Brak!
Adi menggebrak meja. Dia meletakkan kedua tangan di atas meja dengan alis yang semakin menegang. Emosi di matanya terlihat rumit "Kurang ajar!" pekik Adi. Dia melemparkan pandangan kepada dua bodyguard. Aldebaran dan Ron baru saja keluar dari ruang kerja Adi. Mereka bisa mendengar kemarahan Adi. Ron memandangi Aldebaran dengan aneh. "Tadi kamu ngomong apa sama Tuan Adi? Kok dia jadi marah kayak gitu?" "Nggak ada," jawab Aldebaran, santai. Tanpa terlihat Ron, Aldebaran tersenyum sinis. Dia sedang mengungkapkan sifat asli Adi Wijaya yang sedang menyembunyikan sesuatu. Mereka terus berjalan menyusuri lorong. Teriakan Adi masih terngiang di telinga Ron. Ron berseru dengan ekspresi serius, "Jangan main api sama Tuan Adi dan keluarganya!" Aldebaran menghela napas berat. "Nggak akan, Ron." Ron berhenti di depan lukisan yang tadi diperhatikan Aldebaran. "Lukisan inikah yang kamu maksud tadi?" tanyanya, penasaran. "Iya," sahut Aldebaran. "Kedua lukisan ini cuma ada satu di dunia dan tersimpan di Art and Co Gallery di Prancis." Ron terbelalak. "Maksud kamu, Tuan Adi mencurinya?!" Aldebaran menatap lukisan itu sejenak, lalu menatap Ron. "Entahlah," jawabnya sambil mengangkat kedua bahu. Ron dan Aldebaran berjalan menuju halaman depan melewati jalan yang sama. Aldebaran melihat-lihat setiap sudut yang dipasang CCTV. Dia tersenyum saat mengingat ucapan Adi. 'Jadi, Tuan Adi udah memantau kedatangan aku lewat CCTV.' Aldebaran terkekeh. Begitu mereka sampai di halaman depan, Ron berseru, "Tunggu di sini! Aku mau ambil mobil." Tidak lama, Ron datang dengan mobilnya. Mereka bergegas pergi dari kediaman Adi. Tidak terasa, hari hampir gelap. Ron telah mengajak Aldebaran berkeliling kota Jakarta. Aldebaran membaca papan nama jalan. "Jalan Haji Nawi Raya 1." Dia menghapalnya dengan cepat. Ron membelokkan mobilnya memasuki area apartemen mewah di bilangan Pondok Indah. Aldebaran memperhatikan lokasi apartemen ini. Dia juga terheran-heran dengan fasilitas yang dimiliki Ron. Tanpa disadari Aldebaran, mobil telah berada di lokasi parkir. "Kamu nggak mau turun, Al?" tanya Ron. "Kamu kenapa bengong aja? Bingung, ya? Kamu harus beradaptasi dengan cepat sama kehidupan kota Jakarta!" "Gila! Duit kamu banyak banget, Ron! Kamu punya mobil mewah ini seharga Rp 2 miliar. Terus, kamu punya apartemen mewah juga." Aldebaran turun dari mobil mengikuti Ron. Mereka berjalan menuju ke lift. Lalu, Ron menekan tombol nomor 3. Aldebaran menatap ponsel canggih di tangannya. "Kamu juga beliin aku HP keluaran terbaru. Seniorku benar-benar hebat!" Ron memukul kepala Aldebaran. "Dasar bodoh! Aku beliin kamu HP buat menunjang kerjaan. Karena kerjaan kita terlalu beresiko. Ngerti, nggak?" Ron benar! Aldebaran bahkan tidak memikirkan konsekuensinya. Dia hanya memikirkan uang, uang dan uang. Terlahir dari keluarga sederhana membuat Aldebaran hanya memikirkan uang. Dia telah berjanji kepada kedua orang tuanya untuk selalu mengirimkan uang. Karena dia ingin mengangkat derajat kedua orang tuanya. Mereka keluar saat pintu lift terbuka. Aldebaran mengikuti Ron pergi. Mereka berdiri di kamar apartemen nomor 32. Ron mengeluarkan kartu akses dan menempelkannya di sensor. "Ayo masuk!" ajak Ron, dia menunjuk pintu dengan kepalanya. Ini adalah pertama kalinya Aldebaran