"Nia, ada yang akan datang ke rumah kita malam ini, cepat pulang ya, Nak!"
Kata-kata mama Anita selalu terngiang-ngiang di dalam benakku, padahal ada setumpuk pekerjaan yang harus ku segerakan di meja kerjaku dimana deadline dua jam lagi. Terlebih lagi dengan sikap protektif mama. Beliau berkali-kali menghubungiku, dengan sebuah kata yang mengingatkan agar aku tidak berkeliaran sepulang dari kantor. Sungguh, kata yang membuatku semakin tidak ingin pulang ke rumah hari ini. Aku sangat yakin kalau mama akan menjodohkan ku lagi dengan seseorang. Tidak sekali dua kali, bahkan hampir setiap bulan ada saja lelaki yang beliau kenalkan kepadaku. Bahkan, mama tergolong lebih gencar mencarikan pasangan untukku dari pada diriku sendiri, hingga ada suatu ketika sebuah celetukan yang terucap dari mulut orang lain, "Itu yang mau nikah mamanya apa anaknya?" Sungguh, bagi orang lain usia dua puluh tujuh tahun adalah usia yang sudah sangat matang untuk seorang wanita menikah, apalagi sebagai gadis yang tinggal di kampung dimana memang melihat seorang wanita yang belum menikah sebagai aib. Bagi mereka, usiaku adalah usia yang rentan mendapatkan ejekan dari lingkungan di sekitarku, karena tidak menikah dianggap tidak laku bagi mereka. Seperti sebuah barang kadaluarsa , aku seperti tidak bernilai dan tidak ada harganya bagi mereka. Wajah yang cantik dan awet muda dengan karir yang cemerlang tidak menjamin seorang wanita akan menikah di usia muda, karena terkadang rutinitas pekerjaan membuat diri ini lupa kalau usia sudah tidak lagi muda. "Bosan ah!" Ku hempaskan satu map ke map yang lainnya. Aku bangkir dari tempat dudukku, berjalan cepat meninggalkan segudang pekerjaan itu, keluar dari ruangan untuk mencari udara segar agar pikiranku kembali jernih. Ku bentangkan kedua tangan dengan mata tertutup sembari menghirup udara segar yang menyatu bersama hembusan angin. Ya, setidaknya udara segar yang dihasilkan oleh tanaman hijau di sekitar lingkungan kerja, cukup membuat pikiranku seperti terisi daya lagi. "Kania, Kania ...." Teriakan yang cukup membuat kesenanganku terganggu untuk sementara. Entah mengapa, saat ini dunia seolah tidak berpihak padaku. Ada saja hal-hal yang mengganggu ketenanganku, hingga mood ini menjadi tidak baik lagi. Namun, kali ini aku memilih mengabaikan suara itu, tapi lama kelamaan suara itu terdengar semakin dekat denganku. "Ngapain bengong disini? Ntar kesambet loh!" Suara yang tidak asing itu membuatku mencari sumber suara itu. Sebuah senyum manis terpancar jelas dari wajah tampan Aryaguna Wiratmaja, lelaki dua puluh empat tahun itu menutup kaca mobilnya hingga membuatku ingin menghampirinya. Dialah lelaki yang sejak tiga tahun terakhir menjadi malaikatku. Lelaki terbaik yang selalu ada di setiap suka dan duka ku, lelaki hebat yang menjadi sandaran hatiku, tempat mengadu dan mencurahkan semua isi hatiku. Lelaki tampan itu keluar dari mobil sport berwarna biru miliknya dengan penampilan rapi dan gagah rupawan yang mempesona. Ia seorang pengusaha muda yang sedang merintis karir di bidang fashion dengan bisnis yang saat ini sedang berkembang pesat saat ini. "Jelek, ada apa? Kenapa wajahnya murung begitu?" ucap Arya sembari mencubit hidungku yang sangat jauh dari kata mancung. Tetesan air mata yang sedari tadi ku bendung akhirnya tercurahkan juga. Entah mengapa, kedatangan Arya malah membuatku semakin ingin menangis sejadi-jadinya. Aku ingin mengadu dan mencurahkan semua beban yang tengah ku tanggung kepadanya. Rasanya aku ingin bersandar di bahunya dan aku ingin ia membantuku keluar dari masalahku saat