"Tuan King!"Louis memanggil Aldebaran. Dia adalah tangan kanan Raj yang akan membantu misi Aldebaran.Pesawat jet pribadi Chua Henry Yuan mendarat di bandar udara pribadinya sekitar satu jam lalu. Sekarang, Aldebaran telah berada di dalam mobil bersama Louis. Sedangkan kedua kliennya menunggu Aldebaran di rumah pribadi Chua. Atas perintah Chua, Raj mentransfer uang muka yang telah mereka sepakati ke rekening pribadi Aldebaran. Sisanya akan ditransfer kemudian setelah misi selesai. Aldebaran duduk santai di samping Louis. "Ya?"Louis memberikan senjata kepada Aldebaran. "Sesuai dengan arahan informan, target berada di dalam mobil mewah berwarna silver. Dipastikan itu adalah kendaraan satu-satunya yang akan melewati jalan ini menuju ke Bishan."Seorang informan berkata bahwa komandan angkatan darat yang akan menjadi target Aldebaran sedang dalam perjalanan ke lokasi pelatihan militer di Bishan, region tengah wilayah negara Singapura. "Sepanjang jalan ini sudah kami sterilkan," kata
"Hah?! Apa ini? Tiketku di mana?!"Aldebaran telah sampai di bandar udara internasional Changi. Sambil berjalan menuju pemeriksaan imigrasi, dia mencari tiketnya.Aldebaran mengambil secarik kertas biru yang terselip di paspor."Queensland, Australia?"Aldebaran langsung membacanya. Tidak lama kemudian, ponselnya bergetar. Aldebaran ragu-ragu sejenak saat melihat nomor asing di layar handphone. Namun, dia tetap menerima panggilan telepon masuk dari nomor tidak dikenal."Ya?""Kok lama banget angkat teleponnya?"Aldebaran mengerutkan kening. Dia sepertinya mengenal suara lawan bicaranya. "Anda siapa?" tanya Aldebaran."Selamat atas keberhasilan misi pertama, Tuan King. Aku ini broker kamu."Aldebaran menghela napas. "Pak Agam?"Aldebaran duduk di kursi yang tersedia. Dia memperhatikan area di sekitarnya. "Kenapa, Pak?" tanya Aldebaran lagi.Agam bertanya, "Kamu udah lihat tujuan selanjutnya?" "Queensland, Australia? Apa ini perintah kamu, Pak Agam?" "Hahahaha!" Agam tertawa. "Buka
"Kayaknya aku harus jalin kerja sama dengan Tuan King,' pikir Louis. 'Sesuai dengan perkataan Tuan Raj, pria sombong ini punya banyak pengetahuan.'Louis semakin penasaran dengan Aldebaran. "Terus, apa lagi kamu ketahui tentang tempat itu?" "Nggak ada." Aldebaran tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.'Cih! Kamu pikir aku bodoh?!' Aldebaran mencemooh Louis di dalam hati. 'Apapun yang aku tau, aku nggak akan ngasih tau ke orang lain.'Louis meletakkan selembar foto di atas meja. "Target kamu sekarang Komandan Angkatan Udara Singapura."Aldebaran mengambil foto dan mendengus dingin. Itu adalah foto ketiga komandan.Aldebaran memperhatikan satu persatu wajah pria berpakaian dinas lengkap. "Singapura punya 3 Komandan Angkatan Udara. Apa ketiganya adalah targetku?"Louis tertawa lagi. "Hahahaha! Apa kamu tau, siapa aja mereka?"Aldebaran tersenyum tipis. "Ya, udah pasti aku kenal mereka. Siapa yang nggak kenal orang-orang sehebat mereka?!"Louis menyandarkan tubuhnya. "Target kamu Gerald Lim
