"Jakarta, aku datang!"
Aldebaran Kellendra. Nama itu adalah identitas Abraham Malik yang baru. Pukul 06:20 pagi. Perjalanan dari Surabaya ke Jakarta hanya memakan waktu 1 jam lebih. Selama di perjalanan, Aldebaran tidak bisa memejamkan mata. Dia terus menerka-nerka kehidupan ibukota yang kata orang penuh warna. Pesawat sudah mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Aldebaran berada di kabin kelas bisnis. Dia melepaskan sabuk pengaman. Lalu, meraih ponsel. Aldebaran merasa ada seseorang sedang memperhatikannya. Dengan ditunggangi rasa penasaran, dia pun menoleh ke sisi kiri. "Aduhai, cantik banget!" Aldebaran memekik terkejut. Seorang gadis berusia 18 tahun menatapnya. Jantung Aldebaran berdebar kencang. Tanpa disadari, Aldebaran menyebutkan ciri-ciri fisik si gadis. "Bola mata dan rambut panjang berwarna coklat. Hidung mancung dan kulitnya putih banget. Dia tinggi dan ramping." Selama 3 tahun berada di tempat pelatihan militer, Aldebaran belum pernah melihat gadis cantik. Gadis itu masih menatapnya. Aldebaran lantas bersikap sombong. Dia memalingkan wajahnya. Lalu, mengambil tas ransel. Setelah tidak melihat gadis itu lagi, Aldebaran segera beranjak dari tempat duduknya. "Eh, apa ini?" Langkah Aldebaran terhenti. Dia hampir saja menginjak sebuah gelang emas putih dengan desain mahkota mewah bertuliskan Zoya. Aldebaran membungkuk, lalu mengambil gelang tersebut dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya memegang ponsel. "Apa ada, Tuan?" Seorang pramugari menghampiri Aldebaran. Dia tersenyum manis padanya. "Apakah Anda kehilangan sesuatu?" "Nggak, cuma ambil HP yang jatuh," sahut Aldebaran, menunjukkan ponsel di tangan kirinya. *** Aldebaran berada di dalam taksi selama 2 jam. Dia sudah memberikan alamat kepada sopir. Jadi, dia menyandarkan kepala dengan tenang. "Gelang ini jatuh pas banget di bawah kursi gadis tadi. Apa ini memang punya dia?" Saat turun dari pesawat, Aldebaran sempat mencari-cari gadis tadi. Tapi, dia tidak menemukannya. "Zoya." Aldebaran membaca nama yang terukir di gelang. "Apa nama gadis itu Zoya? Aneh banget! Tapi, aku penasaran sama nama lengkapnya." Aldebaran melihat jam tangannya. Dia merasa tidak tahan lagi duduk lama di dalam taksi. "Masih jauh nggak, Pak?" "Ehem, setelah belok kiri, Anda udah sampai di tempat tujuan, Mas," jawab sopir. Benar saja. Sopir taksi membelokkan mobilnya ke kiri dan mencari Jalan Kenari. Taksi berhenti di depan pos satpam yang berada di sebelah kanan. Sopir membuka kaca mobil. "Selamat siang, Pak! Saya mau tanya alamat ini." Sopir menyodorkan kertas milik Aldebaran kepada satpam yang menghampirinya. "Oh, ini kediaman Pak Adi Wijaya." Satpam menjawab dengan yakin. "Saya akan buka portalnya. Anda ikuti aja jalan utama ini, terus belok kanan di perempatan pertama. Rumahnya ada di sebelah kiri." "Kalo gitu, makasih, Pak." Sopir melihat portal perumahan mewah telah terbuka. Taksi segera melaju sesuai dengan arahan satpam. Tidak lama, mereka sudah sampai di depan rumah besar. Setelah membayar ongkos, Aldebaran turun dari taksi. Dia telah sampai di kediaman Adi Wijaya sesuai perintah komandannya. "Kamu siapa?!" Seorang satpam berkulit hitam menghampiri Aldebaran. Dia memperhatikan penampilan Aldebaran dan mencurigainya. "Saya mau ketemu Pak Adi. Apa Beliau ada?" "Kamu bilang apa? Hahaha!" Satpam itu menatap Aldebaran sambil tertawa. "Tuan Besar Adi, lebih tepatnya." Aldebaran dengan cepat membalas tatapan satpam dengan dingin. "Jadi, Beliau ada, nggak?" "Semua