ini. "Arya, sepertinya Mama akan menjodohkan ku lagi," ucapku serak dalam isak tangisan. "Paling nanti gagal lagi, Jelek." Celotehan lelaki dengan tinggi 170 cm dengan kulit putih itu cukup menghiburku, aku tertawa di dalam tangisku. Memang ini bukan kali pertama aku bercerita tentang perjodohan dengan Arya, hingga lelaki tampan itu mulai paham dan mengerti tentang problem yang tengah kurasakan sekarang. "Sudah ah, jangan cengeng, yuk jalan!" Arya menarik tanganku, membawaku berjalan memasuki mobilnya, namun aku tidak ingin kemana-mana sekang, karena keadaanku dalam kondisi mood yang kurang baik. "Aku ingin pulang," tolak ku lembut sembari melepaskan tanganku dari tangan Arya. "Tapi jam kerja masih sejam lagi," ucap Arya sembari melihat arlojinya. "Aku hanya ingin pulang." "Sini, biar aku antar!" Arya menggenggam tanganku kembali dan berniat mengantarkan aku pulang ke rumah, tapi aku tidak ingin ia mengantarku karena aku tidak ingin mengajak lelaki yang bukan calon suami ke rumahku. Prinsip ini adalah harga mati dan sudah kupegang erat sejak lama. Bagiku Arya seperti seorang sahabat, teman dan malaikat yang mengayomi ku. Bahkan, walaupun usianya terbilang lebih muda dariku, tapi kedewasaan sikapnya membuatku merasa sangat nyaman untuk sekedar bercerita dengannya. Arya memiliki energi luar biasa yang membuat wanita sepertiku seperti terhipnotis, ia seperti magnet yang membuatku lengket dan bergantung kepadanya, bahkan hanya dengan menatap wajahnya saja hatiku sudah merasa teramat sangat bahagia. "Aku pulang sendiri saja." Dengan gerakan sigap, aku melepaskan genggaman tangan Arya. Namun, lelaki itu tidak akan diam saja, ia pasti mengikuti langkah kakiku. Jadi, aku memilih mempercepat langkah dua kali lipat darinya, berlari ke parkiran dan langsung mengendarai sepeda motorku dengan kecepatan 60 km/jam. Ya, walaupun aku harus bolos beberapa menit dari jam kerja, bahkan meninggalkan tas kerjaku, setidaknya saat ini aku ingin menghindari Arya. Selain itu agar mama Anita tidak terus-terusan meneleponku. "Nia, tunggu!" Teriakan Arya tidak ku hiraukan, karena aku harus cepat sampai di rumah agar kedua orang tuaku tidak khawatir. "Nanti aku telepon," ucap Arya lagi. Aku terus melajukan kendaraanku hingga dalam tiga puluh menit sampailah aku di depan rumahku. Ku parkirkan motor matic kesayanganku, membuka helm berwarna merah muda yang selalu menemaniku, sebelum akhirnya berlari menuju kamar. High hells yang ku kenakan tidak menghalangi langkahku untuk terus melangkah, karena baju dinas yang ku kenakan terasa sangat gerah. Aku ingin segera mandi dan bersemedi di kamar untuk menghindari perbincangan dengan mama. Tapi, mama tidak akan tinggal diam, dengan berbagai cara beliau akan mencari cara untuk mengobrol denganku. Tok ..., Tok ..., Tok .... Sesuai dugaanku, dalam sepuluh menit terdengar olehku mama mengetuk pintu kamarku, tapi kali ini aku bersikap tidak peduli. Aku segera membaringkan tubuhku di ranjang, menutup seluruh tubuhku dengan selimut dan pura-pura memejamkan mata seolah tidak mendengar panggilan dari orang tuaku. Untuk saat ini aku tidak ingin bertemu dengan siapapun termasuk keluargaku, aku hanya ingin mengurung diriku di kamar dengan membawa sejuta kesedihan bersamaku. 