"Sayang, kenapa tidak memakai baju yang Mama pilihkan?" bisik mama Anita yang tidak ku hiraukan. Walaupun hati kecilku sangat tahu kalau hati mama terluka karena perangaiku yang tidak menghargai pilihan beliau.
Mama Anita menggandeng tanganku untuk duduk di samping beliau, kemudian dengan sangat ramah dan sopan papa Gunawan memperkenalkanku sebagai putrinya. "Perkenalkan Bapak Kyai, Ummi Salamah, Ustadz Fahri, ini anak kami Kania." Papa memperkenalkanku dengan bangga sebagai anak perempuan kesayangan dan kebanggaannya kepada keluarga yang terlihat baik yang duduk berhadapan dengan keluarga kami. Tapi durhakanya aku, aku tidak memberikan salam apapun kepada tamu yang datang kecuali sebuah senyum tipis yang terpaksa. Ya, aku melihat keluarga yang datang adalah keluarga yang sangat alim dan paham agama, jadi tentu saja aku bisa mengelak kalau bersentuhan tangan antara seorang muslim yang tidak muhrim itu tidak diperbolehkan. Aku seperti manusia yang sombong dan angkuh, ilmu dan pemahaman agamaku hanya seujung kuku, tapi bersikap seperti seorang ahli ibadah yang sangat paham dan mengerti agama. "Nak Kania, perkenalkan ini Fahri, anak Abi dan Ummi," ucap lembut seorang lelaki separuh baya yang bernama kyai Abdullah, yang tidak lain adalah ayah dari lelaki yang bernama Fahri. Sekilas kulihat lelaki yang ada di depanku, wajahnya terlihat bersih bercahaya, sungguh wajah yang memancarkan iman di hatinya, matanya sipit dengan tinggi sekitar 170 cm, kulitnya kuning langsat dengan badan yang menurutku kurus untuk ukuran laki-laki. Namun, aku tidak peduli dengan lelaki yang ada di depanku, mau ia seorang ustadz atau preman sekalipun tetap saja lelaki itu tidak membuat hatiku bergetar. Jangankan untuk menikah dengannya, memandang wajahnya saja aku sudah tidak mau lagi. Ya, begitulah keegoisan dan kekerasan hatiku, jika aku tidak menginginkan seseorang mau sebaik apapun agamanya, serupawan apapun wajahnya tidak akan membuatku langsung jatuh cinta kepadanya. Bagiku cinta itu adalah sesuatu yang datang dari hati, jika hatiku bergetar maka aku ingin melanjutkan hubungan ketahap selanjutnya dengan lelaki itu, tetapi jika hati ini tidak merasakan getaran cinta itu, maka aku tidak akan mau melanjutkan hubungan ini ketahap yang lebih serius, meski dipaksa juga tidak akan bisa, karena perkara hati tidak bisa dipaksakan karena menikah adalah ibadah seumur hidup dimana aku akan bersama dengan suamiku selamanya, di dunia hingga ke surga-Nya. "Kania, maksud kedatangan Ustadz Fahri dan keluarganya ke rumah kita adalah untuk bertaaruf denganmu, Nak," ucap mama Anita begitu antusias dan to the point. 'Taaruf?' Setahuku taaruf dilaksanakan oleh dua orang yang sudah bertukar curriculum vitae dengan keikhlasan tanpa adanya paksaan. Namun, kalau yang sekarang ini namanya perjodohan karena aku belum menyetujuinya sama sekali. "Jika Nak Kania berkenan, silahkan berkenalan dengan Nak Fahri, dan kami berharap semoga kalian berdua berjodoh ya." Sama halnya dengan mama Anita, ummi Salamah juga terlihat sangat antusias dengan perjodohan ini. Menurut pengakuan ummi Salamah, beliau tidak ingin proses taaruf berjalan lama, jika sudah sama-sama suka maka segera saja menikah, kalau perlu bulan depan karena perkara uang tidak menjadi masalah untuk keluarga mereka. 