"Kamu sering pergi ke tempat kayak gini, Ron!" tanya Aldebaran.
Aldebaran dan Ron masuk ke klub malam Jenja. Aldebaran dengan wajah tampan dan sorot mata tajam. Ron, pria jangkung dengan kulit sawo matang. Dia selalu tersenyum dan wajahnya biasa-biasa saja. "Ini tempat terbaik melepas stres." Ron menjawab dengan santai. "Halo, ladies!" Ron mulai menggoda beberapa wanita. Dia melirik Aldebaran yang mengikutinya dari belakang. Raut wajah Aldebaran masam. Dia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 10.00 malam waktu Jakarta. Aldebaran berkata dengan malas, "Buatku, ini tempat teraneh yang pernah aku datengin." Ron tertawa. "Hahahaha! Kamu bakalan suka sama tempat ini. Karena di sini banyak cewek cakep dan seksi. Sesekali cari cewek sana! Di tempat pelatihan militer dulu kan nggak ada cewek." Kedua mata Aldebaran mencoba menyesuaikan dengan lampu sorot yang berputar. Telinganya terasa sakit mendengar suara bising musik yang sedang dimainkan oleh seorang DJ wanita. Kedua mata Aldebaran menatap DJ wanita seksi. Dia lantas menabrak seseorang. "Duh, sialan!" maki seorang wanita. Aldebaran menabrak seorang wanita hingga tersungkur. Rambut sebahunya tergerai. Dress ketat dan pendeknya terbuka. Kulit mulus si wanita membuat Aldebaran menelan ludah. Aldebaran berjongkok. "Maaf." Dia berniat membantu si wanita berdiri. Mendengar suara berat dan tegas Aldebaran, membuat si wanita mendongakkan kepala. Dia ingin melihat wajah pria yang menabraknya. Aldebaran terkejut. "Hah, kamu?! Kamu?!" Aldebaran terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bukan terkejut karena telah menabrak wanita cantik. Tapi, terkejut karena wajah wanita ini mirip dengan seseorang yang pernah dia temui. "Kamu punya mata nggak, sih?!" hardik si wanita. Aldebaran masih terdiam. Dia tidak juga menolong si wanita. Si wanita kesal. "Kamu mau bantu aku berdiri nggak, sih?!" Plak! Ron datang dan menepuk bahu Aldebaran. Dia pun tersadar dari lamunannya. Ron menegur Aldebaran. "Kamu kok malah bengong, Al? Cepetan bantu Nona Manda berdiri!" Amanda Alexander, anak ke-3 keluarga Alexander yang urakan dan pembuat onar. Sang ayah bahkan sangat tidak menyukainya. "Eh, iya. Maafin aku." Aldebaran mengulurkan tangannya kepada Amanda. Dia membantu Amanda berdiri. "Lihat nih! Dress aku jadi kotor." Suara Amanda yang nyaring berhasil menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Beberapa orang mulai merekam dengan ponsel mereka dan beberapa orang lagi saling berbisik. Seorang wanita datang dan bertanya, "Manda, kamu kenapa?" Dia adalah Azkaira Halimーsahabat Amanda. Azkaira adalah anak satu-satunya keluarga Halim. Keluarga Halim adalah keluarga kelas 3 di kota Jakarta. Karena bantuan Amanda, bisnis keluarga Halim masih bisa bertahan di kota Jakarta. Amanda menunjuk Aldebaran. Dia benar-benar marah. "Gara-gara cowok tolol ini, aku jatuh dan dress aku kotor." "Maafin aku," kata Aldebaran, entah sudah berapa kali dia berusaha meminta maaf. "Maaf?! Nggak semudah itu! Dress aku ini limited edition. Apa kamuー" Amanda masih ingin memarahi Aldebaran, tetapi Azkaira menyela. "Udahlah, Manda! Nggak usah buang-buang waktu! Kita tinggalin aja!" ajak Azkaira. Saat Amanda dan Azkaira hendak pergi, Aldebaran bertanya, "Maaf, Nona. Apa