tamu yang mau ketemu sama Tuan Besar Adi harus buat janji dulu. Kamu udah buat janji, belum? Tapi menurutku, orang kayak kamu pasti belum buat janji." Setelah mengembuskan napas, Aldebaran menjawab, "Saya memang belum buat janji. Tapi, Beliau pasti udah nungguin kedatangan saya." Satpam mengernyitkan dahi. Dia terlihat menyepelekan Aldebaran. "Ahmed Baharuddin, cepat kasih tau dia, kalo Aldebaran Kellendra udah dateng!" seru Aldebaran sambil membaca nama satpam yang tersematkan di nametag-nya. Satpam terdiam, lalu tertawa terbahak-bahak. "Hahahaha! Kamu pikir, kamu siapa nyuruh-nyuruh aku begitu?!" 'Sial! Mau masuk ke rumah mewah aja susah banget,' keluh Aldebaran dalam hati. "Jadi, gimana?" Aldebaran mencoba bersabar. "Kamu bukan kerabat dan bukan partner bisnis Tuan Besar." Ahmed memainkan bola mata, menatap Aldebaran. "Penampilan kamu nggak buruk. Wajah kamu tampan dan bentuk badan kamu proporsional." Ahmed mendekati Aldebaran. Lalu, berbisik, "Saranku, lebih baik kamu jadi gigolo aja di klub malam. Kerjaannya cuma menghibur Istri-istri atau Tante kesepian aja."Wajah Aldebaran masam. Dia melihat Ahmed membuang ludah di sampingnya. Aldebaran mengepalkan kedua tangan kuat-kuat. Dia hendak meraih leher satpam, tetapi niatnya terhalang setelah mendengar seseorang berteriak. Muncul pria jangkung dari dalam rumah. "Udin!" panggil si pria jangkung. "Apaan?" sahut Ahmed. "Ganggu aja!"Si pria jangkung mendekati Ahmed. "Tamu penting Tuan Besar udah dateng belum?" Ahmed mulai mencurigai Aldebaran. "Namanya siapa? Dari tadi nggak ada tamu yang dateng.""Kalau nggak salah, namanya Aldebaran Kellendra," sahut si jangkung. Ahmed tercengang. "Hah?!"Kedua mata Ahmed mengarah kepada Aldebaran. Pria jangkung pun mengikuti arah pandang Ahmed dan dia mengerti. Aldebaran yakin, Ahmed sudah tahu identitasnya sebagai tamu penting Adi Wijaya. Jangkung mendekati Aldebaran. "Apa kamu Aldebaran Kellendra?""Iya," jawab Aldebaran, santai."Ayo cepat ikuti saya! Tuan Besar Adi udah nunggu kamu dari tadi pagi."Aldebaran tidak banyak berbicara. Dia menyeringai p
Brak!Adi menggebrak meja. Dia meletakkan kedua tangan di atas meja dengan alis yang semakin menegang. Emosi di matanya terlihat rumit "Kurang ajar!" pekik Adi. Dia melemparkan pandangan kepada dua bodyguard. Aldebaran dan Ron baru saja keluar dari ruang kerja Adi. Mereka bisa mendengar kemarahan Adi. Ron memandangi Aldebaran dengan aneh. "Tadi kamu ngomong apa sama Tuan Adi? Kok dia jadi marah kayak gitu?""Nggak ada," jawab Aldebaran, santai. Tanpa terlihat Ron, Aldebaran tersenyum sinis. Dia sedang mengungkapkan sifat asli Adi Wijaya yang sedang menyembunyikan sesuatu.Mereka terus berjalan menyusuri lorong. Teriakan Adi masih terngiang di telinga Ron.Ron berseru dengan ekspresi serius, "Jangan main api sama Tuan Adi dan keluarganya!"Aldebaran menghela napas berat. "Nggak akan, Ron."Ron berhenti di depan lukisan yang tadi diperhatikan Aldebaran. "Lukisan inikah yang kamu maksud tadi?" tanyanya, penasaran."Iya," sahut Aldebaran. "Kedua lukisan ini cuma ada satu di dunia dan