"Aarrggghhh!"Aldebaran berteriak pilu. Keningnya dipenuhi dengan peluh. Tidak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu di ruang tidur."Tuan King, kenapa kamu berteriak?" Louis datang bersama 4 orang anak buahnya. Dia mengetuk pintu ruang tidur berulang kali. Dia panik dan wajahnya memucat. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada Aldebaran. Melanie yang berdiri di sebelah Louis berteriak, "Tuan King, cepat buku pintunya!" Louis menoleh ke salah satu awak kabin. "Ada kunci cadangannya, nggak? Kalo nggak ada, buka paksa pintunya!" perintah Louis. "Baik."Awak kabin segera mencoba membuka pintu. Tidak lama, pintu pun terbuka. Louis masuk. Suasana gelap langsung terasa. Louis tidak melihat Aldebaran. "Nyalakan lampu!" Begitu lampu menyala, Louis dan anak buahnya melihat Aldebaran tertidur dengan bertelanjang dada. Wajahnya dipenuhi keringat. Tapi, hal yang menjadi pusat perhatian bukan tubuh gagah Aldebaran, melainkan gelang cantik yang digenggam tangan kanannya.Louis menghampi
"Tuan King, aku mau pastiin satu kali lagi."Louis mengamati gerak-gerik Aldebaran yang terlihat sangat tenang. Dalam 20 menit ke depan, pesawat akan mendarat di bandar udara internasional Cairns Queensland, Australia. Aldebaran sudah memasang sabuk pengaman. Begitu juga dengan Louis. Aldebaran mengamati jam tangannya. "Kenapa?" "Kamu yakin beneran kenal target?"Aldebaran menatap Louis sinis. "Iya. Aku kenal semua Komandan angkatan udara Singapura dengan baik."Aldebaran tidak pernah peduli dengan pandangan orang lain tentangnya. Karena sejak pertikaiannya dengan Banu, dia lebih mempercayai dirinya sendiri. "Tapi, di mana kamu kenal mereka?" tanya Louse, berharap Aldebaran ingin memberitahukannya. "Edzard Chang; pria dingin berkepala botak tanpa jari manis dan jari kelingking tangan kiri. Dia punya luka bakar di lengan kiri. Gara-gara main rotor dan drive shave helikopter yang dikendalikannya nggak berfungsi dengan baik saat percobaan helikopter baru di Townsville."Aldebaran mu
"Aku jamin, itu pasti aman."Peter menatap Aldebaran sungguh-sungguh. Dia sudah lama berada di sisi Gerald, jadi dia pasti tahu kebiasaannya. Karena melihat Aldebaran tidak bereaksi, Peter menambahkan, "Tenang aja, Tuan King! Mr. Gerald selalu duduk di sisi pilot.""Oke," sahut Aldebaran. Dia mengganti pakaian. Tidak lama kemudian, Aldebaran sudah mengenakan seragam pilot berwarna hijau tentara lengkap dengan topinya. "Ada masker nggak, Tuan Peter?" tanya Aldebaran. "Karena aku selalu pakai masker saat jadi pilot.""Aku akan suruh Ben pergi ke minimarket untuk beli masker." Kemudian, Peter memanggil seseorang. "Ben, cepet ke sini!"Seorang pria berkebangsaan Afrika datang dengan wajah sumringah. "Ya, Tuan Peter?""Ben, pergilah ke minimarket sekarang! Beli masker untuk Tuan King," kata Peter, memberikan perintah. "Baik." Saat Ben hendak melangkah, Peter menghentikannya."Tunggu, Ben!" teriak Peter. "Kenalin, dia Tuan Kingーtamu kita."Ben menatap Aldebaran. "Hai, Tuan King. Aku B