sebelumnya kita pernah ketemu di pesawat?" Ron merasa Aldebaran bertindak ceroboh. Mana mungkin keluarga Alexander bisa berada di dalam satu pesawat dengan temannya itu? Amanda semakin emosi. "Kamu gila? Mana mungkin aku naik pesawat murahan? Apalagi satu pesawat sama cowok rendahan dan tolol kayak kamu!" Aldebaran membalas, "Taーtapi, kamu mirip sama gadis yang aku lihat tadi pagi di pesawat." Aldebaran terus berusaha. Dia memang penasaran dan ingin mencari pemilik gelang yang dia temukan. Ron ingin menghindari masalah di kemudian hari dengan keluarga Alexander. Maka, dia bergegas mengambil alih situasi. Ron berkata, "Al, keluarga Nona Manda punya jet pribadi. Ngapain dia naik pesawat komersial? Dia ini Nona Amanda Alexander." Aldebaran kebingungan. Dia masih ingin bertanya kepada Amanda. Tapi, Ron menariknya pergi. "Kalo gitu, kami pergi dulu, Nona Manda." Azkaira membisikkan sesuatu di telinga Amanda. Tidak lama, Amanda berteriak, "Tunggu! Aku belum suruh kalian pergi." "Mau apa lagi dia?" Aldebaran bertanya dengan suara pelan. Mereka berbalik dan menunggu Amanda berbicara. Amanda menatap Aldebaran. Dia bertanya, "Kamu ngomong apa tadi? Kamu ketemu gadis yang mirip sama aku? Di mana? Kapan?" Nada bicara Amanda masih terdengar sombong. Aldebaran berusaha menahan emosi. Bagaimanapun juga dia tidak akan melawan perempuan. "Tadi pagi di pesawat," jawab Aldebaran. "Penerbangan dari Surabaya ke Jakarta. Gadis itu benar-benar mirip kamu." 'Tapi setelah aku ingat-ingat, gadis di pesawat itu lebih muda daripada Amanda,' pikir Aldebaran. Amanda dan Azkaira saling bertatapan. Lalu mereka berdua mengangguk, seolah memahami sesuatu. "Oke. Ayo pergi, Kaira!" Amanda menarik tangan Azkaira. Namun, langkahnya terhenti karena Aldebaran menariknya ke dalam pelukan. Tindakan Aldebaran membuat Amanda tidak bisa bergerak. Amanda memberontak. "Lepasin! Kamu mau ngapain?! Jangan macem-macem!" Ron mencoba menghentikan Aldebaran. "Al, kamu ngapain? Jangan buat masalah sama Nona Amanda!" "Jangan ikut campur!" hardik Aldebaran."Lepasin Manda sekarang!" teriak Azkaira. "Kamu nggak tau, siapa dia?"Aldebaran tidak peduli dengan apapun. Dia melepaskan jaket kulitnya dengan cepat. Lalu, memakaikannya ke tubuh Amanda bagian depan. Aldebaran berkata dengan penuh pengertian, "Pakai ini! Dress kamu sobek di bagian depan, pas di bagian bawah."Sontak, Amanda terdiam. Dia mengikuti saran Aldebaran. Ron dan Azkaira pun terdiam. Ternyata Aldebaran tidak memiliki niat lain Aldebaran mengikat kedua bagian tangan jaket ke bagian pinggang belakang Amanda. Setelah selesai dalam hitungan detik, Amanda mendongakkan kepala untuk menatap wajah Aldebaran dari dekat.Aldebaran merasa tidak nyaman mendapatkan tatapan mata seperti itu dari Amanda. Dia buru-buru menjauhkan diri dari Amanda. "Ayo pergi, Ron! Urusan aku udah kelar."Aldebaran beranjak pergi dari lantai dansa, tempat Amanda terjatuh. Dia meninggalkan Amanda yang masih mematung di tempatnya.Ron mengejar Aldebaran yang sudah melangkah jauh. Dia menerobos kerumunan or