'Bulan Depan?' batinku berteriak tidak menerima, seolah diri ini adalah barang yang tidak berharga. Hatiku semakin hancur dan terasa sangat terluka, bagaimana mungkin perkara menikah dibuat terlalu 'sat set, sat set' Aku bukan sendal yang dipasangkan dengan sembarangan pasang saja, aku bukan barang yang diperjual belikan sesuka hati. Aku manusia, punya hati dan perasaan, punya rencana masa depan yang sudah tertata rapi dalam otakku, apalagi ini adalah perkara ibadah seumur hidup, tentu saja aku tidak ingin salah memilih pasangan karena bagi seorang wanita memilih calon suami seperti memilih masa depannya, menentukan surga dan nerakanya. Aku juga sangat ingin sekali menikah, tetapi kedok ustadz yang disandang oleh ustadz Fahri juga belum menjamin aku akan menerima perjodohan ini, karena aku punya kriteria sendiri untuk calon pasanganku. "Bagaimana, Kania? Apakah Abi dan Ummi bisa menunggu jawaban darimu seminggu dari sekarang?" ucap kyai Abdullah. Ustadz Fahri sepertinya sudah menyerah dan pasrah saja dengan apa yang menjadi keinginan orang tuanya, tapi tidak denganku, aku seperti didesak untuk menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. "Nak, pikirkanlah terlebih dahulu dengan kepala dingin, sholat istikharah, minta petunjuk kepada Allah," bisik mama Anita di telingaku. Sebenarnya aku ingin sekali menolak lelaki itu detik ini juga, namun aku pernah mendengarkan sebuah hadist yang disampaikan oleh seorang ustadz yang berceramah, "Jika seorang wanita dilamar oleh lelaki yang baik agamanya maka hendaknya nikahkanlah karena jika tidak maka akan terjadi kerusakan di muka bumi." Tapi, bagaimanapun juga cinta tidak bisa dipaksakan, ini perkara hati bukan barang dagangan. Aku dilema dan sungguh rasanya tidak tahu apa yang harus kukatakan sekarang selain diam, walaupun sebenarnya aku ingin segera berlari keluar dari rumah dan berteriak sangat keras kalau aku menolak perjodohan ini. "Nak, apakah kamu bersedia?" tanya papa Gunawan. Aku tidak bergeming, walaupun mulutku ingin berteriak tapi mulutku tetap tidak bereaksi sama sekali. "Diamnya seorang wanita pertanda setuju," ungkap mama Anita menjawab seolah mewakili diam ku. Dan entah mengapa, saat ini mulutku seperti dijahit, jangankan untuk menolak, bahkan lidah ini terasa sangat kelu dan tidak bisa berkata apa-apa selain menerima dalam diam ku. Ya, senyum mengembang pertanda bahagia terlihat dari wajah dua keluarga kecuali aku. "Baiklah, karena kedua belah pihak telah setuju, kalau begitu kami pamit undur diri." Ustadz Fahri dan keluarganya berpamitan pulang dengan senyum indah yang tergambar di wajah mereka, tapi tidak denganku, rasa dongkol dan kesal membuatku murka. Aku bahkan tidak mengantarkan tamu yang datang sampai di depan pintu, tapi lebih memilih diam, duduk di kursi seperti patung hingga sang tamu meninggalkan rumah kami. "Kania, Papa dan Mama ingin berbicara, Nak," ucap papa Gunawan dengan nada suara lembut. Sebagai seorang anak, tentu yang bisa kulakukan adalah menurut. Menjadi anak yang berbakti walaupun sebenarnya di dalam hati ada ketidaksukaan karena hati ini telah merasa kalau ujung dari pembicaraan ini adalah masalah perjodohan dan pernikahan yang dipaksakan. Ya, ingin sekali rasanya segera bangkit dan berlari ke kamar untuk menghindari kedua orang tuaku, tapi seluruh tubuhku seolah bereaksi sebaliknya, diam mematung seolah menerima segalanya. "Nak, Papa dan Mama sudah tidak muda lagi, kami ingin sekali melihatmu menikah dan kami rasa Ustadz Fahri adalah lelaki yang tepat untuk mendampingi mu." Sebuah harapan dari orang tua yang