menginjakkan kaki di apartemen mewah. Ron terkekeh melihatnya. "Saat kamu udah dapet bayaran dari sniper, kamu juga bisa punya semuanya kayak aku." Ron mengambil bir kaleng, lalu memberikannya kepada Aldebaran. "Kamu harus hapalin jalanan di ibukota. Kamu juga harus tau keluarga kaya di Jakarta. Sekarang, pergi mandi dan istirahat sana! Nanti malem ikut aku!" *** Setelah makan malam seadanya, Ron mengajak Aldebaran pergi ke suatu tempat. Aldebaran terlihat bersemangat. Suasana malam kota Jakarta membuat Aldebaran terpana. Kota ini tidak pernah sepi. Dia memandangi wajah Kota Jakarta yang dihiasi gedung pencakar langit, jalan layang, lampu-lampu jalan dan berbagai graffiti yang menghiasi terowongan kota. Sesuai dengan janji Ron sore tadi, mereka sudah sampai di sebuah klub malam yang berada di kawasan Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Malam ini adalah Ladies Night Party. Tentu saja banyak wanita cantik dan seksi di sini. Aldebaran dan Ron masih berada di dalam mobil. Ron tidak bisa menahan tawanya saat melihat Aldebaran menatap sekumpulan gadis. "Kamu tau nggak, Al?" Ron mengelus stir mobil. "Mobil sport buatan Jerman ini cuma ada 7 unit di dunia. 3 unitnya ada di Indonesia." Aldebaran tercengang. Dia tidak menyangka bisa menaiki salah satu mobil termahal di dunia. Aldebaran bertanya, "Selain kamu, siapa dua orang lagi yang punya?" "Tuan Muda Leo dari keluarga Alexander dan Nona Shania," jawab Ron, antusias. Aldebaran merasa asing dengan nama-nama yang disebutkan Ron. Selama ini, dia tidak pernah memedulikan hal lain, selain cita-citanya menjadi seorang sniper. Aldebaran menatap orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya. "Siapa keluarga Alexander?" "Kamu nggak kenal mereka?" Ron terkejut. Bagaimana bisa ada seseorang yang tidak mengenal keluarga Alexander yang segitu hebatnya? Aldebaran menggeleng diikuti suara gelak tawa Ron. "Keluarga Alexander adalah keluarga terkaya dari 9 keluarga lainnya di Indonesia. Kamu harus tahu itu, Al!" Aldebaran mengangguk. "Aku ngerti. Terus, siapa Nona Shania?" Ron melepaskan sabuk pengaman. "Dia sepupu Tuan Muda Leo." "Ayo turun!" ajak Ron. Aldebaran kebingungan. "Tempat apa ini?""Kamu sering pergi ke tempat kayak gini, Ron!" tanya Aldebaran.Aldebaran dan Ron masuk ke klub malam Jenja. Aldebaran dengan wajah tampan dan sorot mata tajam. Ron, pria jangkung dengan kulit sawo matang. Dia selalu tersenyum dan wajahnya biasa-biasa saja. "Ini tempat terbaik melepas stres." Ron menjawab dengan santai. "Halo, ladies!"Ron mulai menggoda beberapa wanita. Dia melirik Aldebaran yang mengikutinya dari belakang.Raut wajah Aldebaran masam. Dia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 10.00 malam waktu Jakarta. Aldebaran berkata dengan malas, "Buatku, ini tempat teraneh yang pernah aku datengin."Ron tertawa. "Hahahaha! Kamu bakalan suka sama tempat ini. Karena di sini banyak cewek cakep dan seksi. Sesekali cari cewek sana! Di tempat pelatihan militer dulu kan nggak ada cewek."Kedua mata Aldebaran mencoba menyesuaikan dengan lampu sorot yang berputar. Telinganya terasa sakit mendengar suara bising musik yang sedang dimainkan oleh seorang DJ wanita.Kedua mata Aldeba
