"Kamu sering pergi ke tempat kayak gini, Ron!" tanya Aldebaran.
Aldebaran dan Ron masuk ke klub malam Jenja. Aldebaran dengan wajah tampan dan sorot mata tajam. Ron, pria jangkung dengan kulit sawo matang. Dia selalu tersenyum dan wajahnya biasa-biasa saja. "Ini tempat terbaik melepas stres." Ron menjawab dengan santai. "Halo, ladies!" Ron mulai menggoda beberapa wanita. Dia melirik Aldebaran yang mengikutinya dari belakang. Raut wajah Aldebaran masam. Dia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 10.00 malam waktu Jakarta. Aldebaran berkata dengan malas, "Buatku, ini tempat teraneh yang pernah aku datengin." Ron tertawa. "Hahahaha! Kamu bakalan suka sama tempat ini. Karena di sini banyak cewek cakep dan seksi. Sesekali cari cewek sana! Di tempat pelatihan militer dulu kan nggak ada cewek." Kedua mata Aldebaran mencoba menyesuaikan dengan lampu sorot yang berputar. Telinganya terasa sakit mendengar suara bising musik yang sedang dimainkan oleh seorang DJ wanita. Kedua mata Aldebaran menatap DJ wanita seksi. Dia lantas menabrak seseorang. "Duh, sialan!" maki seorang wanita. Aldebaran menabrak seorang wanita hingga tersungkur. Rambut sebahunya tergerai. Dress ketat dan pendeknya terbuka. Kulit mulus si wanita membuat Aldebaran menelan ludah. Aldebaran berjongkok. "Maaf." Dia berniat membantu si wanita berdiri. Mendengar suara berat dan tegas Aldebaran, membuat si wanita mendongakkan kepala. Dia ingin melihat wajah pria yang menabraknya. Aldebaran terkejut. "Hah, kamu?! Kamu?!" Aldebaran terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bukan terkejut karena telah menabrak wanita cantik. Tapi, terkejut karena wajah wanita ini mirip dengan seseorang yang pernah dia temui. "Kamu punya mata nggak, sih?!" hardik si wanita. Aldebaran masih terdiam. Dia tidak juga menolong si wanita. Si wanita kesal. "Kamu mau bantu aku berdiri nggak, sih?!" Plak! Ron datang dan menepuk bahu Aldebaran. Dia pun tersadar dari lamunannya. Ron menegur Aldebaran. "Kamu kok malah bengong, Al? Cepetan bantu Nona Manda berdiri!" Amanda Alexander, anak ke-3 keluarga Alexander yang urakan dan pembuat onar. Sang ayah bahkan sangat tidak menyukainya. "Eh, iya. Maafin aku." Aldebaran mengulurkan tangannya kepada Amanda. Dia membantu Amanda berdiri. "Lihat nih! Dress aku jadi kotor." Suara Amanda yang nyaring berhasil menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Beberapa orang mulai merekam dengan ponsel mereka dan beberapa orang lagi saling berbisik. Seorang wanita datang dan bertanya, "Manda, kamu kenapa?" Dia adalah Azkaira Halimーsahabat Amanda. Azkaira adalah anak satu-satunya keluarga Halim. Keluarga Halim adalah keluarga kelas 3 di kota Jakarta. Karena bantuan Amanda, bisnis keluarga Halim masih bisa bertahan di kota Jakarta. Amanda menunjuk Aldebaran. Dia benar-benar marah. "Gara-gara cowok tolol ini, aku jatuh dan dress aku kotor." "Maafin aku," kata Aldebaran, entah sudah berapa kali dia berusaha meminta maaf. "Maaf?! Nggak semudah itu! Dress aku ini limited edition. Apa