"Kamu sering pergi ke tempat kayak gini, Ron!" tanya Aldebaran.Aldebaran dan Ron masuk ke klub malam Jenja. Aldebaran dengan wajah tampan dan sorot mata tajam. Ron, pria jangkung dengan kulit sawo matang. Dia selalu tersenyum dan wajahnya biasa-biasa saja. "Ini tempat terbaik melepas stres." Ron menjawab dengan santai. "Halo, ladies!"Ron mulai menggoda beberapa wanita. Dia melirik Aldebaran yang mengikutinya dari belakang.Raut wajah Aldebaran masam. Dia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 10.00 malam waktu Jakarta. Aldebaran berkata dengan malas, "Buatku, ini tempat teraneh yang pernah aku datengin."Ron tertawa. "Hahahaha! Kamu bakalan suka sama tempat ini. Karena di sini banyak cewek cakep dan seksi. Sesekali cari cewek sana! Di tempat pelatihan militer dulu kan nggak ada cewek."Kedua mata Aldebaran mencoba menyesuaikan dengan lampu sorot yang berputar. Telinganya terasa sakit mendengar suara bising musik yang sedang dimainkan oleh seorang DJ wanita.Kedua mata Aldeba
"Lepasin Manda sekarang!" teriak Azkaira. "Kamu nggak tau, siapa dia?"Aldebaran tidak peduli dengan apapun. Dia melepaskan jaket kulitnya dengan cepat. Lalu, memakaikannya ke tubuh Amanda bagian depan. Aldebaran berkata dengan penuh pengertian, "Pakai ini! Dress kamu sobek di bagian depan, pas di bagian bawah."Sontak, Amanda terdiam. Dia mengikuti saran Aldebaran. Ron dan Azkaira pun terdiam. Ternyata Aldebaran tidak memiliki niat lain Aldebaran mengikat kedua bagian tangan jaket ke bagian pinggang belakang Amanda. Setelah selesai dalam hitungan detik, Amanda mendongakkan kepala untuk menatap wajah Aldebaran dari dekat.Aldebaran merasa tidak nyaman mendapatkan tatapan mata seperti itu dari Amanda. Dia buru-buru menjauhkan diri dari Amanda. "Ayo pergi, Ron! Urusan aku udah kelar."Aldebaran beranjak pergi dari lantai dansa, tempat Amanda terjatuh. Dia meninggalkan Amanda yang masih mematung di tempatnya.Ron mengejar Aldebaran yang sudah melangkah jauh. Dia menerobos kerumunan or
"Kenapa kamu menyusahkan aku sih, Ron!"Sekarang, Aldebaran sudah berada di apartemen Ron Dinata. Dia baru saja selesai mandi. Dia masih mengingat kejadian memalukan tadi di klub malam Jenja. Ron mabuk parah di sana. Dia terus meracau. Dengan susah payah, Aldebaran berhasil membawa Ron pergi dari tempat terkutuk itu. Aldebaran menyetir mobil sport milik Ron. Dia juga membersihkan cairan yang keluar dari mulut Ron. Sungguh menjijikan! Tapi, Aldebaran tidak memiliki pilihan lain. Aldebaran menatap Ron yang sudah tertidur di ranjang. Setelah mengganti pakaian, dia bergegas pergi tidur. Aldebaran mendesah panjang. "Hemm!"Malam panjang yang melelahkan. Aldebaran merasa, tubuhnya membutuhkan istirahat.Aldebaran merebahkan tubuhnya di sofa. Saat hendak memejamkan mata, ponselnya bergetar. Aldebaran membaca pesan yang masuk dengan cepat dan teliti. Lalu, dia bersiap-siap untuk pergi. Dalam sekejap, Aldebaran sudah berada di lobi apartemen. Ini adalah kehidupan barunya sebagai seorang s
"Komandan ngapain manggil aku?"Seorang pria berdiri di depan kantor sang komandan di pelatihan tembak, Surabaya. Dia memakai pakaian hitam lengkap dengan baret ungu di kepalanya.Dia merapikan pakaian sebentar, lalu mengetuk pintunya. "Masuk!" Setelah mendengar sahutan dari dalam, dia segera membuka pintu. Dia melangkah masuk mendekati sang komandan yang berdiri membelakanginya.Sang komandan berbalik. "Abraham Malik!" panggil Erick Sanjaya.Abraham Malik, 21 tahun. Dia memiliki perawakan ideal sebagai syarat masuk ke sekolah militer. Tingginya 185 cm dan berat badan 65 kg.Reflek, Abraham menjawab dengan lantang. "Siap, Komandan!" Dia menatap Erick. "Benarkah Anda memanggil saya?""Kamu sudah dua tahun mengikuti sekolah militer di sini. Kamu juga sudah mengikuti latihan pasukan khusus. Apa kamu puas dengan prestasi yang telah tercapai dalam satu tahun ini?""Maaf, Komandan. Meskipun saya mengikuti latihan pasukan khusus, tapi saya bergabung di pasukan ini baru satu tahun."Abraha