menginginkan anak perempuannya berumah tangga membuat hatiku seperti teriris sembilu. "Nak, terima ya niat baik Ustadz Fahri," ucap mama Anita dengan penuh harap."Terserah Mama saja!" Tanpa sopan santun, aku langsung bangkit dari tempat dudukku, memasang wajah masam dengan sejuta amarah yang kubawa bersamaku. Aku berjalan cepat tanpa melihat kemanapun, karena yang kupikirkan sekarang hanyalah kabur dari perdebatan panjang. Ya, dengan kekesalan di hati, ku banting pintu kamarku dengan keras. Ku hempaskan tubuhku ke ranjang yang terasa seperti semak berduri. Aku memilih egois, mengurung diri di kamar dan tidak ingin menemui siapapun, aku hanya ingin tidur dan memejamkan mataku agar aku bisa melupakan kejadian hari ini, tapi semakin aku menutup mata semakin mata ini tidak ingin dipejamkan. Bahkan keadaan ini berlangsung hingga satu minggu, dimana aku seperti mayat hidup, antara hidup segan, mati tidak mau. Hari-hariku terasa sangat hampa dan tidak berdaya, bahkan ketika berada di kantor pun aku tidak berkonsentrasi bekerja sama sekali. [Jelek, jalan yuk!] Pesan singkat dari Arya kini tidak ku pedulikan. Pandanganku tertuju pada lang
Aku bukan anak durhaka yang akan menghancurkan hati dan perasaan kedua orang tuaku sebab memikirkan perasaanku sendiri. Aku juga sangat tahu karena surgaku di dunia adalah kedua orang tuaku, dimana restu Allah ada pada restu kedua orang tua dan murka Allah ada pada murka kedua orang tua. Namun bagaimanapun aku berpikir, tetap saja aku tidak bisa menjalankan ibadah terpanjang dengan lelaki yang tidak kusukai. Bagaimana mungkin aku akan melayani suamiku kelak sementara aku tidak bisa menatap wajahnya, bagaimana rumah tangga yang akan ku bangun kelak sementara aku tidak memiliki pondasi yang sangat kokoh untuk ditegakkan. Dilema hati membuatku tidak mampu melakukan apa-apa selain pasrah dengan ketetapan-Nya, karena segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan manusia sudah diatur oleh Allah di lauh mahfudz beratus-ratus tahun sebelum manusia terlahir ke dunia. Huft ... Aku menarik nafas panjang, dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, aku bangkit dari pembaringanku. Perlahan aku meng
Ada rasa bersalah di dalam hati ini karena aku telah menolak menemui calon mertua ku. "Maaf, Abi, Ummi, sepertinya Kania sudah tidur, sepertinya ia terlalu lelah karena seharian bekerja," ucapan yang keluar dari lisan mama Anita itu terdengar samar di telingaku. "Baiklah, kalau begitu kami pulang dulu, Bu Anita, Bapak Hermawan. Tapi tolong berikan cincin ini dan pasangkanlah cincin ini di jari manis Kania sebagai tanda kalau ia telah bertunangan," ucap ummi Halimah. "Baiklah, Ummi, terima kasih banyak." "Sampaikan salam kami kepada calon menantu kami," balas mama Anita ramah dan sangat sopan. Kini terdengar hiruk pikuk, sepertinya keluarga ustadz Fahri dan sanak saudaraku telah pamit ke rumah masing-masing, dan sekarang yang tertinggal adalah sebuah tanda bahwa aku telah bertunangan. Tok ..., Tok ..., Tok ... "Nia, Mama masuk ya, Nak!" ucap mama Anita yang masih tidak aku hiraukan. Mama duduk di ranjang ku, nafas beliau terdengar berat seolah sedang menahan banyak beba