"Kenapa kamu menyusahkan aku sih, Ron!"Sekarang, Aldebaran sudah berada di apartemen Ron Dinata. Dia baru saja selesai mandi. Dia masih mengingat kejadian memalukan tadi di klub malam Jenja. Ron mabuk parah di sana. Dia terus meracau. Dengan susah payah, Aldebaran berhasil membawa Ron pergi dari tempat terkutuk itu. Aldebaran menyetir mobil sport milik Ron. Dia juga membersihkan cairan yang keluar dari mulut Ron. Sungguh menjijikan! Tapi, Aldebaran tidak memiliki pilihan lain. Aldebaran menatap Ron yang sudah tertidur di ranjang. Setelah mengganti pakaian, dia bergegas pergi tidur. Aldebaran mendesah panjang. "Hemm!"Malam panjang yang melelahkan. Aldebaran merasa, tubuhnya membutuhkan istirahat.Aldebaran merebahkan tubuhnya di sofa. Saat hendak memejamkan mata, ponselnya bergetar. Aldebaran membaca pesan yang masuk dengan cepat dan teliti. Lalu, dia bersiap-siap untuk pergi. Dalam sekejap, Aldebaran sudah berada di lobi apartemen. Ini adalah kehidupan barunya sebagai seorang s
"Sistem keamanan di sini sangat luar biasa." Aldebaran memuji dengan nada tinggi. Seketika itu juga, semua orang saling pandang. Bagi mereka, orang asing yang baru datang ini sangat lancang. Karena menurut mereka, Aldebaran baru saja menyindir pangkalan militer angkatan udara.Ilyas menatap Aldebaran. Lalu, dia menatap anak buahnya. Ilyas bertanya, "Apa anak buah saya sudah menyinggung Anda, Tuan King?"Ilyas berjalan masuk ke bangunan kecil disusul oleh Aldebaran dan 3 orang di belakangnya."Lain kali, saya mau Anda yang datang langsung ke tempat penjemputan," kata Aldebaran, tegas. "Tapi, semoga aja nggak ada lain kali."Jiwa menyombongkan diri Aldebaran muncul. Hal itu, tentu saja meresahkan Ilyas dan semua orang yang bersamanya. "Eh, anak muda!" tegur pria berbadan gemuk. Dia berjalan di belakang Aldebaran dan Ilyas. "Sombong banget kamu!"Tidak ingin timbul masalah, Ilyas segera memberikan isyarat pada pria gemuk. "Tolong jangan diambil hati, Tuan King!" pinta Ilyas dengan re
"Iya. Dia adalah orang yang sangat berpengaruh di negaranya."Agam menjawab pertanyaan Aldebaran. Dia menatap Ilyas, lalu menatap Aldebaran. "Perlu digarisbawahi! Dia bukanlah orang sembarangan. Dia juga sempat meragukan kamu, Anak Muda! Jadi, misi pertama ini jangan sampai gagal!"Tanpa berpikir panjang, Aldebaran menjawab, "Anda tenang aja, Pak Agam! Saya akan lakukan yang terbaik."Agam mengubah posisi duduknya. Dia kembali memandang ke arah depan. "Matahari udah muncul. Tapi, kegilaan bocah ini seakan nggak ada habisnya," kata Agam, ketus. "Cobalah bekerja sama dengannya!" saran Ilyas sambil melihat kaca spion mobil. Agam tertawa. "Saya mau lihat cara kerjanya dulu. Setelah itu, saya baru akan mengakuinya. Itupun ... kalo memang sesuai dengan kriteria saya."Aldebaran ingin membalas perkataan Agam. Namun, Ilyas sudah menghentikan mobil. Aldebaran melihat setidaknya ada lima orang berpakaian jas hitam dengan potongan rambut yang sama. "Ayo!" ajak Ilyas. Sekelompok orang ters