'Maafkan Nia, Mama.' Ada rasa bersalah di dalam hati ini karena telah mengabaikan orang tuaku. Namun, ini adalah salah satu bentuk penolakan secara tidak langsung atas ketidaksukaan ku atas perjodohan orang tuaku. "Kania, Mama tahu kamu belum tidur, Nak, apa kamu bisa keluar? Mama dan Papa ingin berbicara," ucap mama lembut namun terdengar sangat tegas sekali. Bagaimanapun aku adalah seorang anak dan aku tidak ingin menjadi anak durhaka yang tidak patuh kepada orang tua. Tapi keegoisan membuatku menjadi tinggi hati, aku mengurung diri di kamar tanpa menghiraukan panggilan orang tuaku. Sejam berlalu, mama Anita akhirnya masuk ke kamarku dengan rasa kecewa yang ia bawa bersamanya. Sementara aku, aku menjadi anak yang keras hati, ku palingkan tubuhku menghadap ke dinding dan aku sama sekali tidak ingin melihat wajah mamaku. "Nia, Mama tahu kamu belum tidur, tapi satu hal yang harus kamu kalau Ustadz Fahri adalah lelaki yang tepat untuk menjadi suamimu, bukan si Arya, lelaki yang hanya memberikan harapan dan memanfaatkan mu saja!" -Bersambung- Hai readers, selamat datang dibuku pertama aku di goodnovel, semoga pada suka ya. Cerita ini diambil dari kisah dan fenomena yang sering terjadi di masyarakat kita, selamat membaca dan semoga pada suka ya!Ucapan yang keluar dari lisan mama Anita membuat darahku mendidih. Rasanya terlalu sesak dan panas disini. Tubuhku langsung merespon amarah, aku bangkit dari pembaringanku dengan wajah memerah penuh amarah, karena tidak terima jika lelaki yang ku anggap malaikat dijelekkan walaupun oleh mamaku sendiri. "Mama, dimana Mama mengenal Arya? Kenapa Mama bisa beranggapan kalau Arya adalah lelaki yang jahat?" protes ku dengan nada suara bergetar. Ku tantang mama dengan mata melotot, namun butiran kristal-kristal bening ikut menyertai, air itu jatuh membasahi pipiku. "Nak, apa yang kamu harapkan dari Arya? Lelaki itu tidak mencintaimu, bahkan ia mengatakan kalau ia tidak mengenalmu, ia hanya memaanfaatkanmu, Nak!" Dengan suara serak dan mata berkaca-kaca juga, mama Anita menyampaikan kata-kata yang bertentangan dengan batinku. Arya bukanlah lelaki jahat seperti yang mama Anita tuduhkan, Arya tidak pernah memanfaatkan ku, Arya juga tidak pernah mempermainkan perasaanku, ia adalah malaikat ya
"Sayang, kenapa tidak memakai baju yang Mama pilihkan?" bisik mama Anita yang tidak ku hiraukan. Walaupun hati kecilku sangat tahu kalau hati mama terluka karena perangaiku yang tidak menghargai pilihan beliau. Mama Anita menggandeng tanganku untuk duduk di samping beliau, kemudian dengan sangat ramah dan sopan papa Gunawan memperkenalkanku sebagai putrinya. "Perkenalkan Bapak Kyai, Ummi Salamah, Ustadz Fahri, ini anak kami Kania." Papa memperkenalkanku dengan bangga sebagai anak perempuan kesayangan dan kebanggaannya kepada keluarga yang terlihat baik yang duduk berhadapan dengan keluarga kami. Tapi durhakanya aku, aku tidak memberikan salam apapun kepada tamu yang datang kecuali sebuah senyum tipis yang terpaksa. Ya, aku melihat keluarga yang datang adalah keluarga yang sangat alim dan paham agama, jadi tentu saja aku bisa mengelak kalau bersentuhan tangan antara seorang muslim yang tidak muhrim itu tidak diperbolehkan. Aku seperti manusia yang sombong dan angkuh, ilmu dan pemah
"Terserah Mama saja!" Tanpa sopan santun, aku langsung bangkit dari tempat dudukku, memasang wajah masam dengan sejuta amarah yang kubawa bersamaku. Aku berjalan cepat tanpa melihat kemanapun, karena yang kupikirkan sekarang hanyalah kabur dari perdebatan panjang. Ya, dengan kekesalan di hati, ku banting pintu kamarku dengan keras. Ku hempaskan tubuhku ke ranjang yang terasa seperti semak berduri. Aku memilih egois, mengurung diri di kamar dan tidak ingin menemui siapapun, aku hanya ingin tidur dan memejamkan mataku agar aku bisa melupakan kejadian hari ini, tapi semakin aku menutup mata semakin mata ini tidak ingin dipejamkan. Bahkan keadaan ini berlangsung hingga satu minggu, dimana aku seperti mayat hidup, antara hidup segan, mati tidak mau. Hari-hariku terasa sangat hampa dan tidak berdaya, bahkan ketika berada di kantor pun aku tidak berkonsentrasi bekerja sama sekali. [Jelek, jalan yuk!] Pesan singkat dari Arya kini tidak ku pedulikan. Pandanganku tertuju pada lang