"Lepasin Manda sekarang!" teriak Azkaira. "Kamu nggak tau, siapa dia?"Aldebaran tidak peduli dengan apapun. Dia melepaskan jaket kulitnya dengan cepat. Lalu, memakaikannya ke tubuh Amanda bagian depan. Aldebaran berkata dengan penuh pengertian, "Pakai ini! Dress kamu sobek di bagian depan, pas di bagian bawah."Sontak, Amanda terdiam. Dia mengikuti saran Aldebaran. Ron dan Azkaira pun terdiam. Ternyata Aldebaran tidak memiliki niat lain Aldebaran mengikat kedua bagian tangan jaket ke bagian pinggang belakang Amanda. Setelah selesai dalam hitungan detik, Amanda mendongakkan kepala untuk menatap wajah Aldebaran dari dekat.Aldebaran merasa tidak nyaman mendapatkan tatapan mata seperti itu dari Amanda. Dia buru-buru menjauhkan diri dari Amanda. "Ayo pergi, Ron! Urusan aku udah kelar."Aldebaran beranjak pergi dari lantai dansa, tempat Amanda terjatuh. Dia meninggalkan Amanda yang masih mematung di tempatnya.Ron mengejar Aldebaran yang sudah melangkah jauh. Dia menerobos kerumunan or
"Kenapa kamu menyusahkan aku sih, Ron!"Sekarang, Aldebaran sudah berada di apartemen Ron Dinata. Dia baru saja selesai mandi. Dia masih mengingat kejadian memalukan tadi di klub malam Jenja. Ron mabuk parah di sana. Dia terus meracau. Dengan susah payah, Aldebaran berhasil membawa Ron pergi dari tempat terkutuk itu. Aldebaran menyetir mobil sport milik Ron. Dia juga membersihkan cairan yang keluar dari mulut Ron. Sungguh menjijikan! Tapi, Aldebaran tidak memiliki pilihan lain. Aldebaran menatap Ron yang sudah tertidur di ranjang. Setelah mengganti pakaian, dia bergegas pergi tidur. Aldebaran mendesah panjang. "Hemm!"Malam panjang yang melelahkan. Aldebaran merasa, tubuhnya membutuhkan istirahat.Aldebaran merebahkan tubuhnya di sofa. Saat hendak memejamkan mata, ponselnya bergetar. Aldebaran membaca pesan yang masuk dengan cepat dan teliti. Lalu, dia bersiap-siap untuk pergi. Dalam sekejap, Aldebaran sudah berada di lobi apartemen. Ini adalah kehidupan barunya sebagai seorang s
"Sistem keamanan di sini sangat luar biasa." Aldebaran memuji dengan nada tinggi. Seketika itu juga, semua orang saling pandang. Bagi mereka, orang asing yang baru datang ini sangat lancang. Karena menurut mereka, Aldebaran baru saja menyindir pangkalan militer angkatan udara.Ilyas menatap Aldebaran. Lalu, dia menatap anak buahnya. Ilyas bertanya, "Apa anak buah saya sudah menyinggung Anda, Tuan King?"Ilyas berjalan masuk ke bangunan kecil disusul oleh Aldebaran dan 3 orang di belakangnya."Lain kali, saya mau Anda yang datang langsung ke tempat penjemputan," kata Aldebaran, tegas. "Tapi, semoga aja nggak ada lain kali."Jiwa menyombongkan diri Aldebaran muncul. Hal itu, tentu saja meresahkan Ilyas dan semua orang yang bersamanya. "Eh, anak muda!" tegur pria berbadan gemuk. Dia berjalan di belakang Aldebaran dan Ilyas. "Sombong banget kamu!"Tidak ingin timbul masalah, Ilyas segera memberikan isyarat pada pria gemuk. "Tolong jangan diambil hati, Tuan King!" pinta Ilyas dengan re