Tiba-tiba saja aku memikirkan sesuatu tanpa berpikir panjang. Ya, bagaimanapun juga aku tidak ingin menikah dengan lelaki yang tidak aku cintai. Jadi ada solusi singkat yang menguntungkan ku., yaitu kabur dari rumah. Namun, tiba-tiba batinku membisikkan dua nasehat. Pertama, jika aku kabur dari rumah maka aku akan menjadi anak durhaka seperti Malin Kundang, dan yang kedua, aku akan membuat kedua orang tuaku malu dilingkungan sekitar karena anak gadis mereka kabur sebelum hari pernikahannya. Ya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana malunya keluargaku atas sikapku yang sama sekali tidak dewasa. Tapi, semakin aku memikirkan, semakin aku ingin lari dari masalah ini. Aku meraih ponsel ku kembali, mencoba menghubungi Arya, ingin bercerita dan berbagi banyak hal kepadanya terutama tentang dilema hati yang sedang ku hadapi saat ini. Namun, entah mengapa lelaki itu tidak mengangkat panggilan dariku, ia seperti hilang tertelan bumi, tanpa kabar berita apapun kepadaku, bahkan ia tidak menj
Arya memang lelaki yang sangat tidak suka melihat wanita lebay, menye-menye dan manja sepertiku, karena menurutnya wanita itu harus kuat dan pantang menyerah, jangan lemah dengan keadaan. Tapi, sebagai seorang wanita, air mata merupakan salah satu penghapus kesedihan untukku, dimana aku akan merasa lebih tenang dan damai setelah menumpahkan seluruh air mata yang jatuh membasahi pipiku. "A-aku ti-dak menangis!" ucap ku dengan nada suara terbata-bata. "Bagaimana bisa tidak menangis, toh air mata mengalir membasahi pipi. Kamu ahli banget berbohong, belajar dimana?" ujar Arya sembari mencubit hidungku yang memang sangat jauh dari kata mancung. "Ini mah kelilipan!" Aku mencibir hingga lelaki tampan yang ada di depanku tersenyum. Ya, untuk sesaat aku merasa sangat terhibur dengan ocehan-ocehan ringan yang keluar dari lisan Arya, hingga rasa sakit yang kurasakan hilang walau untuk sesaat. "Yuk berdiri!" ucap Arya sembari mengulurkan satu tangannya kepadaku. Aku diam sembari menund
Bruk ... Tamparan keras pintu membuatku syok. Spontan tangan ini langsung memegang dada yang bergetar luar biasa, bukan karena jatuh cinta tapi karena terkejut, seolah akan kena serangan jantung mendadak. "Kenapa sih dia, marah-marah nggak jelas." Arya memang suka sekali marah-marah tidak jelas, emosinya memang masih tidak stabil bahkan dalam keadaan seperti ini akulah yang selalu minta maaf dan membujuknya agar tidak merajuk. Umur memang tidak menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang, tapi umur juga mempengaruhi tingkat emosi seseorang, dan masalah kesenjangan usia beberapa tahun antara aku dan Arya membuat kami berdua sering kali saling salah paha karena pola pikir yang berbeda. "Arya tunggu!" Aku keluar dari mobil, berjalan pelan untuk mendekati lelaki yang sama sekali tidak ingin menoleh sedikitpun kepadaku. "Arya, kenapa sih sikapmu seperti anak-anak? Aku kesulitan berjalan." Dengan langkah kaki tertatih-tatih, aku terus berjalan menyusul lelaki yang egois itu. "A
Mataku terasa sudah tidak sanggup lagi untuk menyala, dan tanganku yang lemah terasa semakin lemah, hingga mata ini akhirnya tertutup. "Kania ...! Aku mendengar suara Arya tengah memanggil-manggil namaku dengan rasa khawatir yang teramat sangat, bahkan sebelum aku menutup mata ini, aku melihat wajah Arya terlihat teramat sangat panik sekali, ia seolah takut jika hal buruk terjadi kepadaku atau mungkin saja ia takut kehilangan ku. Ya, ada pancaran kekhawatiran yang berbeda dari sorot mata lelaki itu, perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Mata itu terlihat berbeda melebihi rasa khawatir seorang sahabat. Sungguh, aku tidak ingin menyia-nyiakan momen seperti ini. Rasanya aku tidak ingin menutup mataku karena aku tidak ingin membuat Arya mengkhawatirkan ku, tapi apalah daya ku, aku sudah tidak lagi bertenaga untuk tetap membuka mata. Selain itu, kendali hidup dan mati ku sepenuhnya milik Allah, dan andai saja hari ini Tuhan mengambil nyawaku, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain men