Aku bukan anak durhaka yang akan menghancurkan hati dan perasaan kedua orang tuaku sebab memikirkan perasaanku sendiri. Aku juga sangat tahu karena surgaku di dunia adalah kedua orang tuaku, dimana restu Allah ada pada restu kedua orang tua dan murka Allah ada pada murka kedua orang tua. Namun bagaimanapun aku berpikir, tetap saja aku tidak bisa menjalankan ibadah terpanjang dengan lelaki yang tidak kusukai. Bagaimana mungkin aku akan melayani suamiku kelak sementara aku tidak bisa menatap wajahnya, bagaimana rumah tangga yang akan ku bangun kelak sementara aku tidak memiliki pondasi yang sangat kokoh untuk ditegakkan. Dilema hati membuatku tidak mampu melakukan apa-apa selain pasrah dengan ketetapan-Nya, karena segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan manusia sudah diatur oleh Allah di lauh mahfudz beratus-ratus tahun sebelum manusia terlahir ke dunia. Huft ... Aku menarik nafas panjang, dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, aku bangkit dari pembaringanku. Perlahan aku meng
Ada rasa bersalah di dalam hati ini karena aku telah menolak menemui calon mertua ku. "Maaf, Abi, Ummi, sepertinya Kania sudah tidur, sepertinya ia terlalu lelah karena seharian bekerja," ucapan yang keluar dari lisan mama Anita itu terdengar samar di telingaku. "Baiklah, kalau begitu kami pulang dulu, Bu Anita, Bapak Hermawan. Tapi tolong berikan cincin ini dan pasangkanlah cincin ini di jari manis Kania sebagai tanda kalau ia telah bertunangan," ucap ummi Halimah. "Baiklah, Ummi, terima kasih banyak." "Sampaikan salam kami kepada calon menantu kami," balas mama Anita ramah dan sangat sopan. Kini terdengar hiruk pikuk, sepertinya keluarga ustadz Fahri dan sanak saudaraku telah pamit ke rumah masing-masing, dan sekarang yang tertinggal adalah sebuah tanda bahwa aku telah bertunangan. Tok ..., Tok ..., Tok ... "Nia, Mama masuk ya, Nak!" ucap mama Anita yang masih tidak aku hiraukan. Mama duduk di ranjang ku, nafas beliau terdengar berat seolah sedang menahan banyak beba
Tiba-tiba saja aku memikirkan sesuatu tanpa berpikir panjang. Ya, bagaimanapun juga aku tidak ingin menikah dengan lelaki yang tidak aku cintai. Jadi ada solusi singkat yang menguntungkan ku., yaitu kabur dari rumah. Namun, tiba-tiba batinku membisikkan dua nasehat. Pertama, jika aku kabur dari rumah maka aku akan menjadi anak durhaka seperti Malin Kundang, dan yang kedua, aku akan membuat kedua orang tuaku malu dilingkungan sekitar karena anak gadis mereka kabur sebelum hari pernikahannya. Ya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana malunya keluargaku atas sikapku yang sama sekali tidak dewasa. Tapi, semakin aku memikirkan, semakin aku ingin lari dari masalah ini. Aku meraih ponsel ku kembali, mencoba menghubungi Arya, ingin bercerita dan berbagi banyak hal kepadanya terutama tentang dilema hati yang sedang ku hadapi saat ini. Namun, entah mengapa lelaki itu tidak mengangkat panggilan dariku, ia seperti hilang tertelan bumi, tanpa kabar berita apapun kepadaku, bahkan ia tidak menj