kamuー" Amanda masih ingin memarahi Aldebaran, tetapi Azkaira menyela. "Udahlah, Manda! Nggak usah buang-buang waktu! Kita tinggalin aja!" ajak Azkaira. Saat Amanda dan Azkaira hendak pergi, Aldebaran bertanya, "Maaf, Nona. Apa sebelumnya kita pernah ketemu di pesawat?" Ron merasa Aldebaran bertindak ceroboh. Mana mungkin keluarga Alexander bisa berada di dalam satu pesawat dengan temannya itu? Amanda semakin emosi. "Kamu gila? Mana mungkin aku naik pesawat murahan? Apalagi satu pesawat sama cowok rendahan dan tolol kayak kamu!" Aldebaran membalas, "Taーtapi, kamu mirip sama gadis yang aku lihat tadi pagi di pesawat." Aldebaran terus berusaha. Dia memang penasaran dan ingin mencari pemilik gelang yang dia temukan. Ron ingin menghindari masalah di kemudian hari dengan keluarga Alexander. Maka, dia bergegas mengambil alih situasi. Ron berkata, "Al, keluarga Nona Manda punya jet pribadi. Ngapain dia naik pesawat komersial? Dia ini Nona Amanda Alexander." Aldebaran kebingungan. Dia masih ingin bertanya kepada Amanda. Tapi, Ron menariknya pergi. "Kalo gitu, kami pergi dulu, Nona Manda." Azkaira membisikkan sesuatu di telinga Amanda. Tidak lama, Amanda berteriak, "Tunggu! Aku belum suruh kalian pergi." "Mau apa lagi dia?" Aldebaran bertanya dengan suara pelan. Mereka berbalik dan menunggu Amanda berbicara. Amanda menatap Aldebaran. Dia bertanya, "Kamu ngomong apa tadi? Kamu ketemu gadis yang mirip sama aku? Di mana? Kapan?" Nada bicara Amanda masih terdengar sombong. Aldebaran berusaha menahan emosi. Bagaimanapun juga dia tidak akan melawan perempuan. "Tadi pagi di pesawat," jawab Aldebaran. "Penerbangan dari Surabaya ke Jakarta. Gadis itu benar-benar mirip kamu." 'Tapi setelah aku ingat-ingat, gadis di pesawat itu lebih muda daripada Amanda,' pikir Aldebaran. Amanda dan Azkaira saling bertatapan. Lalu mereka berdua mengangguk, seolah memahami sesuatu. "Oke. Ayo pergi, Kaira!" Amanda menarik tangan Azkaira. Namun, langkahnya terhenti karena Aldebaran menariknya ke dalam pelukan. Tindakan Aldebaran membuat Amanda tidak bisa bergerak. Amanda memberontak. "Lepasin! Kamu mau ngapain?! Jangan macem-macem!" Ron mencoba menghentikan Aldebaran. "Al, kamu ngapain? Jangan buat masalah sama Nona Amanda!" "Jangan ikut campur!" hardik Aldebaran."Lepasin Manda sekarang!" teriak Azkaira. "Kamu nggak tau, siapa dia?"Aldebaran tidak peduli dengan apapun. Dia melepaskan jaket kulitnya dengan cepat. Lalu, memakaikannya ke tubuh Amanda bagian depan. Aldebaran berkata dengan penuh pengertian, "Pakai ini! Dress kamu sobek di bagian depan, pas di bagian bawah."Sontak, Amanda terdiam. Dia mengikuti saran Aldebaran. Ron dan Azkaira pun terdiam. Ternyata Aldebaran tidak memiliki niat lain Aldebaran mengikat kedua bagian tangan jaket ke bagian pinggang belakang Amanda. Setelah selesai dalam hitungan detik, Amanda mendongakkan kepala untuk menatap wajah Aldebaran dari dekat.Aldebaran merasa tidak nyaman mendapatkan tatapan mata seperti itu dari Amanda. Dia buru-buru menjauhkan diri dari Amanda. "Ayo pergi, Ron! Urusan aku udah kelar."Aldebaran beranjak pergi dari lantai dansa, tempat Amanda terjatuh. Dia meninggalkan Amanda yang masih mematung di tempatnya.Ron mengejar Aldebaran yang sudah melangkah jauh. Dia menerobos kerumunan or