Akhirnya butiran kristal-kristal bening keluar juga dari bola mataku, sebuah ungkapan betapa aku tidak sanggup lagi menahan beban yang menyesakkan dadaku. "Nia, Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Allah yakin kamu bisa, dan Mas juga yakin kalau kamu sanggup menghadapi semua ini," ujar Arya menguatkan dan memberikan semangat kepadaku. "Mas, apakah aku kabur saja?" Aku tidak bisa berpikir jernih, karena otak ini terus saja memikirkan hal negatif yabg seharusnya tidak dilakukan, hingga kini yang terbayang olehku hanyalah menghilang dan kabur sejauh mungkin agar aku bisa menghindari masalah hidup yang kujalani saat ini. Bahkan, walaupun ke ujung dunia adalah tempat terbaik untuk menghindar maka aku akan diam-diam lari kesana agar tidak ada seorang pun yang menemukanku. Sungguh, dari dahulu hingga saat ini, impianku masih belum berubah. Aku ingin menikah dengan konsep mewah layaknya seorang putri kerajaan dalam cerita-cerita di negeri dongeng, dengan gau
"Kania, Mas yakin kamu akan mendapatkan lelaki terbaik dan terhebat seperti yang kamu harapkan selama ini. Ikhlaskan dia yang telah pergi dan buka hati untuk dia yang nantinya akan mengisi hari-harimu. Mas yakin, wanita baik sepertimu akan mendapatkan lelaki terbaik juga, karena jodoh adalah cermin diri, dan wanita baik-baik akan dipersatukan juga dengan lelaki baik-baik," ucap Arya menasihati ku.Kutatap lelaki itu dengan seksama, penuh kekaguman dan rasa syukur. Ya, akhirnya aku menyadari kalau Arya adalah sosok lelaki yang bisa mengayomiku, ia menasehatiku layaknya seorang kakak laki-laki kepada adiknya, melindungi dan menjagaku seperti saudaranya sendiri. Aku tahu, Arya adalah laki-laki. Ia memiliki naluriah laki-laki, sikap dan jiwa seorang lelaki yang mungkin saja mudah jatuh dan dimanfaatkan oleh wanita yang tidak benar-benar tulus mencintainya. Ia mungkin juga akan tergoda dengan wanita cantik dan seksi seperti sebelumnya, karena tantangan terbesar seorang lelaki yang telah su
"Ma, Bella terkagum-kagum dengan agama islam. Islam begitu memuliakan kedua orang tua dan Mama adalah surganya Bella."Bella bersujud dan mencium telapak kaki mamanya dengan tulus dan ikhlas. "Sayang, apa yang kamu lakukan? Jangan seperti ini, Sayang!" Mama Ratna membantu putri kesayangannya untuk bangun dan bangkit. Beliau memeluk putri kesayanggannya itu. Rasa haru dan bahagia memenuhi hati dan fikiran mama Ratna, betapa ia sangat bahagia dan bersyukur karena memiliki putri yang teramat sangat baik dan berbakti seperti Bella."Nak, kamu benar-benar permata dalam kehidupan Mama dan Papa. Maaf karena selama ini kami membiarkanmu tumbuh sendiri tanpa perhatian dan kasih sayang."Mama Ratna membelai lembut rambut putrinya, matanya mengisyaratkan sebuah penyesalan yang teramat sangat dan keinginan untuk membalas sesuatu yang telah hilang menjadi senyum kebahagiaan untuk Bella."Ma, apa Bella boleh nggak usah ke kantor dulu? Bella ingin fokus di rumah dan belajar agama. Biar Lara saja y