Arya memang lelaki yang sangat tidak suka melihat wanita lebay, menye-menye dan manja sepertiku, karena menurutnya wanita itu harus kuat dan pantang menyerah, jangan lemah dengan keadaan. Tapi, sebagai seorang wanita, air mata merupakan salah satu penghapus kesedihan untukku, dimana aku akan merasa lebih tenang dan damai setelah menumpahkan seluruh air mata yang jatuh membasahi pipiku. "A-aku ti-dak menangis!" ucap ku dengan nada suara terbata-bata. "Bagaimana bisa tidak menangis, toh air mata mengalir membasahi pipi. Kamu ahli banget berbohong, belajar dimana?" ujar Arya sembari mencubit hidungku yang memang sangat jauh dari kata mancung. "Ini mah kelilipan!" Aku mencibir hingga lelaki tampan yang ada di depanku tersenyum. Ya, untuk sesaat aku merasa sangat terhibur dengan ocehan-ocehan ringan yang keluar dari lisan Arya, hingga rasa sakit yang kurasakan hilang walau untuk sesaat. "Yuk berdiri!" ucap Arya sembari mengulurkan satu tangannya kepadaku. Aku diam sembari menund
Bruk ... Tamparan keras pintu membuatku syok. Spontan tangan ini langsung memegang dada yang bergetar luar biasa, bukan karena jatuh cinta tapi karena terkejut, seolah akan kena serangan jantung mendadak. "Kenapa sih dia, marah-marah nggak jelas." Arya memang suka sekali marah-marah tidak jelas, emosinya memang masih tidak stabil bahkan dalam keadaan seperti ini akulah yang selalu minta maaf dan membujuknya agar tidak merajuk. Umur memang tidak menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang, tapi umur juga mempengaruhi tingkat emosi seseorang, dan masalah kesenjangan usia beberapa tahun antara aku dan Arya membuat kami berdua sering kali saling salah paha karena pola pikir yang berbeda. "Arya tunggu!" Aku keluar dari mobil, berjalan pelan untuk mendekati lelaki yang sama sekali tidak ingin menoleh sedikitpun kepadaku. "Arya, kenapa sih sikapmu seperti anak-anak? Aku kesulitan berjalan." Dengan langkah kaki tertatih-tatih, aku terus berjalan menyusul lelaki yang egois itu. "A
"Kania, Mas yakin kamu akan mendapatkan lelaki terbaik dan terhebat seperti yang kamu harapkan selama ini. Ikhlaskan dia yang telah pergi dan buka hati untuk dia yang nantinya akan mengisi hari-harimu. Mas yakin, wanita baik sepertimu akan mendapatkan lelaki terbaik juga, karena jodoh adalah cermin diri, dan wanita baik-baik akan dipersatukan juga dengan lelaki baik-baik," ucap Arya menasihati ku.Kutatap lelaki itu dengan seksama, penuh kekaguman dan rasa syukur. Ya, akhirnya aku menyadari kalau Arya adalah sosok lelaki yang bisa mengayomiku, ia menasehatiku layaknya seorang kakak laki-laki kepada adiknya, melindungi dan menjagaku seperti saudaranya sendiri. Aku tahu, Arya adalah laki-laki. Ia memiliki naluriah laki-laki, sikap dan jiwa seorang lelaki yang mungkin saja mudah jatuh dan dimanfaatkan oleh wanita yang tidak benar-benar tulus mencintainya. Ia mungkin juga akan tergoda dengan wanita cantik dan seksi seperti sebelumnya, karena tantangan terbesar seorang lelaki yang telah su
"Ma, Bella terkagum-kagum dengan agama islam. Islam begitu memuliakan kedua orang tua dan Mama adalah surganya Bella."Bella bersujud dan mencium telapak kaki mamanya dengan tulus dan ikhlas. "Sayang, apa yang kamu lakukan? Jangan seperti ini, Sayang!" Mama Ratna membantu putri kesayangannya untuk bangun dan bangkit. Beliau memeluk putri kesayanggannya itu. Rasa haru dan bahagia memenuhi hati dan fikiran mama Ratna, betapa ia sangat bahagia dan bersyukur karena memiliki putri yang teramat sangat baik dan berbakti seperti Bella."Nak, kamu benar-benar permata dalam kehidupan Mama dan Papa. Maaf karena selama ini kami membiarkanmu tumbuh sendiri tanpa perhatian dan kasih sayang."Mama Ratna membelai lembut rambut putrinya, matanya mengisyaratkan sebuah penyesalan yang teramat sangat dan keinginan untuk membalas sesuatu yang telah hilang menjadi senyum kebahagiaan untuk Bella."Ma, apa Bella boleh nggak usah ke kantor dulu? Bella ingin fokus di rumah dan belajar agama. Biar Lara saja y