"Kenapa kamu menyusahkan aku sih, Ron!"Sekarang, Aldebaran sudah berada di apartemen Ron Dinata. Dia baru saja selesai mandi. Dia masih mengingat kejadian memalukan tadi di klub malam Jenja. Ron mabuk parah di sana. Dia terus meracau. Dengan susah payah, Aldebaran berhasil membawa Ron pergi dari tempat terkutuk itu. Aldebaran menyetir mobil sport milik Ron. Dia juga membersihkan cairan yang keluar dari mulut Ron. Sungguh menjijikan! Tapi, Aldebaran tidak memiliki pilihan lain. Aldebaran menatap Ron yang sudah tertidur di ranjang. Setelah mengganti pakaian, dia bergegas pergi tidur. Aldebaran mendesah panjang. "Hemm!"Malam panjang yang melelahkan. Aldebaran merasa, tubuhnya membutuhkan istirahat.Aldebaran merebahkan tubuhnya di sofa. Saat hendak memejamkan mata, ponselnya bergetar. Aldebaran membaca pesan yang masuk dengan cepat dan teliti. Lalu, dia bersiap-siap untuk pergi. Dalam sekejap, Aldebaran sudah berada di lobi apartemen. Ini adalah kehidupan barunya sebagai seorang s
"Komandan ngapain manggil aku?"Seorang pria berdiri di depan kantor sang komandan di pelatihan tembak, Surabaya. Dia memakai pakaian hitam lengkap dengan baret ungu di kepalanya.Dia merapikan pakaian sebentar, lalu mengetuk pintunya. "Masuk!" Setelah mendengar sahutan dari dalam, dia segera membuka pintu. Dia melangkah masuk mendekati sang komandan yang berdiri membelakanginya.Sang komandan berbalik. "Abraham Malik!" panggil Erick Sanjaya.Abraham Malik, 21 tahun. Dia memiliki perawakan ideal sebagai syarat masuk ke sekolah militer. Tingginya 185 cm dan berat badan 65 kg.Reflek, Abraham menjawab dengan lantang. "Siap, Komandan!" Dia menatap Erick. "Benarkah Anda memanggil saya?""Kamu sudah dua tahun mengikuti sekolah militer di sini. Kamu juga sudah mengikuti latihan pasukan khusus. Apa kamu puas dengan prestasi yang telah tercapai dalam satu tahun ini?""Maaf, Komandan. Meskipun saya mengikuti latihan pasukan khusus, tapi saya bergabung di pasukan ini baru satu tahun."Abraha
"Jakarta, aku datang!" Aldebaran Kellendra. Nama itu adalah identitas Abraham Malik yang baru. Pukul 06:20 pagi. Perjalanan dari Surabaya ke Jakarta hanya memakan waktu 1 jam lebih. Selama di perjalanan, Aldebaran tidak bisa memejamkan mata. Dia terus menerka-nerka kehidupan ibukota yang kata orang penuh warna.Pesawat sudah mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Aldebaran berada di kabin kelas bisnis. Dia melepaskan sabuk pengaman. Lalu, meraih ponsel. Aldebaran merasa ada seseorang sedang memperhatikannya. Dengan ditunggangi rasa penasaran, dia pun menoleh ke sisi kiri. "Aduhai, cantik banget!" Aldebaran memekik terkejut. Seorang gadis berusia 18 tahun menatapnya. Jantung Aldebaran berdebar kencang. Tanpa disadari, Aldebaran menyebutkan ciri-ciri fisik si gadis. "Bola mata dan rambut panjang berwarna coklat. Hidung mancung dan kulitnya putih banget. Dia tinggi dan ramping."Selama 3 tahun berada di tempat pelatihan militer, Aldebaran belum pernah melihat gadis canti
