannya, tapi naasnya ... suara bel kedua justru membuat Rosalia seketika membuka matanya. Istrinya itu menatap lekat ke arahnya, ia bahkan melihat ada kebencian di wajah Rosalia saat itu. Dan lebih sialnya lagi, suara bel kembali terdengar. Semakin sering, hingga Rosalia yang semula telah terpengaruh oleh sentuhannya, langsung mendorong tubuhnya. Istrinya itu bahkan segera memunguti semua pakaiannya dan bergegas berlari ke kamar mandi. Keributan itu tentu saja membuat Ernest meradang. Karena gara-gara suara bel, gairahnya yang semula telah berada di puncak, akhirnya langsung terjun bebas akibat penolakan Ros
Pukul 11 siang, Edward, Ben, dan juga Elio tampak memasuki lobby hotel. Ketika ketiganya telah memasuki lift, Edward yang sudah menahan kesabarannya sejak turun dari mobil, langsung membuka mulutnya. "Ini terlalu siang!" protesnya pada Ben, "Kau dengar? Rosi pasti sangat kelaparan sekarang," sungutnya. Ben tidak menanggapi celotehan Edward itu, melainkan melirik arloji mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sekarang sudah pukul 11? Seharusnya saat ini Tuan sudah terbangun, 'kan? Dan juga sudah berbicara pada Nyonya, 'kan? Apa mereka baik-baik saja?" gumamnya pelan, ada keresahan di dalam nada suara Ben. Begitu pula kala ia melihat lampu lift yang menunjukkan pergantian lantai semakin mendekati lantai tempat di mana kamar Ernest berada. Tepat di saat lift tiba dan pintu lift telah terbuka, dengan wajah ragu ia keluar dari lift. Edward masih berkicau bak burung merpati yang belum diberi makan, namun Ben sengaja menulikan telinganya. Ia bahkan tidak mengerti sejak kapan Edwar
'Jangan!' erang hati Ernest, saat Rosalia tiba-tiba membuka piyama yang ia kenakan. Lalu mengusap tubuhnya yang memanas dengan menggunakan ... apapun itu, kini benda sialan itu sedang menari-nari di atas kulit tubuhnya. Membuat ia sontak menahan nafas ketika benda itu perlahan bergerak turun dan menyusuri perutnya. Menuju ke area ... "Bagaimana ini? Tubuh Ernest semakin panas, apa yang harus kulakukan sekarang? Dan di mana mereka?"Fiuh, Ernest menghela nafas lega. Karena bertepatan ia membuka matanya— di saat yang sama Rosalia tiba-tiba melemparkan pandangannya ke arah pintu kamar. Namun tangan istrinya itu masih mengusap perutnya, bahkan handuk yang Rosalia genggam di tangannya hampir menyentuh ... Ernest melirik benda lembut berwarna putih itu sambil kembali menahan nafas. Sebab, jika benda sialan itu sampai menyentuh miliknya, Rosalia pasti akan segera tahu kalau ia telah terjaga. 'Jangan ke sana! Ukh ....' Ia sontak merapatkan bibirnya kala jari kelingking Rosalia tiba-tiba me
"Sudah 30 menit berlalu, di mana mereka?" Rosalia beranjak dari tepian ranjang, berdiri tegak, lalu melemparkan pandangannya pada pintu kamar. Tanpa menyadari bahwa seseorang telah terjaga dan kini sedang menatap dirinya dengan wajah tak percaya. Pria tampan itu bahkan mengerjapkan matanya, seolah ia sedang bermimpi saat ini. 'Baby? Apa yang terjadi? Mengapa dia ... Dia ada di dalam kamarku?' monolog Ernest dalam hati, tanpa melepaskan pandangannya dari tubuh ramping Rosalia yang sedang membelakangi dirinya. Well, ia sebenarnya sudah bangun sejak merasakan ranjang yang ia tiduri berderit pelan. Saat itu ia menemukan Rosalia tengah mencoba untuk beranjak dari pinggir ranjang. Namun istrinya itu tampak tidak menyadari kalau ia sudah terjaga. Dan sekarang, ia justru sedang berpikir keras tentang apa yang telah terjadi semalam? Mengapa ia sampai tidak tahu kalau Rosalia telah datang ke kamar hotelnya? Dan juga ... dari mana istrinya ini tahu di mana ia menginap? Apakah itu Elio yang tel
Setelah hampir dua jam menunggu Dokter yang Ben katakan akan segera datang, dan sambil mengusap wajah Ernest dengan handuk hangat, Rosalia yang tak sabar akhirnya kembali membuka mulutnya."Di mana Dokternya? Apa kau benar-benar telah menghubunginya, Ben?" sungutnya, seiring ia berpaling pada Asisten suaminya yang justru tidak berani menatap matanya. Aneh, sangat aneh.Keanehan itu juga dirasakan oleh Edward dan Elio. Hanya saja, Elio tidak berani berbicara pada Ben. Selain itu, posisinya hanyalah penjaga rumah. Apa haknya untuk mempertanyakan apa yang telah Ben perbuat, sedangkan pria itu memiliki status yang lebih tinggi darinya?Berbeda dengan Elio, Edward justru segera menarik lengan Ben. Membawa pria itu menjauh dari Rosalia yang terus mengikuti Ben dengan tatapan matanya.Di dekat sofa, Edward langsung melepaskan lengan Ben. Ia bahkan memukul lengan itu seraya berbisik, "Hei, kau ... apa benar kau sudah memanggil Dokter?" gerutunya.Namun Ben, entah apa yang terjadi? Tiba-tiba p
"Apa yang terjadi, Ben?" dengan langkah lebar Rosalia menghampiri Ben yang menyambutnya di lobby hotel. Di belakangnya, Edward dan Elio bergegas mengejar dirinya. "Kita bertemu lagi, Nyonya," sapa Ben seraya menundukkan kepalanya. Usai melakukan hal itu, ia lalu melemparkan pandangannya pada Edward dan Elio. Kemudian mengangguk pada kedua pria itu dan berpaling kembali pada Rosalia. "Maaf, Nyonya. Seharusnya aku tidak menakuti Nyonya seperti ini," cetusnya. "Dan Tuan, mungkin Tuan juga akan marah padaku nanti jika Tuan bangun dan mengetahui apa yang telah kulakukan pada Nyonya. Tapi masalahnya ...." Ben diam sejenak, menurunkan pandangannya juga memasang wajah cemas. Ekspresi Ben itu tentu saja membuat Rosalia menjadi semakin takut. Sementara Edward dan Elio, justru saling bertukar pandang, bertanya-tanya dalam hati apakah telah terjadi sesuatu yang buruk terhadap Ernest? "Ben?!" desak Rosalia, dengan suara sedikit meninggi. Namun setelahnya, ia justru menghela nafas kala menemukan