"Tentu jadi, Sayang, nanti kita packing dan membereskan semua perlengkapan travelling," ujar mama Ratna bersemangat."Ma, emangnya Papa mau libur ngantor?" Papa Herman juga salah seorang manusia yang sangat gila dan mencintai pekerjaan, hingga Bella ragu papanya bisa ikut jalan-jalan dengan mereka atau tidak."Tenang, Sayang, perusahaannya 'kan punya kita, jadi tidak ada alasan bagi Papa untuk menolak," terang mana Ratna.Papa Herman menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum melihat dua wanita yang sangat dicintainya itu terlihat bersangat untuk liburan di luar kota.Ya, memang benar, Bella dan keluarganya sudah lama sekali tidak liburan bersama. Setidaknya sakitnya Bella menjadi perekat hubungan keluarga Bella."Terima kasih, Papa." Bella tersenyum dan terlihat sangat bersemangat."Kalau begitu, sekarang Papa ke kantor dulu ya. Papa ingin menyiapkan semua berkas-berkas dan pekerjaan yang tertumpuk sekalian memberikan tugas untuk dikerjakan oleh sekretaris papa selama kita tid
Bella memeluk mama Ratna, ia tidak bisa berkata apa-apa karena saat ini yang bisa dilakukannya hanya menangis."Sayang, Mama ada untukmu."Mama Ratna menepuk-nepuk punggung putri kesayangannya sembari membelai rambut Bella dengan penuh cinta dan kasih sayang."Ma, apa kita boleh berjalan-jalan ke luar kota? Bella ingin sekali liburan dan menenangkan fikiran," ucap Bella lembut namun tersedu-sedu."Tentu boleh, Nak. Bella boleh pergi ke mana saja yang Bella inginkan. Apa kamu pengen ke luar negeri, Sayang?" Mama Ratna ingin mewujudkan semua keinginan anak kesayangannya karena yang terpenting baginya adalah Bella bisa kembali ceria lagi dan bisa tersenyum lagi seperti dulu."Ma, Bella ingin liburan sama Mama dan Papa, tapi Bella ingin di Indonesia saja," terang Bella.Bella menatap wajah mama dengan penuh harap.Mama Ratna kemudian menghapus air mata yang mengalir di pipi putri kesayangannya itu."Sayang, Bella ingin ke mana?" Mama Ratna bertanya dan mendengarkan keinginan putri kesay
Bella tidak peduli dengan pertanyaan Rasya, mau tidur atau berpura-pura tidur saat ini yang ingin Bella lakukan hanya diam sembari menutup matanya."Bella, aku tahu kamu tidak tidur, tapi kalaupun kamu tidur maka beristirahatlah dengan tenang, aku akan membangunkanmu ketika kita telah sampai di rumah," ujar Rasya.Rasya terus melajukan mobilnya dengan hati yang berkecamuk, penuh dengan kegelisahan dan rasa bersalah. Hingga akhirnya mereka sampai di rumah Bella.Rasya menatap Bella, gadis cantik itupun terlihat sangat cantik saat menutup mata.Rasya kemudian menghapus air mata yang sedari tadi membasahi pipi Bella, hati Rasya terlihat sangat hancur karena melihat hal itu terjadi."Bella, kita sudah sampai di rumah." Rasya membangunkan Bella yang sebenarnya tidak tidur itu.Bella membuka matanya kemudian memaksakan dirinya untuk tersenyum. Bella tidak ingin melihatkan wajah murung qtau bersedih lagi kepada Rasya."Sya, kamu harus singgah di rumah, aku ingin membuatkanmu salad buah untu