"Tentu jadi, Sayang, nanti kita packing dan membereskan semua perlengkapan travelling," ujar mama Ratna bersemangat."Ma, emangnya Papa mau libur ngantor?" Papa Herman juga salah seorang manusia yang sangat gila dan mencintai pekerjaan, hingga Bella ragu papanya bisa ikut jalan-jalan dengan mereka atau tidak."Tenang, Sayang, perusahaannya 'kan punya kita, jadi tidak ada alasan bagi Papa untuk menolak," terang mana Ratna.Papa Herman menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum melihat dua wanita yang sangat dicintainya itu terlihat bersangat untuk liburan di luar kota.Ya, memang benar, Bella dan keluarganya sudah lama sekali tidak liburan bersama. Setidaknya sakitnya Bella menjadi perekat hubungan keluarga Bella."Terima kasih, Papa." Bella tersenyum dan terlihat sangat bersemangat."Kalau begitu, sekarang Papa ke kantor dulu ya. Papa ingin menyiapkan semua berkas-berkas dan pekerjaan yang tertumpuk sekalian memberikan tugas untuk dikerjakan oleh sekretaris papa selama kita tid
Bella memeluk mama Ratna, ia tidak bisa berkata apa-apa karena saat ini yang bisa dilakukannya hanya menangis."Sayang, Mama ada untukmu."Mama Ratna menepuk-nepuk punggung putri kesayangannya sembari membelai rambut Bella dengan penuh cinta dan kasih sayang."Ma, apa kita boleh berjalan-jalan ke luar kota? Bella ingin sekali liburan dan menenangkan fikiran," ucap Bella lembut namun tersedu-sedu."Tentu boleh, Nak. Bella boleh pergi ke mana saja yang Bella inginkan. Apa kamu pengen ke luar negeri, Sayang?" Mama Ratna ingin mewujudkan semua keinginan anak kesayangannya karena yang terpenting baginya adalah Bella bisa kembali ceria lagi dan bisa tersenyum lagi seperti dulu."Ma, Bella ingin liburan sama Mama dan Papa, tapi Bella ingin di Indonesia saja," terang Bella.Bella menatap wajah mama dengan penuh harap.Mama Ratna kemudian menghapus air mata yang mengalir di pipi putri kesayangannya itu."Sayang, Bella ingin ke mana?" Mama Ratna bertanya dan mendengarkan keinginan putri kesay
Bella tidak peduli dengan pertanyaan Rasya, mau tidur atau berpura-pura tidur saat ini yang ingin Bella lakukan hanya diam sembari menutup matanya."Bella, aku tahu kamu tidak tidur, tapi kalaupun kamu tidur maka beristirahatlah dengan tenang, aku akan membangunkanmu ketika kita telah sampai di rumah," ujar Rasya.Rasya terus melajukan mobilnya dengan hati yang berkecamuk, penuh dengan kegelisahan dan rasa bersalah. Hingga akhirnya mereka sampai di rumah Bella.Rasya menatap Bella, gadis cantik itupun terlihat sangat cantik saat menutup mata.Rasya kemudian menghapus air mata yang sedari tadi membasahi pipi Bella, hati Rasya terlihat sangat hancur karena melihat hal itu terjadi."Bella, kita sudah sampai di rumah." Rasya membangunkan Bella yang sebenarnya tidak tidur itu.Bella membuka matanya kemudian memaksakan dirinya untuk tersenyum. Bella tidak ingin melihatkan wajah murung qtau bersedih lagi kepada Rasya."Sya, kamu harus singgah di rumah, aku ingin membuatkanmu salad buah untu
Mama Rasya menatap Bella dengan lembut dan penuh kasih sayang. Beliau kemudian menggenggam tangan Bella dengan hangat, Bella merasakan ketulusan di sana."Sayang, Mama sangat merindukan Bella, maaf untuk banyak hal dan terima kasih banyak karena masih mau datang berkunjung ke sini."Ucapan tulus yang ke luar dari mulut mama Rasya membuat Bella terharu, hingga tanpa sadar air mata lagi-lagi membasahi pipi Bella.Kutatap mata mama Rasya dengan air mata yang tidak bisa berhenti ke luar dari mataku. Beliau juga melakukan hal yang sama."Tante, apa benar Tante merindukan Bella?"Dengan nada tersedu-sedu aku ingin memastikan tentang apa yang baru saja aku dengar bukanlah mimpi belaka."Tentu, Sayang, hanya kamu seorang gadis yang Tante anggap seperti anak sendiri dan Tante berharap kamu bisa menjadi istrinya Rasya." Secara terang-terangan mama Rasya mengungkapkan apa yang disimpannya di hatinya. Sementara Bella saat ini terlihat haru bercampur kaget."Bagaimana mungkin seseorang yang melar