Wajah Aldebaran masam. Dia melihat Ahmed membuang ludah di sampingnya. Aldebaran mengepalkan kedua tangan kuat-kuat. Dia hendak meraih leher satpam, tetapi niatnya terhalang setelah mendengar seseorang berteriak. Muncul pria jangkung dari dalam rumah. "Udin!" panggil si pria jangkung. "Apaan?" sahut Ahmed. "Ganggu aja!"Si pria jangkung mendekati Ahmed. "Tamu penting Tuan Besar udah dateng belum?" Ahmed mulai mencurigai Aldebaran. "Namanya siapa? Dari tadi nggak ada tamu yang dateng.""Kalau nggak salah, namanya Aldebaran Kellendra," sahut si jangkung. Ahmed tercengang. "Hah?!"Kedua mata Ahmed mengarah kepada Aldebaran. Pria jangkung pun mengikuti arah pandang Ahmed dan dia mengerti. Aldebaran yakin, Ahmed sudah tahu identitasnya sebagai tamu penting Adi Wijaya. Jangkung mendekati Aldebaran. "Apa kamu Aldebaran Kellendra?""Iya," jawab Aldebaran, santai."Ayo cepat ikuti saya! Tuan Besar Adi udah nunggu kamu dari tadi pagi."Aldebaran tidak banyak berbicara. Dia menyeringai p
Brak!Adi menggebrak meja. Dia meletakkan kedua tangan di atas meja dengan alis yang semakin menegang. Emosi di matanya terlihat rumit "Kurang ajar!" pekik Adi. Dia melemparkan pandangan kepada dua bodyguard. Aldebaran dan Ron baru saja keluar dari ruang kerja Adi. Mereka bisa mendengar kemarahan Adi. Ron memandangi Aldebaran dengan aneh. "Tadi kamu ngomong apa sama Tuan Adi? Kok dia jadi marah kayak gitu?""Nggak ada," jawab Aldebaran, santai. Tanpa terlihat Ron, Aldebaran tersenyum sinis. Dia sedang mengungkapkan sifat asli Adi Wijaya yang sedang menyembunyikan sesuatu.Mereka terus berjalan menyusuri lorong. Teriakan Adi masih terngiang di telinga Ron.Ron berseru dengan ekspresi serius, "Jangan main api sama Tuan Adi dan keluarganya!"Aldebaran menghela napas berat. "Nggak akan, Ron."Ron berhenti di depan lukisan yang tadi diperhatikan Aldebaran. "Lukisan inikah yang kamu maksud tadi?" tanyanya, penasaran."Iya," sahut Aldebaran. "Kedua lukisan ini cuma ada satu di dunia dan
"Kenapa kamu menyusahkan aku sih, Ron!"Sekarang, Aldebaran sudah berada di apartemen Ron Dinata. Dia baru saja selesai mandi. Dia masih mengingat kejadian memalukan tadi di klub malam Jenja. Ron mabuk parah di sana. Dia terus meracau. Dengan susah payah, Aldebaran berhasil membawa Ron pergi dari tempat terkutuk itu. Aldebaran menyetir mobil sport milik Ron. Dia juga membersihkan cairan yang keluar dari mulut Ron. Sungguh menjijikan! Tapi, Aldebaran tidak memiliki pilihan lain. Aldebaran menatap Ron yang sudah tertidur di ranjang. Setelah mengganti pakaian, dia bergegas pergi tidur. Aldebaran mendesah panjang. "Hemm!"Malam panjang yang melelahkan. Aldebaran merasa, tubuhnya membutuhkan istirahat.Aldebaran merebahkan tubuhnya di sofa. Saat hendak memejamkan mata, ponselnya bergetar. Aldebaran membaca pesan yang masuk dengan cepat dan teliti. Lalu, dia bersiap-siap untuk pergi. Dalam sekejap, Aldebaran sudah berada di lobi apartemen. Ini adalah kehidupan barunya sebagai seorang s