"Iya. Dia adalah orang yang sangat berpengaruh di negaranya."Agam menjawab pertanyaan Aldebaran. Dia menatap Ilyas, lalu menatap Aldebaran. "Perlu digarisbawahi! Dia bukanlah orang sembarangan. Dia juga sempat meragukan kamu, Anak Muda! Jadi, misi pertama ini jangan sampai gagal!"Tanpa berpikir panjang, Aldebaran menjawab, "Anda tenang aja, Pak Agam! Saya akan lakukan yang terbaik."Agam mengubah posisi duduknya. Dia kembali memandang ke arah depan. "Matahari udah muncul. Tapi, kegilaan bocah ini seakan nggak ada habisnya," kata Agam, ketus. "Cobalah bekerja sama dengannya!" saran Ilyas sambil melihat kaca spion mobil. Agam tertawa. "Saya mau lihat cara kerjanya dulu. Setelah itu, saya baru akan mengakuinya. Itupun ... kalo memang sesuai dengan kriteria saya."Aldebaran ingin membalas perkataan Agam. Namun, Ilyas sudah menghentikan mobil. Aldebaran melihat setidaknya ada lima orang berpakaian jas hitam dengan potongan rambut yang sama. "Ayo!" ajak Ilyas. Sekelompok orang ters
"Tuan King!"Louis memanggil Aldebaran. Dia adalah tangan kanan Raj yang akan membantu misi Aldebaran.Pesawat jet pribadi Chua Henry Yuan mendarat di bandar udara pribadinya sekitar satu jam lalu. Sekarang, Aldebaran telah berada di dalam mobil bersama Louis. Sedangkan kedua kliennya menunggu Aldebaran di rumah pribadi Chua. Atas perintah Chua, Raj mentransfer uang muka yang telah mereka sepakati ke rekening pribadi Aldebaran. Sisanya akan ditransfer kemudian setelah misi selesai. Aldebaran duduk santai di samping Louis. "Ya?"Louis memberikan senjata kepada Aldebaran. "Sesuai dengan arahan informan, target berada di dalam mobil mewah berwarna silver. Dipastikan itu adalah kendaraan satu-satunya yang akan melewati jalan ini menuju ke Bishan."Seorang informan berkata bahwa komandan angkatan darat yang akan menjadi target Aldebaran sedang dalam perjalanan ke lokasi pelatihan militer di Bishan, region tengah wilayah negara Singapura. "Sepanjang jalan ini sudah kami sterilkan," kata
"Hah?! Apa ini? Tiketku di mana?!"Aldebaran telah sampai di bandar udara internasional Changi. Sambil berjalan menuju pemeriksaan imigrasi, dia mencari tiketnya.Aldebaran mengambil secarik kertas biru yang terselip di paspor."Queensland, Australia?"Aldebaran langsung membacanya. Tidak lama kemudian, ponselnya bergetar. Aldebaran ragu-ragu sejenak saat melihat nomor asing di layar handphone. Namun, dia tetap menerima panggilan telepon masuk dari nomor tidak dikenal."Ya?""Kok lama banget angkat teleponnya?"Aldebaran mengerutkan kening. Dia sepertinya mengenal suara lawan bicaranya. "Anda siapa?" tanya Aldebaran."Selamat atas keberhasilan misi pertama, Tuan King. Aku ini broker kamu."Aldebaran menghela napas. "Pak Agam?"Aldebaran duduk di kursi yang tersedia. Dia memperhatikan area di sekitarnya. "Kenapa, Pak?" tanya Aldebaran lagi.Agam bertanya, "Kamu udah lihat tujuan selanjutnya?" "Queensland, Australia? Apa ini perintah kamu, Pak Agam?" "Hahahaha!" Agam tertawa. "Buka
"Kayaknya aku harus jalin kerja sama dengan Tuan King,' pikir Louis. 'Sesuai dengan perkataan Tuan Raj, pria sombong ini punya banyak pengetahuan.'Louis semakin penasaran dengan Aldebaran. "Terus, apa lagi kamu ketahui tentang tempat itu?" "Nggak ada." Aldebaran tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.'Cih! Kamu pikir aku bodoh?!' Aldebaran mencemooh Louis di dalam hati. 'Apapun yang aku tau, aku nggak akan ngasih tau ke orang lain.'Louis meletakkan selembar foto di atas meja. "Target kamu sekarang Komandan Angkatan Udara Singapura."Aldebaran mengambil foto dan mendengus dingin. Itu adalah foto ketiga komandan.Aldebaran memperhatikan satu persatu wajah pria berpakaian dinas lengkap. "Singapura punya 3 Komandan Angkatan Udara. Apa ketiganya adalah targetku?"Louis tertawa lagi. "Hahahaha! Apa kamu tau, siapa aja mereka?"Aldebaran tersenyum tipis. "Ya, udah pasti aku kenal mereka. Siapa yang nggak kenal orang-orang sehebat mereka?!"Louis menyandarkan tubuhnya. "Target kamu Gerald Lim