"Aku nggak suka bicara sama orang asing."Ben menghentikan langkah. Lalu, menatap Aldebaran tajam. Jelas sekali di raut wajahnya kalau dia tidak menyukai Aldebaran. Aldebaran mendengus dingin. "Aku juga nggak suka ngomong sama orang asing. Tapi, aku ngerasa, kamu orang yang kukenal di tempat latihan militer dulu."Ben menyipitkan mata, berusaha mencoba mengenali Aldebaran."Cedric Bakambu," kata Aldebaran, yakin. "Kamu berasal dari Kongo dan punya nama punggung Bambu Runcing. Bener, nggak?"Ben gelagapan. "Kaーkamu ... siapa kamu sebenernya?" "Aku nggak mungkin salah orang, kan?" tanya Aldebaran lagi. Ben mencengkeram leher Aldebaran. "Aku tanya sekali lagi. Siapa kamu, Tuan King?!"Ben gusar ketika tahu bahwa Aldebaran mengetahui identitas aslinya. Pasalnya, selama ini tidak ada yang tahu asal-usul dirinya, selain Peter Colinーatasannya sekaligus tangan kanan Gerald Lim. Aldebaran bersikap tenang. "Ben, kamu lupa sama penolongmu saat hujan di tempat pelatihan militer Surabaya?""Su
"Victoria, Tuan Gerald."Aldebaran menjawab tanpa mengalihkan memfokuskan pandangannya. "Pantas Anda tidak asing dengan wilayah ini." Gerald melihat-lihat pemandangan alam dari tempatnya. Suasana hening sesaat. Aldebaran dengan sikap acuh tak acuhnya mengesampingkan Gerald. Tiba-tiba, suara Gerald memecahkan keheningan. "Peter, apa kamu sudah menghukum seluruh anggota yang tidak menjalankan perintah saya?"Perintah? Perintah apa yang Gerald maksudkan? Mengapa dia ingin menghukum seluruh anggotanya? Dan, hukuman seperti apa yang dia inginkan?Semua itu adalah pikiran Aldebaran. Dia menahan diri dari rasa penasaran."Ya. Saya sudah menghukum mereka semua sesuai dengan instruksi Anda, Tuan Gerald."Jawaban Peter membuat Gerald tertawa. "Bagus," katanya. "Mereka pantas mendapatkannya."Mendengar suara tawa Gerald, Aldebaran menjadi semakin penasaran. Dia berencana akan menanyakannya langsung kepada Ben. Setelah berada di udara agak lama, akhirnya Aldebaran melihat sebuah bentuk lingka
"Asal kamu tau, itu adalah kegagalan pertama dalam hidupku selama jadi sniper bayaran."Kata-kata Ron barusan menyadarkan Aldebaran dari lamunannya. Aldebaran masih tidak percaya dengan kenyataan. Sambil menatap Ron, Aldebaran berpikir, 'Jadi, sniper yang aku lihat di gedung pencakar langit itu adalah Red Devil alias Ronald Syahputra?! Nggak bisa! Aku nggak bisa biarin seseorang mengincar nyawa Zoya.'Bruk!Ron melepaskan cengkeramannya. "Kamu mau tau, apa yang akan aku lakuin dengan uang sebanyak itu?!"Aldebaran tidak bersuara. Itu karena benaknya dipenuhi oleh sosok Zoya. Hatinya benar-benar gelisah mendengar pengakuan Ron tadi. "Aku mau pensiun dari pekerjaan laknat ini," kata Ron, selanjutnya. Kini, tatapan Aldebaran dan Ron beradu. "Serius?!" tanya Aldebaran.Ron tidak menjawab. Dia menatap Aldebaran dalam diam. Aldebaran mendekati mobil Ron, lalu menendang ban bagian belakang. "Heh, kamu ngapain?!" tegur Ron. "Ban mobil kamu kurang angin," jawab Aldebaran, santai. Ron se
Aldebaran membalikkan badan. Dia melihat Ron berdiri sambil memperlihatkan wajahnya yang masam."Ron? Aku dari tadi siang nyari kamu ke apartemen. Tapi, kamu nggak ada. Kamu ke mana aja?"Aldebaran berdiri. Dia merasa ada yang tidak biasa pada Ron. Kawannya itu menjadi lebih pendiam daripada sebelumnya. Alis Aldebaran berkerut. "Kamu kenapa?" "Ikut aku ke luar!" ajak Ron. Dia berjalan lebih dulu. Tanpa banyak berpikir, Aldebaran mengeluarkan beberapa uang lembaran ratusan ribu. Dia meletakkan di atas meja."Ini bayar minuman dan uang muka. Lakuin tugas pertama kamu dengan baik!"Setelah melihat Nico mengambil uang itu, Aldebaran bergegas pergi menyusul Ron. Begitu sampai di luar, Ron masih terdiam. Aldebaran gregeten.Aldebaran bertanya, "Ron, kita udah di luar. Kamu kok tumben diem aja?"Aldebaran hendak merangkul pundak Ron. Namun tiba-tiba, Ron berbalik dan memukulnya.Buk! Buk! Buk!Ron melayangkan beberapa pukulan ke wajah Aldebaran. Aldebaran tidak sempat menghindar. Tubuh