Sahabat menjadi cinta, itulah hubungan yang dijalani oleh Bella dan Rasya pada awalnya. Jadi, hubungan percintaan mereka semasa SMA tidak lagi jaim-jaiman namun lebih menjurus kepada persahabatan. Saling menyayangi dan saling menjaga, saling mendukung dan selalu bersama dalam berbagai situasi dan kondisi, baik suka maupun duka. Begitulah hubungan Bella dan Rasya pada waktu itu. Hubungan yang membuat iri banyak mata ketika memandangnya."Bell, aku nggak nyangka ternyata kamu merindukan makanan buatanku."Rasya menatap mata Bella dengan takjub, ia tidak menyangka Bella merindukan masakannya. Ya, semasa SMA Bella dan Rasya memang sering bertukar makanan dan saling mencicipi makanan satu sama lain."Sya, tentu saja aku merindukan masakanmu, bahkan kamu membawakan aku makanan seriao hari, bagaimana mungkin aku melupakanny," ujar Bella dengan senyuman."Baiklah, kalau begitu kita kembali ke rumah sakit ya!" Rasya menghidupkan mesin mobilnya dan bersiap untuk melajukan mobilnya kembali ke r
Bella ingin sekali berdiri dan memeluk Adrian, menghapus air mata yang ada di pipi Adrian serta membelai lembut rambut Adrian. Namun apa daya, Bella tidak memiliki tenaga apa-apa untuk melakukan semua itu selain menangis menatapi lelaki yang terbaring lemah dengan banyaknya luka memar di tubuhnya."Bella, jangan menangis!" Adrian mencoba mengangkat tangannya, namun tangannya yang baru saja dioperasi itu tidak bisa digerakkan sama sekali. Hingga keinginannya untuk menghapus air mata Bella menjadi terurungkan. Adrian juga sangat ingin memeluk Bella, menghapus air mata yang ada di pipi Bella, membelai rambut gadis cantik itu dan memberikan semangat kepada Bella.Namun apa daya, Adrian tidak lagi mampu bergerak dan melakukan apa-apa selain berbaring, bahkan untuk berbicara saja Adrian sangat kesusahan."Adrian, cepatlah sembuh! Aku berjanji aku akan memperlakukanmu dengan baik jika kamu sembuh."Dengan membelai tangan Adrian, Bella menatap wajah yang penuh dengan perban itu dengan tangis
Mama Ratna penasaran dengan apa yang terjadi kepada Adrian, bagaimanapun juga Adrian adalah lelaki yang membantu Bella ketika Bella hancur ketika kehilangan kekasih hatinya. Walaupun mama Ratna sangat menyukai Rasya dan berharap dokter tampan itu yang akan menjadi menantunya, mama Ratna tetap tidak bisa melupakan hutang budinya kepada Adrian. Adrian adalah lelaki yang menjadi matahari saat bumi yang ditinggali oleh putri kesayangannya ditutupi oleh awan kelam."Adrian mengigau memanggil-manggil nama Bella."Papa Herma ln berhenti sejenak, beliau sepertinya juga teramat sangat mengkhawatirkan Bella."Bella?" Mata mama Ratna terbelalak, seolah ingin menanyakan sesuatu, namun beliau takut kalau suaminya marah."Kasihan Adrian, Tante, kedua orang tuanya masih berada di luar negeri. Namun, saat ini dia ditemani oleh tunangannya, tetapi Adrian sedikitpun tidak menyebut nama tunangannya," jelas Rasya.Penjelasan Rasya membuat mama Ratna paham, bahwa ada cinta yang tulus dari relung hati ter