Deretan mobil mewah memenuhi showroom yang masih berlokasi di kawasan jalan haji Nawi 1 Jakarta Selatan. Aldebaran melihat satu persatu koleksi mobil mewah keluaran terbaru ditemani oleh Shania. "Silakan dilihat-lihat dulu, Mas!" seru pria berdasi yang berdiri di samping Aldebaran. "Ya," sahut Aldebaran. Lalu, dia berpaling pada Shania. "Apa mobil yang ini cocok buatku?" Aldebaran menunjuk satu mobil sport dua pintu buatan Jerman dengan logo biru putih yang melingkar. Mobil pilihan Aldebaran berwarna merah. Shania terkesiap mendengar pertanyaan Aldebaran. Pasalnya, dia juga memiliki satu mobil yang sama di garasi rumahnya. "Aーaku ...." Pria berdasi berkata, "Tuan, mobil ini adalah unit ke-4 dan baru aja tiba pagi tadi."Aldebaran mengernyit. "Maksudnya?" "Maksud saya adalah mobil ini hanya ada 7 unit di dunia, termasuk 4 unit di Indonesia." Pria berdasi menjelaskan dengan sabar. Aldebaran bertanya, "Siapa aja yang memilikinya di Indonesia?" "Dua diantaranya dimiliki oleh ....
"Silakan, Tuan Kells!" Shania mempersilakan. Setelah selesai makan, Shania mengajak Aldebaran ke pameran apartemen. "Ini adalah apartemen tipe A yaitu tipe studio."Aldebaran memperhatikan beberapa contoh apartemen yang diperlihatkan Shania. Seorang wanita gemuk dengan rambut dicepol dan make up tebal menghampiri Shania. Dia adalah Dara, atasan Shania. "Shania!" panggil Dara, ketus. Shania menoleh. "Ya, Bu?" "Cepet ke sini!" perintah Dara. Shania berkata, "Tuan, silakan lihat-lihat dulu! Saya akan kembali sebentar lagi."Aldebaran mengangguk. Sania pergi menghampiri Dara ke sudut. Dia melihat wajah masam Dara. Dara bertolak pinggang. "Kenapa kamu bawa calon pembeli kayak dia?""Maksudnya Ibu?" Dara menghela napas. Dia menunjuk Aldebaran. "Lihat aja penampilannya!"Shania akhirnya mengerti. "Bu, kita nggak bisa nilai seseorang dari penampilan luar aja. Karena banyak orang kaya yang hidup sederhana. Jadi, jangan sampai kita tertipu dengan penampilannya, Bu!""Halah, kamu tau ap
"Oh, Leo!" seru Amanda dengan santai. "Kamu tau apa tentang keluargaku, hah?!" Karena tinggi Amanda tidak sepadan dengan Aldebaran, dia berjinjit mengulurkan tangan. Amanda meraih topi Aldebaran. "Hei, jangan lancang!" tegur Aldebaran. Namun, terlambat! Amanda dengan mudahnya melepaskan topi Aldebaran. Sekarang, Amanda sudah mengenali sosok pria yang berdiri di hadapannya. "Aku udah tau, kalo itu kamu." Amanda menunjuk Aldebaran. "Kamu mau ngapain ke sini? Ini apartemen orang-orang kaya." Mata Amanda menatap Aldebaran lekat-lekat. Kemudian, muncul ekspresi yang tidak biasa. "Oh, aku tau. Kamu pasti kerja jadi tukang bersih-bersih di sini, kan?" Aldebaran menghela napas. Dia tidak ingin ambil pusing dengan pernyataan Amanda yang menghinanya. "Sini topiku!" pinta Aldebaran. Amanda mengabaikan Aldebaran. Dia justru semakin mendekatinya. "Kenapa kamu nggak jawab aku?" tanya Amanda. Melihat Aldebaran hanya terdiam, Amanda semakin penasaran dibuatnya. "Kamu ke mana aja?