Setelah menyerahkan Shania kepada bodyguard keluarga Raga Alexander, Aldebaran tertidur. Dahi dan punggungnya banjir keringat. Dia bermimpi buruk tentang Zoya. Tidak lama, Aldebaran terbangun. Dia turun dari ranjang, lalu membuka laci kecil. Dia mencari-cari gelang milik Zoya. "Zoya, apa kamu baik-baik aja? Aku akan cari cara supaya bisa jaga kamu terus."Aldebaran menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 11:00 malam waktu Jakarta. Dia mencuci wajah dan berganti pakaian yang lebih kasual. "Malem ini, aku mau nyari Ron lagi di klub malam. Kali aja dia ada di sana."Tidak lama, Aldebaran sudah menyetir mobil barunya menuju Klub Malam Jenja. ***Tidak sampai satu jam, Aldebaran sudah sampai di tempat tujuan. Dia keluar dari mobil dengan santai. "Sebenernya, aku benci tempat ini. Tapi, apa boleh buat? Ron pasti ada di sini."Semua mata memandang Aldebaran. Tatapan orang-orang bercampur antara penasaran dan kagum. Bagaimana pun juga, Aldebaran masih muda. Wajahnya tampan dan mobil e
"Apa?! Tadi kamu bilang apa?! Keluarga kita?!"Amanda semakin naik pitam setelah mendengar perkataan Shania.Semua orang tercengang melihat kejadian menghebohkan di showroom. Sebagian dari mereka berbisik-bisik dan sebagian lagi merekam kejadian itu. Plak!Masih dengan hobi yang sama, lagi-lagi Amanda mendaratkan tamparannya di pipi orang lain. Dan kali ini, korbannya adalah Shania. "Nona, apa yang kamu lakukan?" Aldebaran menarik Shania ke sisinya. Amanda menatap Aldebaran sinis. "Kedua mata kamu masih berfungsi, kan?!""Maksudnya?!" Aldebaran balik bertanya. "Nggak perlu banyak tanya. Seharusnya kamu tahu, apa yang aku lakuin Kak Shania! Cewek murahan ini adalah anak kandung dari seorang pembunuh. Ya, Ayahnya ... Paman Raga adalah seorang pembunuh."Shania tidak tahan lagi, dia berteriak, "Cukup, Manda!" Shania menangis. "Aku nggak tau, kalo Ayahku kayak gitu. Tapi, Ayahku nggak mungkin kayak gitu."Shania mengulurkan tangan kepada Amanda. "Jangan asal tuduh, Manda! Kasih aku bu
Deretan mobil mewah memenuhi showroom yang masih berlokasi di kawasan jalan haji Nawi 1 Jakarta Selatan. Aldebaran melihat satu persatu koleksi mobil mewah keluaran terbaru ditemani oleh Shania. "Silakan dilihat-lihat dulu, Mas!" seru pria berdasi yang berdiri di samping Aldebaran. "Ya," sahut Aldebaran. Lalu, dia berpaling pada Shania. "Apa mobil yang ini cocok buatku?" Aldebaran menunjuk satu mobil sport dua pintu buatan Jerman dengan logo biru putih yang melingkar. Mobil pilihan Aldebaran berwarna merah. Shania terkesiap mendengar pertanyaan Aldebaran. Pasalnya, dia juga memiliki satu mobil yang sama di garasi rumahnya. "Aーaku ...." Pria berdasi berkata, "Tuan, mobil ini adalah unit ke-4 dan baru aja tiba pagi tadi."Aldebaran mengernyit. "Maksudnya?" "Maksud saya adalah mobil ini hanya ada 7 unit di dunia, termasuk 4 unit di Indonesia." Pria berdasi menjelaskan dengan sabar. Aldebaran bertanya, "Siapa aja yang memilikinya di Indonesia?" "Dua diantaranya dimiliki oleh ....