"Kenapa kamu menyusahkan aku sih, Ron!"Sekarang, Aldebaran sudah berada di apartemen Ron Dinata. Dia baru saja selesai mandi. Dia masih mengingat kejadian memalukan tadi di klub malam Jenja. Ron mabuk parah di sana. Dia terus meracau. Dengan susah payah, Aldebaran berhasil membawa Ron pergi dari tempat terkutuk itu. Aldebaran menyetir mobil sport milik Ron. Dia juga membersihkan cairan yang keluar dari mulut Ron. Sungguh menjijikan! Tapi, Aldebaran tidak memiliki pilihan lain. Aldebaran menatap Ron yang sudah tertidur di ranjang. Setelah mengganti pakaian, dia bergegas pergi tidur. Aldebaran mendesah panjang. "Hemm!"Malam panjang yang melelahkan. Aldebaran merasa, tubuhnya membutuhkan istirahat.Aldebaran merebahkan tubuhnya di sofa. Saat hendak memejamkan mata, ponselnya bergetar. Aldebaran membaca pesan yang masuk dengan cepat dan teliti. Lalu, dia bersiap-siap untuk pergi. Dalam sekejap, Aldebaran sudah berada di lobi apartemen. Ini adalah kehidupan barunya sebagai seorang s
"Lepasin Manda sekarang!" teriak Azkaira. "Kamu nggak tau, siapa dia?"Aldebaran tidak peduli dengan apapun. Dia melepaskan jaket kulitnya dengan cepat. Lalu, memakaikannya ke tubuh Amanda bagian depan. Aldebaran berkata dengan penuh pengertian, "Pakai ini! Dress kamu sobek di bagian depan, pas di bagian bawah."Sontak, Amanda terdiam. Dia mengikuti saran Aldebaran. Ron dan Azkaira pun terdiam. Ternyata Aldebaran tidak memiliki niat lain Aldebaran mengikat kedua bagian tangan jaket ke bagian pinggang belakang Amanda. Setelah selesai dalam hitungan detik, Amanda mendongakkan kepala untuk menatap wajah Aldebaran dari dekat.Aldebaran merasa tidak nyaman mendapatkan tatapan mata seperti itu dari Amanda. Dia buru-buru menjauhkan diri dari Amanda. "Ayo pergi, Ron! Urusan aku udah kelar."Aldebaran beranjak pergi dari lantai dansa, tempat Amanda terjatuh. Dia meninggalkan Amanda yang masih mematung di tempatnya.Ron mengejar Aldebaran yang sudah melangkah jauh. Dia menerobos kerumunan or
"Kamu sering pergi ke tempat kayak gini, Ron!" tanya Aldebaran.Aldebaran dan Ron masuk ke klub malam Jenja. Aldebaran dengan wajah tampan dan sorot mata tajam. Ron, pria jangkung dengan kulit sawo matang. Dia selalu tersenyum dan wajahnya biasa-biasa saja. "Ini tempat terbaik melepas stres." Ron menjawab dengan santai. "Halo, ladies!"Ron mulai menggoda beberapa wanita. Dia melirik Aldebaran yang mengikutinya dari belakang.Raut wajah Aldebaran masam. Dia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 10.00 malam waktu Jakarta. Aldebaran berkata dengan malas, "Buatku, ini tempat teraneh yang pernah aku datengin."Ron tertawa. "Hahahaha! Kamu bakalan suka sama tempat ini. Karena di sini banyak cewek cakep dan seksi. Sesekali cari cewek sana! Di tempat pelatihan militer dulu kan nggak ada cewek."Kedua mata Aldebaran mencoba menyesuaikan dengan lampu sorot yang berputar. Telinganya terasa sakit mendengar suara bising musik yang sedang dimainkan oleh seorang DJ wanita.Kedua mata Aldeba