"Aku nggak ingat, Pa," sahut Zoya. "Karena saat itu, aku ketakutan."Sultan tidak puas dengan jawaban anaknya. Maka, dia bertanya lagi. "Terus, apa yang dia lakuin sama kamu?"Zoya mencoba mengingat-ingat. "Dia menggandeng tanganku dan ajak aku lari dari sana. Tapi tiba-tiba, aku pingsan. Saat terbangun, aku udah di sini.""Sayang sekali, Zoya," kata Sultan. "Papa akan cari tau laki-laki itu dan mengucapkan terima kasih.""Jangan lupa kasih tau aku, Pa!"Sultan mengangguk. "Apa dia masih muda?""Iya. Kenapa, Pa?" Zoya merasa ayahnya ini sedang merencanakan sesuatu untuk si pria. "Kalo dia masih muda, Papa akan mempekerjakan dia sebagai bodyguard kamu," kata Sultan. "Kamu setuju, nggak? Karena kamu butuh bodyguard, Zoya."Jantung Aldebaran kembali berdebar mendengarnya. Dia ingin tahu respon Zoya. "Nggak tau, Pa," jawab Zoya, ragu. Aldebaran kecewa mendengarnya. Dia akan mencari cara agar bisa berada di dekat Zoya. Dia ingin memastikan keamanan Zoya sekaligus menebus rasa bersalah
"Apa?! Jadi, dia menyaksikan Kakaknya tertembak? Kasihan sekali dia! Pantas saja tubuhnya bergetar."Dokter berkata apa adanya. Dokter dan Aldebaran sama-sama menatap Zoya yang terbaring lemah menutup matanya. "Lalu, bagaimana kondisinya?" tanya Aldebaran. Dokter berkata, "Saya sudah memberikan obat penenang. Dia akan tertidur. Saya harap, orang-orang terdekatnya bisa menjaga dia dengan baik.""Terima kasih, Dok," ucap Aldebaran. "Orang tuanya akan datang sebentar lagi. Bisakah Anda menolong saya?""Apa yang bisa saya bantu?" tanya Dokter. "Saya sedang mengejar pesawat yang akan berangkat 2 jam lagi. Tolong jaga Nona ini sampai orang tuanya datang!"Dokter tersenyum. "Jangan khawatir! Suster akan menjaganya."Aldebaran lega. Dia menyerahkan ponsel Zoya kepada dokter, lalu bergegas pergi.Aldebaran keluar dari ruang IGD. Dia berjalan menuju taman rumah sakit. Dia tidak pergi dari sana, tetapi mencari tempat aman untuk memastikan keluarga Alexander datang. "Tempat yang bagus untuk i
Tap! Tap! Tap!Aldebaran dan Zoya berlari semakin cepat. Sesekali Aldebaran melirik Zoya. 'Dia cantik banget. Pantes aja Leo sangat melindunginya,' pikir Aldebaran. "Tunggu!" Zoya berhenti berlari. Dia memegangi jantungnya dan mencoba mengatur napas. Wajahnya kian memucat. Aldebaran melepaskan tangan Zoya. "Kenapa, Nona?""Siapa kamu? Kok kamu kenal aku? Terus, gimana kamu bisa tau aku dalam bahaya?"Zoya bertanya dengan penasaran. Dia menunggu respon Aldebaran. "Sekarang bukan saat yang tepat untuk bertanya," jawab Aldebaran. "Kamu orang Indonesia, kan? Tapi, aku nggak yakin kamu bukan orang yang jahat." Zoya tetap bersikeras. Dia menjadi ragu-ragu. Kening Zoya berkerut. "Terus, gimana sama Kak Leo?""Aku akan jelasin nanti. Kamu tenang aja! Ada tenaga medis dan pihak kepolisian yang akan mengurus Kakak kamu," jawab Aldebaran, cepat. "Ayo Nona! Kita harus pergi dan bersembunyi!" ajak Aldebaran. Zoya tidak menjawab apa-apa. Dia hanya menatap Aldebaran dalam diam. Saat Aldeb