"Tuan King!"Louis memanggil Aldebaran. Dia adalah tangan kanan Raj yang akan membantu misi Aldebaran.Pesawat jet pribadi Chua Henry Yuan mendarat di bandar udara pribadinya sekitar satu jam lalu. Sekarang, Aldebaran telah berada di dalam mobil bersama Louis. Sedangkan kedua kliennya menunggu Aldebaran di rumah pribadi Chua. Atas perintah Chua, Raj mentransfer uang muka yang telah mereka sepakati ke rekening pribadi Aldebaran. Sisanya akan ditransfer kemudian setelah misi selesai. Aldebaran duduk santai di samping Louis. "Ya?"Louis memberikan senjata kepada Aldebaran. "Sesuai dengan arahan informan, target berada di dalam mobil mewah berwarna silver. Dipastikan itu adalah kendaraan satu-satunya yang akan melewati jalan ini menuju ke Bishan."Seorang informan berkata bahwa komandan angkatan darat yang akan menjadi target Aldebaran sedang dalam perjalanan ke lokasi pelatihan militer di Bishan, region tengah wilayah negara Singapura. "Sepanjang jalan ini sudah kami sterilkan," kata
"Hah?! Apa ini? Tiketku di mana?!"Aldebaran telah sampai di bandar udara internasional Changi. Sambil berjalan menuju pemeriksaan imigrasi, dia mencari tiketnya.Aldebaran mengambil secarik kertas biru yang terselip di paspor."Queensland, Australia?"Aldebaran langsung membacanya. Tidak lama kemudian, ponselnya bergetar. Aldebaran ragu-ragu sejenak saat melihat nomor asing di layar handphone. Namun, dia tetap menerima panggilan telepon masuk dari nomor tidak dikenal."Ya?""Kok lama banget angkat teleponnya?"Aldebaran mengerutkan kening. Dia sepertinya mengenal suara lawan bicaranya. "Anda siapa?" tanya Aldebaran."Selamat atas keberhasilan misi pertama, Tuan King. Aku ini broker kamu."Aldebaran menghela napas. "Pak Agam?"Aldebaran duduk di kursi yang tersedia. Dia memperhatikan area di sekitarnya. "Kenapa, Pak?" tanya Aldebaran lagi.Agam bertanya, "Kamu udah lihat tujuan selanjutnya?" "Queensland, Australia? Apa ini perintah kamu, Pak Agam?" "Hahahaha!" Agam tertawa. "Buka
"Kayaknya aku harus jalin kerja sama dengan Tuan King,' pikir Louis. 'Sesuai dengan perkataan Tuan Raj, pria sombong ini punya banyak pengetahuan.'Louis semakin penasaran dengan Aldebaran. "Terus, apa lagi kamu ketahui tentang tempat itu?" "Nggak ada." Aldebaran tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.'Cih! Kamu pikir aku bodoh?!' Aldebaran mencemooh Louis di dalam hati. 'Apapun yang aku tau, aku nggak akan ngasih tau ke orang lain.'Louis meletakkan selembar foto di atas meja. "Target kamu sekarang Komandan Angkatan Udara Singapura."Aldebaran mengambil foto dan mendengus dingin. Itu adalah foto ketiga komandan.Aldebaran memperhatikan satu persatu wajah pria berpakaian dinas lengkap. "Singapura punya 3 Komandan Angkatan Udara. Apa ketiganya adalah targetku?"Louis tertawa lagi. "Hahahaha! Apa kamu tau, siapa aja mereka?"Aldebaran tersenyum tipis. "Ya, udah pasti aku kenal mereka. Siapa yang nggak kenal orang-orang sehebat mereka?!"Louis menyandarkan tubuhnya. "Target kamu Gerald Lim
"Aarrggghhh!"Aldebaran berteriak pilu. Keningnya dipenuhi dengan peluh. Tidak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu di ruang tidur."Tuan King, kenapa kamu berteriak?" Louis datang bersama 4 orang anak buahnya. Dia mengetuk pintu ruang tidur berulang kali. Dia panik dan wajahnya memucat. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada Aldebaran. Melanie yang berdiri di sebelah Louis berteriak, "Tuan King, cepat buku pintunya!" Louis menoleh ke salah satu awak kabin. "Ada kunci cadangannya, nggak? Kalo nggak ada, buka paksa pintunya!" perintah Louis. "Baik."Awak kabin segera mencoba membuka pintu. Tidak lama, pintu pun terbuka. Louis masuk. Suasana gelap langsung terasa. Louis tidak melihat Aldebaran. "Nyalakan lampu!" Begitu lampu menyala, Louis dan anak buahnya melihat Aldebaran tertidur dengan bertelanjang dada. Wajahnya dipenuhi keringat. Tapi, hal yang menjadi pusat perhatian bukan tubuh gagah Aldebaran, melainkan gelang cantik yang digenggam tangan kanannya.Louis menghampi