"Silakan, Tuan Kells!" Shania mempersilakan. Setelah selesai makan, Shania mengajak Aldebaran ke pameran apartemen. "Ini adalah apartemen tipe A yaitu tipe studio."Aldebaran memperhatikan beberapa contoh apartemen yang diperlihatkan Shania. Seorang wanita gemuk dengan rambut dicepol dan make up tebal menghampiri Shania. Dia adalah Dara, atasan Shania. "Shania!" panggil Dara, ketus. Shania menoleh. "Ya, Bu?" "Cepet ke sini!" perintah Dara. Shania berkata, "Tuan, silakan lihat-lihat dulu! Saya akan kembali sebentar lagi."Aldebaran mengangguk. Sania pergi menghampiri Dara ke sudut. Dia melihat wajah masam Dara. Dara bertolak pinggang. "Kenapa kamu bawa calon pembeli kayak dia?""Maksudnya Ibu?" Dara menghela napas. Dia menunjuk Aldebaran. "Lihat aja penampilannya!"Shania akhirnya mengerti. "Bu, kita nggak bisa nilai seseorang dari penampilan luar aja. Karena banyak orang kaya yang hidup sederhana. Jadi, jangan sampai kita tertipu dengan penampilannya, Bu!""Halah, kamu tau ap
"Oh, Leo!" seru Amanda dengan santai. "Kamu tau apa tentang keluargaku, hah?!" Karena tinggi Amanda tidak sepadan dengan Aldebaran, dia berjinjit mengulurkan tangan. Amanda meraih topi Aldebaran. "Hei, jangan lancang!" tegur Aldebaran. Namun, terlambat! Amanda dengan mudahnya melepaskan topi Aldebaran. Sekarang, Amanda sudah mengenali sosok pria yang berdiri di hadapannya. "Aku udah tau, kalo itu kamu." Amanda menunjuk Aldebaran. "Kamu mau ngapain ke sini? Ini apartemen orang-orang kaya." Mata Amanda menatap Aldebaran lekat-lekat. Kemudian, muncul ekspresi yang tidak biasa. "Oh, aku tau. Kamu pasti kerja jadi tukang bersih-bersih di sini, kan?" Aldebaran menghela napas. Dia tidak ingin ambil pusing dengan pernyataan Amanda yang menghinanya. "Sini topiku!" pinta Aldebaran. Amanda mengabaikan Aldebaran. Dia justru semakin mendekatinya. "Kenapa kamu nggak jawab aku?" tanya Amanda. Melihat Aldebaran hanya terdiam, Amanda semakin penasaran dibuatnya. "Kamu ke mana aja?
"Aku nggak ingat, Pa," sahut Zoya. "Karena saat itu, aku ketakutan."Sultan tidak puas dengan jawaban anaknya. Maka, dia bertanya lagi. "Terus, apa yang dia lakuin sama kamu?"Zoya mencoba mengingat-ingat. "Dia menggandeng tanganku dan ajak aku lari dari sana. Tapi tiba-tiba, aku pingsan. Saat terbangun, aku udah di sini.""Sayang sekali, Zoya," kata Sultan. "Papa akan cari tau laki-laki itu dan mengucapkan terima kasih.""Jangan lupa kasih tau aku, Pa!"Sultan mengangguk. "Apa dia masih muda?""Iya. Kenapa, Pa?" Zoya merasa ayahnya ini sedang merencanakan sesuatu untuk si pria. "Kalo dia masih muda, Papa akan mempekerjakan dia sebagai bodyguard kamu," kata Sultan. "Kamu setuju, nggak? Karena kamu butuh bodyguard, Zoya."Jantung Aldebaran kembali berdebar mendengarnya. Dia ingin tahu respon Zoya. "Nggak tau, Pa," jawab Zoya, ragu. Aldebaran kecewa mendengarnya. Dia akan mencari cara agar bisa berada di dekat Zoya. Dia ingin memastikan keamanan Zoya sekaligus menebus rasa bersalah
"Apa?! Jadi, dia menyaksikan Kakaknya tertembak? Kasihan sekali dia! Pantas saja tubuhnya bergetar."Dokter berkata apa adanya. Dokter dan Aldebaran sama-sama menatap Zoya yang terbaring lemah menutup matanya. "Lalu, bagaimana kondisinya?" tanya Aldebaran. Dokter berkata, "Saya sudah memberikan obat penenang. Dia akan tertidur. Saya harap, orang-orang terdekatnya bisa menjaga dia dengan baik.""Terima kasih, Dok," ucap Aldebaran. "Orang tuanya akan datang sebentar lagi. Bisakah Anda menolong saya?""Apa yang bisa saya bantu?" tanya Dokter. "Saya sedang mengejar pesawat yang akan berangkat 2 jam lagi. Tolong jaga Nona ini sampai orang tuanya datang!"Dokter tersenyum. "Jangan khawatir! Suster akan menjaganya."Aldebaran lega. Dia menyerahkan ponsel Zoya kepada dokter, lalu bergegas pergi.Aldebaran keluar dari ruang IGD. Dia berjalan menuju taman rumah sakit. Dia tidak pergi dari sana, tetapi mencari tempat aman untuk memastikan keluarga Alexander datang. "Tempat yang bagus untuk i