"Apa yang harus aku lakuin sekarang?"Aldebaran sangat terkejut. Ternyata, adik perempuan Leonard adalah Zoya yang selama ini dicarinya. Aldebaran masih tidak menyangka bahwa ternyata selama ini dia sangat dekat dengan Zoya. "Situasi macam apa ini?!" gerutu Aldebaran. "Apa ini termasuk takdir? Kayaknya kali ini aku butuh keberuntungan."Tidak disangka, Zoya yang tidak dikenalnya dengan baik berhasil mengubah prinsip Aldebaran. Semula, dia tidak percaya dengan keberuntungan. Tapi sekarang, dia justru mengharapkan Dewi Fortuna memihaknya.Smartwatch Aldebaran menyala. "Shit!" Dia membuka pesan masuk dari Ezra.Pengirim: Apa yang kamu tunggu?! Cepat bidik Target sekarang!Aldebaran menyesali takdirnya. Seandainya dia bisa memutar kembali waktu. Mungkin saja hal ini tidak terjadi. "Maafin aku, Zoya ...."Dor!Aldebaran melepaskan amunisi ke arah target dalam satu kali bidikan. Alhasil, amunisi itu mengenai kepala Leonard. Detik itu juga, Leonard tersungkur ke aspal.Tapi, tunggu! Apa i
"Setelah misi selesai, kamu punya waktu 24 jam untuk keluar dari negara ini. Tim evakuasi akan membantu kamu."Si pria gemuk menjelaskan. Aldebaran mendengarkannya dengan seksama. "Aku tau. Lalu, bagaimana dengan senjata yang akan aku gunakan?" Bagaimana pun juga, Aldebaran harus melihat senjata yang akan digunakannya sebelum melakukan misi."Kamu akan melihatnya saat kita sampai di sana," jawab pria berjas. Aldebaran tidak bertanya lagi. Sebab, dia sudah paham aturan main di dunia sniper bayaran.Akhirnya, mobil yang ditumpangi Aldebaran berhenti di lobi gedung pencakar langit Menara Mercury City. "Ayo, Tuan King!" seru pria berjas. Sedangkan pria gemuk berjalan di belakang mereka.Pria berjas berkata, "Kamu harus habisi target dalam satu kali bidikan.""Jangan khawatir! Aku belum pernah gagal menjalankan misi," sahut Aldebaran, sedikit menyombongkan diri. Pria berjas tersenyum dengan wajah yang datar. "Aku percaya," katanya. "Kamu percaya? Kenapa?" Aldebaran merasa ada yang an
Aldebaran menatap Pak Tua dalam-dalam. Dia menunggu Pak Tua menyelesaikan bicaranya. Sorot mata Pak Tua tajam. "Aku adalah kaki tangan Tuan Gale dan Tuan Ezra."Lagi-lagi, Aldebaran mendapatkan kejutan. Dia tidak menyangka Gale dan Ezra memiliki banyak orang suruhan di Rusia. Sebenarnya, siapa mereka? Seberapa berkuasanya Gale dan Ezra di negara ini? Lalu, apa hubungan keduanya dengan keluarga Alexander?Aldebaran bertanya, "Siapa nama kamu?" "Anouska." Aldebaran mengerutkan alis. "Bukannya itu nama perempuan Rusia?"Anouska mengangguk. "Ya. Ada kisah sedih di baliknya.""Oke."Anouska bukankah nama asli si pria tua. Lalu, apa maksudnya dia menggunakan nama itu? Namun, Aldebaran tidak tertarik. Dia berbalik dan pergi.Tidak lama, Aldebaran masuk ke sebuah restoran. Ini adalah restoran yang menjual bubur kasha paling terkenal di sepanjang jalan menuju apartemen. "Halo, Tuan!" sapa penjual dengan bahasa Rusia yang sopan. "Berapa banyak bubur yang ingin kamu pesan?""Hanya dua," jawa