Deretan mobil mewah memenuhi showroom yang masih berlokasi di kawasan jalan haji Nawi 1 Jakarta Selatan. Aldebaran melihat satu persatu koleksi mobil mewah keluaran terbaru ditemani oleh Shania. "Silakan dilihat-lihat dulu, Mas!" seru pria berdasi yang berdiri di samping Aldebaran. "Ya," sahut Aldebaran. Lalu, dia berpaling pada Shania. "Apa mobil yang ini cocok buatku?" Aldebaran menunjuk satu mobil sport dua pintu buatan Jerman dengan logo biru putih yang melingkar. Mobil pilihan Aldebaran berwarna merah. Shania terkesiap mendengar pertanyaan Aldebaran. Pasalnya, dia juga memiliki satu mobil yang sama di garasi rumahnya. "Aーaku ...." Pria berdasi berkata, "Tuan, mobil ini adalah unit ke-4 dan baru aja tiba pagi tadi."Aldebaran mengernyit. "Maksudnya?" "Maksud saya adalah mobil ini hanya ada 7 unit di dunia, termasuk 4 unit di Indonesia." Pria berdasi menjelaskan dengan sabar. Aldebaran bertanya, "Siapa aja yang memilikinya di Indonesia?" "Dua diantaranya dimiliki oleh ....
"Silakan, Tuan Kells!" Shania mempersilakan. Setelah selesai makan, Shania mengajak Aldebaran ke pameran apartemen. "Ini adalah apartemen tipe A yaitu tipe studio."Aldebaran memperhatikan beberapa contoh apartemen yang diperlihatkan Shania. Seorang wanita gemuk dengan rambut dicepol dan make up tebal menghampiri Shania. Dia adalah Dara, atasan Shania. "Shania!" panggil Dara, ketus. Shania menoleh. "Ya, Bu?" "Cepet ke sini!" perintah Dara. Shania berkata, "Tuan, silakan lihat-lihat dulu! Saya akan kembali sebentar lagi."Aldebaran mengangguk. Sania pergi menghampiri Dara ke sudut. Dia melihat wajah masam Dara. Dara bertolak pinggang. "Kenapa kamu bawa calon pembeli kayak dia?""Maksudnya Ibu?" Dara menghela napas. Dia menunjuk Aldebaran. "Lihat aja penampilannya!"Shania akhirnya mengerti. "Bu, kita nggak bisa nilai seseorang dari penampilan luar aja. Karena banyak orang kaya yang hidup sederhana. Jadi, jangan sampai kita tertipu dengan penampilannya, Bu!""Halah, kamu tau ap
"Oh, Leo!" seru Amanda dengan santai. "Kamu tau apa tentang keluargaku, hah?!" Karena tinggi Amanda tidak sepadan dengan Aldebaran, dia berjinjit mengulurkan tangan. Amanda meraih topi Aldebaran. "Hei, jangan lancang!" tegur Aldebaran. Namun, terlambat! Amanda dengan mudahnya melepaskan topi Aldebaran. Sekarang, Amanda sudah mengenali sosok pria yang berdiri di hadapannya. "Aku udah tau, kalo itu kamu." Amanda menunjuk Aldebaran. "Kamu mau ngapain ke sini? Ini apartemen orang-orang kaya." Mata Amanda menatap Aldebaran lekat-lekat. Kemudian, muncul ekspresi yang tidak biasa. "Oh, aku tau. Kamu pasti kerja jadi tukang bersih-bersih di sini, kan?" Aldebaran menghela napas. Dia tidak ingin ambil pusing dengan pernyataan Amanda yang menghinanya. "Sini topiku!" pinta Aldebaran. Amanda mengabaikan Aldebaran. Dia justru semakin mendekatinya. "Kenapa kamu nggak jawab aku?" tanya Amanda. Melihat Aldebaran hanya terdiam, Amanda semakin penasaran dibuatnya. "Kamu ke mana aja?