"Lepasin Manda sekarang!" teriak Azkaira. "Kamu nggak tau, siapa dia?"Aldebaran tidak peduli dengan apapun. Dia melepaskan jaket kulitnya dengan cepat. Lalu, memakaikannya ke tubuh Amanda bagian depan. Aldebaran berkata dengan penuh pengertian, "Pakai ini! Dress kamu sobek di bagian depan, pas di bagian bawah."Sontak, Amanda terdiam. Dia mengikuti saran Aldebaran. Ron dan Azkaira pun terdiam. Ternyata Aldebaran tidak memiliki niat lain Aldebaran mengikat kedua bagian tangan jaket ke bagian pinggang belakang Amanda. Setelah selesai dalam hitungan detik, Amanda mendongakkan kepala untuk menatap wajah Aldebaran dari dekat.Aldebaran merasa tidak nyaman mendapatkan tatapan mata seperti itu dari Amanda. Dia buru-buru menjauhkan diri dari Amanda. "Ayo pergi, Ron! Urusan aku udah kelar."Aldebaran beranjak pergi dari lantai dansa, tempat Amanda terjatuh. Dia meninggalkan Amanda yang masih mematung di tempatnya.Ron mengejar Aldebaran yang sudah melangkah jauh. Dia menerobos kerumunan or
"Kamu sering pergi ke tempat kayak gini, Ron!" tanya Aldebaran.Aldebaran dan Ron masuk ke klub malam Jenja. Aldebaran dengan wajah tampan dan sorot mata tajam. Ron, pria jangkung dengan kulit sawo matang. Dia selalu tersenyum dan wajahnya biasa-biasa saja. "Ini tempat terbaik melepas stres." Ron menjawab dengan santai. "Halo, ladies!"Ron mulai menggoda beberapa wanita. Dia melirik Aldebaran yang mengikutinya dari belakang.Raut wajah Aldebaran masam. Dia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 10.00 malam waktu Jakarta. Aldebaran berkata dengan malas, "Buatku, ini tempat teraneh yang pernah aku datengin."Ron tertawa. "Hahahaha! Kamu bakalan suka sama tempat ini. Karena di sini banyak cewek cakep dan seksi. Sesekali cari cewek sana! Di tempat pelatihan militer dulu kan nggak ada cewek."Kedua mata Aldebaran mencoba menyesuaikan dengan lampu sorot yang berputar. Telinganya terasa sakit mendengar suara bising musik yang sedang dimainkan oleh seorang DJ wanita.Kedua mata Aldeba
Brak!Adi menggebrak meja. Dia meletakkan kedua tangan di atas meja dengan alis yang semakin menegang. Emosi di matanya terlihat rumit "Kurang ajar!" pekik Adi. Dia melemparkan pandangan kepada dua bodyguard. Aldebaran dan Ron baru saja keluar dari ruang kerja Adi. Mereka bisa mendengar kemarahan Adi. Ron memandangi Aldebaran dengan aneh. "Tadi kamu ngomong apa sama Tuan Adi? Kok dia jadi marah kayak gitu?""Nggak ada," jawab Aldebaran, santai. Tanpa terlihat Ron, Aldebaran tersenyum sinis. Dia sedang mengungkapkan sifat asli Adi Wijaya yang sedang menyembunyikan sesuatu.Mereka terus berjalan menyusuri lorong. Teriakan Adi masih terngiang di telinga Ron.Ron berseru dengan ekspresi serius, "Jangan main api sama Tuan Adi dan keluarganya!"Aldebaran menghela napas berat. "Nggak akan, Ron."Ron berhenti di depan lukisan yang tadi diperhatikan Aldebaran. "Lukisan inikah yang kamu maksud tadi?" tanyanya, penasaran."Iya," sahut Aldebaran. "Kedua lukisan ini cuma ada satu di dunia dan