Brak!Adi menggebrak meja. Dia meletakkan kedua tangan di atas meja dengan alis yang semakin menegang. Emosi di matanya terlihat rumit "Kurang ajar!" pekik Adi. Dia melemparkan pandangan kepada dua bodyguard. Aldebaran dan Ron baru saja keluar dari ruang kerja Adi. Mereka bisa mendengar kemarahan Adi. Ron memandangi Aldebaran dengan aneh. "Tadi kamu ngomong apa sama Tuan Adi? Kok dia jadi marah kayak gitu?""Nggak ada," jawab Aldebaran, santai. Tanpa terlihat Ron, Aldebaran tersenyum sinis. Dia sedang mengungkapkan sifat asli Adi Wijaya yang sedang menyembunyikan sesuatu.Mereka terus berjalan menyusuri lorong. Teriakan Adi masih terngiang di telinga Ron.Ron berseru dengan ekspresi serius, "Jangan main api sama Tuan Adi dan keluarganya!"Aldebaran menghela napas berat. "Nggak akan, Ron."Ron berhenti di depan lukisan yang tadi diperhatikan Aldebaran. "Lukisan inikah yang kamu maksud tadi?" tanyanya, penasaran."Iya," sahut Aldebaran. "Kedua lukisan ini cuma ada satu di dunia dan
Wajah Aldebaran masam. Dia melihat Ahmed membuang ludah di sampingnya. Aldebaran mengepalkan kedua tangan kuat-kuat. Dia hendak meraih leher satpam, tetapi niatnya terhalang setelah mendengar seseorang berteriak. Muncul pria jangkung dari dalam rumah. "Udin!" panggil si pria jangkung. "Apaan?" sahut Ahmed. "Ganggu aja!"Si pria jangkung mendekati Ahmed. "Tamu penting Tuan Besar udah dateng belum?" Ahmed mulai mencurigai Aldebaran. "Namanya siapa? Dari tadi nggak ada tamu yang dateng.""Kalau nggak salah, namanya Aldebaran Kellendra," sahut si jangkung. Ahmed tercengang. "Hah?!"Kedua mata Ahmed mengarah kepada Aldebaran. Pria jangkung pun mengikuti arah pandang Ahmed dan dia mengerti. Aldebaran yakin, Ahmed sudah tahu identitasnya sebagai tamu penting Adi Wijaya. Jangkung mendekati Aldebaran. "Apa kamu Aldebaran Kellendra?""Iya," jawab Aldebaran, santai."Ayo cepat ikuti saya! Tuan Besar Adi udah nunggu kamu dari tadi pagi."Aldebaran tidak banyak berbicara. Dia menyeringai p
"Jakarta, aku datang!" Aldebaran Kellendra. Nama itu adalah identitas Abraham Malik yang baru. Pukul 06:20 pagi. Perjalanan dari Surabaya ke Jakarta hanya memakan waktu 1 jam lebih. Selama di perjalanan, Aldebaran tidak bisa memejamkan mata. Dia terus menerka-nerka kehidupan ibukota yang kata orang penuh warna.Pesawat sudah mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Aldebaran berada di kabin kelas bisnis. Dia melepaskan sabuk pengaman. Lalu, meraih ponsel. Aldebaran merasa ada seseorang sedang memperhatikannya. Dengan ditunggangi rasa penasaran, dia pun menoleh ke sisi kiri. "Aduhai, cantik banget!" Aldebaran memekik terkejut. Seorang gadis berusia 18 tahun menatapnya. Jantung Aldebaran berdebar kencang. Tanpa disadari, Aldebaran menyebutkan ciri-ciri fisik si gadis. "Bola mata dan rambut panjang berwarna coklat. Hidung mancung dan kulitnya putih banget. Dia tinggi dan ramping."Selama 3 tahun berada di tempat pelatihan militer, Aldebaran belum pernah melihat gadis canti
"Komandan ngapain manggil aku?"Seorang pria berdiri di depan kantor sang komandan di pelatihan tembak, Surabaya. Dia memakai pakaian hitam lengkap dengan baret ungu di kepalanya.Dia merapikan pakaian sebentar, lalu mengetuk pintunya. "Masuk!" Setelah mendengar sahutan dari dalam, dia segera membuka pintu. Dia melangkah masuk mendekati sang komandan yang berdiri membelakanginya.Sang komandan berbalik. "Abraham Malik!" panggil Erick Sanjaya.Abraham Malik, 21 tahun. Dia memiliki perawakan ideal sebagai syarat masuk ke sekolah militer. Tingginya 185 cm dan berat badan 65 kg.Reflek, Abraham menjawab dengan lantang. "Siap, Komandan!" Dia menatap Erick. "Benarkah Anda memanggil saya?""Kamu sudah dua tahun mengikuti sekolah militer di sini. Kamu juga sudah mengikuti latihan pasukan khusus. Apa kamu puas dengan prestasi yang telah tercapai dalam satu tahun ini?""Maaf, Komandan. Meskipun saya mengikuti latihan pasukan khusus, tapi saya bergabung di pasukan ini baru satu tahun."Abraha