Mama Rasya menatap Bella dengan lembut dan penuh kasih sayang. Beliau kemudian menggenggam tangan Bella dengan hangat, Bella merasakan ketulusan di sana."Sayang, Mama sangat merindukan Bella, maaf untuk banyak hal dan terima kasih banyak karena masih mau datang berkunjung ke sini."Ucapan tulus yang ke luar dari mulut mama Rasya membuat Bella terharu, hingga tanpa sadar air mata lagi-lagi membasahi pipi Bella.Kutatap mata mama Rasya dengan air mata yang tidak bisa berhenti ke luar dari mataku. Beliau juga melakukan hal yang sama."Tante, apa benar Tante merindukan Bella?"Dengan nada tersedu-sedu aku ingin memastikan tentang apa yang baru saja aku dengar bukanlah mimpi belaka."Tentu, Sayang, hanya kamu seorang gadis yang Tante anggap seperti anak sendiri dan Tante berharap kamu bisa menjadi istrinya Rasya." Secara terang-terangan mama Rasya mengungkapkan apa yang disimpannya di hatinya. Sementara Bella saat ini terlihat haru bercampur kaget."Bagaimana mungkin seseorang yang melar
Sahabat menjadi cinta, itulah hubungan yang dijalani oleh Bella dan Rasya pada awalnya. Jadi, hubungan percintaan mereka semasa SMA tidak lagi jaim-jaiman namun lebih menjurus kepada persahabatan. Saling menyayangi dan saling menjaga, saling mendukung dan selalu bersama dalam berbagai situasi dan kondisi, baik suka maupun duka. Begitulah hubungan Bella dan Rasya pada waktu itu. Hubungan yang membuat iri banyak mata ketika memandangnya."Bell, aku nggak nyangka ternyata kamu merindukan makanan buatanku."Rasya menatap mata Bella dengan takjub, ia tidak menyangka Bella merindukan masakannya. Ya, semasa SMA Bella dan Rasya memang sering bertukar makanan dan saling mencicipi makanan satu sama lain."Sya, tentu saja aku merindukan masakanmu, bahkan kamu membawakan aku makanan seriao hari, bagaimana mungkin aku melupakanny," ujar Bella dengan senyuman."Baiklah, kalau begitu kita kembali ke rumah sakit ya!" Rasya menghidupkan mesin mobilnya dan bersiap untuk melajukan mobilnya kembali ke r
Bella ingin sekali berdiri dan memeluk Adrian, menghapus air mata yang ada di pipi Adrian serta membelai lembut rambut Adrian. Namun apa daya, Bella tidak memiliki tenaga apa-apa untuk melakukan semua itu selain menangis menatapi lelaki yang terbaring lemah dengan banyaknya luka memar di tubuhnya."Bella, jangan menangis!" Adrian mencoba mengangkat tangannya, namun tangannya yang baru saja dioperasi itu tidak bisa digerakkan sama sekali. Hingga keinginannya untuk menghapus air mata Bella menjadi terurungkan. Adrian juga sangat ingin memeluk Bella, menghapus air mata yang ada di pipi Bella, membelai rambut gadis cantik itu dan memberikan semangat kepada Bella.Namun apa daya, Adrian tidak lagi mampu bergerak dan melakukan apa-apa selain berbaring, bahkan untuk berbicara saja Adrian sangat kesusahan."Adrian, cepatlah sembuh! Aku berjanji aku akan memperlakukanmu dengan baik jika kamu sembuh."Dengan membelai tangan Adrian, Bella menatap wajah yang penuh dengan perban itu dengan tangis
Mama Ratna penasaran dengan apa yang terjadi kepada Adrian, bagaimanapun juga Adrian adalah lelaki yang membantu Bella ketika Bella hancur ketika kehilangan kekasih hatinya. Walaupun mama Ratna sangat menyukai Rasya dan berharap dokter tampan itu yang akan menjadi menantunya, mama Ratna tetap tidak bisa melupakan hutang budinya kepada Adrian. Adrian adalah lelaki yang menjadi matahari saat bumi yang ditinggali oleh putri kesayangannya ditutupi oleh awan kelam."Adrian mengigau memanggil-manggil nama Bella."Papa Herma ln berhenti sejenak, beliau sepertinya juga teramat sangat mengkhawatirkan Bella."Bella?" Mata mama Ratna terbelalak, seolah ingin menanyakan sesuatu, namun beliau takut kalau suaminya marah."Kasihan Adrian, Tante, kedua orang tuanya masih berada di luar negeri. Namun, saat ini dia ditemani oleh tunangannya, tetapi Adrian sedikitpun tidak menyebut nama tunangannya," jelas Rasya.Penjelasan Rasya membuat mama Ratna paham, bahwa ada cinta yang tulus dari relung hati ter