Wajah Aldebaran masam. Dia melihat Ahmed membuang ludah di sampingnya. Aldebaran mengepalkan kedua tangan kuat-kuat. Dia hendak meraih leher satpam, tetapi niatnya terhalang setelah mendengar seseorang berteriak. Muncul pria jangkung dari dalam rumah. "Udin!" panggil si pria jangkung. "Apaan?" sahut Ahmed. "Ganggu aja!"Si pria jangkung mendekati Ahmed. "Tamu penting Tuan Besar udah dateng belum?" Ahmed mulai mencurigai Aldebaran. "Namanya siapa? Dari tadi nggak ada tamu yang dateng.""Kalau nggak salah, namanya Aldebaran Kellendra," sahut si jangkung. Ahmed tercengang. "Hah?!"Kedua mata Ahmed mengarah kepada Aldebaran. Pria jangkung pun mengikuti arah pandang Ahmed dan dia mengerti. Aldebaran yakin, Ahmed sudah tahu identitasnya sebagai tamu penting Adi Wijaya. Jangkung mendekati Aldebaran. "Apa kamu Aldebaran Kellendra?""Iya," jawab Aldebaran, santai."Ayo cepat ikuti saya! Tuan Besar Adi udah nunggu kamu dari tadi pagi."Aldebaran tidak banyak berbicara. Dia menyeringai p
"Jakarta, aku datang!" Aldebaran Kellendra. Nama itu adalah identitas Abraham Malik yang baru. Pukul 06:20 pagi. Perjalanan dari Surabaya ke Jakarta hanya memakan waktu 1 jam lebih. Selama di perjalanan, Aldebaran tidak bisa memejamkan mata. Dia terus menerka-nerka kehidupan ibukota yang kata orang penuh warna.Pesawat sudah mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Aldebaran berada di kabin kelas bisnis. Dia melepaskan sabuk pengaman. Lalu, meraih ponsel. Aldebaran merasa ada seseorang sedang memperhatikannya. Dengan ditunggangi rasa penasaran, dia pun menoleh ke sisi kiri. "Aduhai, cantik banget!" Aldebaran memekik terkejut. Seorang gadis berusia 18 tahun menatapnya. Jantung Aldebaran berdebar kencang. Tanpa disadari, Aldebaran menyebutkan ciri-ciri fisik si gadis. "Bola mata dan rambut panjang berwarna coklat. Hidung mancung dan kulitnya putih banget. Dia tinggi dan ramping."Selama 3 tahun berada di tempat pelatihan militer, Aldebaran belum pernah melihat gadis canti
"Komandan ngapain manggil aku?"Seorang pria berdiri di depan kantor sang komandan di pelatihan tembak, Surabaya. Dia memakai pakaian hitam lengkap dengan baret ungu di kepalanya.Dia merapikan pakaian sebentar, lalu mengetuk pintunya. "Masuk!" Setelah mendengar sahutan dari dalam, dia segera membuka pintu. Dia melangkah masuk mendekati sang komandan yang berdiri membelakanginya.Sang komandan berbalik. "Abraham Malik!" panggil Erick Sanjaya.Abraham Malik, 21 tahun. Dia memiliki perawakan ideal sebagai syarat masuk ke sekolah militer. Tingginya 185 cm dan berat badan 65 kg.Reflek, Abraham menjawab dengan lantang. "Siap, Komandan!" Dia menatap Erick. "Benarkah Anda memanggil saya?""Kamu sudah dua tahun mengikuti sekolah militer di sini. Kamu juga sudah mengikuti latihan pasukan khusus. Apa kamu puas dengan prestasi yang telah tercapai dalam satu tahun ini?""Maaf, Komandan. Meskipun saya mengikuti latihan pasukan khusus, tapi saya bergabung di pasukan ini baru satu tahun."Abraha