"Aku nggak ingat, Pa," sahut Zoya. "Karena saat itu, aku ketakutan."Sultan tidak puas dengan jawaban anaknya. Maka, dia bertanya lagi. "Terus, apa yang dia lakuin sama kamu?"Zoya mencoba mengingat-ingat. "Dia menggandeng tanganku dan ajak aku lari dari sana. Tapi tiba-tiba, aku pingsan. Saat terbangun, aku udah di sini.""Sayang sekali, Zoya," kata Sultan. "Papa akan cari tau laki-laki itu dan mengucapkan terima kasih.""Jangan lupa kasih tau aku, Pa!"Sultan mengangguk. "Apa dia masih muda?""Iya. Kenapa, Pa?" Zoya merasa ayahnya ini sedang merencanakan sesuatu untuk si pria. "Kalo dia masih muda, Papa akan mempekerjakan dia sebagai bodyguard kamu," kata Sultan. "Kamu setuju, nggak? Karena kamu butuh bodyguard, Zoya."Jantung Aldebaran kembali berdebar mendengarnya. Dia ingin tahu respon Zoya. "Nggak tau, Pa," jawab Zoya, ragu. Aldebaran kecewa mendengarnya. Dia akan mencari cara agar bisa berada di dekat Zoya. Dia ingin memastikan keamanan Zoya sekaligus menebus rasa bersalah
"Apa?! Jadi, dia menyaksikan Kakaknya tertembak? Kasihan sekali dia! Pantas saja tubuhnya bergetar."Dokter berkata apa adanya. Dokter dan Aldebaran sama-sama menatap Zoya yang terbaring lemah menutup matanya. "Lalu, bagaimana kondisinya?" tanya Aldebaran. Dokter berkata, "Saya sudah memberikan obat penenang. Dia akan tertidur. Saya harap, orang-orang terdekatnya bisa menjaga dia dengan baik.""Terima kasih, Dok," ucap Aldebaran. "Orang tuanya akan datang sebentar lagi. Bisakah Anda menolong saya?""Apa yang bisa saya bantu?" tanya Dokter. "Saya sedang mengejar pesawat yang akan berangkat 2 jam lagi. Tolong jaga Nona ini sampai orang tuanya datang!"Dokter tersenyum. "Jangan khawatir! Suster akan menjaganya."Aldebaran lega. Dia menyerahkan ponsel Zoya kepada dokter, lalu bergegas pergi.Aldebaran keluar dari ruang IGD. Dia berjalan menuju taman rumah sakit. Dia tidak pergi dari sana, tetapi mencari tempat aman untuk memastikan keluarga Alexander datang. "Tempat yang bagus untuk i
Tap! Tap! Tap!Aldebaran dan Zoya berlari semakin cepat. Sesekali Aldebaran melirik Zoya. 'Dia cantik banget. Pantes aja Leo sangat melindunginya,' pikir Aldebaran. "Tunggu!" Zoya berhenti berlari. Dia memegangi jantungnya dan mencoba mengatur napas. Wajahnya kian memucat. Aldebaran melepaskan tangan Zoya. "Kenapa, Nona?""Siapa kamu? Kok kamu kenal aku? Terus, gimana kamu bisa tau aku dalam bahaya?"Zoya bertanya dengan penasaran. Dia menunggu respon Aldebaran. "Sekarang bukan saat yang tepat untuk bertanya," jawab Aldebaran. "Kamu orang Indonesia, kan? Tapi, aku nggak yakin kamu bukan orang yang jahat." Zoya tetap bersikeras. Dia menjadi ragu-ragu. Kening Zoya berkerut. "Terus, gimana sama Kak Leo?""Aku akan jelasin nanti. Kamu tenang aja! Ada tenaga medis dan pihak kepolisian yang akan mengurus Kakak kamu," jawab Aldebaran, cepat. "Ayo Nona! Kita harus pergi dan bersembunyi!" ajak Aldebaran. Zoya tidak menjawab apa-apa. Dia hanya menatap Aldebaran dalam diam. Saat Aldeb
"Apa yang harus aku lakuin sekarang?"Aldebaran sangat terkejut. Ternyata, adik perempuan Leonard adalah Zoya yang selama ini dicarinya. Aldebaran masih tidak menyangka bahwa ternyata selama ini dia sangat dekat dengan Zoya. "Situasi macam apa ini?!" gerutu Aldebaran. "Apa ini termasuk takdir? Kayaknya kali ini aku butuh keberuntungan."Tidak disangka, Zoya yang tidak dikenalnya dengan baik berhasil mengubah prinsip Aldebaran. Semula, dia tidak percaya dengan keberuntungan. Tapi sekarang, dia justru mengharapkan Dewi Fortuna memihaknya.Smartwatch Aldebaran menyala. "Shit!" Dia membuka pesan masuk dari Ezra.Pengirim: Apa yang kamu tunggu?! Cepat bidik Target sekarang!Aldebaran menyesali takdirnya. Seandainya dia bisa memutar kembali waktu. Mungkin saja hal ini tidak terjadi. "Maafin aku, Zoya ...."Dor!Aldebaran melepaskan amunisi ke arah target dalam satu kali bidikan. Alhasil, amunisi itu mengenai kepala Leonard. Detik itu juga, Leonard tersungkur ke aspal.Tapi, tunggu! Apa i
"Setelah misi selesai, kamu punya waktu 24 jam untuk keluar dari negara ini. Tim evakuasi akan membantu kamu."Si pria gemuk menjelaskan. Aldebaran mendengarkannya dengan seksama. "Aku tau. Lalu, bagaimana dengan senjata yang akan aku gunakan?" Bagaimana pun juga, Aldebaran harus melihat senjata yang akan digunakannya sebelum melakukan misi."Kamu akan melihatnya saat kita sampai di sana," jawab pria berjas. Aldebaran tidak bertanya lagi. Sebab, dia sudah paham aturan main di dunia sniper bayaran.Akhirnya, mobil yang ditumpangi Aldebaran berhenti di lobi gedung pencakar langit Menara Mercury City. "Ayo, Tuan King!" seru pria berjas. Sedangkan pria gemuk berjalan di belakang mereka.Pria berjas berkata, "Kamu harus habisi target dalam satu kali bidikan.""Jangan khawatir! Aku belum pernah gagal menjalankan misi," sahut Aldebaran, sedikit menyombongkan diri. Pria berjas tersenyum dengan wajah yang datar. "Aku percaya," katanya. "Kamu percaya? Kenapa?" Aldebaran merasa ada yang an
Aldebaran menatap Pak Tua dalam-dalam. Dia menunggu Pak Tua menyelesaikan bicaranya. Sorot mata Pak Tua tajam. "Aku adalah kaki tangan Tuan Gale dan Tuan Ezra."Lagi-lagi, Aldebaran mendapatkan kejutan. Dia tidak menyangka Gale dan Ezra memiliki banyak orang suruhan di Rusia. Sebenarnya, siapa mereka? Seberapa berkuasanya Gale dan Ezra di negara ini? Lalu, apa hubungan keduanya dengan keluarga Alexander?Aldebaran bertanya, "Siapa nama kamu?" "Anouska." Aldebaran mengerutkan alis. "Bukannya itu nama perempuan Rusia?"Anouska mengangguk. "Ya. Ada kisah sedih di baliknya.""Oke."Anouska bukankah nama asli si pria tua. Lalu, apa maksudnya dia menggunakan nama itu? Namun, Aldebaran tidak tertarik. Dia berbalik dan pergi.Tidak lama, Aldebaran masuk ke sebuah restoran. Ini adalah restoran yang menjual bubur kasha paling terkenal di sepanjang jalan menuju apartemen. "Halo, Tuan!" sapa penjual dengan bahasa Rusia yang sopan. "Berapa banyak bubur yang ingin kamu pesan?""Hanya dua," jawa